Seorang anak kecil berlari menyusuri koridor menuju ke tempat kerja ayahnya. Semua orang tersenyum ke arahnya membuat anak laki-laki itu semakin bahagia. Apalagi, dirinya tidak sabar menunjukkan medali emas dari kontes olimpiade fisika yang kini tengah menggantung di lehernya kepada ayah dan ibunya.
Sampai di depan pintu bertuliskan ruangan kepala jaksa, Juno dengan cepat menekan handle pintu lalu masuk ke dalam sana.
"Ayah! Mama!"
Juno kecil berteriak dengan senyum merekah di wajahnya. Matanya menatap kedua orang tua nya yang kini sedang duduk di kursi kerja masing-masing dengan tumpukan kertas di atas meja mereka. Bahkan, mereka tidak menyambut putra mereka.
"Ayah. Lihat deh, Juno menang kontes fisika loh!"
Anak kecil itu menghampiri ayahnya lalu memamerkan medali yang bertengger di lehernya. Namun, laki-laki tiga puluh tahun itu tidak menggubris ucapan Juno.
Anak kecil yang masih berumur tujuh tahun itu kehilangan senyumnya, namun dengan semangat yang tersisa Juno menghampiri ibunya. Tapi, reaksi nya tetap sama. Mereka menganggap seakan-akan kehadiran Juno tidak ada di sana.
"Mama! Ayah! Juno menang kontes fisika. Lihat Juno punya medali" Teriak Juno lagi. Kali ini berbeda, senyum di wajah nya menghilang digantikan dengan mata yang berkaca-kaca menahan tangis.
Tidak hanya mengandalkan medalinya, Juno menarik-narik lengan ibu dan ayahnya. Mencoba menarik perhatian mereka, setidaknya pandangan mereka untuk melihat medali yang sudah susah payah Juno raih. Namun, bukan pandangan bangga, atau setidaknya pandangan biasa hanya agar Juno tahu kalau mereka tahu Juno sudah berusaha untuk jadi anak yang baik.
Namun, ibu Juno hanya berdecak dan menarik lengan nya, lalu keluar dari ruangan itu seakan Juno itu benalu bagi nya.
"Mama!"
"Ma, mama"
Air mata anak kecil itu keluar, lalu Juno menangis sekeras-kerasnya.
Sebegitu benci nya mama sama, aku?
Mama benci aku?
Tangisan itu semakin keras, membuat orang yang tersisa di dalam ruangan, sekaligus pemilik ruangan itu terganggu. Jaguar Alvero menarik keras baju belakang Juno hingga tubuh anak kecil itu mundur ke belakang.
"Diam. Berisik. Kamu ganggu saya kerja"
"m-ma-maaf. T-tapi, m-mama..."
"saya bilang diam. Kamu minta saya pukul?"
Juno menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan kecilnya sembari menggelengkan kepalanya. Napasnya sesak akibat menangis, namun Jaguar yang menarik kerah Juno hingga membuat leher Juno tercekik itu semakin membuat Juno sesak.
"Kamu ke sini cuma mau nunjukin medali sampah ini?"
Mata Juno melebar saat Jaguar menyebut medali emas yang dia raih dengan belajar mati-matian itu sebagai medali sampah. Hati nya semakin sakit, air mata nya juga terus mengalir seperti sungai, walaupun mulutnya tidak bersuara.
"Pergi, saya gak butuh sampah itu. Kamu cuma ganggu saya kerja"
Jaguar melepaskan tubuh kecil itu hingga mundur beberapa langkah ke belakang. Lalu, Jaguar kembali lagi ke meja nya dan memencet tombol telfon di meja nya untuk memanggil sekretaris nya.
"Bapak memanggil saya?"
"Bawa anak ini keluar. Saya masih banyak pekerja yang harus diselesaikan"
"Baik, pak"
Saat wanita itu hendak memimpin Juno untuk keluar dari ruangan itu, Juno kecil lebih dulu melangkah pergi. Menyusuri koridor dengan langkah tergesa-gesa, dengan air mata yang terus mengalir, dengan suara tangis yang sengaja di tahan. Dan, dengan tangan yang dikepal memegang tali medali di lehernya.
Ayah yang sampah. Sampai kapan pun, aku gak akan bawa medali lagi.
Ucap Juno kecil melempar medali emas pertama nya ke dalam tempat sampah dengan penuh amarah.
•~•~•~
Di depan sebuah gedung yang menjulang tinggi, Juno berdiri menatap gedung itu sembari menyiapkan hati untuk menapakkan kaki di dalam bangunan itu lagi. Bangunan berlabel kejaksaan negeri itu adalah kantor tempat dulu orang tua Juno bekerja. Tempat yang pernah Juno datangi sekali dan hanya menyisakan luka dalam bagi hatinya.
Juno melangkah masuk ke dalam gedung itu dengan yakin. Mata Juno mengedar, tempat ini sama sekali tidak berubah. Tempat yang tetap sama, walaupun bertahun-tahun sudah berlalu. Wajar saja, ini kantor negeri yang dikelola negara.
Ketidakberubahan ini membuat luka lama Juno kembali basah, namun dengan yakin Juno menyusuri kantor itu hingga sampai di depan sebuah ruangan. Ruangan bertuliskan ruangan kepala jaksa.
Juno mengetuk pintu itu sebelum seseorang mengizinkannya untuk masuk. Saat seseorang itu bersuara, Juno menekan handle pintu dan masuk ke dalam sana.
"Kamu sudah datang? duduk-duduk, nak"
Juno menatap datar wajah seseorang yang mirip dengan wajah ayahnya itu, lalu duduk di sofa depan orang itu tanpa menjawab sapaannya.
Mata Juno menatap datar wajah paman nya yang begitu mirip dengan ayahnya. Kenan Athanas, paman Juno sekaligus adik dari ayah Juno, Jaguar Alvero. Dan, Kepala Jaksa Agung saat ini.
"Bagaimana kabar kalian selama ini, nak? Kinan dan kamu sehat kan? Tidak kesulitan? Keuangan bagaimana? Kalau ada yang membuat kalian sulit, minta tolong sama paman aja"
"Iya. Mohon maaf, tapi saya mau bicara intinya saja"
Ucap Juno yang mulai tidak nyaman dengan tampang Kenan yang mirip dengan Jaguar.
"Oh, iya-iya. Paman berisik ya? Kalau begitu, Juno ada perlu apa ketemu paman? Padahal, dulu waktu paman telfon Kinan, suara kamu bahkan gak pernah kedengaran"
"Sekarang kamu sudah besar, mirip juga sama ayahmu"
"Gak. Saya gak mirip siapa-siapa"
Ucap Juno menolak keras disamakan dengan ayahnya yang brengsek itu.
"ah, hahahaha. Iya, kalau dilihat-lihat kamu gak mirip sama Bang Jagu"
Gen nya kuat banget. Sampai sifat juga mirip jaguar, Batin Kenan tersenyum canggung di depan keponakannya.
"Jadi, ada perlu apa?"
Juno mengambil ranselnya, lalu membuka ranselnya dan merogoh sesuatu dari dalam sana. Tidak lama, Juno mengeluarkan sebuah amplop tebal, lalu meletakkannya di depan Kenan.
"Tolong saya" ucap Juno tanpa menjelaskan apa-apa membuat wajah ramah Kenan seketika hilang.
"Maaf, Juno. Tapi, paman gak seperti ayahmu. Kalau paman bantu kamu, ini namanya KKN. Walaupun paman sedarah dengan ayahmu, paman gak bisa bantu kamu kalau masalahnya narkoba, terorisme, atau pelecehan seksual dan pembunuhan. Paman ini penegak hukum yang-"
"Jadi, paman gak akan bantu saya?" tanya Juno memotong kalimat Kenan.
"Bukan itu maksudnya. Maksud paman, kamu harus jelasin dulu masalah kamu, baru paman bantu"
Apa semua penegak hukum bicaranya bertele-tele kayak gini?, batin Juno menatap paman nya sinis. Lalu, menghela napas panjang dan membicarakan semua masalah yang dia alami. Ah, tidak. Maksudnya yang Sasa alami.
"Oh, ternyata sepele. Oke, paman bantu. Harusnya kamu bilang dari awal kalau ini masalah pacar kamu"
"Dia bukan pacar saya. Untuk saat ini, bukan"
Kenan memicing dengan senyum picik terlukis di wajahnya. Di dalam hati Kenan berceletuk pada dirinya sendiri bahwa dirinya sekarang sudah tua, dan harus menikah secepatnya sebelum keponakan nya mendahuluinya. Kenan itu laki-laki berumur pertengahan tiga puluh.
"Cantik?"
"Apa?"
"Paman tanya, cantik gak pacarmu itu?"
"Dia bukan pacar saya untuk saat ini, tapi benar dia cantik"
Kenan tertawa kecil sembari menggelengkan kepalanya. Tentu saja, ini hal yang menggelikan, mengetahui percintaan anak remaja yang bahkan belum menyelesaikan pendidikannya.
"Paman sudah suruh orang menyelesaikan nya. Kamu tinggal bobo cantik di rumah"
"Iya kah? Ternyata mudah. Karena dia anak pejabat, saya pikir bakalan lebih lama" celetuk Juno beranjak, lalu mengenakan kembali ranselnya.
"Dia memang anak pejabat, tapi kakekmu, tantemu, sepupumu, pamanmu yang ganteng ini juga pejabat negara. Kamu juga jangan lupa, ayahmu juga dulu pejabat"
"Bukan" cepat-cepat Juno menyanggahnya.
"Ayah saya jaksa korup, ibu saya pegawai negeri yang bunuh diri karena suami nya dihukum mati setelah menggelapkan dana negara dan memanipulasi bukti kasus besar. Jangan lupa paman, saya anak dari orang itu"
Ucap Juno dengan wajah datar, mulutnya dengan percaya diri mengucap kalimat itu membuat Kenan cukup terkejut. Apa semua orang menyebutnya begitu membuat Juno memilih tidak lagi menyanggah, karena dia sudah lelah dengan fakta itu? Kira-kira begitulah yang Kenan pikirkan sekarang.
"Iya, iya. Ini ambil" ucap Kenan mengembalikan amplop berisi uang yang Juno berikan padanya.
"Itu bayaran saya, karena paman sudah mau bantu saya"
"Ambil aja" Ucap Kenan memasukkan uang itu kembali ke dalam ransel Juno.
"Darimana kamu dapat uang banyak begini, kamu gak nyuri kan?"
"Ini uang warisan ayah"
"Iya, karena warisan, saya lebih gak mau ngambil. Uang Bang Jagu itu buat biaya hidup anak-anak nya, bukan buat bayar saya"
Resleting tas Juno akhirnya tertutup sempurna, lalu Kenan menepuk kedua pundak keponakannya. Pundak yang menanggung semua cercaan, hinaan, dan sumpah serapah dari dosa yang orang tua Juno lakukan.
"Ini kasus kecil, biaya nya gak ada. Jadi, ambil balik uang itu, beliin Kinan makanan enak. Ah, enggak deh. Beli untuk pacarmu aja"
Juno menghela napasnya, perlu dijelaskan beberapa kali lagi untuk pamannya mengerti kalau Sasa itu bukan pacar Juno.
"Saya pamit, terima kasih" ucap Juno tidak ingin berlama-lama di sana, lalu melangkah pergi meninggalkan ruangan dan tempat itu menuju ke rumah sakit. Karena, Juno ingin menjenguk Sasa, setelah berhari-hari tidak bertemu gadis itu di sekolah.
"Sudah besar, anak Bang Jagu udah tinggi banget. Lihat itu, Bang anakmu mirip sekali samamu"
Walaupun, kamu lebih buruk sih. Dasar, Jagu bodoh. Anak itu lebih kuat dari kamu. Dasar Jelek.
•~•~•~•
Juno mengetuk pintu ruang perawatan Sasa, namun tidak ada tanggapan. Saat Juno yang sudah lama menunggu di depan ruangan itu membuka pintu ruang rawat inap Sasa, tidak ada seorang pun di dalam sana.
"Permisi, pasien yang dirawat di sini kemana ya?"
"Kak Juno nyari aku?"
Seseorang bersuara dari arah belakang membuat laki-laki itu berbalik, lalu menunduk kecil ke arah perawat yang sudah dia tanyai.
"Darimana?"
"Cari udara segar. Ei, roti keju!" Sasa menatap mohon ke Juno untuk segera menyerahkan bingkisan di tangannya membuat Juno memberikan plastik itu ke Sasa.
"Makan pelan-pelan" ucap Juno pada Sasa yang sedang melahap roti keju itu tergesa-gesa. Mereka berdua kini duduk di kursi panjang depan ruang rawat inap Sasa.
"Udah lama aku gak makan roti keju karena Kak Heli sama Bunda ngelarang. Katanya karena makanan rumah sakit encer, jadi kalau makan roti keju yang ada susunya, nanti bisa diare"
"Iya juga ya"
Juno mengambil setengah roti keju Sasa, lalu dimasukkan ke dalam mulutnya sendiri. Kini yang berada di tangan Sasa hanya seperempat roti keju nya lagi.
Sasa melirik Juno sinis, walaupun jantungnya agak terkejut saat Juno memasukkan roti yang Sasa makan dengan mulutnya ke dalam mulut Juno tanpa merasa jijik
"Kalau gini, mending kakak beli yang small size. Kalau segini lagi mah mana cukup. Cuma nambah kotoran gigi doang"
"Nanti diare"
"nyenyenye, mirip Bunda sama Kak Heli"
Juno melirik Sasa, lalu tersenyum tipis dengan mulut yang menggembung karena memasukkan roti keju itu ke mulutnya. Namun, Juno teringat sesuatu membuat dirinya terbatuk-batuk.
"Kak Juno, gak apa-apa? Ini minum susu"
"Gak, gak usah"
"Udah diminum, kakak keselek"
Bukan, bukan keselek.
Juno hendak menolak susu itu, namun Sasa dengan penuh perhatian memberikan kotak susu yang Juno belikan padanya untuk diminum oleh Juno. Laki-laki itu menatap lirih Sasa, ingin menolak, namun Juno tidak bisa. Alhasil, laki-laki itu meminum susu itu.
"Udah, lebih baik?" tanya Sasa menepuk-nepuk punggung Juno. Laki-laki itu mengangguk kecil.
"Makanya kak, makannya pelan-pelan. Kakak sendiri yang bilang ke aku buat makan pelan-pelan"
"Iya"
Sasa menggeleng tidak habis pikir, lalu kembali melahap roti keju yang tersisa sedikit.
'"Omong-omong, Kak Juno"
"hmm, iya?" ucap Juno terbatuk kecil.
"Makasih ya?"
Juno melihat ke Sasa dengan wajah penuh tanya.
"Makasih udah nolongin aku lagi. Walaupun Kak Heli gak bilang sih, tapi kalau bukan Kak Heli udah pasti Kak Juno yang bantuin. Aku juga sempat denger suara kakak sih"
"iya"
"Terus, kak- Kak?!"
Sasa melihat ke arah wajah Juno yang penuh ruam merah. Lalu, Juno terbatuk-batuk dan kesulitan bernapas.
"Kak?! Kak Juno. Astaga, kak?!"
•~•~•~•~NEXT!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments