Bel pergantian mata pelajaran berbunyi membuat guru mata pelajaran kimia menghentikan penjelasannya di depan kelas. Guru itu, panggil saja Pak Ilham, berbalik badan menghadap para siswa dan siswi nya yang bersiap menyimpan buku dan mengambil buku mata pelajaran selanjutnya.
"Pelajaran hari ini kita lanjutkan minggu depan ya. Ah iya, ketua kelas tolong buatkan kelompok untuk tugas praktikum reaksi elektrolisis kita. Satu kelompok maksimal tiga orang, dan untuk tugasnya lewat video ya, durasi maksimal tiga menit. Kumpul ke saya lewat chat pribadi"
Setelah menginformasikan tugas, Pak Ilham berjalan keluar. Lalu, semua orang mendekati Cio yang sedang menuliskan nama kelompok untuk tugas kimia mereka.
"Ketua" Panggil Denada, teman sekelas Sasa yang kini menjadi teman sebangku Eri.
"Iya?"
"Jumlah kita kan sekelas ada tiga puluh satu orang. Terus kalau dibagi tiga satu kelompok jadi seharusnya ada sepuluh kelompok. Satu orang yang gak dapat kelompok gimana?"
Tanya Denada membuat semua orang menatap Cio penuh tanya.
"Hmm, gimana ya? Karena empat orang gak boleh, mungkin nanti ada dua kelompok yang jumlah nya dua orang"
"Gak boleh gitu dong, ketua. Siapa coba yang mau repot kalau jumlah orang nya dikurangin. Satu orang yang tersisa biarin aja kerja sendirian. Kamu bisa kerja sendiri kan, Sa?"
Denada kembali berucap melihat ke arah Sasa yang sedari tadi menunduk. Sudah Sasa duga hal ini akan terjadi, namun Sasa tidak tahu akan sesakit ini di kucilkan teman sekelas sendiri.
Cio melihat ke arah Sasa yang menunduk dalam. Lalu, kembali melihat ke arah Denada.
"Kalau gitu, gak apa-apa, Den. Aku aja yang sendirian"
"Mana boleh begitu? Kan kamu pinter kimia, Cio. Nanti nasib kelompok yang orang nya gak bisa semua gimana? Udah, Sasa aja. Dia juga lumayan pinter kimia, dia bisa sendiri "
"Tapi, aku juga-" Sasa memukul meja memotong kalimat Cio yang belum selesai, lalu bangkit dari kursinya. Melirik Denada malas, lalu kembali melihat ke arah Cio.
"Gak apa-apa, Cio. Aku bisa sendiri. Tulis aja. Aku permisi sebentar ke toilet"
Sasa melangkah cepat keluar dari kelasnya. Menuju ke toilet karena saat ini Sasa benar-benar perlu sendiri untuk meredakan emosi yang membuat matanya berkaca-kaca.
Di dalam toilet perempuan, terdengar isak tangis pelan yang keluar dari mulut Sasa. Dengan cepat, Sasa mengusap air matanya yang mengalir seperti banjir, rasa kesal yang memuncak mengundang air mata itu.
"Lumayan pinter katanya? Memang nya kalau lumayan pinter gak butuh bantuan?"
"Lagian kenapa gak dia aja yang sendirian? Kenapa gak sebut nama dia sendiri aja? Nyebut orang seenak jidat, memangnya dia yang mutusin kelompok?"
Sasa meruntuk selama tiga puluh menit. Sasa keluar dari bilik kamar mandi, lalu berjalan ke arah wastafel untuk membasuh wajahnya yang memerah karena menangis.
"Isshh! Seharusnya tadi gak usah nangis, jadi bengap kan" ucap Sasa memegang wajahnya yang membengkak dengan mata yang memerah. Khas seseorang yang menangis lama.
Sasa melangkah keluar dari toilet untuk kembali ke kelas. Sasa mengetuk pintu, meminta izin pada guru yang mengajar untuk masuk ke dalam kelas saat dia sudah berada di depan pintu kelas.
"Permisi, Bu"
"Sasa? Dari mana saja, nak? Ini sudah hampir habis satu les mata pelajaran"
"Ituu- Sasa dari toilet, Bu" ucap Sasa tersenyum kaku, matanya yang membengkak membuat bola mata nya tidak terlihat saat dia tersenyum.
"Kamu habis nangis, Sa?"
"Enggak, Bu. I-ini tadi malam Sasa kebanyakan makan micin, jadi pagi tadi muka Sasa bengkak semuanya"
Guru Sasa menggeleng heran, namun setelah nya mengizinkan Sasa duduk.
"Apa itu, caper banget?"
"Kayaknya biar dikasihani, deh"
"pick me"
Sepanjang kaki Sasa melangkah menuju ke kursinya, bisikan yang sengaja dibuat terdengar itu kembali menyentil hati kecil Sasa untuk kembali menangis. Namun, Sasa tahan sebisa mungkin agar dirinya tidak malu karena menangis di dalam kelas.
"Sa, gak apa-apa?" Tanya Cio yang tempat duduknya tidak jauh dari tempat duduk Sasa. Sasa menghela napas, lalu tersenyum kecil ke arah Cio.
"Gak apa-apa"
Di sisi lain, Eri yang melihat interaksi Sasa dan Cio merasa kesal. Sesuatu membara di dalam hatinya. Kecemburuan Eri membara saat melihat Cio yang peduli pada Sasa. Padahal, Cio tidak pernah peduli apa pun yang terjadi pada Eri. Bahkan, Cio berbicara dengan Eri hanya saat menagih pekerjaan rumah, atau tugas yang Eri tidak mengerti.
"Sasa gatel banget kan? Lihat deh, Ri. Dia goda Cio, kamu suka sama Cio kan?" Denada bersuara membuat Eri mengalihkan pandangannya.
"Enggak. Aku gak suka, tuh"
"Apanya yang gak suka, semua orang di kelas tau kamu suka sama Cio kok. Cio sendiri juga udah tau"
Mata Eri refleks melihat ke arah Denada saat Denada berucap demikian.
"Tapi, Cio pura-pura gak tau aja. Karena, Cio suka sama Sasa. Kamu lihat, Sasa yang godain Cio. Dia kan cantik, imut, terus tingkahnya dibuat-buat biar cowok suka sama dia. Kamu lihat kan dia sok care sama Kak Juno, pura-pura nolong Kak Juno? Padahal, dia cuma caper. Terus dia juga goda Kak Heli makanya Kak Heli nolongin dia di kantin. Sekarang, target dia Cio, karena dia tau kamu suka sama Cio. Apalagi, kamu jauhin dia karena kejadian baru-baru ini"
Ucapan Denada membuat kekesalan Eri semakin berada di puncak. Eri tidak menyangka, Sasa yang selama ini dia anggap teman dekat ternyata gadis busuk seperti itu. Walaupun, mereka hanya sebatas teman saat SMP. Tapi, saat di SMA, Sasa sudah Eri jadikan sebagai sahabatnya.
"Jadi, selama ini Sasa ketawa setiap aku cerita tentang Cio, cuma buat ngejek aku?"
"Mungkin, siapa yang tau? Sasa mungkin ketawa karena kamu kelihatan kayak orang bodoh. Padahal, Cio jelas-jelas suka sama Sasa, tapi kamu ceritain Cio ke orang yang disukai Cio. Itu mungkin pikiran Sasa ya, bukan aku yang bilang"
Eri menghela napas panjang. Betapa bodohnya selama ini dia bercerita tentang perilaku Cio yang baik kepadanya ke Sasa yang mungkin sudah sadar bahwa Cio menyukainya. Padahal, perlakuan baik Cio hanya sebatas membantu Eri menyelesaikan pekerjaan rumah nya yang Eri anggap sebagai perlakuan baik karena Cio juga menyukai nya.
"Sialan" gumam Eri pelan, namun masih bisa Denada dengar.
"Ri. Gimana kalau kita balas Sasa?"
Eri yang menatap wajah Sasa kesal mengalihkan pandangannya ke Denada.
"Kasih tau aku caranya"
•~•~•~
Sudah berhari-hari, setiap lima menit setelah bel istirahat berbunyi. Sasa sudah pasti berdiri di depan kelas Juno sembari meninting totebag bekalnya yang warnanya sudah tampak familiar di mata Juno.
Laki-laki ini juga tampaknya sudah terbiasa, terlihat dari tangannya yang mengambil roti keju dan sekotak susu fullcream dari dalam laci. Lalu, sengaja diletakkan di atas meja sebelah meja nya, tempat Sasa selalu duduk. Agar Sasa dapat melihat dan memakan cemilan kesukaan nya itu.
"Hai" ucap Sasa dengan nada lesu, lalu duduk di kursi kosong sebelah kursi Juno. Tangannya mengeluarkan dua kotak bekal dari dalam totebag bekal nya. Lalu, saat Sasa hendak membuka tutup kotak bekal itu, Juno mengambil alih membukakan kotak bekal itu dan diberikan kepada Sasa.
"Menu hari ini batagor bumbu kacang, capcay, dan nasi putih. Selamat makan" ucap Sasa menatap sendu ke arah tembok, lalu menyendokkan nasi nya ke mulutnya. Hanya nasi putih, membuat alis Juno bertaut bertanya-tanya apa yang terjadi pada Sasa.
"Lauk nya gak di makan?"
Sasa menggeleng lemah, lalu mendekatkan kotak bekal nya ke depan Juno.
"Kakak mau? Bunda aneh, bumbu kacang gak cocok sama nasi"
Juno melirik kotak bekal itu, lalu mengambil sepotong batagor bumbu kacang dari dalam kotak bekal Sasa dan memakannya bersama nasi putih.
"Gak buruk. Ini enak" ucap Juno kepada Sasa, lalu mengembalikan kotak bekal itu ke depan Sasa. Lalu, menyendokkan makanan nya dari kotak bekal yang Sasa bawa ke dalam mulutnya.
"Iya kah?" tanya Sasa mencoba mencampurkan bumbu kacang dan nasi putih bersama dengan batagor, lalu dimasukkan ke dalam mulutnya. Namun, Sasa tetap lah Sasa yang sulit menerima pembaharuan di tahta permakanannya. Sasa bergidik geli mengunyah makanannya. Di sela-sela mengunyah makanannya, Sasa menghela napas panjang.
"Hidup kita banyak masalah, tapi hari tetap aja cerah. Tega banget" ucap Sasa kembali menyendokkan makanannya ke dalam mulut, walau tubuhnya kembali bergidik geli.
"Kenapa? Ada masalah?"
Juno bertanya membuat Sasa mengangguk kuat dengan mulut yang menggembung penuh dengan makanan.
"Banyak. Mungkin ini yang orang tua bilang ya, kak? Semakin dewasa, semakin ada aja rintangan nya"
Tawa kecil terdengar sekilas keluar dari dalam mulut Juno membuat Sasa refleks menoleh ke arahnya. Laki-laki itu tersenyum, walaupun begitu tipis hingga nyaris tidak terlihat, namun Sasa bisa melihat lesung pipi Juno yang sedikit masuk ke dalam.
"Kakak senyum? Seriusan?"
"Enggak, tuh" ucap Juno kembali memasang wajah datarnya. Lalu, menyendokkan makanan nya kembali ke dalam mulutnya.
Sasa yang melihat reaksi itu tersenyum sumringah. Ya, begitu lah hidup. Saat terjadi sesuatu yang buruk, selalu saja sesuatu yang baik datang setelahnya.
"Rintangan kamu apa?"
"hmm?"
Sasa kembali menoleh ke Juno. Netra nya bertemu dengan netra Juno. Juno menatap mata Sasa lekat, tepat ke bawah mata Sasa yang membengkak. Mata Sasa juga memerah membuat Juno menyadari bahwa Sasa habis menangis.
"Bilang, masalah apa yang jadi rintangan kamu?"
"I-itu, sebenarnya aku ada tugas kelompok. Tapi, aku gak kebagian kelompok jadi ngerjainnya sendirian. Tapi, aku bisa sendiri kok kak, seriusan" jawab Sasa disertai kekehan pelan. Lalu, kembali memakan bekalnya dan menatap ke luar jendela.
"Tugas kelompoknya tentang apa?"
"Reaksi elektrolisis, kak. Tugas praktikum"
"Ada lagi?" Tanya Juno membuat Sasa menggeleng.
"Gak ada, kak. Cuma itu" ucap Sasa meletakkan sendok nya, karena dia sudah selesai makan. Juno yang melihat itu mengambil sebotol air mineral dari dalam tas nya, membukakan tutup botol itu, lalu memberikan nya ke Sasa.
Sasa yang mendapatkan perilakunya itu mematung. Entah mengapa, saat melihat wajah Juno yang memegang sebotol air mineral itu, sesuatu terasa menggelitik perut Sasa. Dan, wajah Juno seperti diberikan filter blink-blink membuat Sasa ingin terus melihat wajah itu.
"Besok kamu ada waktu?"
"Ya?" Sasa tersadar dari lamunannya saat Juno kembali bersuara. Sensasi menggelitik itu hilang, digantikan rasa panas di wajahnya yang membuat Sasa memegang pipinya.
"Kenapa? Kamu demam?"
"E-enggak, kak. T-tadi kakak bilang apa?"
"Coba lihat" ucap Juno memegang kedua tangan Sasa yang menutupi pipinya, lalu melihat ke arah wajah Sasa yang sudah merah, semakin merah seperti tomat. Lalu, Juno memegang kening Sasa, membandingkan suhu tubuhnya dengan dirinya.
"Kamu demam. Kayaknya gak bisa besok"
"Apanya?"
"Ngerjain tugas kamu. Aku bantu, kita kerjain sama-sama"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments