Suara ketukan terdengar dari luar kamar yang ditutup selama hampir dua bulan. Penghuni kamar itu terbatuk, asap rokok dan debu memenuhi kamar yang sudah tidak dibersihkan selama waktu itu pula.
"Juno, mau ngurung diri sampai kapan?" perempuan muda berpakaian rapi berdiri di depan pintu kamar Juno. Kinan berdecak kesal, Juno tidak menyahut lagi saat Kinan bertanya. Kinantya Eryasha itu kakak perempuan Juno dan satu-satunya keluarga Juno yang tersisa.
Kinan sendiri sempat bingung tentang kejadian yang menimpa adiknya. Namun, lama-kelamaan Kinan mulai mengetahui tentang kematian pacarnya Juno. Kinan tidak bisa membayangkan betapa sakitnya jika dirinya menjadi Juno, kehilangan seseorang yang pernah dia taruh rasa sayang yang tidak pernah dia beri pada siapapun. Iya, bahkan pada orang tua yang meninggalkan Juno tepat beberapa bulan yang lalu.
Kinan terus mengetuk pintu kamar Juno, namun tetap sama. Tidak ada jawaban dari orang yang berada di dalam kamar. Ini bulan kedua Juno mengurung diri. Padahal, seharusnya saat ini Juno sibuk mendaftarkan diri untuk masuk sekolah menengah atas.
"No, kakak hari ini ke sekolah kamu, ambil ijazah kamu. Kamu mau tetap ngurung diri di kamar?"
"Kakak gak minta banyak, No. Kalau masih sakit, Juno tenangin diri dulu. Juno mau sendiri? Kakak bisa nginap di rumah teman kakak sampai kamu benar-benar bisa lupain semuanya"
"Kakak juga sakit, No. Tapi, kakak tau lebih sakit di kamu. Jadi, jangan buat kakak nunggu lama-lama ya? Lihat kamu kayak gini kakak rasanya pengen ngadu, tapi kakak juga gak punya tempat pengaduan"
Panjang lebar Kinan berucap, namun tetap tidak ada jawaban dari orang di dalam kamar. Kinan seperti berbicara dengan angin. Kinan berjalan pergi dengan rasa kesal dan sedih yang bercampur aduk. Memikirkan Juno dan pekerjaan membuat Kinan berada di ambang batas kesehatan mental. Sama seperti Juno yang duduk meringkuk sembari menyandar di pintu. Matanya tidak sanggup mengeluarkan air mata bahkan saat rasa sakit yang membuatnya sesak menghancurkan mentalnya.
Sudah dua bulan sejak kepergian Sazza, namun kenangan gadis itu masih sama. Saat Juno terbangun dari tidurnya, yang teringat adalah kenangan saat Sazza mengirimi Juno pesan berantai berisi ucapan semangat pagi. Atau, sambungan telepon yang membuat Juno teringat suara ceria Sazza yang mengucap kata 'Heyyo' sebagai ucapan selamat pagi.
Barang berisi kenangan Sazza juga kini berserakan di atas lantai kamar Juno. Bukan tanpa sengaja, Juno sendiri yang meletakan barang-barang itu di sana sebagai hukuman bagi dirinya sendiri.
Rasa sakit yang paling sakit adalah rasa sakit yang tidak menorehkan luka. Tidak ada luka untuk diobati, dan tidak tahu di mana letak luka yang membuat sakit. Sama seperti yang Juno lakukan kini, menorehkan luka tidak terlihat di hatinya sendiri.
Hari semakin gelap, namun tidak ada yang berbeda dari kamar Juno yang selalu gelap. Juno bangkit, hendak meraih ponselnya di atas meja, namun tidak sengaja menyenggol boneka beruang putih yang dia pajang di meja belajar nya.
Boneka beruang itu bersuara membuat Juno terperanjat, namun suara yang boneka itu keluarkan tidak asing. Juno meraih boneka itu, lalu memencet sebuah tombol tersembunyi di perut boneka beruang putih itu.
Heyyo kak Juno, ini Sazzara Arin. Pacar kak Juno paling cantik! Kak Juno, semangat belajar!
Juno kembali memencet tombol di perut boneka itu.
Heyyo kak Juno, Ini Sazzara Arin. Pacar Kak Juno paling cantik! Kak Juno, semangat belajar!
Juno berkali-kali memencet tombol itu, suara itu juga berkali-kali menggema bersama dengan rintihan tangis Juno yang pecah. Juno menangis sejadi-jadinya, teringat kembali dengan Sazza. Dengan rambut panjang Sazza, dengan kulit putih Sazza, dengan suara ceria Sazza, dengan senyum dan lesung pipi Sazza. Juno rindu semuanya.
Suara rintihan pilu Juno terdengar begitu menyakitkan. Hingga, Kinan yang bersiap untuk tidur terbangun dan berlari menuju ke kamar adiknya. Kinan menggedor pintu panik, namun suara tangis itu sama sekali tidak berhenti. Panggilan Kinan pada Juno sama sekali tidak dijawab.
Kinan berteriak memanggil Juno sembari mencoba mendobrak pintu kamarnya. Sekali, dua kali, tiga kali, dobrakan yang ke empat akhirnya membuka pintu kamar Juno.
Juno duduk meringkuk, memeluk boneka beruang putih itu dengan tubuh kurus yang bergetar. Kinan yang melihat itu spontan memeluk tubuh adiknya erat. Tangannya mengelus punggung Juno yang bergetar hebat, dengan isak tangis yang sudah seperti teriakan sakit itu, Kinan mencoba untuk menenangkan adiknya.
"Gak apa-apa, No. Nangis aja, nangis sepuasnya"
Mendengar itu Juno memeluk tubuh Kinan kuat. Untuk saat ini, Juno ingin mengadu, dan Juno ingin bersandar. Karena, pada saat ini Juno benar-benar hancur lebur.
Maaf, Za. Untuk saat ini, kakak ingin lupa.
•~•~•
...Empat tahun kemudian....
Upacara penyambutan siswa baru SMA Dirgantara dilaksanakan hari ini, seluruh siswa baru dan siswa lama berbaris memenuhi lapangan sekolah.
Tidak terkecuali dengan Erisa Katrina, siswi baru yang kini tengah berbaris sembari menggunakan topi bebek dan nametag sebesar pamflet pinggir jalan. Bukan ingin melucu, namun atribut yang Sasa gunakan saat ini adalah atribut untuk pelonco.
Upacara penyambutan selesai, upacara MPLS pun dimulai. Belum sempat duduk, mereka dipaksa untuk kembali berdiri mendengarkan wejangan dari Ketua OSIS. Sasa mendesah kesal, melirik tajam ke arah laki-laki gendut yang tengah berdiri di depannya.
"Kirain ketos ganteng kayak di novel, ternyata patkai." gumam Sasa pelan, lalu memasang raut wajah masam. Sudah panas, bau tercium keringat pula. Pemandangan yang menyejukkan mata saat ini hanya pemandangan gedung sekolah saja. Padahal, yang ingin sekali Sasa pandang adalah pemandangan karya seni Tuhan dalam wujud kakak kelas ganteng.
Setelah setengah jam mendengar wejangan, akhirnya waktu bermain tiba. Para kakak kelas membagi kelompok siswa baru dan memberikan mereka misi pada masing-masing kelompok. Ada empat misi, meminta tanda tangan guru killer, meminta tanda tangan kakak kelas populer, meminta tanda tangan kakak kelas killer, atau berjoget di depan seluruh siswa MPLS.
Dan, seperti nya keberuntungan masih berada di tangan Sasa. Sasa mendapat option yang ketiga.
Sasa melirik ke kanan dan ke kiri, mencari seseorang yang punya misi yang sama dengannya. Saat Sasa menelusuri lapangan sekolah untuk mencari teman dengan misi yang sama, Sasa malah mendengar sesuatu yang aneh.
"Katanya kakak kelas killer yang disebut benar-benar pembunuh ya?"
"Iya. Tau SMP Dharmawangsa gak? Aku dari SMP itu, dan orang yang disebut kakak kelas killer itu dulu satu kelas sama kakaknya aku. Kejadiannya udah lama sih. Empat tahun yang lalu"
Telinga Sasa tidak lagi mendengarkan orang-orang yang berbisik itu. Jika kejadiannya empat tahun lalu, seharusnya orang yang mereka sebut kakak kelas killer itu sudah tamat sekolah sekarang. Bagi Sasa itu tidak masuk akal. Jadi, Sasa terus mencari teman senasib dengannya, hingga Sasa bertemu dengan Eri, teman SMP nya.
"Eh, Eri. Misi kamu apa?" Tanya Sasa menghampiri Eri yang terduduk lemas di bawah pohon beringin yang rindang. Wajah Eri sudah seperti penunggu pohon beringin saja.
"Minta tanda tangan kakel killer" Eri menjawabnya dengan wajah yang pucat, keringat yang membasahi pelipisnya mendukung wajah lemah lesu Eri. Eri sekarang terlihat seperti mumi yang menunggu untuk diawetkan.
"Yassh! Samaan! Yuk, Er. Kita minta" Sasa menarik tangan Eri. Bukannya berdiri dan mengikuti langkah Sasa, Eri malah membiarkan tubuhnya jatuh ke tanah. Sembari menggeleng-gelengkan kepalanya tidak ingin.
"Gak, Sa. Takut"
"Takut apa? Memangnya kenapa?"
"Kakak kelas itu jahat" ucap Eri dengan tatapan pasrah. Dengan lunglai, Eri berdiri dan membersihkan roknya yang kotor.
"Memang udah takdirnya. Yuk, Sa. Kita joget aja" Eri menarik tangan Sasa menuju ke stand tempat para kakak kelas berdiri menunggu seseorang untuk menyerah.
"Er? Eri, tunggu!" Sasa menarik tangan nya kembali membuat Eri berhenti melangkah dan mereka saling bertatapan. Sasa dengan wajah bersalah menggandeng tangan Eri dan mengajaknya berjalan menjauhi stand.
"Ri, kita coba minta dulu. Lebih baik mati daripada joget"
"Gak, lebih baik joget daripada mati" Eri menyanggah, mencoba melarikan diri. Akan tetapi, Sasa menahan tangannya kencang, berakhir mereka saling tarik-menarik tanpa peduli dengan tatapan kakak kelas dan siswa baru yang melewati mereka.
"Er..kamu suka Ezra kan? Aku punya nomornya loh, nanti aku kirim kalau kamu temenin aku ke kelas kakel ini"
Perkataan Sasa mampu membuat Eri tersihir, tanpa perlawanan Eri mengikuti langkah Sasa menuju ke kelas 12-2. Kelas di mana kakak kelas killer itu berada.
•~•~•
Di depan kelas 12-2, Sasa dan Eri berdiri mematung. Memperhatikan siswa dan siswi yang berada di kelas itu keluar masuk. Kaki Eri bergetar, sedangkan kaki Sasa rasanya tidak bisa melangkah. Eri takut bertemu dengan kakak kelas yang terkenal jahat itu, dan Sasa takut menghadapi tatapan orang-orang yang tidak suka padanya.
"Ri. Masuk yuk? Kita gak mungkin di sini terus kan? Waktu kumpul siswa lima belas menit lagi" Ucap Sasa sembari menggandeng tangan Eri yang gemetaran.
"Sa, aku juga pengen masuk. Tapi, kaki aku gemeteran"
"Ditahan aja, Ri. Yuk?"
Tanpa aba-aba Sasa menarik tangan Eri, mengetuk pintu kelas 12-2 pelan. Lalu, masuk ke dalam kelas.
"P-permisi, kak" Sapa Sasa ke salah satu siswi yang duduk di kursi paling depan. Siswi berkacamata itu melirik Sasa dan Eri lama, lalu menutup novel yang tengah dia baca.
"Iya?"
"A-anu, itu. Kak Juno Elvaro yang mana ya?"
Pertanyaan itu membuat mata gadis yang tengah membaca novel membulat. Gadis itu memandang asal, lalu beranjak membawa novel nya dan pergi keluar dari kelas.
"K-kak!" panggil Sasa pada gadis itu, akan tetapi gadis itu pura-pura tuli dan melangkah pergi begitu saja, membuat Eri melangkah ingin ikut melarikan diri bersamanya.
Namun, Sasa kembali menggagalkan usaha Eri untuk melarikan diri. Sasa mengapit tangan Eri di ketiaknya, lalu kembali menelisik mencari-cari orang yang bisa dia tanyai.
"Gimana mau minta tangan, nanya ke orang yang sekelas sama dia aja pura-pura dongo" keluh Sasa sembari mencari seseorang yang punya tampang bisa ditanya. Sasa menelisik, lalu menarik Eri menghampiri seorang laki-laki yang duduk di kursi paling ujung.
Seorang laki-laki berkulit putih dengan rambut hitam menutupi dahi. Kulitnya yang putih membuat Sasa setengah terperangah, karena pemandangan ciptaan Tuhan ini yang Sasa tunggu sedari tadi. Sasa mengetuk meja laki-laki itu, menyadarkan laki-laki yang tengah mendengarkan musik menggunakan earphone di telinganya.
Laki-laki itu melirik Sasa, namun kembali melihat ke arah luar jendela dengan raut wajah datarnya.
Alis Sasa bertaut, wajahnya yang sumringah berubah merengut, lalu Sasa kembali mengetuk meja laki-laki itu.
"Permisi, kak? Boleh tanya sesuatu gak?"
Dan terjadi lagi, laki-laki itu tidak menggubris Sasa. Ingin rasanya Sasa dobrak meja itu agar laki-laki itu mendengarkannya. Namun, Sasa seperti berbicara dengan patung saja.
"Kak? Kak? Kamu punya telinga gak sih?"
"P-permisi. Adik-adik?"
Seorang laki-laki berkacamata menepuk bahu Eri. Menegur Sasa dan Eri yang tengah berdiri di depan meja laki-laki itu.
Laki-laki berkacamata itu tersenyum kecut, lalu melirik sekilas laki-laki yang duduk di kursi seperti patung dengan tatapan canggung.
"Kalian siswi baru ya? Kenalin saya Asa, ketua kelas 12-2"
"Oh" Sasa dan Eri saling melirik bingung. Lalu, mengangguk sembari tersenyum palsu ke arah Asa.
"A-ada apa ya, kak?" Tanya Sasa pada Asa. Sejujurnya bukan hal yang aneh jika Asa menyapa mereka, namun hal ini terjadi tiba-tiba. Suasana di kelas ini juga berubah dari berisik menjadi hening saat Sasa menghampiri laki-laki itu.
"Maaf, tapi- kalian bisa pergi dari sini gak? Anak kelas ini keganggu"
Sasa dan Eri kembali saling bertatapan, dengan tatapan bingung Sasa mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Benar saja, mereka menjadi pusat perhatian sekarang. Entah apa alasan mereka semua menatap Sasa dan Eri.
Sasa membeku, namun Eri menarik-narik tangannya mengajaknya pergi dari sana. Pada akhirnya, Sasa keluar dari kelas 12-2 bersama Eri dengan rasa kesal sekaligus bingung.
Sedangkan, Asa berdiri mematung di hadapan Juno Elvaro yang berdiri di depannya sembari membuka earphone nya yang sedari tadi menggantung di telinganya.
"Karena mereka udah pergi, t-tugas gue udah selesai kan, No?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
PetrolBomb – Họ sẽ tiễn bạn dưới ngọn lửa.
Jangan-jangan aku udah terjebak obsession sama tokoh di cerita ini😍
2023-08-04
0