Pengakuan tiba-tiba dari Sasa menarik perhatian semua orang yang berada di kantin. Keheningan itu berubah berisik, semuanya berbisik tentang rumor yang kini jadi fakta bagi mereka. Rasa iba mereka kepada Sasa dalam sedetik berubah menjadi kebencian. Fakta Sasa yang tidak tahu malu berpacaran dengan laki-laki yang membunuh pacarnya sendiri membuat mereka marah. Mereka menganggap Sasa sebagai manusia tidak punya hati yang tetap mencintai laki-laki yang membunuh seorang gadis tidak bersalah.
Mereka sendiri tidak sadar, lisan dan anggapan mereka tentang Sasa dan Juno seperti mata pisau yang menusuk mental. Namun, Sasa sudah terbiasa. Dulu, Sasa juga pernah merasakan hal ini.
Juno seakan mengerti situasi, tangan Sasa yang memeluk lengan dan membantunya menjadi penopang untuk berdiri, perlahan dia lepas. Juno menunduk dan melangkah menjauh, namun lagi-lagi Sasa mendekatinya dan menarik tangan Juno untuk kembali dekat dengannya.
"Pergi, menjauh" ucap Juno yang berdiri di sebelah Sasa. Juno tidak ingin Sasa terlibat dengan skandal masa lalu dan dengan dirinya yang disebut sebagai pembunuh oleh semua orang. Namun, Sasa masih kekeuh dalam pilihannya. Cercaan mereka? Sasa tidak peduli. Sama sekali tidak peduli dengan ucapan mereka yang sama sekali tidak berdampak dalam hidupnya.
"Buat apa? Gak apa-apa, aku gak peduli" ucap Sasa melihat ke Juno, menatapnya dengan kening yang berkerut. Mata Sasa berkaca-kaca menahan amarah.
"Memangnya kenapa kalau lo pacarnya? Ini masalah gue sama dia, lo gak usah ikut campur" Fahreza kembali bersuara membuat Sasa menghela napas kesal. Hatinya mengutuk nama Fahreza dengan segala umpatan kebun binatang karena laki-laki ini begitu keras kepala. Berbicara dengan Fahreza seperti berbicara dengan batu.
"Aku udah bilang, kak. Aku pacarnya kak Juno, jadi aku punya hak bela dia di sini"
Netra Sasa yang tajam bersiteru dengan netra Fahreza yang juga sama. Tatapan yang seakan bisa memancarkan api itu tidak terputus. Fahreza yang emosi nya tidak stabil itu melangkah mendekati Sasa, hampir tangannya menarik kerah Sasa, seseorang menginterupsinya membuatnya melangkah mundur kalang kabut.
"Rame-rame gini ngapain ya?" Tanya seseorang yang berdiri di depan pintu masuk kantin dengan teman yang berdiri di sebelahnya.
Heli berjalan masuk mendekati Sasa, menarik mundur adiknya, sedangkan dia berdiri di depan Sasa berhadapan langsung dengan Fahreza yang kicep. Di belakang Heli, laki-laki bertubuh gendut berjalan dan berhenti tepat di sebelah Sasa.
Ketua OSIS?, batin Sasa menatap laki-laki berkulit putih, bertubuh gendut, dan berkaca mata itu berdiri di sebelahnya. Laki-laki itu tersenyum manis ke Sasa membuat Sasa tersenyum canggung dan mengalihkan pandangannya seketika.
"Ternyata wakil ketos, mukanya kenapa bonyok gitu, tos?" Tanya Heli mendekati Fahreza, menjulurkan tangan nya untuk menyentuh luka lembab di wajah Fahreza, namun laki-laki itu menepis tangan nya membuat Heli tersenyum miring.
"Menjauh. Lo mau semua orang tau wujud lo yang sebenarnya?"
"Wujud yang mana? Memangnya aku siluman ular?" ucap Heli yang masih sempat bercanda di situasi seperti ini, memancing kembali emosi Fahreza. Namun, laki-laki itu tidak bisa apa-apa, ketua OSIS ada di sana. Satu ajuan proposal pergantian wakil ketua OSIS, maka Fahreza hancur saat itu juga.
"Ini ada apa, Za?" Ketua OSIS bersuara membuat Fahreza mematung. Kepalanya berpikir keras mencari alasan yang masuk akal untuk menutupi kejahatannya selama ini. Namun, semua bukti ada di depan mata. Wakil ketua OSIS yang seharusnya mendengarkan siswa, malah mendiskriminasi dan melakukan kekerasan pada siswa yang lebih lemah darinya.
"Mereka bertiga mukulin Kak Juno, Kak. Lihat, kemeja Kak Juno kotor karena Kak Fahrez sengaja nabrak dia. Terus ini, terus ini juga, luka ini semua perbuatan mereka" Sasa menarik lengan baju Juno, menunjukkan luka dan kemeja Juno yang kotor pada ketua OSIS. Juno hanya diam, tidak ingin menginterupsi gadis yang kini tengah mengadu dengan suara sungau menahan tangis dan amarahnya.
Untuk pertama kalinya, bibir Juno tertarik lebih tinggi dari biasanya. Sudut bibir yang terluka dan mengeluarkan aroma darah di mulut Juno sama sekali tidak mengalihkan perhatiannya dari gadis itu. Di sisi lain, wajah ramah Heli seketika berubah datar melihat reaksi Juno saat Sasa adiknya membela Juno. Entahlah, bukannya iri, hanya saja Heli tidak suka reaksi itu.
"Ini semua benar, Za? kamu ngelakuin ini semua?"
"I-itu, mana mungkin? Kan, Lo tau sendiri, Mon. Gue gak sejahat itu, gue wakil ketua OSIS, mana mungkin gue ngelakuin itu?"
Baru saja Sasa ingin kembali berucap, Heli menggenggam tangan Sasa. Memberikannya isyarat yang berarti kamu diam dulu, biar Abang yang selesaikan.
"Mon, buktinya udah jelas. Kamu selesaikan semuanya. Kamu ingat apa yang aku bilang tadi kan?"
Mendengar ucapan Heli, Simon mengangguk paham membuat Heli menarik tangan adiknya untuk pergi dari sana. Namun, Sasa menahan tangan Heli dan menggandeng lengan Juno.
"Kamu- ngapain, Sa?"
"Ngapain lagi, Bang? Bantuin!" ucap Sasa setengah marah. Matanya melotot saat Heli tidak kunjung bergerak, mau tidak mau Heli melangkah mendekati Juno dan Sasa, lalu menggandeng sebelah tangan Juno. Membantu laki-laki itu berjalan menuju ke UKS.
Walaupun saat ini, hati Heli membara karena sesuatu.
•~•~•~
Ruangan UKS sudah menjadi tempat yang familiar bagi Sasa. Ini sudah ketiga kalinya Sasa masuk ke ruang UKS di tahun pertama dia bersekolah di SMA Dharmawangsa. Dua kali menjadi korban, dan sekali membawa korban.
Kecanggungan kini menyelimuti mereka berdua di dalam UKS. Hanya ada Sasa dan Juno di dalam ruangan itu, Heli pergi setelah pamit dengan Sasa karena harus kembali ke kelas. Sedangkan, siswi yang biasanya menjaga UKS izin pergi ke kantin untuk makan siang.
"Kamu, gak apa-apa kan?" Tanya Juno memecah keheningan. Sasa yang awalnya menatap rancu, kini menjatuhkan pandangan ke arah Juno. Sasa mengangguk sembari tersenyum simpul sebagai jawaban atas pertanyaan Juno.
"Gak apa-apa, Kak. Gak ada yang luka kok. Sebaliknya, kakak-" kalimat Sasa tertahan, matanya melihat wujud Juno yang awut-awutan dengan telunjuk yang menunjuk ke arah Juno. Juno menunduk, melihat ke arah seragamnya yang kotor dengan tangan, kaki, dan wajah yang penuh plester serta luka lembam.
Miris, Juno terdiam sejenak meratapi kondisinya kini. Namun, sedetik kemudian Juno kembali melihat ke arah Sasa.
"Gak parah. Gak apa-apa"
"Muka luka-luka gitu, gak parah apanya?" Sasa bergumam pelan, namun telinga Juno masih bisa mendengarnya. Mata Juno melihat ke arah Sasa yang menggerak-gerakkan kakinya, mungkin merasa canggung dengan situasi mereka yang saling diam saat ini.
Bayangan Sasa yang terbias di mata jernih milik Juno menghangatkan hati laki-laki itu yang sudah lama mendingin. Untuk pertama kalinya, seseorang membela Juno. Untuk pertama kalinya sepanjang hidup yang sudah Juno tempuh selama ini.
Saat hati yang sudah mati itu mengharapkan kehangatan, bisikan kecil di kepalanya kembali membuat Juno menolak untuk berharap. Bisikan tentang janjinya empat tahun lalu, bahwa dia tidak ingin bahagia dan tidak akan bahagia setelah kepergian Sazza. Itu janji Juno kepada dirinya sendiri, untuk Sazza.
"Jangan lakuin itu lagi"
"Lakuin apa, kak?"
"Jangan, bela aku lagi"
Ucapan Juno seketika merubah raut wajah Sasa menjadi sendu. Dari mata gadis itu terlukis kekecewaan. Sasa terdiam dengan mata yang menyorot Juno dengan tatapan kebingungan. Tiba-tiba sekali? Setelah Sasa melakukan semua ini. Setelah Sasa menghancurkan kehidupan sekolah nya yang damai. Sasa tidak mengharapkan apa-apa, tapi bukannya seharusnya Juno berterima kasih?
"Kamu gak perlu bohong cuma untuk membantu aku. Mulai sekarang, tolong menjauh. Biar aku yang selesaikan masalah yang aku perbuat"
"Masalah apa?" Tanya Sasa dengan nada tidak senang. Sasa bangkit dan turun dari brankarnya.
"Memangnya kakak salah apa? Kakak cuma bantu aku buat izin, walaupun aku gak paham kenapa kakak menggunakan alasan itu, tapi gak peduli. Malah aku berterima kasih. Mereka yang gak tau tentang hidup kakak tapi mereka berkata yang enggak-enggak tentang hidup kakak, mereka yang salah"
"Jadi, kamu tahu tentang hidup aku, makanya kamu nolongin aku?"
Kalimat Juno membuat Sasa mematung. Benar, Sasa tidak tahu apa-apa. Sasa hanya membela Juno mengikuti nalurinya. Naluri kemanusiaan yang muncul setelah melihat laki-laki yang dia kenal dipukuli oleh tiga orang tanpa alasan. Sasa mengambil pilihan itu, tidak peduli pandangan orang lain dengannya. Yang ada dipikiran Sasa saat itu hanya pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya tidak dia pikirkan. Takut Juno terluka, takut jika terjadi sesuatu yang fatal pada Juno.
kayak orang bodoh, lagi Sasa membatin di dalam hati. Mengucap kalimat yang meruntuki diri. Benar, Sasa seperti orang bodoh yang hanya mengikuti nalurinya, tanpa tahu hal ini akan terjadi.
"Iya juga, aku tahu apa tentang hidup kakak?"
Sasa berdecih, tatapannya berubah menjadi tatapan malas. Matanya melirik Juno sinis, lalu kakinya melangkah menuju pintu keluar. Namun, Sasa berhenti di ambang pintu.
"Seharusnya aku gak bantu, kakak. Iya, kan?"
Juno melihat Sasa dengan tatapan datar. Perasaan nya campur aduk saat Sasa mengucap kalimat itu. Prasangka tentang Sasa yang membantu nya hanya karena suatu alasan seakan terealisasi saat itu juga.
ini lah alasannya, kamu seharusnya gak berharap banyak, No.
"Itu yang kakak pikirkan. Tapi, walaupun kejadian kayak tadi terulang lagi, aku tetap bantu kakak. Jadi, kalau kejadian ini terulang kembali dan aku kembali bantu kakak. Tolong, saat itu jangan lupa berterima kasih"
"Dasar, gak tau terima kasih" ucap Sasa pelan dan melanjutkan langkah nya untuk pergi dari sana. Meninggalkan Juno yang mematung dan menunduk dalam. Setetes air mata rasa bersalah jatuh dari sudut matanya dengan cepat Juno hapus. Kehangatan itu sudah menguasai hati Juno, logikanya bungkam. Tidak ada lagi pertengkaran yang membuat Juno kebingungan. Namun, di sisi lain kehangatan itu membuatnya takut, Juno takut tenggelam dalam perasaan itu dan membuatnya kembali mengharapkan kebahagiaan.
Za, kamu lihat. Hangat, tapi kakak takut. Takut gak bisa kembalikan kebaikan itu ke dia, Za. Seperti kakak yang gak bisa mengembalikan kebaikan kamu dan membiarkan kamu tersiksa sendirian.
•~•~•~
Suara gaduh terdengar dari lantai atas membuat Heli bergegas menuju ke kamar adiknya. Benar saja, bunyi itu berasal dari dalam kamar adiknya. Heli menekan handle pintu, lalu menghela napas saat melihat Sasa bertengkar dengan kasurnya.
Sasa menutup wajahnya dengan bantal, meredam agar suara teriakannya tidak sampai ke kamar orang tuanya. Lalu, Sasa memukuli kasur, berguling-guling di atas kasur, dan terdiam. Lalu, melakukan gerakan itu mulai dari awal lagi.
"Mulai lagi kegilaannya" ucap Heli pelan, lalu mengetuk pintu kamar Sasa dan masuk ke dalam kamar adiknya. Heli menarik kursi meja belajar Sasa, lalu menonton kegilaan Sasa hingga gadis itu berhenti dengan sendirinya.
"Kamu kenapa?"
"Aku gila. Aku benar-benar gila" ucap Sasa menjambak rambutnya sendiri, lalu merengek saat mengingat ucapannya tadi. Seharusnya Sasa tidak mengucap kalimat jahat seperti itu, apalagi pada orang yang sudah diperlakukan jahat oleh orang lain. Tidak tahu terima kasih? Jadi, Sasa mengharapkan terima kasih saat menolong laki-laki itu? Sasa merasa seperti orang yang menolong orang lain dengan pamrih sekarang. Walaupun, nyatanya Sasa tidak ingin seperti itu.
"Kenapa? Coba cerita sama Abang"
"Gak tau" ucap Sasa menggeleng, tidak mau dan tidak ingin mau tahu tentang masalah tadi siang. Dia benar-benar ingin melupakan semuanya. Namun, Heli tampaknya tahu apa yang tengah adiknya pikirkan saat ini. Tentu saja, kejadian tadi siang dan laki-laki itu.
"Sa, cowok yang kamu bantu tadi siang namanya siapa? Jun-apa? Ah, iya. Juno Elvaro. Beneran pacar kamu?"
"Gak! Siapa yang bilang?!"
Heli menunjuk ke arah Sasa.
"Kamu, ada buktinya juga" ucap Heli menunjukkan sebuah video yang dia lihat di base sekolah. Heboh, kebenaran di balik hubungan Juno dan adik kelas, terungkap. Kalimat itu tertulis sebagai caption video membuat Sasa berdecih sesaat. Sudah seperti berita gosip artis papan atas saja, pikirnya.
"Iya, tapi sebenarnya bukan. Aku bilang gitu supaya mereka berhenti. Abang tau? Tadi mereka mukulin Kak Juno, Abang lihat sendiri keadaan Kak Juno waktu kita bawa ke UKS. Parah banget. Kak Fahreza itu hewan, bukan manusia!"
"Mulutnya, Sa" peringat Heli kepada Sasa yang berkata kasar. Sasa merengut, menatap kesal Heli saat teringat kejadian tadi siang.
"Jadi, dia baik-baik aja kan?"
Sasa mengangguk, namun raut wajahnya berkata sebaliknya. Sasa terlihat menunduk ke bawah seperti orang yang terlihat merasa bersalah.
"Kenapa lagi?"
"Bang, tadi aku gak sengaja ngomong kasar ke Kak Juno. Terus, Kak Juno kelihatan sedih"
Heli memperhatikan raut wajah Sasa, lalu Heli mengangguk mantap.
"Beneran kayaknya" ucap Heli membuat Sasa melihat ke arahnya dengan raut penuh tanya.
"Beneran apanya?"
"Kamu suka kan sama Juno?"
Bola mata Sasa membulat, lalu dengan cepat Sasa menggeleng kuat.
"Enggak! Abang kenapa-"
"Beneran deh" Heli berdecak, lalu bangkit dari kursi meja belajar Sasa dan pergi keluar.
"Abang, mau ke mana?!"
"Cari pacar!" ucap Heli bersamaan dengan suara ponselnya yang berdering.
"Liat nih, kakak iparmu nelfon" Heli menggoyang-goyangkan ponselnya, menunjukkannya kepada Sasa membuat raut Sasa berubah malas. Sasa merebahkan kembali tubuhnya, malas menanggapi Heli yang kini menjadi Hellboy, alias Heli playboy.
Senyum Heli terlukis sumringah, Heli menggelengkan kepala pelan, lalu berjalan keluar dari kamar Sasa. Saat pintu kamar Sasa tertutup sempurna, senyum Heli perlahan menghilang. Matanya menyorot tajam layar ponselnya, lalu jarinya mengusap layar ponsel menjawab panggilan itu.
"Udah selesai kan urusan Fahreza? Sekarang, cari tau tentang Juno"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments