NovelToon NovelToon

Memory About You

Sazzara Arin

Aku teringat, hari itu saat pertama kali bertemu dengan Sazza. Senin, 24 Juni 2013. Saat musim hujan mendera Kota Bandung. Aku berdiri di halte bus depan sekolah menengah pertamaku, saat itu aku masih duduk di kelas sebelas SMP.

Kakiku berlari menuju ke halte bus dengan tas yang kuangkat ke atas menutupi kepalaku agar tidak basah. Lalu, aku berdiri di halte bus, melihat ke arah hujan yang luar biasa derasnya. Deru hujan dibawa angin membuatku merinding.

Aku menyeka kepalaku yang sedikit basah, lalu menelisik ke arah jalan raya yang dibanjiri air hujan. Kulihat ke depan, banyak sekali orang-orang berlarian menerjang hujan deras hanya karena takut terlambat. Aku juga ingin berlari masuk ke dalam sekolah, namun aku tidak ingin basah.

Suara sepatu yang menginjak air terdengar di telingaku, lalu aku membatin.

Tampaknya seseorang juga tidak ingin basah

Aku melirik sekilas seseorang yang berdiri tidak jauh dariku. Seorang gadis bertubuh kecil, rambutnya panjang, berkulit putih, dan menggunakan tas berwarna kuning kontras.

Aku tidak sempat melihat wajahnya, karena aku harus berlari menuju gerbang yang sedikit lagi ditutup. Sekolah yang benar-benar disiplin, walau hujan badai menerjang saat itu.

Lalu, tepat dua Minggu setelahnya, saat aku ingin bolos kelas mata pelajaran matematika. Aku bertemu dengan gadis yang sama. Apa? Aku tahu darimana kalau itu gadis itu? Tentu saja, dari rambutnya yang panjang dan kulitnya yang putih, serta tas kuning kontras yang dia bawa ke dalam ruang les musik pada saat itu.

"Permisi, kak" Dia menghampiriku, lalu menyerahkan sebuah buku kulit berwarna coklat padaku.

"ini, buku musik kakak. Tadi, mama nya kakak nitip"

Saat dia menyerahkan buku itu, tidak sengaja tanganku menyentuh jemarinya. Lalu, dia menatapku dengan matanya yang jernih. Dan, tersenyum ke arahku.

"Ini pertama kali" ucapnya sambil tersenyum dan menyerahkan buku itu sepenuh nya padaku.

"Aku ketemu orang yang bisa main piano" sambungnya sembari tersenyum manis.

"Lain kali, ajarin aku main piano ya, kak?"

senyum itu benar-benar membuatku mematung, lalu saat dia hendak berbalik aku tersadar.

"Tunggu, na-nama lo, siapa?"

Gadis itu berbalik, lalu menunjuk ke arah nametagnya.

"Sazza...Sazzara Arin"

Sazza, nama yang benar-benar membuat hatiku berantakan. Dan, membuat kepalaku berkali-kali bertanya, mengapa gadis itu menggandeng tas di jam mata pelajaran. Gadis yang benar-benar memenuhi pikiranku saat ini.

•~•~•~•

"Sazza, gue suka sama lo" sama seperti saat pertamakali aku bertemu dengan Sazza. Hujan deras. Saat gadis itu hendak berlari menghindari hujan, dan dia berlari di sebelahku. Kami berlari bersama menuju ke halte bus. Dan, kata itu terungkap bersama angin kencang yang kali ini membuat jantungku berdebar.

Mata jernih itu menatapku dengan wajah bingung, pipi merah karena kedinginan itu bergerak seperti mochi, makanan khas jepang yang rasanya ingin kucubit. Mata Sazza berotasi, melihat kesana-kemari, seperti nya Sazza benar-benar bingung dengan pernyataan tiba-tiba dariku.

"Gak apa-apa, gak usah dijawab juga. Kakak gak nagih kok, kakak cuma bilang aja" aku berucap, mengalihkan pandangan ku ke arah hujan. Lalu, menelisik canggung rintik-rintik hujan itu. Namun, sebuah kecupan mendarat di pipiku membuatku terperanjat.

"Sazza juga" ucap Sazza sembari memegang pipi bulatnya.

Sudut bibirku tidak bisa turun, berapa kalipun aku mencoba untuk menahan senyuman ini, tetap saja dia terlukis. Hatiku rasanya seperti digelitik, dan perutku rasanya dijelajahi ribuan kupu-kupu yang membuatku ingin tertawa sekarang.

12 Maret 2014, Hari Rabu, di halte bus depan sekolah. Setelah, hampir setengah tahun mengenal Sazza. Akhirnya, Sazza yang selalu kucuri pandang padanya. Kini, aku bisa dengan bebas memandangnya.

•~•~•~•~

12 Agustus 2014, Hari Minggu. Sama seperti pasangan lain, hari ini aku merayakan hari jadianku bersama Sazza.

"Mau jalan ke mana, Za? Toko buku, mau?"

Wajah cantik itu merengut, lalu kepalanya menggeleng. Tangan nya menggenggam jari telunjukku. Sazza tidak pernah sepenuhnya ingin menggenggam tanganku.

"Za, kenapa megang tangan kakak kayak gitu?"

Sazza mengangkat tangannya yang menggenggam telunjukku, lalu memegang telunjukku semakin erat.

"Karena Sazza pacar pertamanya Kak Juno, jadi Sazza cuma berhak pegang satu jari aja"

"Terus, nanti kalau kakak punya pacar kedua, ketiga? Harus megang dua jari, tiga jari gitu?"

Sazza tertawa kecil, lalu menggeleng menyanggah.

"Bukan, maksudnya Sazza gak boleh egois. Kata orang, cinta pertama itu gak pernah berhasil. Jadi, Sazza cuma jaga-jaga aja. Kalau Sazza gak berakhir sama Kak Juno, Sazza bisa dengan mudah melepas Kak Juno. Karena, Sazza cuma pegang satu jari aja"

Perkataan itu membuat langkahku berhenti. Aku melepas tangan Sazza yang memegang jari telunjukku, lalu aku menautkan tanganku di seluruh jarinya.

"Kalau kamu pikir buat melepas aku semudah itu. Ya, udah. Aku yang genggam erat kamu. Jadi, kamu gak bisa pergi ke mana-mana. Za, gak apa-apa kalau kamu mudah melepas kakak, tapi kakak gak bakalan mudah melepas kamu"

Sazza menatapku dalam. Bulir-bulir air mata terlihat di pelupuk matanya. Lalu, dengan cepat dia melepaskan tangannya dari tanganku dan menyeka air matanya.

"Za, kamu terharu?" Aku bertanya pada Sazza yang dengan cepat merubah raut wajahnya menjadi tersenyum. Lalu, Sazza menggeleng kuat dan menggandeng tanganku.

"Kak Juno, gimana kalau kita ke kedai ice cream aja?"

"Lagi pengen makan ice cream?"

Sazza mengangguk, lalu menarik tubuhku untuk melangkah menuju ke kedai ice cream tempat langganan Sazza.

"Sazza pengen ice cream vanilla"

•~•~•

12 Desember 2015, tepat di kedai ice cream yang sama aku duduk bersama orang yang sama. Sazzara Arin duduk di depanku dengan wajah yang tampak lebih pucat dari biasanya.

Sembari melahap ice cream vanilla yang biasa dia pesan, Sazza menunduk dalam tanpa berkata sepatah kata. Sudah lebih dua Minggu Sazza tidak pernah mengirim kabar padaku dan akhirnya kami bertemu di kedai ice cream yang kami kunjungi beberapa bulan yang lalu.

"Za, kemana aja?" Tanyaku pada Sazza yang tampak tidak fokus. Sazza berdeham sembari menatapku, lalu kembali menatap ice cream vanillanya tanpa menjawab pertanyaan dariku.

"Za, kakak tanya kamu dari mana aja?"

"Gak dari mana-mana, tuh" jawab Sazza acuh tak acuh membuatku merasa kesal. Lalu, aku mencoba untuk meraih tangan Sazza. Hanya ingin menggenggam sebentar tangan orang yang aku rindukan. Namun, Sazza dengan cepat menyembunyikan tangannya.

"Za? kenapa?"

"Kak, kita putus aja ya?"

Perkataan itu membuat jantungku tiba-tiba bergerak cepat, tubuhku lemas. Dan, waktuku serasa berhenti pada saat itu.

"Putus? Za, bisa kasih tau kakak alasan kamu minta putus?"

"Sazza bosen" ucap Sazza tanpa menatap mataku. Tentu saja aku marah, aku menghela napas berat. Aku diam, mencoba untuk meredam semua emosiku agar tidak meledak di depan Sazza.

"Sazza, kakak lagi gak mau main-main sekarang. Jam segini kakak udah seharusnya masuk bimbingan, tapi kakak sediain waktu buat ketemu sama kamu. Jadi, jangan buat kakak kecewa"

"Sazza, udah capek" berbeda seperti saat Sazza berkata sembari menunduk, kini Sazza menatap mataku dengan pipi yang sudah basah. Wajah Sazza memang terlihat lelah, aku akui saat mataku melihat ke arah wajahnya yang sembab dengan kantung mata panda yang terlihat jelas.

"Za" Panggilku hendak mendekati Sazza, namun aku urungkan langkahku saat Sazza terlihat bangkit ketika melihatku hendak bangkit.

"Sazza, duduk. Kita harus bicara tentang kamu"

Sazza menangis, untuk pertama kali nya Sazza menangis di hadapanku. Sazza menggeleng kuat, lalu mengambil tasnya dari atas meja dan memasukkan ponselnya ke dalam tas.

"Kak, udah ya? Sazza mau pulang. Sazza capek"

Lalu, Sazza berlari sekencang mungkin keluar dari kedai ice cream itu. Tanpa menjelaskan sepatah kata tentang apa yang terjadi padanya.

Dan, aku hanya duduk diam sembari menatap punggungnya yang menjauh dengan jantung yang terasa diremas kuat.

Gue sakit hati, tapi Sazza butuh waktu, batinku saat itu, lalu menggandeng tasku menuju ke sekolah untuk mengikuti bimbingan akhir sekolah.

•~•~•

Sudah berbulan-bulan, tidak ada kabar dari Sazza. Hari-hariku di sekolah terasa begitu hambar, kerinduanku pada Sazza sudah sampai tahap halusinasi.

Saat melihat bungkus kue keju yang biasa kubeli untuk Sazza, aku terbayang wajahnya saat menerima kue keju itu. Dan, saat aku melewati halte bus, aku kembali teringat saat pertama kali bertemu Sazza. Kenangan bersama Sazza tampaknya sudah terlalu dalam tertanam di memoriku. Bahkan, saat aku melihat gadis berambut panjang, berkulit putih dan bertas kuning kontras, aku berlari mengejarnya dan berpikir itu adalah Sazza. Ternyata salah, aku ditipu diriku sendiri.

Bel berbunyi, kelas hari ini adalah kelas akhir sebelum aku menjalani ujian akhir sekolah. Hari itu berjalan seperti biasa, kertas bau tinta menjadi temanku, suara berisik terakhir di sekolah ini dan di kelas ini, akhir dari kehidupan sekolah menengah pertamaku.

"Mana! Mana anak itu! Anak bajingan penyebab anak saya mati!"

Suara teriakan seorang wanita membuyarkan fokus seluruh kelas. Tubuhku tersentak, lalu semua orang berlari melihat ke arah jendela. Suara itu terasa semakin dekat dengan kelas kami.

Sumber dari suara itu mendekat. Seorang wanita paru baya mengamuk memasuki kelas kami, lalu berhenti tidak jauh dari tempat aku duduk.

Wajah wanita itu terlihat begitu berantakan, matanya sembab, rambutnya diikat acak-acakan, hanya baju dan tas branded yang menjadi identitas bahwa dia orang yang berada.

"Kamu" wanita itu menunjuk ke arahku, lalu mendekatiku, memukul keras mejaku membuat semua orang tersentak kaget. Sama denganku yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

"Kamu Juno Elvaro, anak laki-laki bau kencur yang buat anak saya mati!"

Alisku berkerut, aku tidak mengerti sama sekali maksud dari wanita ini. Hingga, wanita itu menyebut nama seseorang yang selama ini aku rindukan.

"kamu bocah yang goda anak saya, Sazza. Kamu bikin Sazza mati! Gara-gara kamu, Sazza mati!"

"S-sebenarnya apa maksud ibu? S-Sazza, kenapa?"

"Hari itu Sazza seharusnya gak boleh pergi, tapi dia kekeuh buat pergi nemuin kamu! Harusnya hari itu kamu bersama Sazza, tapi kamu biarkan Sazza pergi sendiri! Sazza meninggal karena kamu! Harusnya ada waktu buat selamatin Sazza, harusnya ada kamu di samping Sazza yang bisa nolongin dia!"

Tubuhku rasanya mati rasa, seperti jiwa yang selama ini menetap di tubuhku kabur entah kemana. Napas yang berhembus normal ini, rasanya sulit untuk mengaturnya. Sesak seperti paru-paruku di paksa untuk tidak bergerak. Pasokan oksigen sama sekali tidak membantuku untuk bernapas.

Air mataku sudah seperti air terjun. Bayangan tentang saat aku membiarkan Sazza pergi hari itu membuatku semakin hancur. Punggung Sazza yang menjauh hari itu ternyata saat terakhir aku melihat sosok Sazza.

"Enggak, Tante bohong kan! Gak mungkin Sazza pergi! Dia belum pamit ke saya!"

"Juno. Tenang, nak" Pak Zami, wali kelasku menarik lenganku sebelum aku meraih wanita yang merupakan Mama Sazza.

"Sazza udah pergi! Kenyataan itu gak akan berubah!" Isakan tangis Mama Sazza terdengar menggema di seluruh ruangan. Pekikan sakit atas kehilangan begitu mengiris hati. Orang-orang yang memperhatikan kami hari itu memasang raut iba.

"Ma, udah. Ayo pergi" seorang laki-laki berseragam SMA menarik wanita itu pergi, walaupun langkahnya setengah gontai, wanita itu akhirnya benar-benar meninggalkan kelasku.

Dalam keheningan yang berisik itu, tubuhku luruh ke lantai. Pandangan orang lain yang tidak bisa diartikan itu terasa mencekam. Seperti menagih sebuah klarifikasi dariku.

Namun, ada yang lebih mencekam. Kenyataan tentang Sazza yang sudah pergi dari dunia ini. Kenyataan tentang diriku yang tidak pernah lagi bertemu dengan cantikku Sazza. Kenyataan tentang kenangan yang aku habiskan bersama Sazza tidak pernah terulang kembali.

Sazza, kakak janji. Kakak gak akan pernah bahagia. Sama seperti kamu melepas tangan kakak dan kakak yang kembali menggenggam tanganmu. Seperti saat kakak berkata tidak akan pernah merelakan kamu, walaupun kamu merelakan kakak. Sazza, gadis cantik yang selama setahun ini menghiasi hidupnya kakak. Jangan pernah maafkan kakak yang membiarkan kamu pergi. Karena kakak gak akan merelakan kamu pergi dari ingatan kakak.

Hari itu, 28 Desember 2015. Akhir tahun yang ditutup dengan berakhirnya kebahagiaanku bersama dengan hidup Sazzara Arin. Leukimia yang merenggut Sazza dan kebodohan yang merenggut Sazza dariku. Hidupku, sudah berakhir pada hari itu.

Setahun penuh kesedihan

Suara ketukan terdengar dari luar kamar yang ditutup selama hampir dua bulan. Penghuni kamar itu terbatuk, asap rokok dan debu memenuhi kamar yang sudah tidak dibersihkan selama waktu itu pula.

"Juno, mau ngurung diri sampai kapan?" perempuan muda berpakaian rapi berdiri di depan pintu kamar Juno. Kinan berdecak kesal, Juno tidak menyahut lagi saat Kinan bertanya. Kinantya Eryasha itu kakak perempuan Juno dan satu-satunya keluarga Juno yang tersisa.

Kinan sendiri sempat bingung tentang kejadian yang menimpa adiknya. Namun, lama-kelamaan Kinan mulai mengetahui tentang kematian pacarnya Juno. Kinan tidak bisa membayangkan betapa sakitnya jika dirinya menjadi Juno, kehilangan seseorang yang pernah dia taruh rasa sayang yang tidak pernah dia beri pada siapapun. Iya, bahkan pada orang tua yang meninggalkan Juno tepat beberapa bulan yang lalu.

Kinan terus mengetuk pintu kamar Juno, namun tetap sama. Tidak ada jawaban dari orang yang berada di dalam kamar. Ini bulan kedua Juno mengurung diri. Padahal, seharusnya saat ini Juno sibuk mendaftarkan diri untuk masuk sekolah menengah atas.

"No, kakak hari ini ke sekolah kamu, ambil ijazah kamu. Kamu mau tetap ngurung diri di kamar?"

"Kakak gak minta banyak, No. Kalau masih sakit, Juno tenangin diri dulu. Juno mau sendiri? Kakak bisa nginap di rumah teman kakak sampai kamu benar-benar bisa lupain semuanya"

"Kakak juga sakit, No. Tapi, kakak tau lebih sakit di kamu. Jadi, jangan buat kakak nunggu lama-lama ya? Lihat kamu kayak gini kakak rasanya pengen ngadu, tapi kakak juga gak punya tempat pengaduan"

Panjang lebar Kinan berucap, namun tetap tidak ada jawaban dari orang di dalam kamar. Kinan seperti berbicara dengan angin. Kinan berjalan pergi dengan rasa kesal dan sedih yang bercampur aduk. Memikirkan Juno dan pekerjaan membuat Kinan berada di ambang batas kesehatan mental. Sama seperti Juno yang duduk meringkuk sembari menyandar di pintu. Matanya tidak sanggup mengeluarkan air mata bahkan saat rasa sakit yang membuatnya sesak menghancurkan mentalnya.

Sudah dua bulan sejak kepergian Sazza, namun kenangan gadis itu masih sama. Saat Juno terbangun dari tidurnya, yang teringat adalah kenangan saat Sazza mengirimi Juno pesan berantai berisi ucapan semangat pagi. Atau, sambungan telepon yang membuat Juno teringat suara ceria Sazza yang mengucap kata 'Heyyo' sebagai ucapan selamat pagi.

Barang berisi kenangan Sazza juga kini berserakan di atas lantai kamar Juno. Bukan tanpa sengaja, Juno sendiri yang meletakan barang-barang itu di sana sebagai hukuman bagi dirinya sendiri.

Rasa sakit yang paling sakit adalah rasa sakit yang tidak menorehkan luka. Tidak ada luka untuk diobati, dan tidak tahu di mana letak luka yang membuat sakit. Sama seperti yang Juno lakukan kini, menorehkan luka tidak terlihat di hatinya sendiri.

Hari semakin gelap, namun tidak ada yang berbeda dari kamar Juno yang selalu gelap. Juno bangkit, hendak meraih ponselnya di atas meja, namun tidak sengaja menyenggol boneka beruang putih yang dia pajang di meja belajar nya.

Boneka beruang itu bersuara membuat Juno terperanjat, namun suara yang boneka itu keluarkan tidak asing. Juno meraih boneka itu, lalu memencet sebuah tombol tersembunyi di perut boneka beruang putih itu.

Heyyo kak Juno, ini Sazzara Arin. Pacar kak Juno paling cantik! Kak Juno, semangat belajar!

Juno kembali memencet tombol di perut boneka itu.

Heyyo kak Juno, Ini Sazzara Arin. Pacar Kak Juno paling cantik! Kak Juno, semangat belajar!

Juno berkali-kali memencet tombol itu, suara itu juga berkali-kali menggema bersama dengan rintihan tangis Juno yang pecah. Juno menangis sejadi-jadinya, teringat kembali dengan Sazza. Dengan rambut panjang Sazza, dengan kulit putih Sazza, dengan suara ceria Sazza, dengan senyum dan lesung pipi Sazza. Juno rindu semuanya.

Suara rintihan pilu Juno terdengar begitu menyakitkan. Hingga, Kinan yang bersiap untuk tidur terbangun dan berlari menuju ke kamar adiknya. Kinan menggedor pintu panik, namun suara tangis itu sama sekali tidak berhenti. Panggilan Kinan pada Juno sama sekali tidak dijawab.

Kinan berteriak memanggil Juno sembari mencoba mendobrak pintu kamarnya. Sekali, dua kali, tiga kali, dobrakan yang ke empat akhirnya membuka pintu kamar Juno.

Juno duduk meringkuk, memeluk boneka beruang putih itu dengan tubuh kurus yang bergetar. Kinan yang melihat itu spontan memeluk tubuh adiknya erat. Tangannya mengelus punggung Juno yang bergetar hebat, dengan isak tangis yang sudah seperti teriakan sakit itu, Kinan mencoba untuk menenangkan adiknya.

"Gak apa-apa, No. Nangis aja, nangis sepuasnya"

Mendengar itu Juno memeluk tubuh Kinan kuat. Untuk saat ini, Juno ingin mengadu, dan Juno ingin bersandar. Karena, pada saat ini Juno benar-benar hancur lebur.

Maaf, Za. Untuk saat ini, kakak ingin lupa.

•~•~•

...Empat tahun kemudian....

Upacara penyambutan siswa baru SMA Dirgantara dilaksanakan hari ini, seluruh siswa baru dan siswa lama berbaris memenuhi lapangan sekolah.

Tidak terkecuali dengan Erisa Katrina, siswi baru yang kini tengah berbaris sembari menggunakan topi bebek dan nametag sebesar pamflet pinggir jalan. Bukan ingin melucu, namun atribut yang Sasa gunakan saat ini adalah atribut untuk pelonco.

Upacara penyambutan selesai, upacara MPLS pun dimulai. Belum sempat duduk, mereka dipaksa untuk kembali berdiri mendengarkan wejangan dari Ketua OSIS. Sasa mendesah kesal, melirik tajam ke arah laki-laki gendut yang tengah berdiri di depannya.

"Kirain ketos ganteng kayak di novel, ternyata patkai." gumam Sasa pelan, lalu memasang raut wajah masam. Sudah panas, bau tercium keringat pula. Pemandangan yang menyejukkan mata saat ini hanya pemandangan gedung sekolah saja. Padahal, yang ingin sekali Sasa pandang adalah pemandangan karya seni Tuhan dalam wujud kakak kelas ganteng.

Setelah setengah jam mendengar wejangan, akhirnya waktu bermain tiba. Para kakak kelas membagi kelompok siswa baru dan memberikan mereka misi pada masing-masing kelompok. Ada empat misi, meminta tanda tangan guru killer, meminta tanda tangan kakak kelas populer, meminta tanda tangan kakak kelas killer, atau berjoget di depan seluruh siswa MPLS.

Dan, seperti nya keberuntungan masih berada di tangan Sasa. Sasa mendapat option yang ketiga.

Sasa melirik ke kanan dan ke kiri, mencari seseorang yang punya misi yang sama dengannya. Saat Sasa menelusuri lapangan sekolah untuk mencari teman dengan misi yang sama, Sasa malah mendengar sesuatu yang aneh.

"Katanya kakak kelas killer yang disebut benar-benar pembunuh ya?"

"Iya. Tau SMP Dharmawangsa gak? Aku dari SMP itu, dan orang yang disebut kakak kelas killer itu dulu satu kelas sama kakaknya aku. Kejadiannya udah lama sih. Empat tahun yang lalu"

Telinga Sasa tidak lagi mendengarkan orang-orang yang berbisik itu. Jika kejadiannya empat tahun lalu, seharusnya orang yang mereka sebut kakak kelas killer itu sudah tamat sekolah sekarang. Bagi Sasa itu tidak masuk akal. Jadi, Sasa terus mencari teman senasib dengannya, hingga Sasa bertemu dengan Eri, teman SMP nya.

"Eh, Eri. Misi kamu apa?" Tanya Sasa menghampiri Eri yang terduduk lemas di bawah pohon beringin yang rindang. Wajah Eri sudah seperti penunggu pohon beringin saja.

"Minta tanda tangan kakel killer" Eri menjawabnya dengan wajah yang pucat, keringat yang membasahi pelipisnya mendukung wajah lemah lesu Eri. Eri sekarang terlihat seperti mumi yang menunggu untuk diawetkan.

"Yassh! Samaan! Yuk, Er. Kita minta" Sasa menarik tangan Eri. Bukannya berdiri dan mengikuti langkah Sasa, Eri malah membiarkan tubuhnya jatuh ke tanah. Sembari menggeleng-gelengkan kepalanya tidak ingin.

"Gak, Sa. Takut"

"Takut apa? Memangnya kenapa?"

"Kakak kelas itu jahat" ucap Eri dengan tatapan pasrah. Dengan lunglai, Eri berdiri dan membersihkan roknya yang kotor.

"Memang udah takdirnya. Yuk, Sa. Kita joget aja" Eri menarik tangan Sasa menuju ke stand tempat para kakak kelas berdiri menunggu seseorang untuk menyerah.

"Er? Eri, tunggu!" Sasa menarik tangan nya kembali membuat Eri berhenti melangkah dan mereka saling bertatapan. Sasa dengan wajah bersalah menggandeng tangan Eri dan mengajaknya berjalan menjauhi stand.

"Ri, kita coba minta dulu. Lebih baik mati daripada joget"

"Gak, lebih baik joget daripada mati" Eri menyanggah, mencoba melarikan diri. Akan tetapi, Sasa menahan tangannya kencang, berakhir mereka saling tarik-menarik tanpa peduli dengan tatapan kakak kelas dan siswa baru yang melewati mereka.

"Er..kamu suka Ezra kan? Aku punya nomornya loh, nanti aku kirim kalau kamu temenin aku ke kelas kakel ini"

Perkataan Sasa mampu membuat Eri tersihir, tanpa perlawanan Eri mengikuti langkah Sasa menuju ke kelas 12-2. Kelas di mana kakak kelas killer itu berada.

•~•~•

Di depan kelas 12-2, Sasa dan Eri berdiri mematung. Memperhatikan siswa dan siswi yang berada di kelas itu keluar masuk. Kaki Eri bergetar, sedangkan kaki Sasa rasanya tidak bisa melangkah. Eri takut bertemu dengan kakak kelas yang terkenal jahat itu, dan Sasa takut menghadapi tatapan orang-orang yang tidak suka padanya.

"Ri. Masuk yuk? Kita gak mungkin di sini terus kan? Waktu kumpul siswa lima belas menit lagi" Ucap Sasa sembari menggandeng tangan Eri yang gemetaran.

"Sa, aku juga pengen masuk. Tapi, kaki aku gemeteran"

"Ditahan aja, Ri. Yuk?"

Tanpa aba-aba Sasa menarik tangan Eri, mengetuk pintu kelas 12-2 pelan. Lalu, masuk ke dalam kelas.

"P-permisi, kak" Sapa Sasa ke salah satu siswi yang duduk di kursi paling depan. Siswi berkacamata itu melirik Sasa dan Eri lama, lalu menutup novel yang tengah dia baca.

"Iya?"

"A-anu, itu. Kak Juno Elvaro yang mana ya?"

Pertanyaan itu membuat mata gadis yang tengah membaca novel membulat. Gadis itu memandang asal, lalu beranjak membawa novel nya dan pergi keluar dari kelas.

"K-kak!" panggil Sasa pada gadis itu, akan tetapi gadis itu pura-pura tuli dan melangkah pergi begitu saja, membuat Eri melangkah ingin ikut melarikan diri bersamanya.

Namun, Sasa kembali menggagalkan usaha Eri untuk melarikan diri. Sasa mengapit tangan Eri di ketiaknya, lalu kembali menelisik mencari-cari orang yang bisa dia tanyai.

"Gimana mau minta tangan, nanya ke orang yang sekelas sama dia aja pura-pura dongo" keluh Sasa sembari mencari seseorang yang punya tampang bisa ditanya. Sasa menelisik, lalu menarik Eri menghampiri seorang laki-laki yang duduk di kursi paling ujung.

Seorang laki-laki berkulit putih dengan rambut hitam menutupi dahi. Kulitnya yang putih membuat Sasa setengah terperangah, karena pemandangan ciptaan Tuhan ini yang Sasa tunggu sedari tadi. Sasa mengetuk meja laki-laki itu, menyadarkan laki-laki yang tengah mendengarkan musik menggunakan earphone di telinganya.

Laki-laki itu melirik Sasa, namun kembali melihat ke arah luar jendela dengan raut wajah datarnya.

Alis Sasa bertaut, wajahnya yang sumringah berubah merengut, lalu Sasa kembali mengetuk meja laki-laki itu.

"Permisi, kak? Boleh tanya sesuatu gak?"

Dan terjadi lagi, laki-laki itu tidak menggubris Sasa. Ingin rasanya Sasa dobrak meja itu agar laki-laki itu mendengarkannya. Namun, Sasa seperti berbicara dengan patung saja.

"Kak? Kak? Kamu punya telinga gak sih?"

"P-permisi. Adik-adik?"

Seorang laki-laki berkacamata menepuk bahu Eri. Menegur Sasa dan Eri yang tengah berdiri di depan meja laki-laki itu.

Laki-laki berkacamata itu tersenyum kecut, lalu melirik sekilas laki-laki yang duduk di kursi seperti patung dengan tatapan canggung.

"Kalian siswi baru ya? Kenalin saya Asa, ketua kelas 12-2"

"Oh" Sasa dan Eri saling melirik bingung. Lalu, mengangguk sembari tersenyum palsu ke arah Asa.

"A-ada apa ya, kak?" Tanya Sasa pada Asa. Sejujurnya bukan hal yang aneh jika Asa menyapa mereka, namun hal ini terjadi tiba-tiba. Suasana di kelas ini juga berubah dari berisik menjadi hening saat Sasa menghampiri laki-laki itu.

"Maaf, tapi- kalian bisa pergi dari sini gak? Anak kelas ini keganggu"

Sasa dan Eri kembali saling bertatapan, dengan tatapan bingung Sasa mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Benar saja, mereka menjadi pusat perhatian sekarang. Entah apa alasan mereka semua menatap Sasa dan Eri.

Sasa membeku, namun Eri menarik-narik tangannya mengajaknya pergi dari sana. Pada akhirnya, Sasa keluar dari kelas 12-2 bersama Eri dengan rasa kesal sekaligus bingung.

Sedangkan, Asa berdiri mematung di hadapan Juno Elvaro yang berdiri di depannya sembari membuka earphone nya yang sedari tadi menggantung di telinganya.

"Karena mereka udah pergi, t-tugas gue udah selesai kan, No?"

Tidak Ramah, Bintang Satu

"Apa?!"

Eri tersentak kala Sasa berteriak. Eri menatap sekeliling sembari tersenyum canggung, sedangkan Sasa berdiri di depannya sembari berkacak pinggang.

"Jadi, cowok yang kita tanyain tadi itu Kak Juno? Terus, kamu kenapa diam aja?!"

"Sa, tenang! Duduk dulu, malu" ucap Eri menarik lengan Sasa untuk kembali duduk. Sasa mendengus kesal, lalu duduk dengan wajah setengah marahnya. Napas nya naik-turun, seperti nya tidak terima dengan perlakuan siswa 12-2 dan Eri yang tahu semuanya, namun diam saja.

"Maaf, Sa. Aku baru tau tadi pagi, waktu temen aku gak sengaja nyenggol Kak Juno sampai jatuh. Tapi, Kak Juno bukannya nolongin malah natap tajam gak seneng. Makanya, pas dapat misi tadi aku takut"

Sasa terdiam, tidak habis pikir dengan Eri. Karena Eri yang tidak memberitahu Sasa kalau laki-laki yang mereka tanyai di kelas 12-2 itu adalah Juno Elvaro, mereka harus diusir dan jadi pusat perhatian kelas 12-2, dan harus berjoget di atas podium seperti orang bodoh. Kejadian memalukan yang seharusnya hanya sekali Sasa terima menjadi dua kali lipat.

Akan tetapi, tidak ada yang bisa diubah. Kejadian itu sudah terjadi, dan nasi sudah menjadi bubur. Sasa beranjak pergi, meninggalkan Eri duduk sendirian di bawah pohon beringin.

Maaf, maaf. Sana kamu jadi Kunti, batin Sasa dengan wajah kesal saat meninggalkan Eri. Eri yang melihat Sasa pergi langsung aja beranjak mengikuti langkah Sasa dari belakang.

"Sa, tunggu! Mau ke mana?" Tanya Eri menghampiri Sasa dan menyamakan langkahnya. Tanpa berpaling, Sasa menjawab Eri.

"Mau ke kantin"

"Ikut ya? Aku traktir"

Mendengar tawaran Eri, langkah Sasa terhenti. Lalu, Sasa menoleh ke Eri, menatap Eri sedikit menunduk karena tubuh Eri lebih pendek dari Sasa.

"kamu, licik juga ya?" ucap Sasa menunjuk ke arah Eri, lalu Sasa meletakkan lengannya di leher Eri.

"Susu fullcream sama roti keju dua ya?"

Ucapan Sasa berhasil membuat Eri tertawa pelan.

Kukira suhu, ternyata suap, batin Eri melepas tangan Sasa dari lehernya dan berjalan lebih dulu di depan Sasa.

"Boleh, tapi pesenin ya, Sa!"

"Sip!"

•~•~•~•

Setelah menelusuri sekolah selama hampir tiga puluh menit, Sasa dan Eri akhirnya menemukan kantin yang mereka cari-cari. Kantin paling sudut di lantai dua yang kini mereka masuki. Bukan tanpa alasan, mencari kantin di sekolah swasta yang terkenal dengan fasilitasnya yang luar biasa ini memang agak sulit, karena luasnya area sekolah yang harus mereka telusuri. Apalagi, ini hari pertama mereka masuk sekolah.

Saat Sasa dan Eri menginjakkan kakinya ke dalam kantin, tiba-tiba saja kantin itu berubah sunyi. Sasa dan Eri kembali saling mencuri pandang dengan tubuh yang berdiri mematung. Di dalam hati mereka kembali bertanya-tanya.

Kali ini salah apa lagi?

"Sa, balik yuk?"

Jangan ditebak, karena jawabannya sudah jelas. Itu Eri yang mengajak. Perang belum dimulai, Eri sudah mengibarkan bendera putih.

Berbeda dengan Eri, Sasa tipe orang yang jika belum menunjukkan taringnya, dia tidak akan pulang. Sasa tersenyum manis kepada semua orang, lalu menarik lengan Eri.

"Ri, tau gak? Mereka diam karena kita terlalu cantik. Udah yuk, kamu duduk di situ" Ucap Sasa menunjuk ke salah satu meja di kantin sembari melepas tangan Eri. Baru saja kaki Sasa ingin melangkah untuk memesan makanan, tapi Eri malah menarik tangannya. Tidak ingin sendirian di tengah keramaian yang sunyi ini.

"Sa, ikut"

"Ini bukan film horor, Ri. Mereka gak makan orang"

"Makan mental, Sa" jawab Eri memeluk tangan Sasa kuat, namun kekuatan Sasa dua kali lipat dari kekuatan Eri yang tubuhnya lebih mungil. Sasa melepas tangan Eri, mendorong tubuh Eri ke meja kantin itu, lalu berjalan cepat ke tempat memesan makanan.

"Mbak, pesen pisang coklat satu sama pocari ya? Terus, satu susu fullcream dan roti keju"

"Susu fullcream dan roti keju, satu"

Seseorang di sebelah Sasa berucap menarik fokusnya tiba-tiba. Laki-laki yang dia lihat di kelas 12-2. Juno Elvaro kini menatap Sasa dengan tatapan datarnya, sedangkan Sasa menatapnya dengan keningnya yang bertaut.

"Maaf, tapi roti kejunya tinggal satu?" Perempuan muda pemilik kedai di kantin itu berucap membuat Sasa memalingkan wajahnya cepat menatap perempuan itu.

"Untuk saya aja, mbak"

"Kata siapa?" suara lembut tapi berat milik Juno membuat Sasa menoleh ke arahnya. Sasa menatap bagian samping wajah Juno karena kini Juno sedangkan melihat ke arah perempuan pemilik kantin, sembari merogoh saku jaket yang tengah dia kenakan.

"Permisi, kak. Kan, saya yang duluan pesan?"

"25 ribu" Juno meletakan lembaran uang hijau dan kuning di atas meja pesanan, lalu mengambil susu fullcream dan roti keju yang tersisa dan pergi dari sana tanpa berucap apapun pada Sasa. Tidak ada kata maaf atau ucapan terima kasih.

"Kak? Kak? Loh?" Sasa mengikuti langkah Juno, lalu menepuk bahunya, namun laki-laki itu tidak berbalik atau setidaknya menghentikan langkah. Sampai Sasa mempercepat langkah dan berdiri di hadapan Juno. Menghadang Juno untuk melewatinya, walaupun Juno berusaha untuk pergi dengan mengambil langkah ke kanan dan ke kiri. Sasa tetap saja menghalangi Juno.

"Minggir"

"Balikin roti kejunya dulu" pinta Sasa mengadahkan tangannya kanan nya, meminta pada Juno untuk mengembalikan roti keju yang seharusnya menjadi miliknya.

"Gak ada"

"Saya gak buta, kak" ucap Sasa menunjuk ke arah plastik kresek yang Juno tingting. Juno melirik plastik kresek nya, lalu kembali menatap Sasa.

"Minta"

Juno menatap lama tangan Sasa yang terulur, lalu merogoh saku jaketnya dan mengambil selembar uang lima puluh ribu dari dalam sana dan diletakkan di telapak tangan Sasa. Sasa yang melihat itu tentu saja terperanjat kaget, dia hanya ingin roti kejunya kembali. Bukan meminta uang kepada Juno yang membuatnya seperti tukang malak.

"G-gak, b-bukan" Sasa tergagap, apa yang Juno lakukan saat ini di luar ekspektasi Sasa yang hanya minta roti keju.

Uang itu jatuh dari tangan Sasa saat gadis itu tersentak. Sasa mengedarkan pandangannya, orang-orang tampaknya sedang menonton. Sasa tersenyum palsu, lalu menunduk hendak mengambil uang itu untuk dikembalikan pada Juno. Saat Sasa kembali berdiri, Juno tiba-tiba menghilang.

Sasa berputar mencari-cari, namun laki-laki itu sudah pergi entah kemana. Dengan wajah yang ditebalkan dan hati yang menangis, Sasa kembali ke tempat pemesanan dan mengambil pisang coklat serta pocari dan susu fullcream pesanan mereka.

Sasa membawa pesanan itu ke meja di mana Eri sedang duduk sembari menutup wajahnya dengan rambut. Ternyata, bukan hanya Sasa yang malu, Eri juga sama malunya.

"Ri. Ayo cabut"

"Uang beli jajannya?" Tanya Eri merogoh saku roknya dengan wajah yang sudah seperti kuntilanak. Ditutupi rambutnya yang panjang.

Sasa menggeleng dengan raut wajah seperti akan menangis. Sasa menarik kerah kemeja Eri, lalu membawanya pergi dari kantin itu.

Saat kaki Sasa hendak melangkah keluar, mata Sasa tidak sengaja melirik tulisan besar di atas pintu kantin. Tertulis kalimat Kantin kelas dua belas di atas pintu itu.

Air mata kekesalan itu membuat mata Sasa berair, rasanya dia ingin berteriak. Malu dengan kehidupan sekolah menengah atasnya. Baru hari pertama, namun adegan memalukan bagi kehidupan sekolahnya sudah sebanyak ini.

Sembari menarik kerah belakang Eri, Sasa berjalan cepat dengan batin yang berisik. Mulai saat itu, Sasa berjanji tidak akan menginjakkan kaki di lantai dua yang dikhususkan bagi kelas dua belas dan Juno lagi. Karena, Sasa percaya, jika Sasa berurusan dengan dua hal itu. Hal memalukan akan terjadi di hidupnya.

Semuanya, gara-gara kak juno.

•~•~•~•

...****Sebulan kemudian****...

Sudah sebulan Sasa menempuh pendidikan SMA nya dan semuanya berjalan lancar selama sebulan ini. Tidak ada adegan memalukan atau kebodohan dan kecerobohan yang Sasa lakukan membuat Sasa kembali bersemangat untuk pergi ke sekolah.

Seperti nya, mitos yang Sasa percaya pada dirinya sendiri benar adanya.

"Jangan ke lantai dua, jangan berurusan sama kakak itu, dan beli roti keju di minimarket aja" ucap Sasa pada dirinya sendiri di depan gerbang sekolah. Setiap hari Sasa berucap demikian untuk mengingatkan dirinya untuk tidak melanggar sesuatu yang Sasa jadikan aturan kehidupan sekolahnya.

"Hari ini, pasti lancar" Sasa melangkah, menarik tali tas ranselnya sembari berjalan dengan senyum merekah di bibirnya. Kehidupan sekolah bagi Sasa sekarang seperti kehidupan masa muda tempat dirinya bermain-main, tentu saja bersama Eri yang siluetnya tampak di mata Sasa saat ini.

Eri tengah berjalan masuk melewati gerbang menuju ke bangunan sekolah.

"Eeeeeerrrriiii, eh?"

Baru saja kaki Sasa ingin menghampiri Eri, seseorang menepuk bahu Sasa membuat Sasa berbalik. Perempuan cantik, sangat cantik, tidak. Oh, astaga cantiknya.

"Permisi" sapa perempuan berambut panjang sepinggang. Rambutnya hitam legam dan lurus. Kulit wanita itu putih dan menggunakan make up natural di wajahnya. Perempuan itu menggunakan blouse hitam dan rok putih selutut. Persis seperti setelan kantoran yang biasa mamanya Sasa kenakan.

"I-iya, kak?"

Seperti nya bukan hanya laki-laki yang terpesona dengan kecantikan perempuan muda ini. Sasa juga. Terbukti dengan dirinya yang gugup saat perempuan itu menyapanya.

"Maaf sebelumnya, nama kamu?"

"Erisa Katrina. Panggil Sasa aja, kak" Jawab Sasa cepat, menunjukkan nametag yang dia kenakan. Sebenarnya nametag itu bukan dari sekolah, Sasa membelinya sendiri di pasar malam minggu lalu.

"Hai, Sasa. Nama kakak Kinan. Maaf sebelumnya udah ganggu kamu. Jadi, gini-"

Kinan terdiam sejenak, lalu melirik totebag yang tengah dia pegang. Totebag berwarna biru tua berisi kotak bekal makan siang. Sasa mengikuti arah pandang Kinan, lalu kembali menatap wajah Kinan.

"Iya, kak? Ada apa?"

Ucap Sasa dengan wajah bertanya-tanya saat Kinan tidak kunjung melanjutkan kalimatnya. Kinan tersenyum canggung, lalu mengulurkannya tangannya yang meninting totebag itu ke arah Sasa.

"Kakak boleh minta tolong anterin bekal ke adiknya kakak gak, Sa?"

Sasa menatap totebag itu lama, lalu tanpa berpikir panjang mengambil totebag itu dari tangan Kinan. Siapa pun jika dimintai pertolongan oleh perempuan secantik ini pasti tidak akan menolak. Begitulah pemikiran Sasa kala menerima totebag itu.

"Boleh banget, kak. Nama adik kakak siapa? Kelas berapa?"

Kinan tersenyum merekah saat Sasa menerima totebag itu. Untunglah, setidaknya ada orang yang bisa dimintai pertolongan saat Kinan sedang bergegas untuk pergi bekerja.

"Juno Elvaro, kelas 12-2. Minta tolong ya, Sa. Nanti kalau ketemu lagi, kakak traktir makan"

"Oh, Kak Jun-eeeeh?" Mata Sasa membulat saat sadar nama yang Kinan sebut. Juno, orang yang Sasa ingin hindari setidaknya sampai kehidupan SMA nya berakhir.

Totebag itu hendak Sasa kembalikan, namun Kinan terlanjur pergi sembari menggenggam handphone yang menempel pada telinganya. Mau mengejar pun sudah terlambat, Sasa yang menerima totebag itu tanpa bertanya lebih dulu.

"K-kak"

Suara Sasa tertahan, lalu Sasa menunduk dengan wajah merengut. Kesal. Namun, Sasa tidak bisa melakukan apa pun. Kebodohan yang setelah sekian lama tidak Sasa lakukan, kini terjadi lagi.

Bye, bye. Kedamaianku

•~•~•~

"Gak mau!"

Eri melangkah mundur, menjauh dari Sasa yang berdiri di depannya sembari membawa totebag biru tua yang sudah seperti benda keramat itu. Ke kelas 12-2, katanya? Eri tidak mau lagi. Bahkan, jika Sasa memberi Eri uang satu koper, Eri tidak mau.

Sudah sebulan mereka menghindar untuk menginjak lantai dua, dan sekarang Sasa meminta ditemani ke sana? Ke kelas 12-2 pula? Kelas di mana mereka diusir dan kelas dari seseorang yang membuat Sasa malu sebulan yang lalu?

"Jangan mimpi, Sa. Sampai mati aku gak akan ke sana"

"Nanti aku traktir ice cream, terus aku kasih tau id Insta Ezra, atau aku kasih kamu contek pr sepuasnya. Tapi, temenin ya?"

Sasa mencoba untuk meraih lengan Eri, membujuk teman SMP nya yang kini menjadi teman sekelasnya di SMA. Saat tangan Sasa belum sempat menggapai lengan Eri. Eri melangkah mundur dan menghindar dari tangan Sasa.

"Riii" Panggil Sasa dengan nada merengek. Eri bergidik ngeri, lalu berbalik badan melarikan diri. Sasa mengikuti langkah Eri, namun Eri benar-benar lari membuat Sasa terdiam dengan mata yang berkaca-kaca karena meredam rasa kesal.

************Aku doain jatuh kamu, Ri************

Sasa membatin dengan raut wajah kesal, lalu berbalik melangkah ke arah tangga untuk naik ke lantai dua. Mengantarkan bekal makan titipan dari kakak Juno kepada Juno.

Di sisi lain, di dalam kelas yang berisik, seseorang tengah terduduk sembari melihat ke arah luar jendela. Tepatnya, ke arah langit yang tetap biru, walaupun batin seseorang itu tengah bergemuruh.

Bukan hanya batin, mungkin perut seseorang itu juga sama bergemuruh nya. Perut yang tidak diisi apapun sejak tadi pagi itu membunyikan alarm meminta untuk diisi.

"P-permisi"

Kata permisi itu mengalihkan atensi semua orang. Kebisingan itu tiba-tiba lenyap, semua orang melirik ke arah pintu masuk. Lalu, kembali berisik.

Sasa mengedarkan pandangan, lalu pandangan nya jatuh ke arah Juno yang kini memandang ke arahnya. Sekilas, setelah nya laki-laki itu kembali menatap ke arah luar jendela.

Sasa menghela nafas gusar. Di dalam hati Sasa berdoa agar tidak ada adegan memalukan yang terjadi hari ini. Dengan langkah mantap, Sasa meninting totebag itu dengan kedua tangan menuju ke arah meja yang Juno duduki.

"Permisi, Kak" Sasa mengetuk meja Juno pelan. Lagi-lagi Juno mengenakan earphone yang menyumbat telinganya. Sasa menghela nafas kesal, raut wajah sinis Sasa tampaknya tidak bisa bersembunyi saat Juno tidak menggubris sapaannya. Sasa melirik Juno dengan tatapan miring, lalu meletakkan totebag biru itu di atas meja Juno. Namun, sebuah buku yang terbuka di atas meja menarik perhatian Sasa.

"Buku musik?" ucap Sasa saat melihat kunci nada piano yang tertulis di buku itu. Kunci nada River Flows in You oleh Yiruma. Musik yang familiar bagi Sasa, karena Sasa pernah mencoba belajar memainkan piano saat SMP dulu. Sasa mencoba memainkan River Flows in You selama enam bulan penuh, namun seperti nya Sasa tidak berbakat di bidang musik.

Apaan?, Juno membatin saat musik yang terputar di ponselnya tiba-tiba mati. Juno merogoh saku jaketnya dan mengambil ponselnya dari dalam sana.

"Piano ya?"

Apa?

"Ini pertama kali, aku lihat ada orang yang bisa main piano"

Ucapan dari Sasa berhasil tangan Juno berhenti bergerak dan kepala Juno sontak menoleh ke arah Sasa.

Sasa menatap Juno dengan raut penuh tanya. Untuk pertama kali, laki-laki itu seperti nya merespons perkataan Sasa.

Alis Sasa bertaut, lalu Sasa mengangkat dagunya dengan wajah kebingungan.

"Apa? Kenapa?" Sasa menatap Juno canggung "Memangnya kakak mau ajarin aku main piano?"

Tubuh Sasa mematung saat Juno menatapnya dalam. Tatapan itu aneh, dan raut wajah Juno lebih aneh. Seperti orang yang akan menangis?

Sasa tidak tau saja, laki-laki yang tengah menatapnya sekarang benar-benar menahan tangis. Rambut hitam panjang dan kulit putih dengan mata bulat bersih itu membuat Juno teringat pada cinta pertamanya.

Juno membayangkan orang lain pada diri Sasa.

Dia, benar-benar mirip Sazza

Batin Juno saat menatap Sasa lekat untuk pertama kalinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!