JUST A CRASH - CROSSING BUTTERFLY
warning: suicide content. Advice to read wisely.
Langit yang membentang di atas itu, tak ada ujungnya. Shuji yakin dimana pun dia berdiri di bumi ini, dia akan selalu melihat langit. Dia bukan peneliti, tapi pengetahuan itu seperti alami ada di pikirannya. Kalau seperti itu, tidakkah selama ini dia berada di dalam sebuah ruang, yang sangat luas; yang di sebut bumi?
Dia tidak akan bisa keluar dari ruang ini, dan hidupnya dihabiskan di dalam ruang ini. Pun ruang ini tidak akan habis dia jelajahi sampai akhir hayatnya.
Kalau di pikir lagi, untuk apa?
Karena dia tidak memiliki motivasi seperti manusia lainnya, dia bingung. Tidakkah orang-orang ini merasa seperti ada yang mengawasi?
Mungkin hanya Shuji yang merasakannya? Karena setiap ada yang menggelisahkan, dia selalu berfirasat untuk melihat alam, melihat ke langit, melihat entah pada entitas apa. Dia seperti mencari sesuatu, tapi dia merasa yang dia cari itu selalu mengawasinya dan selalu dekat.
Dia hanya tidak tahu apa. Kadang dia pikir mungkin yang dia cari adalah dirinya sendiri. Membingungkan, kan?
Bagi Shuji, hidup sebagai manusia tiada gunanya. Fase-fase ini sama seperti semua mahluk yang ada di bumi. Dia hidup, kucing hidup, semut hidup. Saat waktunya tiba, dia mati juga, kucing mati, semut pun bisa mati.
Yang membingungkan, karena semua sama, apa yang diperjuangkan? Dia tidak ingin menggali dalam-dalam, dia hanya mempertanyakan satu hal itu saja.
Dia bekerja, dia menerima gaji, setiap hari dia makan, setiap hari dia mempersiapkan untuk besok. Tapi sudut hatinya seperti hanya melihat masa depan yang gelap. Padahal masa depan itu jelas terbentang cerah.
Teman kerjanya pernah menawari untuk mencari sesuatu yang seru, katanya hidup Shuji tidak cukup menggairahkan.
Shuji menyambangi kios-kios di distrik merah, dia mencoba sampai langkahnya berhenti ketika dia berpikir, 'mungkin yang dia lakukan kurang menantang?'
Tapi 'sampai kapan'?
Kalau setelah dia melakukan semua ini dan dia masih merasakan jenuh yang sama, bagaimana?
Sebulan setelahnya dia kembali mengerjakan aktivitasnya seperti biasa. Tidur, makan, bekerja, pulang. Dan begitu seterusnya. Kadang dia ingin kembali ke kegiatan hedonisme-nya, menikmati kesenangan sesaat itu. Tapi dia tahu kekosongan di hidupnya akan kembali lagi.
Shuji memutuskan untuk berhenti bekerja dan fokus pada dirinya sendiri, tapi masih belum menemukan jalan yang dia rasa pas di hati.
Ketika dia sibuk dengan internet atau mencari hal baru, dia masih baik-baik saja. Tapi aktivitas itu ada akhirnya juga. Saat berhenti itulah kesepian melanda dirinya. Seperti ombak yang menenggelamkan dirinya ke dasar laut, Shuji terjebak di sana.
Sebagai manusia, Shuji menyibukkan diri karena takut kesepian. Baru enam bulan sejak Shuji resign dari pekerjaan lamanya, dia sudah merasakan kejenuhan yang amat sangat.
Tidak seperti orang lain, dia tidak memiliki hobi. Di pikir-pikir, dari waktu sekolah sampai masuk ke dunia kerja dia tidak memiliki passion. Mungkin dia ahli dalam beberapa bidang tapi sejujurnya, hal itu lebih banyak melelahkannya. Dia mengerjakannya karena tuntutan dan tekanan.
Baru-baru ini dia mengambil kembali dan mencoba melakukan hal yang dia rasa sukai, namun ketika dikerjakan, Shuji sadar dia sudah tidak menyukainya lagi.
Kenapa mau-maunya dia berlelah-lelah seperti ini? Dengan pikiran seperti itu, inspirasi otomatis berhenti masuk.
Shuji tidak ada keluarga atau kerabat, ikatan yang membuatnya jadi lebih betah tinggal di dunia. Shuji disarankan untuk mencari pacar atau memelihara hewan peliharaan. Dalam keadaan seperti sekarang, jangankan mengurus orang lain, mengurus(mental) diri sendiri saja dia sudah kesulitan.
Shuji keluar dari apartemennya, meski dia agak bengkok mentalnya, Shuji masih berusaha untuk membuat dirinya sehat.
Rencananya, sekarang dia akan pergi ke taman untuk duduk santai.
Dia tahu bahwa dirinya depresi, dia juga pernah mendatangi ke psikologis. Katanya dia hanya belum menemukan hal yang dia nikmati di dunia ini.
Shuji mencoba beragam hal, tapi perasaan itu hanya sesaat, dia merasa pada akhirnya bahwa ini semua tak ada artinya lagi.
Shuji melihat anak-anak di taman yang sedang bermain. Dengan sadar diri Shuji mengambil tempat yang tersembunyi.
'Haah... aku juga pernah seperti itu, kan?' Shuji melihat anak-anak yang asik bermain perosotan dan kejar-kejaran. Mereka melakukannya tanpa beban. Shuji harap dia bisa kembali kemasa itu. Dia bisa melakukan banyak hal tak berarti tanpa harus memikirkan tujuan hidup.
Shuji sekali lagi menghembuskan napas. Memandang langit dari bangku taman, di tempat yang sepi, paling tidak dia tidak lagi merasa pengap seperti saat dia di kamar apartemennya.
Yup, dia sekali lagi sadar bahwa dia tidak berharga, tidak berguna, dan tidak ada arti atas keberadaannya di dunia.
Berapa banyak mahluk di dunia ini, menghilangnya satu Shuji tidak akan mengubah poros dunia.
'Haruskah aku mati saja?'
Lantas apakah hidupnya akan berakhir, benar-benar berakhir setelah itu?
Seandainya dia ada ketertarikan di dunia, mengetahui mati adalah akhir dari segalanya, dia akan melakukan apa pun yang dia bisa selama hidup.
Tapi kemana hilangnya ketertarikan itu?
Kenapa dia memikirkan hal-hal seperti ini?
Shuji bergumam pada dirinya sendiri. 'Mungkin ini adalah bisikan monster dalam diriku.'
Tentu saja tidak semua pikiran di otaknya harus dia percayai. Kalau dia berpikir gajah bisa terbang, mungkinkah dia akan percaya 'gajah itu terbang'?
Kadang Shuji merasa bahwa dia bukanlah dirinya.
Kalau sudah berpikir sejauh ini, rasanya sungguh... sangat melelahkan.
'Mati sajalah?'
Shuji berpikir cara mati seperti apa yang cocok untuk dirinya. Shuji tidak mau mati sendirian di apartemennya. Yang ketahuan orang hanya setelah bau busuk tercium. Meski pun dia cinta ketenangan, untuk masalah ini dia terpaksa harus membuat publik resah. Shuji minta maaf lebih dulu dalam hati atas niat bunuh dirinya pada orang-orang yang nantinya mungkin panik saat menyaksikan.
Loncat dari atas gedung bisa dicoba? Kalau loncat dari gedung yang tinggi, dia tidak perlu lagi berpikir kapan dia mati. Begitu dia sampai di permukaan, ya dia mati. Mungkin waktunya sekitar 8-12 detik sampai mati? Saat dia sampai di permukaan, pasti seperti kembang api. Muncrat dan penuh warna.
"Ha-ha-ha." membayangkannya Shuji merasa lucu, lalu menggelengkan kepala. Dia sudah gila.
Mungkin loncat ke rel kereta lebih rapi? Sebelum kereta lewat dia bisa menghitung waktu datangnya kereta.. misalnya 15 menit sebelum kereta sampai. Jadi, dia punya waktu 15 menit sebelum mati. Bukankah akan menegangkan mengetahui kapan waktunya mati dan menantikannya terang-terangan?
Kalau menunggu kapan dia mati, Shuji tidak tahu kapan akan terjadi. Usianya masih 26 tahun. Rata-rata usia manusia kalau mereka mati secara natural, mengikuti kondisi fisik seiring waktu kira-kira 72 tahun. Atau begitulah katanya. Orang tua di panti jompo saja ada yang sampai usia seratus tahun. Shuji tidak bisa membayangkan bagaimana dia akan hidup di tahun-tahun yang akan datang. Pasti jenuhnya seperti ingin meninggal.
Lebih baik dia mati dengan sukarela saja.
Shuji membuka ponselnya dan memeriksa jadwal shinkansen.
"Jam sebelas siang." Sayang sekali di daerah-nya, shinkansen hanya lewat satu kali. "Hari ini tidak bisa berarti, ya?" Shuji terpaksa harus menunggu besok untuk bisa beraksi.
Saat itu muncul notifikasi di ponselnya.
"...Ah?"
Notifikasi di ponselnya memberitahu bahwa mulai besok, selama tiga sampai lima hari ke depan akan ada hujan angin, sehingga kemungkinan jam operasional transportasi akan terhenti. Untuk waktunya masih menunggu informasi lebih lanjut. Masyarakat yang menerima pemberitahuan dihimbau untuk membeli bekal selama isolasi nanti.
"... mau mati pun dipersulit." Shuji tidak tertarik mati karena bencana alam. Dia maunya mati dengan rencana sendiri.
Shuji menggeser layar ponselnya dan melihat ikan-ikan segar yang dijual.
"....." Dalam deskripsi, cara paling ekstrem membunuh ikan, terutama ikan lele adalah dengan membanting kepalanya. Shuji pikir ini menarik, tapi dia tidak bisa mengontrol tenaga untuk membanting kepalanya. Tengkorak manusia kan bisa menahan tekanan sampai 6,5 gigapaskal. Sebagai pembanding kayu oak bisa menahan tekanan di bawah 11 gigapaskal. Intinya, dia tidak bisa menghancurkan tengkoraknya sendiri. Lihat saja orang yang berkelahi, paling parah tengkoraknya retak, tidak sampai hancur.
Mungkin dia bisa coba dengan menyayat dirinya dengan pisau?
Shuji diam sejenak dengan pikiran itu.
Menyayat arteri bisa di bilang rencana mati paling bodoh karena waktunya sangat singkat. Dia akan hilang kesadaran sekitar 15-30 detik sebelum mati dalam waktu dua menit. Kalau loncat dari atas gedung, paling tidak dia bisa menikmati pemandangan sebelum mati. Tapi menyayat diri... dia baca artikel dan katanya rasanya menyakitkan. Bagaimana mereka tahu? Mungkinkah ini kesaksian orang-orang yang selamat setelah arterinya disayat?
Karena tidak pernah ada yang bilang kalau loncat dari gedung, atau misalnya ditabrak kereta, itu menyakitkan. Sebab semua yang melakukannya binasa.
Intinya, memilih mati dengan menyayat diri memberi kemungkinan untuk hidup. Sungguh memalukan kalau dia berniat bunuh diri tapi ternyata dia malah bangun dan hidup pada akhirnya. Dan lagi, dia berniat melakukannya di publik.
Tidak, dia tidak bisa. Kalau pun mau, mungkin dia bisa percobaan dulu. Hm....
Tikus menjadi objek percobaan yang paling standar karena secara umum tikus memiliki kesamaan dengan manusia dalam banyak aspek semisal fungsi sistemnya.
Dia bisa mencari peternakan tikus dan beli secara langsung atau mencari hewan di sekitaran tempat tinggalnya.
Shuji menghela napas lagi. Bahkan mencari cara untuk hal remeh seperti ini pun begitu sulit. Haruskah dia menunggu saja sampai hujannya selesai nanti?
Artinya dia harus tenggelam dalam kejenuhan ini selama 5 hari? Dia bisa mati 4 hari lebih cepat kalau tidak ada hujan angin.
Benar-benar menyebalkan.
Disaat Shuji tengah tenggelam dalam pikirannya, di kakinya dia merasakan sesuatu yang lembut disambut suara mengeong.
"Huh." Kesuraman di sekitar Shuji lenyap seketika. "Hai, kucing." Shuji bergerak untuk merangkul kucing liar di dekat kakinya. Tidak peduli apakah kucing itu berjamur, sakit, atau mungkin menyimpan virus.
"Kau pasti dikirim untukku." kata Shuji dengan senyum lega. Akhirnya satu masalah yang dia khawatirkan terselesaikan. Kucing ini terlihat jelek dan kotor, sudah pasti tidak ada yang pelihara. Kalau pun ada, bukan salah Shuji kalau kucing ini jadi percobaan, suruh siapa kucingnya hilang.
"Tikus dan kucing mungkin agak berbeda." gumam Shuji, tapi dia tidak perlu yang ribet-ribet, dia kan bukannya mau membuat laboratorium. Cukup memeriksa bagian mana yang akan membuat mati lebih cepat, dan seberapa besar sayatan untuk menghambat aliran darah yang keluar.
Sepertinya satu kucing tidak akan cukup.
"Temanmu yang lain mana?" tanya Shuji sambil tersenyum kecil. Kalau dia mengambil mereka semua, dia tidak perlu mencari lagi keluar. Shuji membulatkan niat untuk membeli makanan kucing setelah ini.
---------------------***------------------------
Apa hal yang paling kompleks di dunia ini selain hidupmu?
Berurusan dengan makhluk lain.
Hitung saja, kalau ada objek lebih dari satu, orang harus memikirkan ruang yang lebih besar untuk menempatkannya. Lalu bagaimana posisinya? Ditumpuk atau berdampingan? Tapi bukan ini intinya, yang dimaksud itu, jadi lebih banyak faktor yang harus di pertimbangkan.
Apalagi kalau objeknya berbeda?
Shuji sebagai manusia mengerti bahasa manusia, sudah pasti. Kecuali kalau dalam jati dirinya, dia berpikir dia adalah monyet yang bisa berbahasa manusia.
Satu waktu dia mengobrol dengan klien tapi tidak menemukan titik terang. Shuji curiga dia ini keledai, tapi secara biologis dia manusia dengan reproduksi sejenis laki-laki.
Laki-laki itu spesies yang bisa membuahi spesies perempuan. Bakat ini hanya ada di laki-laki. Baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
Shuji yakin dia ini: 1. Manusia, 2. Laki-laki.
Tapi interaksi dengan manusia pun banyak tidak harmonisnya. Padahal mereka sama-sama punya otak, sama-sama punya mulut, sama-sama punya indera. Apa yang di lihat dan di dengar sama, tapi saat keluar jadi pendapat hasilnya beda. Apalagi dengan hewan??
"Mreowww!"
Shuji menatap makanan kering yang dia beli. Bungkusnya sudah sobek dan isinya tercecer berantakan dengan sekumpulan kucing yang berebut makan. Mereka makan sambil mengeluarkan suara 'nyaung-nyaung-nyaung'.
Dari sejarah manusia zaman purba hingga sekarang, hewan memiliki insting dan pikiran yang terbatas untuk hal-hal yang menjadi kebiasaan/ciri-nya. Sapi, instingnya makan rumput, tapi pikiran untuk 'bagaimana caranya membuat rumput jadi lebih enak', atau misalnya pikiran 'bagaimana caranya berimigrasi lebih cepat'? Dengan mobil misalnya—hewan tidak bisa memikirkannya.
Salah satu insting dasar hewan, bukankah mereka akan jinak dan memuja yang memberinya makan?
Yang sekarang Shuji hadapi kan kucing, bukan harimau.
Kenapa makhluk kecil berkaki empat ini begitu beringas setelah dia dengan baik hati datang kemari memberi makan? Menjadikan kucing sebagai percobaannya membuat eksistensi kucing ini lebih berfaedah. Setidaknya kucing ini ada manfaatnya untuk Shuji.
"Kenapa menatapku begitu, hm?" Shuji menatap datar pada kucing oranye gemuk yang melotot kearahnya. Kucing itu baru saja mencakar lengan Shuji. Bekasnya terlihat merah menyala di kulitnya yang putih dan pucat.
Shuji menatap lengannya sesaat dan berpikir. Kalau dia menyayat dengan cepat, rasanya tidak terlalu sakit. Cakar kucing panjangnya kurang dari setengah senti tapi dengan teknik yang khusus, permukaan kulit bisa di kait sehingga lukanya bisa terbuka lebih lebar dan dalam.
"Tapi tentu saja lebih cepat untuk uji coba langsung."
Shuji dengan cepat menangkap kucing oren itu ke pelukannya, yang langsung menerima amukan.
Kaget, Shuji serta-merta melepaskan si kucing namun kucing oren itu justru bergantung di wajahnya.
Bagaimana bisa makhluk ini bergelayut di wajahnya? Meski dia tidak takut dengan luka, tetap saja dia merasakan sakit lama-lama.
Pergulatan di gang itu berlangsung beberapa menit sampai akhirnya, Shuji berhasil menaklukan kucing oren yang sudah menyerah karena kelelahan itu.
Dengan tangan dan wajah berdarah bekas cakar, Shuji berjalan pulang. Merasa biasa saja menerima tatapan aneh dari orang-orang di sekitarnya.
'Kenapa? Tidak pernah lihat orang bawa kucing?' Shuji mendesis dalam hati sambil memelototi wanita paruh baya dari balik poni panjangnya.
Wanita itu baru pulang belanja untuk bekal isolasi, kenapa harus dihadapkan dengan orang gila?
Wanita itu lantas berbelok memilih jalan lain.
"Bulumu yang lebat ini akan menghalangi sayatan. Aku akan menggunduli dan mengulitimu.. tunggu saja." Shuji mengancam kucing yang dia peluk. Meski tidak mengerti, dari nada dan frekuensi ucapan Shuji—kucing itu tahu dia sedang diantagonisi oleh budak rendahan. Mata kucing itu membalas Shuji dengan sama tajamnya.
"..Kalau saja kucing di taman tadi tidak menghilang, tidak akan aku memilihmu. Anggap saja sebagai kesialan kita berdua." Niatnya yang di awal untuk membawa banyak kucing batal. Kalau semua kucing liar di gang itu seliar kucing oren ini, dia harus memikirkan strategi yang lebih efisien. Mungkin dengan jaring atau perangkap.
"Huuh...?" suara nyaring itu membuyarkan lamunan Shuji. Di depannya berdiri wanita mengenakan syal yang menutupi seluruh kepalanya. Wanita itu menatap Shuji dengan ekspresi terkejut yang kentara.
"Apa?" Shuji berkata ketus. "—Tidak pernah lihat orang bawa—," sebelum Shuji selesai berkata-kata, lengannya di tarik dan si kucing oren yang sudah dia dapatkan dengan proses yang panjang itu melompat lari kembali ke gang-nya. Buntut panjangnya yang mencuat ke atas itu seperti mencemooh Shuji.
Shuji menatap kepergian si kucing oren dengan dendam mendalam. Kemarahan meningkat memikirkan wanita yang muncul tiba-tiba ini membuat rencananya gagal.
"Lepas!" Shuji menarik kasar tangannya dan menatap penuh kekesalan pada wanita di depanya.
"Oh,"
"Ngapain menarik tangan orang sembarangan? Tidak tahu kau sudah lancang?" kata Shuji geram, melap pergelangannya ke kaos.
"Ma-maaf." wanita itu menjawab dengan gugup. "Tapi, kau... terluka."
"Apa aku merugikanmu?"
Wanita itu nampak terkejut dengan pertanyaan Shuji yang keluar dari topik. Bingung apa hubungannya dengan luka di lengannya.
"Mau aku sehat atau terluka, hidup atau mati, tidak ada hubungannya denganmu. Tahu?"
"..." Wanita itu membulatkan matanya, seperti heran menemukan pernyataan ini.
"Ah," Shuji tiba-tiba teringat. Pantas saja kelihatan familiar. Bukankah wanita ini orang asing yang baru pindah ke pinggir kamar apartemennya beberapa bulan lalu? Kesialan apalagi yang harus dia hadapi. Hah.
"Kau orang asing, aku mengerti. Jadi kau pasti tidak tahu. Disini, di tempat ini, bantulah hanya orang yang memerlukan bantuanmu. Sekalipun aku sekarat, selama aku belum minta, tidak perlu sok baik melakukannya. Paham?"
Shuji tidak tahu apakah wanita itu mengerti atau tidak dengan kata-katanya. Dia langsung berbalik dan memutuskan untuk kembali ke apartemennya. Biarlah dia pikirkan cara baru untuk menangkap kucing-kucing itu.
'Kenapa hujan angin itu tidak segera datang'. Shuji berpikir kesal. Kalau topan itu datang lebih awal, siapa tahu urusannya bisa selesai lebih cepat.
Shuji berjalan melewati sekelompok ibu-ibu yang tengah mengobrol dekat pintu masuk gedung. Ibu-ibu itu menatap Shuji awas dan menjauh perlahan. Obrolan riang itu berangsur-angsur berubah bisikan. Tanpa melirik pun Shuji tahu dia yang mereka bicarakan.
'Lihat?' inilah reaksi yang wajar.
Tapi wanita tadi? Shuji mendengus kesal. Apakah orang luar negeri begitu terbuka sampai orang asing yang mereka temukan di jalan akan di bawa pulang, di beri makan, di sekolahkan, dan ditunggu sampai berkeluarga?! (Author: ngga gitu juga^^;)
Disini, orang-orang akan menjauhi dan kalau pun mau peduli, ada banyak hal yang mesti dipertimbangkan.
Shuji tahu. Karena dia pernah ada di posisi sebagai orang-orang itu juga.
Mana dia tahu dia malah akan jadi manusia yang dulu Shuji pandang rendah?
Waktu seniornya bilang hidup itu berputar seperti roda, Shuji hanya mencemooh. Seniornya mengatakan kata-kata itu supaya Shuji tidak jumawa. Kenapa, ya, waktu itu? Ah, dia menerima nasehat itu gara-gara dia naik jabatan lebih cepat sementara masa kerjanya yang paling singkat diantara yang lain.
Seseorang bisa berada di atas lalu jatuh ke bawah. Kalimat itu semata-mata diucapkan oleh orang yang memiliki kepercayaan diri rendah, dimana mereka berkata demikian hanya untuk menghibur ketidakmampuan mereka.
Mungkin ini roda kehidupannya; dimana dia kini berdiri di bawah. Tapi Shuji berbeda, dia memilih sendiri titik dia berdiri. Dia bukannya tidak sanggup, dia masih bisa melamar pekerjaan dan berdiri di puncak rantai makanan seperti sebelumnya, yang menurut pandangan manusia adalah puncak kehidupan.
Karir, cinta, keluarga. Dia juga bisa menikah dengan wanita cantik, punya anak dan liburan rutin setiap minggunya.
"Mau di bawah atau di atas," Shuji menggumam datar.
—Roda-roda kehidupan itu dia yang atur. Dia hanya sedang tidak tertarik saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Nov Tomic
first comment
2023-10-22
1