“Akemi-san mau baju yang mana? Merah atau biru?” Jingga menghadap ke lansia di depannya yang duduk di kursi roda. Dua potong kaos di pegang di kedua tangannya. Karena masih musim kemarau dan rumah tinggal ini memiliki sistem penghangat yang stabil, tidak masalah untuk para lansia mengenakan baju pendek.
Pagi ini sebelum sarapan Jingga bertugas untuk membantu lansia-nya bersih-bersih dan berpakaian.
“Aku mau yang cokelat.”
“Coklat… baiklah, yang coklat ya. Biar aku cari dulu...” Jingga meletakkan dua pakaian di gantungan. Tanpa melihat pun Jingga sudah tahu kalau baju-bajunya tidak ada yang cokelat karena ini bukan kali pertama dia bertanya. Tapi dia tetap bergerak seakan mencari. Lalu berseru, “Ah, baju cokelatnya kotor. Bagaimana, dong?”
“Coklat, apa coklat? Aku benci baju warna itu. Mau yang biru.” Akemi menggerutu di kursi roda.
“Biru, baiklah.” Jingga segera mengeluarkan baju biru dari gantungan dan bantu memakaikannya sebelum Akemi berubah pikiran.
Setelah rapi, Jingga mendorong kursi roda menuju ruang makan. Disana telah ramai staf yang mendampingi para orangtua untuk makan. Ada yang menyuapi, ada yang sambil tepuk tangan, ada juga yang makan dengan tertib tanpa ingin di bantu. Pagi itu ramai dan penuh senyum seperti biasanya.
Shift kerjanya hari ini mulai jam setengah sepuluh pagi sampai jam enam sore nanti. Selesai membantu Akemi makan, Jingga ikut mengawasi saat kegiatan rekreasi berlangsung. Hanya kegiatan sederhana yang bisa membuat para lansia senang. Semisal menumpuk gelas plastik dan sejenisnya, kebanyakan kegiatannya fokus ke motorik.
Berbeda dengan mengurus anak-anak, meski pada dasarnya lansia kembali ke fase anak-anak, mereka memiliki pikiran tersendiri. Sedikit saja Jingga atau staf menunjukkan kekesalan, mood para lansia akan langsung rusak. Hal itu tidak berujung cemberut tiba-tiba; tapi bisa sampai marah, mogok makan, mogok ke toilet, dan banyak lagi.
Jadi di mulai sejak pagi, setiap staf mempersiapkan diri dengan hati-hati; setiap masalah di rumah di buang jauh-jauh selama bekerja. Karena dengan baiknya mood para lansia, maka semakin mudah pekerjaan mereka.
Jingga menggendong Akemi dari kursi roda ke kasur saat waktu tidur siang tiba. Beberapa lansia yang satu kamar dengan Akemi juga sekalian Jingga selimuti sebelum dia pergi keluar untuk istirahat siang.
Kadang dia bertanya-tanya, bagaimana bisa orang tua kandungnya jauh di sana; sementara dia malah disini mengurusi orang tua orang lain.
Meski dia sudah melewati masa denial itu dan menemukan jalan yang dia anggap benar; seringkali pikiran itu menyelinap. Setiap dia melihat orang tua yang kesulitan beraktivitas, melihat mereka tidur, dia akan bertanya dalam hati apakah orang tuanya juga kesulitan? Sehatkah mereka? Apa tidurnya nyenyak?
Hal itu juga yang membuatnya semakin bersemangat untuk bekerja. Menutupi rasa rindunya yang amat sangat, Jingga bekerja dengan sepenuh hati. Dia menganggap setiap orang tua yang dia urus adalah ayah-ibu dari seorang anak yang juga merindukannya.
Diantara para pengurus lansia di pantijompo, Jingga dikenal sebagai salah satu ‘malaikat’.
Tidak sekalipun dia pernah marah. Setiap ada staf lain yang minta untuk di gantikan karena urusan darurat, selama dia bisa, Jingga bersedia. Kalau dia sedang shift malam, lansia yang pagi hari aktif selalu menanyakan kemana dirinya.
Tujuh bulan lebih dia bekerja disini, Jingga sudah merasa nyaman dengan lingkungan kerjanya. Meski kerjanya berat, tapi dia menikmatinya.
Sore itu Jingga mengganti bajunya yang basah kena pesing. Membungkusnya ke dalam plastik dan selesai sembahyang, dia bersiap pulang. Berpamitan pada rekan-rekannya, Jingga berjalan menuju halte, menunggu bus datang.
Melihat lampu kerlap-kerlip di toko-toko sekitar, Jingga tidak merasa bosan. Sambil memikirkan masak apa hari ini, Jingga bertukar pesan dengan adiknya di Negara I sampai dia naik bus.
Ade gak lucu: Kak bagi duit
Jingga: minta uang mulu
Ade gak lucu: nanti kalo pulang jgn lupa bawa produk jepang kt mama
Jingga: ye gtw kapan pulangnya juga
Ade gak lucu: ya kapan-kapan
Ade gak lucu: hahaha!
Ade gak lucu: kata mama apa coba
Ade gak lucu: katanya kalo bisa produk yg dibawa cowo jepang
Jingga: 🔪🔪🔪
Ade gak lucu: awkwkw
Senyum masih tersemat di wajah Jingga ketika dia turun dari bus. Karena terlalu fokus dengan ponselnya, tanpa sengaja dia menabrak seseorang, membuatnya mundur beberapa langkah.
Jingga segera menurunkan ponselnya dan segera meminta maaf.
Laki-laki gemuk di depannya berdiri diam, tak bergeming. Poni panjangnya menutupi mata, hanya bagian hidung ke bawah yang terlihat. Dari posisi ini, Jingga bisa melihat dengan jelas jerawat batu yang timbul di kedua pipi si laki-laki.
Penampilan itu membuat Jingga terpikir dengan sosok Shuji sebelumnya, ah, tentu saja, bukan 'penampilannya' tapi auranya.
Dengan hati-hati dia meminta maaf sekali lagi sebelum menepi dan kembali berjalan.
Jingga mengusap hidungnya yang seperti iritasi dengan bau tak sedap yang keluar dari pria tadi.
Shuji tidak bau, gumam Jingga.
Kejadian singkat itu tidak Jingga pikir dalam-dalam. Berbelok ke supermarket dan belanja, Jingga bertemu sosok familiar.
“Hei.” Jingga menyapa. Shuji berdiri di rak bumbu dapur, fokus memilih kecap asin. Dia mengenakan piyama yang dibalut sweater kardigan moka tanpa kancing. Mendengar sapaan itu, Shuji menoleh dan menarik senyum kecil.
“Baru pulang?”
“Mm.” Jingga merasa agak malu melihat Shuji yang tampak berkilau di bawah lampu supermarket, sementara dirinya kumel pulang bekerja. “Aku kesana dulu.” Dia ingin bersembunyi.
“Oke.” Setelah berkata demikian, Shuji kembali membaca komposisi kecap dengan serius.
Mungkin ini perasaan yang pernah temannya katakan. Inferior saat melihat laki-laki rupawan.
Tentu saja, Jingga tidak langsung sadar soal penampilan Shuji. Hanya waktu jalan bersama saja dia merasa orang-orang yang lewat jadi sering menatap kearah mereka.
Awal mula orang memang banyak memperhatikan karena pakaian dan kerudungnya. Siapa juga yang pakai baju panjang di musim panas? Tapi pelan-pelan tetangga sekitar area mulai terbiasa. Kadang mereka melontarkan pertanyaan yang tak menyakiti. Sekarang juga dia sering mengobrol dengan tetangga sekitar.
Tapi waktu berjalan dengan Shuji, banyak perempuan yang melirik. Dari situlah Jingga mulai memperhatikan. Meski dia masih teringat dengan sosok suram yang selalu murung, pelan-pelan kesan itu seperti dilukis ulang bersama seringnya mereka jalan bersama.
Hm, memang tidak mudah jalan bareng ikemen. Jingga mengulum senyum.
Selesai memilih belanjaan, Jingga berjalan menuju konter.
“Masak apa?” tiba-tiba di belakangnya terdengar suara rendah. Jingga hampir melompat di tempatnya karena terkejut. Dia memutar kepalanya dan melihat Shuji menatap isi keranjang Jingga dengan wajah yang kentara ingin tahu.
“Aku mau masak sop.” Balas Jingga. Mata Shuji berganti dari keranjang lalu ke wajah Jingga.
Kadang ketika Shuji menunjukkan ekspresi itu, Jingga tidak bisa menahan nada suaranya yang melembut. Wajah Shuji saat penasaran dan ingin tahu seperti itu kelihatan seperti anak-anak.
Pasti aku sudah gila menilai orang dewasa sebagai anak-anak. Jingga facepalm dalam hati.
"Sop-nya bukan sop sayur, tapi sop ayam. Kau tahu, kan.. yang ayamnya di rebus lama lalu...." Jingga menjelaskan pelan-pelan.
"Ahh...," Shuji mengangguk mengerti.
Garis antrean bergerak dan dia segera membayar belanjaannya begitu selesai di scan.
Karena jalan pulang mereka sama, Jingga menunggu sampai belanjaan Shuji selesai.
“Kau hanya beli itu saja?” Jingga melirik botol di tangan. Shuji tidak repot-repot minta tas plastik dan menjinjingnya langsung.
“Mm. Kenapa memangnya?” Angin malam bertiup menyapu poni Shuji yang nampak lembut. Di bawah cahaya lampu, rambutnya berkilau indah.
“Tidak... kau." Jingga mengerjap sebelum mengalihkan pandangan. "Kau belanja cukup lama kukira bakal beli banyak.”
“Ah.” Shuji mengangguk dua kali, tanda mengerti. “Aku memeriksa komposisinya,”
Beli kecap pun teliti, Jingga menggumam. Kalau dia lama belanja karena membandingkan harga.
Keduanya jalan bersisian, bertukar obrolan ringan. Sambil jalan, Jingga bersyukur diam-diam karena lampu yang temaram di sekitar. Paling tidak, dengan begini dia tidak terlihat terlalu jelek saat jalan bersama Shuji.
Esok paginya Jingga berangkat kerja seperti biasa. Sebelum menuju halte dia mampir ke stan ubi bakar. Penjualnya kali itu anak dari pemilik stan.
“Mau satu.”
“Baik.. Satu ubi bakar.” remaja itu memanjangkan nada di akhir sambil menyibukkan tangannya.
“Kau tidak sekolah?” tanya Jingga penasaran, sambil menunggu ubinya matang.
“Sedang libur sekolah. Nee-chan sering kemari jadi aku kasih tahu, deh. Siang ini aku mau nge-date. Mamaku minta aku jaga stan kalau mau dapat uang tambahan.” Remaja itu menghembuskan napas dramatis. Jingga tertawa mendengarnya.
“Berangkat kerja?” Suara rendah terdengar tiba-tiba dari samping.
Jingga melirik Shuji yang muncul di sampingnya dengan setelan olahraga. Rambutnya kali ini di singkap, menunjukkan dahinya yang basah karena keringat.
“Yup. Habis olahraga?”
“Baru mulai." Shuji beralih ke penjaga stan. "Dik, mau satu.” Kata Shuji.
Sebagian ubi-ubi sudah di bakar setengah jalan, tidak perlu waktu lama keduanya mendapatkan ubi pesanan mereka.
Keduanya jalan bersama dan sampai di taman, Shuji pamit untuk lanjut jalan pagi sementara Jingga berangkat ke halte.
Jingga menjinjing tas kertas berisi ubi bakarnya menuju halte. Saat melewati gang di samping, Jingga merasa melihat sesuatu. Perempuan itu mengerutkan keningnya, duduk di halte sambil makan ubi; dia akhirnya ingat.
“Bukannya itu laki-laki yang kemarin?” dia gembel atau apa? Mungkinkah dia diam di gang itu semalaman?
“…Mana setiap hari aku lewat sini, lagi.” Untung besok dia libur dan nanti shift-nya ganti.
Mungkin Jingga tidak akan melihatnya lagi saat berangkat-atau-pulang nanti.
Hanya, Jingga kembali berpapasan dengan orang itu.
Kebetulan? Meski sudah lewat berhari-hari, sulit menghapus kesan yang dia terima waktu pertama bertemu. Dan setiap melihat sosok pria gemuk itu, Jingga selalu merasa ada sesuatu yang merayapi kulitnya, membuatnya merinding.
Hari itu dia berangkat sore dan saat beli ubi, Jingga melihat pria itu berdiri tak jauh dari stan. Entah hanya perasaannya saja atau memang pria itu menatap padanya?
Masih dengan setelan dan gaya yang sama. Jingga berbaik sangka, mungkin semua baju orang itu sama tipenya.
“Nona, hati-hati dengan orang ini.” Penjual stan kali itu adalah ibu penjual yang biasanya.
“…Aku tahu.” Jingga mengangguk. Dari ujung matanya dia melihat pria itu seperti hendak menghampiri. Jingga bertanya-tanya kapan ubinya matang.
Saat ibu penjual ubi memberikan pesanannya, Jingga menghembuskan napas yang tanpa sadar dia tahan. Lalu dengan segera Jingga berangkat menuju halte.
Malamnya dia pulang. Jingga berjalan merapat ke sisi jalan, berseberangan dengan gang yang biasa dia lewati. Melihat tempat itu kosong, Jingga langsung mengusap dada. Hanya ketika dia berpaling ke depan, jantungnya terasa hampir lepas saat melihat sosok yang berdiri di depan mesin minuman.
Jingga mempercepat langkahnya dan segera kembali ke apartemennya. Setelah memastikan pintunya terkunci barulah dia merasa lega.
“Mana besok masih kerja malam lagi.” Jingga ingin menangis. Sebodoh-bodohnya Jingga, dia sudah sadar kalau orang itu sepertinya… membuntuti dirinya.
Membuka grup chat tempat kerjanya, dia mengirim pesan apakah masih tersedia kamar untuk asrama yang di jawab negatif.
Esok sorenya, Jingga melihat sekeliling, setelah mengkonfirmasi tidak ada pria gemuk itu, dia berjalan menuju stan ubi. Siapa sangka waktu dia sampai, orang itu langsung muncul, keluar dari toko rental di sebelah stan.
“!!” Jingga hampir kabur tapi dia takut kalau dia menunjukkan bahwa dia sadar dengan keberadaan orang itu.., dia malah akan di kejar.
Si ibu penjual yang menyadari itu terlihat siap untuk melempar capitan di tangannya pada si pria gemuk kalau berani macam-macam. Hanya saja orang itu hanya berdiri diam. Menyerang orang yang berdiri diam tanpa alasan tidak mungkin di lakukan. Jingga hanya bisa menahan diri.
Saat itu seseorang berdiri di samping Jingga begitu dekat. Entah sudah berapa kali dia kaget belakangan ini. Namun ketika melihat orang di sampingnya, Jingga langsung tenang.
“Kau mau beli juga?” melempar rasa takutnya, Jingga membuka pembicaraan untuk mengalihkan perhatiannya.
“Mau satu.” Shuji dan si ibu penjual ubi saling bertatapan seperti bertukar pesan. Jingga yang berdiri diantara keduanya bingung, tapi di temani Shuji, dia merasa aman. Jingga berharap ubinya matang bersamaan dengan milik Shuji.
Saat ke halte, Jingga mendapati Shuji berjalan disampingnya.
Dia ingin bertanya, ‘hei, apa kau lihat orang tadi?’
‘Mungkinkah orang itu mengikutiku?’
Tapi dia tidak berkata apa-apa, melihat mood Shuji yang tampak buruk.
Mungkin aku overthinking, pikir Jingga. Waktu Jingga awal bertemu Shuji, dia juga sama depresinya tapi biasa saja. Hanya saja Jingga tetap berharap untuk tidak bertemu lagi dengan orang itu.
Tanpa sadar kehadiran Shuji membuatnya merasa aman. Pikiran Jingga yang tadinya takut teralihkan, ditemani Shuji yang kini menatap papan di halte.
Jingga tidak mengganggu dan duduk dengan patuh sampai bus datang.
-
“Kau sudah oke?” tanya salah satu rekan kerjanya saat istirahat malam itu. Jingga yang kemarin melakukan beberapa kesalahan saat bekerja, mengangguk malu.
“Bagus kalau begitu.” Keduanya bertukar obrolan dan Jingga kembali ke pekerjaannya.
Jingga tahu penyebab kemarin dia banyak salah, biasa—overthinking. Tapi dia masih bingung kenapa hari ini dia baik-baik saja.
Barulah saat di jalan pulang, Jingga ingat dengan kejadian kemarin. Rasanya dia tidak mau turun…, tapi tidak mungkin.
Dengan pelan dia berjalan. Mengintip dari ujung matanya, Jingga melewati gang itu, kosong. Dia menghembuskan napas panjang, berharap saat dia lewat di depan nanti, orang itu tidak ada sama sekali.
Tapi saat mesin minuman itu muncul di penglihatannya, yang dia tangkap bukan sosok gemuk melainkan Shuji. Berdiri membelakangi mesin minuman, menatap jalan seperti memikirkan hidup. Sesekali menyisip kaleng minuman di tangannya.
Saat mendekat, Jingga melihat kantung mata di bawah wajah Shuji.
Dia tidak ingat bagaimana dia kembali ke apartemennya. Hanya setelah malam itu dia tidak lagi melihat si pria gemuk mencurigakan di sekitar area.
Saat mendengar berita bahwa polisi menangkap seorang penguntit, mau tak mau pikiran Jingga tertuju pada pria itu.
Dari gossip yang dia dengar, isinya terlalu konyol dan berlebihan.
Tapi Jingga bersyukur dalam hati.
**
[Shuji pov]
Hari itu hari libur. Bukan untuk Shuji, tapi untuk Jingga. Sementara dirinya, tentu saja dia libur setiap hari. Tidak berangkat kerja kantoran dan bisa mengatur waktu sesukanya (terutama untuk memperhatikan Jingga) adalah yang terbaik untuk Shuji.
Dia melap sisi pot kecil yang basah waktu disiram.
Setelah pesanan mini-cam-nya datang, Shuji langsung memodifikasi vas, tapi karena kecerobohannya, vas yang dia beli jadi pecah.
Akhirnya dia memilih pot dengan tanaman peace lily. Dari sekian banyak tanaman indoor yang dia temukan, hanya ini saja yang ada bunganya, sementara yang lain hanya daun-daun. Tentunya dengan bunga akan lebih berwarna, kan?
Shuji menyelipkan kamera dan mikrofon mini ke dalam batang tersembunyi. Diantara batang bunga yang hijau, hanya satu ini yang palsu. Shuji memosisikannya di tengah-tengah supaya lebih tersembunyi.
Dia memperkirakan kemungkinan tanaman ini disimpan di tempat lain selain di lemari rak sepatu. Meski Shuji tidak bisa mengontrol hal itu, hm, dia masih sadar diri. Jadi dia melukis ‘Selamat Datang’ di badan pot. Sudah jelas ini untuk disimpan dekat pintu masuk, kan?
Bersikeras untuk di pasang di dekat pintu masuk bukan karena Shuji tidak ingin pot ini di simpan di dalam. Sebenarnya Shuji sedikit takut, kalau misalnya ketahuan—ahem, dia masih ada kesempatan untuk diampuni.
Dari awal memesan kamera mini sampai selesai memodifikasi, Shuji tidak merasa aneh sama sekali dengan sikapnya.
Meski baru kemarin dia melecehkan seorang penguntit..
Shuji memasang apron dan menatap cermin; menggeser sedikit poninya yang nakal ke tepi. Dia kelihatan seperti laki-laki yang rajin. Dari sekian banyak persona, Shuji ingin menunjukkan sebanyak mungkin. Meski ini bukan dirinya yang sebenarnya, dia bisa belajar. Dia bagus dalam semua hal, semua tipe, dan Shuji harap dengan begini Jingga tidak perlu mempertimbangkan lama-lama ketika 'waktu'nya tiba.
Dengan gambar beruang di apronnya, tema Shuji kali ini adalah gap moe!
Shuji membawa pot bunga keluar dan menekan bel pintu apartemen sebelah.
Pintu dibuka perlahan, menampilkan Jingga yang memakai blouse lengan panjang dan rok panjang mengembang, masing-masing warnanya pink pucat. Shuji menatap lama dan mengangkat tatapannya ke syal yang biasa dipakai.
Kali itu modelnya berbeda dengan syal yang lain.
Terdapat manik-manik di sematkan di pinggir; warna syalnya putih dan Shuji memperhatikan sedikit rona merah pada pipi Jingga.
Shuji seperti mendengar latar belakang lagu ‘Perfect’ diiringi bunga-bunga sakura yang berterbangan.
Bagaimana bisa dia merasa kalau Jingga berdandan demi bertemu dirinya?
Sungguh sempurna.
Shuji jatuh cinta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
anggita
👌👌👏👏
2023-10-22
0