Otaku.
Adalah sebutan yang menempeli diri Jiro sejak dia mengenal anime.
Awalnya dia menelusuri anime dengan genre yang masih normal. Setelah kehabisan materi, dia menggali ke bagian lain. Tapi ada hal tabu yang tidak semestinya di bawa ke dunia nyata. Fantasi harus dibiarkan fantasi.
Pengaruh keluarganya dan karena dirinya yang tidak pandai bersosialisasi, Jiro tenggelam semakin dalam, berkhayal bahwa dirinya adalah tokoh utama dalam bacaannya. Memiliki serentet kekasih dengan berbagai tipe.
Ketika matanya tanpa sengaja berpapasan dengan gadis tercantik di kelas, Jiro membulatkan tekadnya.
Jiro pikir pesona-nya sudah tidak bisa di bendung. Dia memaklumi, gadis-gadis itu tidak berani menyapanya karena tersipu-sipu, dia sebagai lelaki harus mengambil langkah. Mereka hanya berani menatap dari jauh—Jiro tidak bisa memikirkan berapa banyak gadis yang diam-diam mencintainya.
Setelah pikiran itu tertanam di kepalanya, semuanya seperti masuk akal. Bukankah serigala alpha selalu sendirian? Jiro tidak perlu khawatir kenapa tidak ada yang mau berteman dengannya—mereka rupanya hanya minder.
Jadwal piket hari itu sudah selesai. Gadis tercantik dikelas—namanya Mika, bergerak meletakkan sapu dan kain lap ke dalam loker di belakang kelas, sementara rekan piketnya yang satu lagi pergi membuang sampai ke bawah. Saat sendirian itulah Jiro masuk ke kelas dan memeluk Mika dari belakang, membuat perempuan itu menjerit takut.
“Jangan takut, ini aku.”
Perempuan itu malah semakin histeris dan memukulnya.
Jiro tidak melepaskan pelukannya, sampai si rekan datang dan menghajar Jiro sebelum melapor pada guru.
Itu adalah kasus pertamanya, yang mana secara sosial Jiro masih belum mengerti. Ibunya seorang rumah tangga yang selalu mengangguk atas segala keputusan ayahnya. Sekalipun ayahnya membawa perempuan lain ke dalam rumah, ibunya hanya diam.
Dia belajar dari media dan pandangan moral yang sejak kecil sudah menyimpang. Namun karena hinaan yang dilontarkan padanya di sekolah dan kurungan yang dia jalankan di pembinaan selama beberapa waktu setelah kejadian dengan Mika itu, membuat Jiro sadar bahwa yang dia lakukan tidaklah benar.
Jiro meminta untuk pindah sekolah dan berusaha untuk hidup normal di sekolah barunya. Namun entah bagaimana berita soal dirinya yang ‘menyerang perempuan di kelas’ tersebar ke sekolah barunya, dan kehidupannya yang seperti di neraka pun di mulai. Kapanpun dia lewat orang akan menjauh, tidak ada perempuan dan laki-laki yang mau di tinggal sendirian dengan dirinya dalam satu ruangan. Saat dia ke kamar mandi, dia hanya bisa duduk di kubik toilet dengan baju basahnya. Begitu pun para guru, mendengar kasus dirinya, dan melihatnya ditindas, mereka tidak ambil tindakan. Kepala sekolah bahkan kelihatan menyesal menerima dirinya.
Jiro menghabiskan masa-masa sekolahnya seperti kura-kura sampai dia masuk kuliah; tanpa interaksi khusus dengan orang lain. Dia masuk ke universitas di luar kota dan menyendiri sampai lulusnya. Namun disitu dia mengenal banyak orang seperti dirinya dengan akses yang tak terbatas.
Jiro yang di selimuti muram tidak pernah menghentikan hobinya. Setiap tokoh cantik dan seksi yang muncul, menjadi inspirasi fantasi di mimpinya.
Sudah usia segini, Jiro tidak lagi polos. Dia tahu yang pasti bahwa kejahatan di tempat terbuka itu salah. Tapi kalau tersembunyi, orang tidak akan tahu. Siapa yang akan menghakiminya?
Awal mula dia menjalankan aksinya adalah saat sepupu perempuannya yang hadir di acara makan keluarga, terang-terangan menghina dirinya.
Dengan pakaian seperti pelacur begitu, beraninya menghinaku!
Jiro menyusup ke kamar sepupunya dan memasang kamera, berniat untuk mengambil gambar memalukan untuk disebarkan—tapi melihat hasilnya, dia jadi menikmati.
Kalau dia membuka rahasia ini dan mengancam sepupunya, mungkin dia bisa menguasai sepupu perempuannya itu untuk sementara. Tapi, tidak ada jaminan orang lain tidak akan tahu soal ini, kan? Kalau sepupu perempuannya melapor pada yang lain bagaimana?
Jiro mendaratkan tangannya pada obat bius yang dia dapat dengan susah payah.
Hari itu sepupu perempuannya pergi untuk bekerja, dengan cara yang berkelit dia berhasil menyusupkan bius ke botol minum sepupunya. Obat itu tidak bekerja langsung dan perlu waktu.
Saat obat biusnya berfungsi, dia melihat sepupunya berjongkok di tepi jalan, bersandar ke tembok. Dengan hati-hati dia menuntun sepupunya ke tempat yang sudah dia siapkan.
“Sepupu? Kau sepupu babi itu, kan?”
Kata-kata perempuan itu terdengar seperti igauan. Jiro menahan marah dan menyeretnya ke gudang penyimpanan lalu menyerangnya disana.
Pada tahun baru, sepupu perempuannya masih datang ke acara keluarga dan tidak terlihat sama sekali dia menyadari apa yang sudah Jiro lakukan. Sayang sekali dia tidak bisa melakukan hal ini pada orang lain. Dia juga tidak bisa melakukan hal ini lagi pada sepupunya. Lebih dari sekali mungkin dia akan ketahuan.
Karena waktu yang terbatas dan kemampuannya untuk menguntit orang tidak banyak, Jiro mengandalkan kamera pengintai dan memasangnya di tempat-tempat umum yang sepi pengunjung.
Sayang sekali dia tinggal di kota—orang-orang lebih waspada. Satu waktu kejahatannya ketahuan, dia di tahan.
Berita itu sampai ke orang tua dan tempat kerjanya. Sudah pasti dia di pecat dari pekerjaannya dan keluarganya pun menolak untuk menerima dirinya.
Setelah bebas, Jiro pindah ke wilayah N, tidak peduli sama sekali dengan mereka yang tidak menerima dirinya.
Melihat tempat yang sepi ini, awalnya Jiro duduk patuh di apartemennya. Tidak melakukan yang aneh-aneh.
Namun lama-lama dia tidak bisa menahan diri, ketika seorang perempuan yang badannya terbungkus dari atas kebawah, Jiro penasaran. Karena jenis perempuan seperti ini dia belum pernah mencoba.
Begitulah bagaimana dia mengawasi perempuan itu dari jauh, meski dia menemukan ada seorang laki-laki yang sepertinya kenalan wanita itu, Jiro tidak menurunkan niatnya.
Mengetahui bahwa wanita itu adalah orang asing, Jiro semakin semangat. Bukankah ini artinya dia bisa melakukan apa saja? Di mata Jiro, status orang asing(orang luar negeri) tidak ada bedanya dengan status pelayan.
Jiro memperhatikan dan melihat wanita itu keluar balkon untuk menjemur. Setelahnya memastikan letak apartemennya, Jiro berangkat membobol rumah itu dan memasang kamera di berbagai tempat. Tidak lupa dia pulang membawa serta pakaian dalam dari ruang cuci sebelum mengunci kembali apartemen.
Jiro kembali ke flatnya. Dia sedang tidak terburu-buru. Tapi dia sudah lama tidak melampiaskan hasratnya. Sebelah tangannya menempelkan pakaian dalam ke hidung dan mulai mengendus, sementara tangannya yang lain bergerak membuka celananya.
'Seandainya dia ambil kain yang sudah di pakai.' Jiro berpikir di tengah euforianya.
Tanpa membersihkan diri, Jiro langsung membuka web yang terhubung dengan kamera mini-nya untuk memeriksa keadaan.
“Huh?”
Di layar hanya ada gelap.
**
Seorang pria tinggi mengenakan hoodie dan masker berdiri di luar bangunan flat dua lantai tak jauh dari blok apartemennya. Shuji menurunkan topinya, dengan tatapan dingin dia memeriksa sekeliling.
Dari awal kecoak itu sudah berniat melakukan kejahatan, Shuji mengkonfirmasi.
Shuji mendapati rumah sekitar area ini sepi; entah ditinggal pemiliknya atau jarang di singgahi. Intinya, area ini sepi dan kalau orang teriak minta bantuan, perlu waktu agak lama untuk pertolongan datang. Tentu saja kalau di telepon polisi tetap cepat datang.
Shuji memasang handscoon dan menaiki tangga flat tanpa suara. Layar ponselnya bergerak menscan aktivitas tidak biasa yang terhubung dengan kamera yang sudah dia bongkar sebelumnya. Shuji berhenti di depan pintu flat yang—tidak ada bedanya dengan pintu lainnya. Di layar ponsel, lingkaran hijau menunjukkan tempat yang dikonfirmasi sebagai lokasi mencurigakan.
Dengan lihai Shuji mencongkel kunci. Bangunan lama seperti ini tidak memerlukan usaha keras untuk membukanya. Sepertinya kecoak ini belum berpikir untuk menambah kunci.
Shuji menyimpulkan, mungkin ini ofensif pertama yang di lakukan orang ini, makannya dia masih ceroboh. Setidaknya di area ini.
Memikirkan Jingga akan jadi korban pertamanya, Shuji hampir tidak bisa mengontrol emosinya. Shuji menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri sebelum masuk ke dalam.
Dengan gerakan licin, seperti di rumah sendiri, Shuji melepas sepatunya dan menelusur masuk. Dia tidak buru-buru, melainkan berkeliling dari dapur, ruang tengah, dan kamar mandi. Foto candid perempuan yang berbeda-beda terpasang di dinding kamar mandi. Dari sudut dan cara pengambilannya, kamera ini amatir. Bisa saja memang dirancang demikian atau—memang di ambil melalui kamera pengintai.
Kecoak ini rupanya bukan melakukan hal ini pertama kalinya.
Dengan keadaan rumah yang mencurigakan seperti ini, Shuji tidak perlu takut dirinya akan di laporkan ke polisi. Haha, orang ini akan lebih dulu ditangkap sebelum polisi mencariku.
Shuji mencabut satu foto, memperhatikan dan memeriksa kemudian menjentikkannya ke sembarang arah.
Baguslah, kalau begini dia tidak perlu menahan diri.
“Ah, sial. Laparnya.” Sayang sekali dia melewatkan makan malamnya. Tapi demi keamanan Jingga.
Shuji mengambil beberapa bahan menarik dari kotak di kamar mandi lalu keluar menuju pintu terakhir yang belum dia buka, karena dia tahu orang yang dia cari ada di dalam.
Clak.
Pintu di buka perlahan, Shuji menyelinap seperti tak bernapas.
Pria gemuk itu duduk di kursi menghadap layar komputer, heran karena hanya ada hitam dari semua bingkai kamera. Dia memeriksa perekam dan hanya ada hening yang mana normal karena incarannya belum pulang. Tapi…
Tapi kenapa kameranya tidak menangkap apa-apa?
Mungkinkah produksi ini palsu? Rusak?
Pria itu membuka toko online tempatnya beli dan bersiap protes. Tidak terpikirkan sama sekali kalau kamera yang dia pasang sudah di preteli dan disimpan di tempat gelap.
Karena itu saat bahunya di tepuk, pria itu menoleh dengan mudahnya. Sebelum otaknya bereaksi, wajahnya di semprot bius dan langsung tak sadarkan diri.
“Produk ini bagus juga.” Shuji menggumam, melihat gambar beruang pada botol spray kecil di tangannya.
Dia membawa benda ini dari penyimpanan milik si pria gemuk sendiri. Produk di tangannya menyebabkan orang langsung tak sadarkan diri tapi efeknya hanya sesaat. Demi mencegah insiden yang mengganggu aksinya, Shuji menyemprotkan langsung ke hidung beberapa kali, airnya sampai mengalir seperti ingus. Sementara sisa obat bius itu dia minumkan ke mulut korbannya.
"Sayang sekali dia tidak akan keracunan." gumam Shuji menyesal dengan tulus.
Dia lalu memeriksa sekeliling ruangan dan menemukan hal yang lebih kotor daripada di kamar mandi.
“Dengan begini aku akan berjasa sedikit untuk membersihkan kriminal sepertimu.” Di pikirkan kembali Shuji jadi kesal. "Sayang sekali aku tidak bisa memamerkannya pada siapa pun."
Saat matanya melihat kain halus yang tergeletak tak jauh dari kaki kursi, bersama cairan bening yang Shuji tahu apa itu, Shuji memejamkan mata.
'Haruskah aku bawa benda lain yang tajam? Palu misalnya?'
Kalau di tengah-tengah operasinya manusia ini mati, Shuji tidak akan peduli.
Dia menelanjangi pria gemuk itu dan mengikatnya. Dia harus menahan diri untuk tidak langsung memutilasi.
Tentu saja itu hanya kiasan, Shuji masih sadar.
Pisau bedah di tangan Shuji dia gerakan. Mulanya dia menyayat sedikit kulit pria yang terikat di depannya. Melihat tidak ada reaksi, Shuji bergerak dengan leluasa.
Dia agak berbakat dalam menggambar sebetulnya. Bagian perut dan dada pria sengaja dilonggarkan talinya, area bersih itu pelan-pelan penuh garis merah. Shuji tidak menyayat dalam, hanya tipis-tipis. Meski begitu, darah tetap mengalir. Dengan sabar dan telaten dia menciptakan kepala babi paling jelek yang pernah dia ciptakan. Dengan mata tidak simetris dan ingus yang berceceran dari hidungnya. Sayang sekali bakatnya membuat gambar itu terlihat berkelas.
"....." Hanya di saat seperti ini Shuji harap dia sedikit payah dalam melakukan sesuatu.
Barulah saat sampai ke bagian vitalnya, Shuji berpikir keras. Dia mengeluarkan bubuk cabai dan cairan pembersih toilet.
Dengan kuas yang dia dapat, Shuji melakukan percobaan dan mengoleskan cairan pembersih itu ke bagian pribadi si pria. Melihat tidak ada reaksi darinya, Shuji menambah olesan. Hanya tipis-tipis untuk menyiksanya. Melakukan gerakan lemah lembut ini membuat emosi Shuji kembali naik, apalagi di hadapkan dengan organ ini.
"...." demi keamanan my baby. Shuji merapalkan dalam hati kalimat manis itu.
Bubuk cabai yang dia bawa di masukkan ke lubang bawah dengan susah payah karena berat badan si pria.
“Sial, benar-benar menjijikkan.” Entah berapa lama orang ini tidak mandi.
Setelah menyelesaikan operasi sederhana itu, Shuji menghapus akses ke kamera di komputer. Sayangnya beberapa file terkunci dan Shuji tidak ada waktu untuk memeriksanya satu persatu. Komputernya sendiri tidak bisa di format tanpa kata kunci.
Shuji melirik si kecoak yang masih tak sadarkan diri. “Idiot ini tidak bisa diselamatkan.”
Kalau bukan karena Jingga, mana mau Shuji membuang waktu. Menurunkan level dengan berurusan orang seperti ini.
Shuji menghancurkan layar komputer dan PCUnya dengan meredam sedikit suaranya. Setelah hancur, dia membawanya ke kamar mandi dan merendamnya di bak rendam bersama segala cairan dia temui. Mulai dari sabun hingga susu basi.
Setelah itu dia mengambil dan membakar dalaman yang persis sama seperti yang dia lihat di ruang cuci Jingga.
Dia tidak ingin saat ada polisi mereka meyelidiki pakaian dalam ini. Mungkin si kecoak akan sadar kenapa dia di serang seperti ini.
Kalau semisal terjadi serangan kedua, mau bagaimana lagi. Shuji terpaksa jadi penjahat.
Setelah menghancurkan komputer, Shuji mengobrak-abrik lemari dan menemukan hasil rekaman dari beragam perangkat. Setelah memeriksa isi memori itu, dia membungkusnya ke dalam tas kertas untuk dikirim ke kantor polisi.
Selesai bersih-bersih, Shuji meninggalkan flat diam-diam. Seperti saat dia datang, ketika pergi dia pun masih hening. Beberapa pintu flat yang dia lewati terdengar suara tv yang samar, menandakan di sekitarnya ada penghuni.
Shuji melangkah turun dan masih sempat menganggukkan kepala, menyapa orang yang naik tangga sebelum lewat dengan wajah tanpa dosa.
Shuji membuka pakaian hitamnya di toilet umum yang jauh dari area warga dan membungkusnya dalam plastik.
Saat keluar, Shuji memakai kaos putih polos dan celana khaki abu. Dengan santai dia kembali ke apartemennya.
Tengah malam, polisi menerima paket anonim beserta alamat yang di tulis di amplop.
“Cari kembali kurir tadi!”
Tapi kurir yang mengantar itu sudah menghilang. Di desak dengan isi amplop itu, polisi memulai investigasi. Esok paginya, polisi menggerebek sebuah flat dan menemukan, orang yang di tetapkan sebagai pelaku kini menderita jadi korban.
Melihat keadaan Jiro yang menangis sampai ingusnya keluar dan terjebak di kursi semalaman, dengan siksaan panas pada bagian pribadinya, polisi menghela napas. Namun setelah menelusuri keadaan flat itu, simpati polisi berubah jadi marah.
“…Kau beruntung tidak dibunuh, hm? Selama kau melakukan kejahatan, pasti ada orang yang tak sengaja kau singgung.”
Polisi bergerak cepat memberikan Jiro perawatan medis selagi di kawal. Menemukan bahwa Jiro pernah di tahan, hukumannya kali itu akan lebih berat lagi.
“…Sedikit menyedihkan, harusnya bagian genitalnya masih bisa diselamatkan. Tapi karena komplikasi dan tidak menerima pengobatan dengan cepat, perlu usaha untuk membuatnya normal kembali.” Kata dokter setelah melihat hasil pemeriksaan. "Sementara untuk bagian belakangnya... hm... setelah dibersihkan, terdapat sedikit radang di dinding ususnya dan akan menyakitkan setiap dia buang air." Si dokter bingung bagaimana bisa bubuk cabai alami itu masuk ke dalam, ah.. dia tidak mau memikirkannya.Orang-orang yang di bawa polisi ini memiliki kepribadian aneh.
Menerima diagnosis itu, polisi yang hadir hanya mengerutkan kening dengan perasaan campur aduk. Siapa pun yang punya ide melakukan ini jelas bukan orang normal.
Meski begitu, polisi tetap menyelidiki orang yang mengirimkan laporan sebelumnya dan berusaha menggali pelaku dari pelecehan atas Jiro. Tapi kasus itu tidak jadi prioritas dan dikerjakan perlahan.
**
Jingga sedang nongkrong pagi itu—selesai lari dia mengobrol singkat dengan ibu-ibu di sekitar lingkungan yang habis belanja.
“Katanya polisi menangkap penguntit di flat di bangunan sana.” Nyonya Shion, pemilik salon di dekat jalan raya memulai pembicaraan. Selalu jadi orang pertama yang menerima gosip di area.
“Ha! Orang memalukan seperti itu harus di hukum berat.” Bibi Shizumi, wanita paruh baya yang selalu mendengarkan dan memberi respons di saat yang tepat. Rumahnya paling ujung dari blok ini, karena itu perlu usaha keras untuk bisa berintegrasi dengan tetangga sekitar.
“Karena kejadian ini harga properti di sekitar jadi turun.” tambah Nyonya Shion. Yang berdiri di sekitar mendengarkan dengan serius.
Sementara Jingga, berdiri bersama Bibi Junta; ibu rumah tangga yang masih satu gedung apartemen bersamanya. Keduanya tidak ikut bergabung dalam diskusi dan hanya mendengarkan. Sesekali memberi reaksi.
“Aku akan beritahu saudaraku, barangkali dia mau beli.”
“Kau tidak takut akan di serang, apa?”
“Justru setelah polisi membongkarnya, orang tidak akan melakukan kejahatan disitu lagi karena takut.”
“Ah, aku tidak akan menginjakkan kaki kesana. Membawa sial.”
“Katanya penguntit itu dikuliti dan di kebiri!”
Para pendengar menarik napas panjang. Jingga membulatkan mata, berpikir: 'Sengeri itu??'
“Keji sekali… ini terlalu berbahaya.”
“Hei jangan bicara sembarangan, tidak ada yang namanya dikuliti dan di kebiri.” Nyonya Shion membantah. Bibir merahnya melengkung cemberut. Dia tidak bisa membiarkan rumor-nya terlalu ngaco. Kalau dia di tuduh sebagai salah satu pembuat kepanikan, bagaimana?
“Terus bagaimana bisa aku mendengar rumor itu?”
"Kau tahu istrinya Pak Tomo yang kerja di pos polisi itu? Dia datang ke salonku dan bercerita. Rumor yang kau dengar itu terlalu berlebihan. Kejadian aslinya, hanya kulitnya sedikit disayat dan bagian anunya….” Nyonya Shion mulai menjelaskan.
Insiden itu cukup untuk jadi asupan ibu-ibu di sekitar berminggu-minggu.
Setiap lewat dia bisa melihat orang berkumpul dua-tiga orang, membicarakan hal yang sama.
Jingga berniat ke supermarket untuk belanja saat menangkap sosok Shuji di stan ubi bakar.
“Hei.” Jingga menyapa seperti biasa.
“Hm.” Shuji mengangguk singkat dan bertanya halus tanpa kelihatan mencari tahu. “Apa kau tidak lelah olahraga sampai sesiang ini.” Shuji melirik langit yang sudah cerah.
Jingga melirik jam di ponselnya dan melihat waktu menunjukkan pukul 10 pagi.
“Iyalah, lama juga, ya, ternyata?”
“Semangat?”
“Tidak juga." Jingga tertawa kecil. "Tadi aku mengobrol dulu dengan ibu-ibu di taman.”
Shuji mengangguk mengerti tanpa menunjukkan ekspresi berarti.
Dia sudah berdiri di stan ini selama lima belas menit. Berpikir untuk belanja bersama tapi yang di tunggu baru datang sekarang.
Penjual ubi di depannya sampai heran dengan dirinya yang sudah menghabiskan tujuh buah ubi.
Sepertinya tidak perlu untuk makan siang hari ini.
Shuji menghabiskan potongan terakhir dan bergerak menuju supermarket. “Mau belanja?”
“Eh, iya. Bareng kalau begitu.” Jingga berseru dan jalan di sampingnya. “Kau sudah dengar beritanya?”
Langkah Shuji terhenti sesaat namun dia segera mengontrol gerak-geriknya. “Berita apa?”
“Katanya… ada yang habis di tangkap gara-gara menguntit dan video tape gitu. Menurutmu pelaku seperti ini akan di ekspos di media atau tidak?”
Shuji melirik jalan di sekitar, menyusun jawaban dengan hati-hati. “Kalau di tv nasional tidak akan. Tapi di koran lokal biasanya pelaku di kenalkan dan di pasang fotonya, supaya orang lebih waspada.”
“Ooh… begitu.” Jingga mengangguk-angguk. “Kau tidak kaget?”
“Uh, huh?” Shuji melirik dan segera mencari alasan. “Aku sepertinya dengan samar-samar di stan ubi tadi. Tapi kukira bukan di sekitar sini tempatnya…”
“Hmmm.” Jingga mengangguk-angguk. “Tapi sungguhan dia di kuliti dan di kebiri?”
Shuji ingin membantah bahwa dia tidak sekeji itu. Tapi tidak mungkin.
Dia hanya bisa memberikan alasan logis, “Kalau sampai seperti itu, sudah akan jadi berita nasional. Polisi dari ibukota akan datang, pasti tempat ini akan ramai. Tidak tenang seperti sekarang.” dia ingin tahu pendapat Jingga mengenai hal ini. Mungkin dia bisa menyesuaikan kriteria sesuai standar Jingga.
“Oh, benar juga.” Jingga diam sejenak. “Aku tidak tahu apakah pelaku yang menyakiti penguntit itu benar atau salah, tapi aku lega orang itu di tangkap.”
“Hmm.” Shuji yang merupakan pelaku pelecehan dari penguntit itu, membusungkan dadanya bangga tanpa sadar. Keduanya memasuki supermarket dan belanja bersama dari awal sampai akhir.
Meski dia berhasil menjauhkan Jingga dari bahaya, dia belum tenang. Shuji sekali lagi yakin bahwa dia harus mengawasi dengan teliti. Alangkah mudahnya kalau mereka tinggal serumah?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments