Esoknya paginya, hujan mereda namun cuaca masih mendung. Kegiatan masih belum bisa dilanjutkan karena penanganan bencana sedang dilancarkan di beberapa titik dan malam ini kembali hujan, tinggi kemungkinannya. Pagi hari biasanya Jingga makan snack bar kalau malas masak. Di hari kerja pun, kalau tak sempat sarapan, dia selalu makan itu. Tapi karena seseorang sudah memberikan deposit, sekalipun Jingga tidak mau makan, dia harus tetap masak.
Jingga mengantar makanan pagi itu ke pintu apartemen sebelah. Dengan suasana yang kelam seperti yang sudah-sudah, kotak makan itu di terima.
Keduanya seperti sepakat dan tidak terpikirkan sama sekali untuk misalnya: makan bersama.
Jingga tidak mengharapkan terima kasih. Dia sudah maklum dengan sifat tetangganya. Tapi menyapa pun tidak, bukankah ini keterlaluan?
Jingga masih menebak apakah memang Shuji seperti itu orangnya, atau dia ada dendam pada Jingga...
"Dia tidak akan membuang makanannya, kan?" Jingga tiba-tiba khawatir. Jingga belum lama tinggal disini. Satu-satunya makanan lokal yang bisa dia buat hanyalah nasi kepal. Makanan disini rasanya terlalu gurih dengan perpaduan yang membuat otaknya pusing. Setiap dia memasak, Jingga selalu membuat menu dari kampung halamannya.
Untuk sarapan pagi itu, Jingga membuat menu yang cukup bersahabat dengan semua selera. Perkedel jagung, oseng jamur, nasi, dan ati goreng yang sudah dia marinasi malam sebelumnya. Untuk sarapan, menu itu agak berat. Tapi karena Shuji habis dari klinik dan perlu nutrisi, Jingga rasa tak masalah.
Siangnya, Jingga membuat yang sedikit ringan; nasi, sayur sop dengan sampingan tempe dan kacang goreng. Untuk buahnya Jingga hanya menambahkan tomat ceri.
Sayang sekali dia tidak bisa membagi yang mewah-mewah karena dari awal dia belanja untuk makan sendiri.
'Aku harusnya minta wadah milik dia saja, jadi aku tidak perlu bingung mencari wadah.' Jingga mengeluh setelah melihat lemari piringnya yang kosong.
Di tempatnya hanya ada dua kotak makan itu pun digilir untuk pergi bekerja.
"Untuk makan malam bisa pakai mangkuk saja, nanti tinggal di bungkus plastik wrap.."
Berdiri di depan pintu, Jingga menekan bel dan menunggu beberapa menit sebelum Shuji keluar. Jingga memperhatikan wajah bengkak dan lebam Shuji yang agaknya tidak membaik sama sekali.
Heran. Apa obatnya tidak di pakai? Mungkin proses pemulihannya memang lambat?
"Kau....," tapi sebelum dia melontarkan pertanyaan, kotak di tangannya sudah diambil dan pintu di tutup seketika.
Jingga: .....
Jingga membulatkan tekad dan menekan bel sekali lagi.
Jelas-jelas Shuji ada di dalam. Tapi meski Jingga menekan bel lagi, pintunya tetap bergeming.
"Kenapa dengan orang ini?!" Jingga akhirnya berbalik kembali ke apartemennya, mulai emosi. Kalau mengikuti gaya di kampung halamannya, pintu itu sudah dia tendang.
"Sabar, Jingga." Dia menarik napas panjang untuk yang sekian kalinya.
"Oh, kotak makannya....," Jingga meratap. 'Pokoknya, malam ini dia harus berhasil mendapatkan kembali wadah-wadahnya.
***
Shuji membawa masuk kotak makan siangnya, melangkahi puing-puing perabotan yang sudah rusak dan berceceran menuju meja makan yang sudah dia geser sebelumnya ke samping jendela. Beberapa aroma tak sedap mulai muncul dari arah dapur bersumber dari makanan yang sudah kadaluarsa. Meski Shuji bisa hidup di tempat berantakan dan kotor, dia tidak bisa hidup dengan mikroorganisme yang yang kasat mata. Jadi kini bau pestisida dan makanan lama itu bercampur aduk di dapur, menyebar ke seluruh ruangan.
Tapi hal itu tak menghentikannya untuk makan. Dengan khidmat dia membuka kotak pelan-pelan. Bahkan tutupnya dia letakkan tanpa suara seakan lecet sedikit pun tidak bisa diterima. Shuji merasa sebagian kegelisahannya hilang.
Di atas meja makan itu, duduk bersamanya kotak makan pagi yang sudah dia cuci, dompet, juga secarik tiket yang sempat dia kira jatuh. Rupanya, dia menyelipkan tiket itu di dompetnya selama ini. Sungguh lucu kalau di pikir kembali.
Dari semua tempat yang semrawut di apartemennya, hanya area makannya yang menjadi zona kedamaiannya. Shuji sendiri tidak menyadarinya.
Mungkin passion yang selama ini dia cari adalah makanan? Kalau tidak, kenapa dia bisa begini nikmatnya?
Sampai membuatnya berhenti berpikir untuk mati sementara waktu ini.
'Mungkin karena makanan ini berasal dari tangan seseorang?' Biasanya dia kan makan masakan sendiri atau beli di minimarket.
'Mungkin passion-ku ada di makanan asing'. Shuji menggumam. Karena menu yang dia makan seharian ini membuatnya sedikit senang.
'Besok, coba tunggu sehari lagi.' kata Shuji dalam hati. Kalau masih merasakan hal yang sama, dia mungkin bisa coba terjun ke bidang ini.
-Malamnya-
Jingga pergi mengantarkan makan malam. Sebelum dia menggapai bel, pintu sudah diayun terbuka.
Tanpa basa-basi, wadah makan di tangan Jingga di rebut. Sayang sekali Jingga kurang licin untuk menahannya.
Kesan ngeri yang biasa Shuji pancarkan mulai terasa biasa untuk Jingga. Karena itu, melihat wajahnya yang bengkak dan tatapannya yang lurus itu agak.. unik, ahem. Dalam keadaan normal, Jingga akan tertawa. Tapi mereka tidak sedekat itu untuk saling bercanda....
Jingga melihat penampilan 'normal' Shuji hanyalah waktu bertemu di stasiun. Selebihnya, dia hanya berpapasan sesekali, persis dengan gaya rambut menutupi wajah, punggung bungkuk, dan cara berjalannya tanpa harapan. Bisa di bilang sudah sejak lama, tanda-tanda depresi terlihat pada diri Shuji.
"Itu.... bekas kotak makanku, mau aku bawa?" kata Jingga sebelum pria di depannya bisa menutup pintu.
"....." Shuji diam untuk waktu yang lama.
Saat Jingga pikir Shuji tidak akan membalas, dia mendengar pria itu berkata dengan suara seperti berkumur, "Wadah murah saja diminta-minta?"
Lalu pintu ditutup dengan 'bam', mengejutkan Jingga.
Jingga: ??
'Apa? Salahku dimana?'
Jingga menurunkan alisnya antara bingung dan lelah. Jingga berusaha mengulang kejadian, barangkali ada yang membuat Shuji tersinggung dari kata-katanya?
Sebelum Jingga bisa menemukan dimana salahnya (yang faktanya tidak ada), pintu kembali terbuka dan Shuji menyerahkan lima puluh ribu yen baru sebelum menghilang secepat angin di balik pintu.
Menatap pintu yang hening itu, membuat Jingga berpikir mungkin Shuji hanyalah ilusi. Tapi uang di tangannya jelas-jelas nyata.
"...."
Jingga kembali ke kamarnya memegang uang lima puluh ribu yen dengan tak habis pikir.
'Kenapa dia terus memberikan uangnya?' Jingga diam sejenak pada pertanyaan itu.
Bukannya Jingga tidak terima. Tapi ini kan salah.
Lain kali, Jingga akan coba diskusi dengan lebih cermat lagi. Mungkin Shuji tidak mengerti dan bereaksi demikian karena bahasa mereka kurang padu, hahaha....
"....." Jingga menghela napas panjang dan meletakkan uang baru yang dia terima ke dalam amplop, bersama kembarannya yang kemarin. Sejak awal, Jingga tidak ada niat untuk menerima uang ini. Dia berencana untuk mengembalikannya di waktu yang tepat. Siapa tahu Shuji akan menyesal setelah sadar. Bagaimana pun ini bukan jumlah yang sedikit. Manusia seringkali bersikap impulsif.
*******
Hari ketiga.
[Oni Kichigai, pemuda berusia 24 tahun di tahan atas tindakan berupa 'menghasut' orang-orang untuk bunuh diri melalui media sosial. Polisi berhasil menggagalkan aksi dan menangkap O-Oni.. Kichigai di apartemennya ketika hendak menjalankan aksi jasa 'membunuh-nya' pada salah seorang yang dijebak untuk datang.... Berikut adalah barang bukti yang ditemukan di tempat kejadian...]
[Menurut jaksa setempat, gangguan kejiwaan yang diderita pelaku tidak membuatnya mendapat keringanan atas tindakannya dalam kasus ini..]
"Kenapa banyak sekali berita mengerikan seperti ini." Jingga mematikan televisi dan menata wadah makan di meja, bersiap untuk mengantar makan.
Siang itu Jingga menunggu di depan pintu apartemen Shuji seperti biasa.
Sejak konflik terakhir—benar, konflik, Shuji menghindari Jingga. Sekarang setiap Jingga mengantar makanan, hanya tangannya saja yang muncul.
Dan sampai sekarang, Jingga belum sempat diskusi soal kotak makannya lagi...
Cklek.
Jingga hampir memiringkan kepalanya untuk mengintip orang di balik pintu, entah hanya perasaannya saja atau memang kelihatannya begitu, Jingga merasa wajah Shuji sedikit merah. Mungkin efek bengkak...?
"Kau... baik-baik saja?"
Mendengar pertanyaan itu Shuji mengangkat kelopak matanya malas. Mulutnya terkatup rapat dan dia hanya mengeluarkan deheman sebagai balasan sambil menerima makan siangnya.
"Sakit tenggorokan?" tanya Jingga lagi sambil menunjuk tenggorokannya sendiri.
Yang di tanya tidak mau menjawab lagi karena dia pikir kalau membalas, percakapan ini akan bertambah panjang. Shuji mengabaikan Jingga dan bersiap kembali masuk.
"Tunggu!"
Kotak makan di tangan Shuji di tahan oleh Jingga. Mata Shuji membulat tidak terima, tatapannya berpaling dari wadah makan lalu ke Jingga secara bergantian. Wajahnya menunjukkan kekesalan yang kentara. Tapi dalam keadaan ini pun, Shuji tetap bungkam.
Keduanya tarik ulur. Dengan gerakan yang besar itu, Shuji keluar dari balik pintu.
"Masakan ini tidak boleh untuk yang sakit tenggorokan." kata Jingga akhirnya, berniat mengambil kembali masakannya.
Tapi kedua tangan Shuji yang kelihatan ramping dan tak bertenaga, mencengkeram wadah dengan kuat dan menolak melepaskan.
"Lepas, gak." kata Jingga tegas. Kalau tetangganya ini pingsan lagi bagaimana? Dan penyebabnya adalah menu masakannya, wah, bisa runyam. Di tambah pria ini di rumahnya sendirian. Kalau pingsan atau misalnya tersedak karena panik, tidak akan bisa ada yang menolong. Jingga bisa di tuduh jadi pelaku pembunuhan.
Dia dengar dari temannya, seorang pertukaran mahasiswa asing masuk rumah sakit karena makan gorengan! Perut orang-orang ini benar-benar rapuh. Jingga tidak berani.
Tapi Shuji menggelengkan kepalanya, menolak.
"Lepas, Shuji." Jingga akhirnya menyebut nama Shuji untuk pertama kali. Selama sepersekian detik Shuji kaget mendengar namanya di sebut, saat itulah Jingga berhasil mengambil kembali wadah makanannya.
"Aku tidak sakit tenggorokan." kata Shuji akhirnya, melihat makan siangnya hendak di bawa pergi. Dia tidak sakit tenggorokan, hanya suaranya agak nasal karena demam.
Mendengar suara serta tatapan Shuji yang nampak memelas, Jingga akhirnya luluh sedikit. Tapi dia masih tidak melepaskan kewaspadaannya, dan menjauhkan wadah makan ditangannya. Karena dia masih ingat siapa yang tadi pagi menyeringai waktu diantar sarapan dan mengelabui dirinya.
"Kau sakit?"
"...Mungkin."
"Mungkin? Coba cek pakai termometer, kau..." kau tinggal sendiri, kenapa tak bisa melakukan hal mendasar seperti itu? Jingga bertanya-tanya bagaimana orang di depannya hidup sendiri selama ini.
Shuji ingat dia punya kotak P3K di rumahnya, tapi dia tidak tahu dimana letaknya sekarang. Obat-obat itu juga sudah dia buang....
Shuji berdehem. "Pokoknya aku bukan sakit tenggorokan. Berikan."
"Kau yakin?"
"...."
"Kau masih ingat habis pingsan kemarin lusa di rumahku, kan?" Jingga menghela napas dan berpikir beberapa saat sebelum memutuskan. "Biar aku buatkan bubur untukmu."
"Tidak!" Shuji menjawab setengah teriak, Jingga sampai terperanjat. Bagaimana bubur bisa sama rasanya dengan masakan biasa?
Jingga mengatupkan mulut. Shuji memalingkan matanya ke sembarang arah. Sadar bahwa dia sudah kelewatan.
"... Kau tidak perlu memasak lagi. Aku laparnya sekarang." seperti menemukan tumpuan, Shuji memulai omong kosongnya, "Kalau ditunda, aku bisa maag. Aku benar-benar harus makan sekarang."
"Yasudah kau makan, tapi aku awasi." Jingga terpikirkan soal sesuatu, dan menambahkan. "Di apartemenmu." Jingga hanya akan mengawasi sampai Shuji selesai makan, setelah itu pulang.
Shuji: ??
"Gila kau ya?" Shuji yang lupa dengan makan siangnya langsung memasang pose agresif. "Untuk apa aku diawasi segala."
Jingga memejamkan mata dan menarik napas untuk menenangkan diri.
"Kau makan makananku di saat sakit begini, mana mungkin aku bisa tenang. Kalau kau mat—pingsan gara-gara tersedak tiba-tiba, misalnya, aku harus bagaimana?"
"Aku kan beli makanan ini. Sama seperti aku beli makan di minimarket. Kalau aku mati karena makan makanan itu, orang tidak akan menyalahkan tempatnya. Kecuali kalau di makanan itu ada yang aneh-aneh." itu adalah kalimat terpanjang yang pernah Shuji ucapkan. Selesai berkata demikian, Shuji melipat kedua tangannya di dada.
"Mungkinkah kau memasukkan sesuatu yang aneh?" berpikir mungkin perempuan ini memasukkan cairan terlarang ke makanan yang selama ini dia makan... Shuji langsung menutup mulutnya dengan tangan. Kalau imajinasinya di teruskan, dia bisa muntah.
Mulut Jingga ternganga tak percaya. Wajah bengkak itu bukannya membuat orang kasihan tapi justru membuat orang ingin tambah memukul.
"Kau... jangan keterlaluan." Jingga tidak pandai membantah apalagi dengan bahasa asing. Meskipun kesal, Jingga tetap berkata dengan hati-hati.
".... Yang kau katakan tidak mustahil." Jingga akhirnya menyerah untuk berdebat. 'Orang ini sakit,' gumam Jingga pada dirinya sendiri.
"Tapi aku tidak akan melakukan hal itu. Kalau aku orang seperti itu, mana mungkin kau akan minta aku masak untukmu, kan?" Orang seperti Shuji yang memiliki trust issue, akan lebih waspada dalam menerima apapun itu dari orang lain.
Shuji mendengus dan mencebik.
"....." 'Sabar, Jingga. Kau sudah bertahan selama berhari-hari. Kau bisa melakukannya... Ahhh! Aku gak bisa sabar!'
Keduanya terjebak dalam deadlock sampai Jingga menyerah.
"Sudahlah, aku tidak akan masak untukmu lagi." kata Jingga pasrah. Wajahnya tertunduk dan alisnya jatuh, terlihat sedih.
Ucapan itu membuat Shuji tercenung.
"Aku tidak mau ambil resiko, dan uangmu juga tidak aku apa-apakan. Soal yang dua hari ini, anggap saja pertukaran antar tetangga. Kau bisa balas berbagi makanan padaku di lain waktu. Aku ambil uangnya dulu." Dia berbalik tanpa menunggu respons dari Shuji.
Tangan Jingga bergerak memegang handle pintu apartemennya.
"Tunggu."
Gerakan Jingga berhenti, menantikan lanjutan kata-kata.
"Aku tidak bisa membiarkanmu mengawasiku makan." kata Shuji pelan.
Mendengar itu, Jingga tidak bisa menahan jengkel. "Aku tahu, makannya aku kembalikan uangmu. Kesepakatan kita—,"
"Bukan begitu." Shuji menyanggah.
"Maksudnya jadi bagaimana?" tanya Jingga tanpa sadar meninggikan suaranya. Hanya saja, nada tinggi Jingga tidak terdengar seperti orang yang marah, lebih seperti merajuk.
Tapi dia sadar sudah kehilangan kontrol dengan emosinya. Jingga segera mengendalikan nada bicaranya. "Katakan."
"...." Shuji memandang Jingga lama seperti mempertimbangkan sesuatu yang sulit. "...Apartemenku." setelah berkata begitu dia tidak melanjutkan.
Jingga tentu saja tidak mengerti.
'Apa dia akan terus begini? Bicara setengah-setengah, memaksa aku jadi detektif.' Jingga ingin menangis.
Memikirkan interaksinya beberapa hari ini, sejujurnya Jingga merasa sedikit senang. Selama ini dia sendirian. Meski Shuji agak nyentrik, tapi berpikir ada orang lain yang menunggu masakannya, membuat Jingga mempersiapkan setiap menunya dengan antusias.
"... Hei." Shuji memanggil lagi, memastikan kalau Jingga mendengarkan alasannya (yang tidak jelas).
"Baiklah." Jingga jalan balik dan berdiri di depan Shuji.
Ekspresi Shuji patut di abadikan. Dengan wajah warna-warni dan lebam, dahinya berkerut; memilih untuk bertahan atau menyerah.
Melihatnya, Jingga jadi ingin tertawa dan amarahnya lenyap seketika.
Akhirnya Shuji bersedia menepi.
Jingga membuka pintu apartemen lebar-lebar dan melihat kekacauan yang tidak pernah ia bayangkan.
Apa itu? Tv? Kenapa benda kotak di dinding itu menunjukkan pecahan yang abstrak? Mungkinkah ini bagian dari seni?
Tidak perlu meneliti barang-barang apa yang tergeletak sembarangan di lantai.
"...Kau..." Jingga menoleh ke Shuji dan bertanya ragu-ragu. "Lagi beres-beres?"
Shuji: ....
"Sudah kubilang aku tidak bisa.." Shuji awalnya tidak ingin ada orang yang tahu dengan keadaan ini. Tapi karena ini hanya perempuan sebelah ini dan kondisi mereka, jadi ya... sudahlah.
Jingga kembali menatap seisi ruangan tanpa menunggu balasan. Perasaan bercampur kasihan, malang, sedih, dan bingung memenuhi hati Jingga.
nguungg...
Seekor lalat lewat di tengah-tengah, membuat Jingga yakin kalau ini bukan kekacauan karena bersih-bersih. Di saat itu, aroma tak sedap tercium dari dapur. Jingga tidak perlu menebak ada apa disana.
"......Biar... aku berpikir dulu." Jingga putar badan dan bersiap kembali ke apartemennya.
"Makan siangku?"
"Ambil, ambil. Aku kasih dengan wadahnya."
"Huh, sudah seharusnya, aku kan sudah bayar."
"Ya, ya, ya." Jingga mengangguk cepat.
"Jangan lupa makan malamku."
Jingga tidak menjawab dan langsung menutup pintu apartemennya begitu dia masuk ke dalam. Dia yang tadi tenang kini mulai bergetar tangannya. Mengingat pemandangan di dalam apartemen Shuji barusan, Jingga mulai sadar, bahwa berhadapan dengan orang yang depresi, tidak semudah kelihatannya. Yang membuat Jingga takut adalah tumpukan sampah di tengah ruangan bersama perkakas tajam.
Apalagi... apalagi dia baru lihat berita...
"Uuuu...." dan selama ini dia berhadapan dengan orang itu, bersikap begitu santai. Jingga terduduk di pintu untuk waktu yang lama. Setelah menghapus air mata dan menenangkan diri, barulah Jingga memikirkan kembali sikapnya selama beberapa hari ini.
"......" mungkinkah ada sikapnya yang membuat Shuji tak kerasan? Mungkin juga itu yang membuat Shuji sebegitu ketus dan dingin?
Jingga memejamkan mata dan berpikir untuk menarik semua perbuatannya....
'Sudah terlambat, dia sudah kenal aku, dan aku bahkan jadi tukang masaknya dia.' gumam Jingga.
'Kau tidak boleh seperti ini, Jingga. Ingat dengan semua yang sudah kau lakukan. Atas hal-hal yang kau anggap positif itu, jangan menilainya sia-sia apalagi membawa sial.'
Tuhan sudah menjaga Jingga selama ini. Bahkan dihadapkan dengan orang seperti itu, dia baik-baik saja.
Sejak awal Jingga bukannya mencari bahaya, dia hanya berniat membantu.
'...begini benar, kan?'
Jingga bingung.
Malam itu Jingga masak makan malam dua porsi seperti sebelumnya tapi dia tidak segera bergerak untuk mengantar makanan. Jujur, dia masih merasa sedikit takut. Dan dia juga masih tidak menyangka. Apartemen miliknya dan Shuji adalah tipe yang sama, tapi isinya sangat berbeda, seperti langit dan bumi.
Benda-benda itu bukan rusak secara alami, tapi karena di hancurkan. Kalau bukan Shuji, siapa lagi pelakunya?
Haruskah Jingga melanjutkan interaksi ini?
"..Ah, aku gak mau nganterin." Jingga berbisik pelan, menempelkan dahinya ke tembok sambil curhat.
Tapi ketidak-inginannya bukan berarti alam semesta berkehendak.
Ding dong~
"...." kali ini, Jingga tidak perlu menebak siapa yang menekan bel apartemennya. Jingga berjalan ke pintu, berhenti sesaat, dia memandang ke vas payung tempat tongkat baseballnya tersimpan.
*******
Shuji menunggu beberapa menit sampai pintu di buka. Tetangga perempuannya itu masih terlihat bodoh seperti tadi siang.
"Aku baru mau antar." pernyataan itu terdengar seperti bohong. Tidak bisa dibilang bohong juga..., hanya saja tadi Jingga masih mempertimbangkan.
Shuji tidak repot-repot mencari tahu kebenarannya. Dia mengintip isi rumah Jingga dari sudut yang terlihat. Sebelum beralih ke tangan Jingga yang tersembunyi di balik pintu, seakan mengestimasi sesuatu.
"Tidak membawa tongkat baseball lagi?" tanya Shuji ringan.
"....." Jingga terkejut namun segera mengontrol wajahnya. "Waktu itu aku kaget karena kau mengetuk malam-malam."
"Bagaimana dengan sekarang?"
"Sekarang aku tahu kau yang mengetuk, jadi aku tidak membawa tongkat baseball-ku."
"Huh." Shuji memutuskan untuk percaya setengah kata-katanya. "Bukankah kau bilang mau mengawasiku?"
'Seandainya aku bisa menarik kembali kata-kataku.' Jingga menangis dalam hati.
Wanita di depannya mungkin tidak sadar, setiap ekspresinya seperti buku yang terbuka untuk Shuji.
"Apartemenmu tidak bisa... jadi tidak usah..." Jingga berbisik pelan.
"Tapi disini bisa kan?" sela Shuji.
"... Aah?" beberapa detik kemudian ekspresi Jingga langsung berubah penuh penolakan. "Tapi kau laki-laki."
"Terus."
"Aku perempuan."
"Dan?"
Jingga membuka-tutup mulutnya.
"Kau suka padaku?" celetuk Shuji tiba-tiba.
Sebelum Jingga bisa mengatur ekspresi wajahnya, Shuji sudah menjawab sendiri pertanyaan itu.
"Tidak, kan? Karena kita tidak ada perasaan demikian, jadi mustahil akan ada sesuatu yang terjadi. Sama seperti manusia dan anjing. Di dalam ruangan bersama, menjalin sesuatu itu mustahil. Gambaran itu mirip dengan kau dan aku."
Kata-kata Shuji sedikit cepat dan susunan katanya agak sulit untuk Jingga pahami. Tapi kenapa dia mendengar kata 'inu'? Dari wajahnya, Jingga yakin orang di depannya ini sedang mengejek... Tapi dia tidak bisa membuktikannya!
"Kau... Kau barusan mengataiku?"
"Tidak?" Shuji tidak mengaku. Dia memiringkan kepalanya. "Aku hanya bilang interaksi seperti itu mustahil diantara kita. Karena... kau bukan tipeku sama sekali." kali ini Shuji memperlambat kalimatnya.
"Meski begitu—,"
Dari jauh terdengar suara langkah kaki. Jingga dan Shuji otomatis menoleh ke arah suara. Di lantai ini, ada delapan kamar totalnya, dan hanya tiga yang terisi. Selain Jingga dan Shuji, ada satu orang yang tinggal di lantai ini. Hanya saat menggunakan lift mereka bisa bertemu.
"Kau cepat kembali ke kamarmu, nanti makanannya aku antar." kata Jingga cepat.
Mendengar itu, Shuji mengangkat sebelah alisnya. "Kau tidak mau terlihat bersama denganku?"
"Bukan begitu!" Iy**a! Jingga akhirnya mengerti kenapa orang-orang dan penghuni gedung ini menatap dirinya kasihan, kadang ada yang menjauhi. Hal itu terjadi setelah Jingga membela 'Shuji' yang waktu itu masih jadi NET; dan di cap sebagai orang mencurigakan.
Kenyataannya, semua orang di gedung tahu Shuji orang seperti apa karena Shuji bukan yang pertama, hanya Jingga saja yang melihat semuanya dari sisi positif!
"Aku mau makan." kata Shuji menantang.
"Kau!!" akhirnya Jingga menarik Shuji masuk dan menutup pintu sebelum penghuni lain itu sempat melihat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
anggita
di novel, tiap buka pintu selalu tulis bunyi... ceklek., cklek., 😁
2023-10-22
2