7. Tidak Sadar

Shuji menitikkan obat tetes ke matanya yang terasa kering. Gara-gara khawatir, Shuji mengalami insomnia. Dia tidak bisa tidur, akhirnya membuang waktu dengan menulis artikel. Setelah idenya kering, dia lanjut main game sampai tak terasa waktu menunjukkan pukul dua pagi.

“Ah, sial.” Dia mengerjapkan matanya dan bersandar ke kursi, kepalanya menengadah. Kalau dia tidur sekarang, dia akan kebablasan. Besok hari libur dan dia tidak ingin melewatkan kegiatan lari paginya dengan Jingga.

Semua ini gara-gara kecoak itu.

Shuji membuka kembali gambar yang dia simpan; pria mencurigakan yang dia duga mengincar Jingga. Dia menatap beberapa saat sebelum mengumpat. Kenapa dia menghabiskan waktu di pagi yang sepi ini dengan melihat gambar hewan?

Sambil berpikir demikian dia ganti membuka ponselnya, dimana disitu terdapat foto Jingga dari belakang; itu pun hanya syal-nya yang terlihat.

"Bahkan bentuk kepalanya pun lucu."

Semakin hari, semakin dia ingin bertemu. Semakin mengobrol, semakin Shuji gemas. Tetangganya itu selalu membicarakan hal remeh dengan kesungguhan di wajahnya. "Tapi kenapa dia selalu menutupi kepalanya?"

Shuji mengerutkan keningnya halus. "Mungkinkah dia... salah pakai cat rambut dan karena warnanya seperti lampu neon jadi ditutupi?"

Shuji merenung dan membayangkan rambut neon Jingga mulai dari yang panjang, pendek, keriting, dan seterusnya.

"Kalau benar begitu mungkin aku bisa cat juga. Setelah itu dia tidak perlu lagi merasa malu." Shuji menatap lama ke foto dan matanya mulai bergerak menutup perlahan. Dia menggelengkan kepala dan berdiri, menyeret kakinya dan memaksa matanya melotot, memandang ke jalanan gelap dari jendela apartemen melalui binocular. "Kalau aku tidak melakukan sesuatu aku bisa tidur." gumamnya.

Shuji mengawasi beberapa sudut yang tersembunyi, Ok, aman.

Tapi dia tidak bisa memeriksa sudut mati, jadi Shuji harus turun.

Dia membawa rokok dan uang recehan lalu keluar dari apartemen dan menuruni lift. Berhubung dia sudah bergadang, sekalian saja beli kopi supaya dia bisa terus berjaga sampai kegiatan lari pagi hari ini.

Shuji keluar gedung apartemen dan duduk di kursi taman. Sambil menunggu waktu berlalu dia menghisap rokok. Shuji mengangkat tangannya namun ingat bahwa dia tidak pakai jam tangan. Siapa juga yang keluar jam segini pakai jam tangan?

Kota saat itu benar-benar sepi, seperti kota mati. Hanya lampu taman yang menyinari sementara jalanan terlihat gelap. Kalau bukan di kota, tidak banyak lampu jalan yang dipasang.

Shuji bangun setelah rokoknya habis dan berjalan menuju mesin minuman. Dia memilih tiga kaleng kopi, dan membuka satu. Sambil meneguk perlahan, matanya mengawasi sekeliling lingkungan.

Dia tidak menemukan manusia mencurigakan.

Meski dia masih awas, Shuji harap kecoak itu berhenti berkeliaran di daerahnya. Atau minimal, kalau mau beraksi—lakukan dengan cepat biar urusan ini cepat selesai.

"Haah."

Dari jalan raya di ujung terdengar suara bus di rem. Shuji diam di tempat tanpa bergerak sampai suara langkah kaki yang akrab terdengar mendekat.

“Ah? Shuji?”

“Huh?” pura-pura kaget, Shuji mengangkat pandangannya, melihat Jingga yang baru pulang kerja. Kali itu dia memakai kaos polos berwarna merah lembut. Meski wajahnya kelihatan kering karena kerja malam, dia terlihat baik-baik saja.

“Baru pulang?”

“Iya. Kau….” Jingga melirik Shuji, lalu memperhatikan sekeliling. “…kau ngapain sendirian disini?”

“Insomnia.” Shuji berkata dengan logat cepat.

“Insom?”

“In.som.ni.a”

“Ooh.. insomnia?”

“Hm.”

“Tapi kalau insomnia kenapa malah minum kopi?” Jingga memiringkan kepala begitu melihat kaleng yang di teguk saat jarak keduanya mengecil. “Itu kopi, kan?”

“….” Shuji tidak ingin kedoknya terbongkar. “Kau baru pulang kerja, kan? Sana cepat pulang.” Hanya saja kata-kata yang keluar malah jadi sinis. Shuji menghembuskan napas kesal dalam hati—kenapa dia tidak bisa lembut sedikit...

“Iya ini mau, kok.” Jingga mendengus, tidak tersinggung dengan sikap Shuji sama sekali. Perempuan itu lalu berjalan ke gedung apartemen.

Shuji memperhatikan sosok itu berjalan ke pintu masuk dan menghilang. Bekas kaleng yang sudah habis isinya dia remukkan dan di masukkan kembali ke plastik karena tidak ada tempat sampah di sekitar.

"Are?"

Shuji mengangkat kelopak matanya malas melihat dua orang polisi yang sedang patrol lewat dengan sepeda. Keduanya berhenti di depan Shuji.

"Selamat pagi." Salah satu polisi itu menyapa, sementara yang satunya mengangguk. Shuji memperhatikan keduanya dan dia seperti mengenali satu polisi di depannya...

'Bukankah dia pria yang malu-malu itu?' Shuji masih ingat dengan pria yang mengobrol dengan Jingga sampai berseri-seri.

'Apa? Dia ternyata salah satu polisi di daerah ini?' Wajah Shuji menggelap. Kemungkinan bahwa mereka akan bertemu lebih dari sekali membuatnya mual.

"Sudah jam tiga, rajin sekali sudah bangun?" pria menjijikkan—ahem, polisi yang Shuji kenali pernah mengobrol dengan Jingga itu—bicara padanya.

"Poinnya apa." Shuji berkata dengan nada datar.

"Begini, kami menerima laporan ada pria mencurigakan yang berkeliaran dini hari..." polisi itu menilik Shuji dari bawah ke atas. "Kau...,"

"Bukan aku." Shuji menjawab kesal. "Tapi memang kemarin ada laki-laki yang berkeliaran disini. Hanya sekarang sudah tidak ada." Dia tidak menjelaskan bagaimana dia tahu. Di dunia ini banyak manusia yang kurang kerjaan dan bergadang, kan.

"Begitu." Polisi itu mengangguk dan mencatat di buku saku yang entah sejak kapan dia keluarkan. "Di area sini ada pekerja perempuan yang kadang pulang dini hari, bukankah ngeri kalau ada orang mencurigakan yang berkeliaran?"

Entah apa maksud polisi itu mengatakan ini; mungkin berkomentar soal pria mencurigakan—atau mungkin memperingatkan Shuji. Shuji tentu saja tidak peduli, yang dia fokuskan adalah siapa pekerja wanita yang pulang malam yang polisi itu maksud.

"Hm." Shuji memilih tidak membalas dan hanya berdehem. Polisi itu bertanya soal keadaan sekitar sebelum pamit pergi.

"Matahari belum terbit tapi rasanya aku sudah sial." Shuji menggerutu sambil berjalan pulang.

Pagi harinya Shuji lari di taman, namun sosok yang ditunggu tidak kunjung datang. Dia lalu ingat kalau perempuan itu habis kerja shift malam, mana mungkin akan keluar di pagi hari? Ya pasti tidur, lah!

“Sial.” Konsentrasinya jadi berkurang gara-gara tidak tidur. Shuji menyeret malas kakinya untuk kembali ke apartemen.

“Tidak bisa begini terus.” Shuji menggumam. Dia harus tidur sekarang. Tapi kalau dia tidur, dia akan kehilangan momen dengan Jingga!

Bagi Shuji, memperhatikan Jingga dari jauh tidak ada bedanya dengan menghabiskan waktu bersama-sama.

Sesampainya di apartemen, Shuji membongkar lemari berisi barang-barang random miliknya. Banyak barang yang masih bagus, tapi kebanyakan dia campakkan karena tidak dia gunakan—barang di lemari ini jugalah yang paling tinggi *survival rate-*nya. Karena benda-benda di lemari ini tidak sempat dia hancurkan di masa depresinya.

Setelah membongkar kardus dan kotak barang, dia menemukan kardus handycam keluaran lama di pojokan. Tanpa repot-repot membereskan kekacauan, dia langsung membuka dan memeriksa kondisinya.

“Masih berfungsi dengan baik. Hanya perlu di ganti baterainya saja.” Shuji mengangguk-angguk. Sampai dia beli baterai yang baru, Shuji akan menggunakan yang ini dulu. Shuji menutup bagian lampu di handycam dengan selotip kertas dan memposisikan handycam-nya dengan holder. Lensa diarahkan ke area taman dan sekitar jalan. Shuji memasang kabel charge dan menekan tombol rekam sementara dia pergi tidur.

Beberapa jam sebelum waktunya makan malam, dia bangun. Tapi dia tidak pergi ke supermarket seperti biasanya. Kali itu dia duduk di kursi tepi jendela, menunggu makanan pesan-antarnya. Sambil mengawasi sosok yang sedang jalan sore berkeliling taman, Shuji memutar memori handycam yang di biarkan menyala selama dia tidur tujuh jam ini.

"Sayang sekali aku tidak bisa berkencan di supermarket seperti biasanya." Shuji menggumam. "Tunggu aku selesai inspeksi dulu, ya." Shuji membual janji entah pada siapa.

Mempercepat putaran videonya, Shuji menangkap banyak orang yang lalu lalang, dan berita baiknya adalah, pria mencurigakan itu tidak lagi terlihat.

Kalau orang itu berhenti sepenuhnya, ya bagus. Tapi kalau ternyata diamnya itu adalah untuk melakukan sesuatu yang besar, akan berabe jadinya.

‘Ini apa?’

Shuji memeriksa jendela toko rental yang sedikit buram kacanya.

Shuji memicingkan matanya namun tidak bisa melihat dengan jelas. Dia mematikan handycamnya dan bersiap memindahkan memori untuk memeriksa dikomputer, saat bel pintunya berbunyi. Hampir saja handycam-nya jatuh karena terkejut.

Shuji melangkah lebar-lebar ke arah pintu, meski kantung matanya sedikit terlihat, dia kelihatan cukup layak. Shuji mencium bau tubuhnya dan menyempotkan tipis parfum ke pergelangannya sebelum membuka pintu.

“Pesanan anda.” Kurir yang mengantar makanannya berdiri dengan tegap. Kurir itu membusungkan dadanya bangga, melihat pelanggan di depannya tampak ceria. Kasihan, pasti sudah kelaparan—si kurir menggumam.

Shuji menghela napas dan menerima pesanan, kasih tanda tangan lalu menutup pintu dengan sedikit dendam.

Bagaimana bisa dia mengira orang yang menekan bel-nya adalah Jingga? Sungguh memalukan.

Saking jarangnya dia dapat tamu, dia menilai bahwa semua yang mengetuk pintunya adalah Jingga. Dia tidak bisa disalahkan. Selama ini tebakan Shuji selalu benar, hanya hari ini saja...

Shuji berjalan ke meja, meletakkan ayamnya dan menatap ke arah taman dengan kesal.

‘Semua karena wanita itu.’ Shuji menggigit paha ayam dan mengunyah pelan-pelan. Saat itu dia marah, detik selanjutnya marahnya hilang setelah melihat ke luar jendela dan sadar perempuan itu sudah tidak berlari lagi di taman.

Shuji menempelkan wajahnya ke jendela, mencari sosok berpakaian training abu dan bersyal.

Ding dong.

Shuji menahan diri untuk tidak tersedak karena kagetnya. Dia menyelesaikan kunyahannya dan melap ujung mulutnya dengan tisu kemudian bangun.

Dia menarik napas, memastikan tampilannya pantas dan membuka pintu.

“Baguslah kau dirumah anak muda.”

“??” Shuji membulatkan mata melihat seorang wanita paruh baya berdiri di depan pintunya.

—Siapa?

“Menantuku mengirim hasil taninya kemari dan terlalu banyak. Sayang sekali kalau dibiarkan akan membusuk,” Selesai berkata, wanita paruh baya itu menyerahkan sekardus benda mencurigakan. Secepat itu dia datang, secepat itu pulang dia menghilang.

Apa kita saling kenal? Shuji berpikir geram. Kenapa orang-orang ini tidak bisa membuat dia tenang. Memberi sembarang kotak dan mengaku kenal, Shuji curiga wanita itu mengiriminya bom. Mungkinkah tanpa dia sadari dia menciptakan musuh mematikan?

Tentu saja bukan bom seperti imajinasi Shuji—tutupnya tidak rapat dan dengan mudah dia memeriksa isinya.

Di dalamnya tertata rapi ubi jalar dan talas—bentuknya cantik dan kulitnya bersih. Benar-benar baru panen karena umbi-umbi ini hanya ada di musim gugur.

Bukannya senang, Shuji malah kesal. Dia berpikir siapa ibu-ibu itu sampai tahu nomor apartemennya.

Dia akhirnya ingat bahwa wanita paruh baya itu biasa jalan sore dan lewat.. kebanyakan sosoknya lebih seperti latar belakang. Mana mungkin dia yang selalu memperhatikan Jingga bisa ingat makhluk lain?

Dengan kesal Shuji meletakkan dus itu di atas lemari sepatu. Sebelum dia berjalan ke dalam, bel di tekan lagi. Dengan muram dia bertanya-tanya, haruskah dia pura-pura tidak di rumah?

Setelah tiga kali, bel berhenti berbunyi. Shuji mendengus, akhirnya berhenti juga.

Tak berapa lama dia mendengar suara pintu langkah menjauh yang samar, dan suara pintu dibuka.

“!”

Dengan gerakan kilat dia membuka pintu dan mengintip ke apartemen sebelah.

Jingga yang habis lari sore itu hendak masuk ke apartemennya.

“Oh, kau ada di rumah ternyata?” sapanya terkejut, melihat kepala Shuji mencuat dari celah pintu.

“…Hm, aku sedang di kamar,”

“Oh... kau pasti sedang tidur? Kuharap aku tidak mengganggumu....”

Sama sekali tidak. “Tidak, aku… memang sudah waktunya untuk bangun. Ada apa?”

“Oh…” Jingga menyerahkan keresek berisi minuman pereda sakit kepala. “Kau bilang kau insomnia, kata temanku minum ini bisa meredakan sakit kepala dan menambah kualitas tidur….”

Jingga masih ingat bagaimana Shuji menolak setiap pemberiannya di awal-awal; tapi mereka sudah saling menghangat... Di tambah, melihat tetangganya minum kopi subuh-subuh, Jingga jadi kepikiran.

“…Er…,”

“Terimakasih, kau tidak tahu kepalaku berdenyut sejak tadi.” Perlahan Shuji menarik keresek ke tangannya. Gerakannya begitu halus sampai Jingga tidak merasa aneh sama sekali bahwa Shuji tidak menerima—melainkan merebutnya.

Tapi Jingga tidak berpikir dalam, toh, memang untuk Shuji.

“Malam ini kau harus tidur.” Kata Jingga khawatir.

“Pastinya.” Shuji mengangguk.

“Kalau begitu aku duluan,”

“Terimakasih vitaminnya.”

Pintu tertutup dengan bunyi klik.

Di apartemennya, Shuji membawa botol vitamin dengan hati-hati.

Jingga bilang bahwa ini adalah minuman yang ‘kata temannya’. Apakah itu artinya dia sengaja konsultasi demi membuat dia jadi lebih baik? Setahunya teman Jingga masih orang lokal seperti Shuji.

Shuji duduk di kursi meja makan, dengan botol vitamin di tengah meja. Ujung bibirnya yang berkedut akhirnya tidak bisa di tahan, senyum lebar terulas.

Di pikir-pikir, ini kali kedua dia menerima sesuatu dari Jingga.

“Tunggu dulu.” Dia memikirkan interaksi keduanya. Dari sekian banyak, selalu dirinya yang menerima pemberian.

“…Aku harus memberinya sesuatu juga, kan?” Shuji bergumam. Selain makanan, dia bisa memberi hadiah berupa kotak makan siang karena Jingga memberikan hal yang sama.

Tak terlintas sama sekali di pikirannya untuk mengembalikan kotak makan Jingga yang kini masih tersimpan di rak-nya.

“Sayang sekali kalau isinya harus menghilang.” Shuji kembali fokus ke botol vitamin. Tapi membiarkannya juga tidak bagus. Bagaimana pun, ini adalah (per)hati(an) yang Jingga berikan.

Shuji membuka tutup botol dan meneguk habis isinya.

Shuji berpikir makanan apa yang harus dia bagi. Matanya berhenti di kardus di atas lemari sepatu.

Sayang sekali dia belum cari tahu bahan makanan apa yang Jingga tak boleh konsumsi. Dia bisa coba dengan dua bahan mentah di dalam kardus itu.

Yah, kalau Jingga tidak mau menerimanya, dia bisa membuangnya.

‘Haruskah aku memberikannya pada Manis?’

Tapi benda ini bukan berasal dari tanganku, melainkan dari tangan orang lain. Memikirkannya membuat Shuji kesal.

“Tidak, Shuji. Pikirkan, ini bisa jadi alasan bagus.” Mata Shuji berbinar seketika. Dia mengangguk-angguk dan menarik senyum dingin. “Sepertinya aku berhutang pada wanita tua itu.”

Sambil bersenandung Shuji pergi ke kamar mandi.

**

Hari berikutnya, siang itu.

Shuji menyemprotkan air ke sebagian dahi dan sedikit di hidung. Dia menggulung kaosnya sampai ke sikut, dimana ototnya akan timbul setiap dia mengangkat barang berat.

Dengan harum yang samar dan nyaman, Shuji mengangkat kardus berisi ubi dan talas itu menuju apartemen sebelah.

Shuji mempertimbangkan waktu dan selama pengawasannya, tetangganya belum berangkat ke supermarket untuk belanja bahan makan malam.

Dengan semangat Shuji menekan bel.

Tentu saja, penampilannya harus tetap tenang.

Selang beberapa detik, pintu di buka.

“Hai!” Jingga muncul dengan piyama. Meski masih mengenakan syal dan piyamanya panjang, Shuji tetap merasa kemanisan yang tak terbendung. Jingga pasti merasa sangat nyaman di rumahnya... Apa yang dia lakukan sebelum membuka pintu? Mungkin berbaring sambil memeluk boneka…

Shuji menahan bibirnya yang bergetar dan hanya mengangguk.

“Ada apa? Ah, apa yang kau bawa?”

“Ubi dan talas.” Shuji tidak menurunkan kardus, menahannya di lengan, memamerkan otot-ototnya.

“Huh! Banyak sekali….” Jingga berhenti sesaat dan menengadah.

“Ada yang kasih, tapi kebanyakan. Kau coba pilih dan ambil.” Shuji menjelaskan lebih dulu.

“Kau yakin?"

Shuji mengangguk. “Jumlahnya terlalu banyak dan tidak akan bisa aku habiskan sendiri.”

"Tapi umbi-umbian kan awet kalaupun di simpan lama?" mendengar kalimat Jingga itu, Shuji menunduk pura-pura malu. "Aku ingin membaginya denganmu."

“O-oh... Baiklah, aku tidak akan menolak kalau begitu.” Jingga berbalik ke dalam tanpa menutup pintu apartemen. Tapi Shuji tidak bergerak dan hanya menunggu di luar.

Perempuan itu lalu kembali dengan baskom.

“Aku pilih, ya?”

“Oke.”

“Kau tidak berat? Taruh di bawah saja.”

“Tidak berat, kok.”

“Aku akan pilih dengan cepat.”

Shuji mengerti maksudnya karena tidak ingin membuat dirinya repot. Tanpa sadar senyum tipis tercetak di wajahnya. Tapi saat Jingga selesai memilih,wajahnya kembali datar.

“Makasih, aku sudah pilih ubi dan talasnya!”

“Hm.”

“Kau kelihatan berkeringat, habis ngapain?”

“Oh, ini.” Shuji berusaha mengusap dengan bahunya, tapi tidak tercapai. Menghela napas pendek, dia akhirnya menyerah.

“A-aku ada tisu.” Jingga berkedip beberapa kali. Entah kenapa Shuji yang biasanya tanpa ekspresi dan muram kini terlihat normal… benar-benar normal. Jingga biasa dihadapkan dengan sosoknya yang lemah, muram, dan tanpa ekspresi.

Meski tidak kentara pada raut wajahnya, Jingga bisa merasakannya.

“Aku habis membereskan lemari penyimpanan di rumah. Tidak apa-apa.”

“Kemarin habis insomnia, kau harus hati-hati.” Jingga mengingatkan.

Setelah bertukar beberapa kata, Shuji kembali ke apartemennya tanpa sedikit pun rasa enggan.

Setidaknya itulah yang terlihat.

Sampai di apartemennya, dengan penuh agoni, Shuji menatap pantulan dirinya. Kedua tangan di posisikan di sisi kanan dan kiri cermin.

*Shuji, oh, Shuji. Kau begitu bodoh. Bisa-bisanya kau menolak tisu pemberian Manis. *Siapa tahu dengan keadaannya tadi, skenario dimana Jingga membantu melap keringatnya akan terjadi.

Meski dia tidak bisa menggunakannya, dia tetap bisa menyimpannya!

Persetan dengan kebodohanku!

“Sial, aku lupa untuk bertanya.” Shuji mendesis putus asa. Dia tidak akan bisa berbagi masakannya… dia ingin Jingga makan masakannya…

Pikir, Shuji. Berapa lama kau sudah memperhatikan Manis?

Sudah berminggu-minggu dia hanya tahu soal kerjaan, rute, dan waktu berangkat-pulangnya. Dia tidak tahu apa-apa soal Jingga yang sebenarnya.

Apa hobinya? Makanan kesukaannya? Hal yang dibencinya?

Shuji merasa dia akan gila karena haus ingin tahu semua informasi tentang Jingga.

Kalau dia terus menjaga jarak seperti ini, kapan dia bisa mencapai itu semua?

Shuji setengah berbaring di sofa. Kalau orang lain menyaksikan tingkahnya, orang akan menyebut dia dramatis.

Saat itu kamera handycamnya yang dibiarkan berputar di dekat jendela berbunyi beep berulang kali.

“Ah, aku lupa.” Dia menyalakan rekaman tanpa mencolokkan kabel chargernya.

Biasanya baterainya akan tahan 6-8 jam, tapi karena baterai ini sudah tidak bagus, kameranya mati setelah menyala selama tiga jam.

Melihat wajahnya yang terpantul di lensa kamera, tiba-tiba ide tercetus di pikirannya.

Selama ini dia memperhatikan dari jauh, benar. Di tambah ada orang mencurigakan yang sepertinya mengincar Jingga. Mungkin ini yang pertama, tapi bukan jamin ini yang terakhir. Jadi dia harus selalu terus mengawasi.

Shuji mengumpulkan alasan demi alasan hingga akhirnya dia berhasil meyakinkan dirinya sendiri untuk membeli kamera… hanya mungkin sedikit tersembunyi dan... ukurannya lebih kecil.

Tentu saja posisinya tidak akan sama dengan handycam.

Dia harus meletakkannya di tempat yang dekat dengan Jingga… misalnya di ruang tengah rumahnya.

Aku tidak akan aneh-aneh. Hanya meletakkannya di tempat yang luas… tidak akan di tempat yang privat.

Shuji pikir dirinya sudah sangat gentleman.

“Kulihat lemari sepatu Manis gersang barusan.” Shuji menggumam, “Kalau dihias dengan vas pasti cantik.” lanjutnya. Dia bisa memasang kameranya disitu kemudian.

Sama sekali tidak berpikir ada yang aneh.

Terpopuler

Comments

Marquis Fantasy

Marquis Fantasy

makasih bunganya ⊂⁠(⁠・⁠▽⁠・⁠⊂⁠)

2023-10-23

0

anggita

anggita

oke thor, hadiah🌹bunga untukmu. smoga sukses novelnya.

2023-10-22

1

lihat semua
Episodes
1 1. Semua harus ada Goal
2 2. Beginikah Caranya?
3 3. Anti-Parasitisme
4 4. Transisi
5 5. Kusut
6 6. Aku Lebahnya, Yang Lain Kecoak.
7 7. Tidak Sadar
8 8. Penjaga
9 9. Bukan Level
10 10. Gadis Bayangan
11 11. Sedih dan Senang
12 12. Kejar?
13 13. Resolusi
14 14. Untuk Bersama
15 15. Malu? Apa itu malu.
16 16. Yuk main yuk
17 17. Tangkap dan Lepaskan
18 18. Cerita seseorang
19 19. Sweet Time
20 20. Teh Manis
21 21. Berita
22 22. Tik, tok, tik, tok
23 23. Gimana lagi lah ya
24 24. Sudah kuduga
25 25. Akar yang rusak
26 26. Angin
27 27. Bakti
28 28. Sakura
29 29. Clean N Clear
30 30. WAKIL
31 31. Selamat Tinggal
32 32. Hibernasi
33 33. Keringat
34 34. Masih rahasia?
35 35. Rahasia lama
36 36. Mengambang
37 37. Jujur
38 38. Terbuka
39 39. Want You
40 40. Bersedia
41 41. Mother
42 42. Ay
43 43. Debut
44 44. Tidak Seperti Harapan
45 45. Asing
46 46. Siapa tahu
47 47. Bagi-bagi
48 48. Househusband
49 49. Cantik
50 50. Sampai
51 51. Kenanganmu
52 52. Rencana Karir
53 53. RadioOnPod
54 54. Gak usah lama lama pisahnya
55 55. Punya Anak
56 56. Ryu
57 57. #YukNikahSamaOrangJ
58 58. Dicegat
59 59. Jadi CEO mau ga?
60 60. Istirahat
61 61. Tahun Baru
62 HARI INI ABSEN
63 62. Saingan
64 63. Ikan Asin
65 64. Agenda
66 65. Bergerak ke Depan
67 66. Seumuran
68 67. Perselisihan
69 68. Noda
70 69. Nee San
71 TANTANGAN BACA kalian ngerti gak
72 70. Obrolan Gak Perlu
73 71. No more
74 72. Kunjungan
75 73. Bergetar
76 74. Diskusi
Episodes

Updated 76 Episodes

1
1. Semua harus ada Goal
2
2. Beginikah Caranya?
3
3. Anti-Parasitisme
4
4. Transisi
5
5. Kusut
6
6. Aku Lebahnya, Yang Lain Kecoak.
7
7. Tidak Sadar
8
8. Penjaga
9
9. Bukan Level
10
10. Gadis Bayangan
11
11. Sedih dan Senang
12
12. Kejar?
13
13. Resolusi
14
14. Untuk Bersama
15
15. Malu? Apa itu malu.
16
16. Yuk main yuk
17
17. Tangkap dan Lepaskan
18
18. Cerita seseorang
19
19. Sweet Time
20
20. Teh Manis
21
21. Berita
22
22. Tik, tok, tik, tok
23
23. Gimana lagi lah ya
24
24. Sudah kuduga
25
25. Akar yang rusak
26
26. Angin
27
27. Bakti
28
28. Sakura
29
29. Clean N Clear
30
30. WAKIL
31
31. Selamat Tinggal
32
32. Hibernasi
33
33. Keringat
34
34. Masih rahasia?
35
35. Rahasia lama
36
36. Mengambang
37
37. Jujur
38
38. Terbuka
39
39. Want You
40
40. Bersedia
41
41. Mother
42
42. Ay
43
43. Debut
44
44. Tidak Seperti Harapan
45
45. Asing
46
46. Siapa tahu
47
47. Bagi-bagi
48
48. Househusband
49
49. Cantik
50
50. Sampai
51
51. Kenanganmu
52
52. Rencana Karir
53
53. RadioOnPod
54
54. Gak usah lama lama pisahnya
55
55. Punya Anak
56
56. Ryu
57
57. #YukNikahSamaOrangJ
58
58. Dicegat
59
59. Jadi CEO mau ga?
60
60. Istirahat
61
61. Tahun Baru
62
HARI INI ABSEN
63
62. Saingan
64
63. Ikan Asin
65
64. Agenda
66
65. Bergerak ke Depan
67
66. Seumuran
68
67. Perselisihan
69
68. Noda
70
69. Nee San
71
TANTANGAN BACA kalian ngerti gak
72
70. Obrolan Gak Perlu
73
71. No more
74
72. Kunjungan
75
73. Bergetar
76
74. Diskusi

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!