Shuji bertanya-tanya kenapa dia begitu sibuk soal urusan tetangganya.
Setelah masa-masa ketertarikannya dengan dunia kuliner berkurang, pikirannya kembali berlari ke Jingga.
Memikirkan betapa bodohnya perempuan itu, jelek, lembek, dan seterusnya.
Sampai berpikir kenapa bisa ada lawan jenis yang sudi mengobrol dengan dia?
Kalau Shuji, dirinya—ya tentu saja wajar.
Dia pikir keduanya cocok satu sama lain. Orang yang serasi wajar, kan, kalau berkumpul sama-sama.
-Mungkin kau suka dia.
Bisikan sesat terlintas di kepalanya.
“Otakmu.” Shuji mengutuk pikirannya sendiri. Dia? Suka pada Jingga? Perempuan itu?
“Hahaha!!” Shuji tertawa kering, lalu berhenti seketika.
Dia suka perempuan itu? Dia, orang yang selalu diajak kencan segala jenis manusia, paling populer di masa sekolah, dan pria idaman di departemennya semasa kerja, suka seseorang??
“Kenapa bisa?” Shuji memiringkan kepalanya, memikirkan alasan dengan membayangkan sosok Jingga. “Dia pendek, tidak seksi, mungkin wajahnya sedikit manis. Ya, sedikit.” Shuji mengepalkan tangannya.
“Dari sekian perempuan manis yang kutemui, dia biasa saja.” Shuji beralasan. “Tapi kenapa aku terus memikirkan dia, dan marah saat dia dekat dengan laki-laki lain?”
Shuji menarik kursi, menatanya di sisi jendela dan duduk. Langsung ke pemandangan taman di bawah sana yang biasa jadi destinasi orang-orang saat santai di pagi dan sore hari. Dia melirik jam di dinding, detik demi detik sampai jarum panjang bergerak ke angka sepuluh.
Shuji menghitung dalam hati, menangkap sosok perempuan dari arah jalan. Sosok itu tidak istimewa, hanya terlihat segaris saja dari apartemennya. Sampai sosok itu menghilang masuk ke dalam gedung Shuji pun sadar dengan yang dia lakukan.
*Kenapa aku memperhatikan dia pulang? Tentu saja aku hanya penasaran. *Shuji bertanya dan menjawab sendiri.
“….” Baiklah, dia akui dia MUNGKIN menyukai perempuan itu. Alasannya? Tidak perlu dia pikirkan dalam-dalam.
Waktu dia pacaran di masa SMA, paling banter hubungannya tahan tiga bulan. Sementara selama kerja, dia tidak pernah menjalin hubungan serius, palingan satu malam.
Sudah pasti yang ini pun dia tidak akan lama.
Hanya saja Shuji tidak bisa kalau mengejar seseorang.
Coba kalau perempuan itu yang mengejarku, Shuji menggumam.
Alangkah bagusnya kalau hal itu terjadi, dia tidak perlu menunggu dan mereka bisa langsung pacaran. Setelah tiga bulan—katakanlah—dia hilang ketertarikan, mereka bisa berpisah dan Shuji tidak perlu di risaukan dengan perasaan ini lagi. Kalau sudah begitu dia bisa move on!
Tapi meski dia sedang frustasi pun, tidak mungkin dia mendatangi perempuan itu dan minta—‘kenapa kau tidak mengejarku! Cintai aku!’
Dia belum segila itu.
“Untuk saat ini, aku nikmati saja. Nanti juga lama-lama aku bosan dan tidak lagi menyukai dia..?” Shuji menawarkan alasan pada dirinya sendiri. Sayang sekali dia sendiri tidak yakin.
Setelah sirna kegelisahannya, Shuji langsung beraksi. Dia pergi ke toko kemah membeli teropong binocular sore itu. Dia memeriksa jarak dan memastikan kalau gambar bisa terlihat dengan jelas dari apartemennya.
Shuji memulai kegiatan tanpa mengetahui obsesinya berkembang dari sana.
**
Lima hari dalam seminggu, dua hari libur rutin di akhir pekan. Jadwal kerjanya pagi, siang, dan malam, masing-masing bergantian dalam sebulan tiap minggunya. Jingga selalu mengenakan kaos polos lengan panjang setiap berangkat dan pulang kerja. Kadang berangkat dengan kaos polos hitam, pulang dengan kaos polos merah. Intinya, tidak tentu.
Biasanya orang yang kerja tanpa seragam, berangkat kerja dengan baju kasual; tapi bukannya tidak bergaya seperti yang Jingga lakukan.
Shuji menebak bahwa kaos polos itu bagian dari seragamnya. Lantas kenapa saat pulang kerja seringkali kaosnya ganti meski masih polos?
Tidak banyak pekerjaan yang menerima pekerja asing, kecuali pekerja profesional di perusahaan besar. Tapi Shuji tidak pernah sekalipun melihat Jingga mengenakan jas—misalnya.
Dia mencoret beberapa kemungkinan dan menandai dua bidang: jasa dan pengasuhan.
Jasa semisal bersih-bersih, bisa saja dia berangkat kerja dengan baju polos kemudian kotor, karena itu harus di ganti saat pulang? Tapi kotor dengan pekerjaan seperti itu biasa saja. Orang konstruksi juga jalan-jalan dengan pakaian kotor berdebu.
Bagaimana dengan bidang pengasuhan?
Dua bidang pengasuhan: daycare dan pantijompo.
Daycare perlu tenaga bersertifikat dan kebanyakan hanya mempekerjakan orang lokal, jadi Shuji membuang pilihan itu.
Yang tersisa adalah pengasuh di pantijompo. Kalau seragamnya kotor semisal kena pesing atau kotoran, sudah pasti harus di ganti karena kalau tidak, akan menimbulkan bau tidak enak saat pulang menggunakan fasilitas umum. Hal itu juga bisa dijadikan alasan kenapa tidak disediakan seragam khusus.
Pantijompo terdekat di wilayah N jaraknya sekitar 3-4 kilometer dan memakan waktu sekitar 10 menit dengan bus.
Satu waktu Jingga pulang mengenakan jaket dengan nama instansi Roujin dibelakangnya, yang merupakan nama pantijompo tersebut. Hal itu mengkonfirmasi terbakan Shuji.
“Jadi pengasuh dan merawat orang tua, sungguh cocok dengan kepribadiannya.” Lembut dan penyayang. Shuji mengangguk membayangkannya.
Sebulan mengamati dan mengawasi Jingga, Shuji hafal di luar kepala jadwal berangkat dan pulang perempuan itu. Dia juga memiliki kebiasaan baru demi mempercepat rasa bosannya. Yaitu dengan bertemu lebih sering.
Hanya satu yang bagus dari pengamatannya selama ini, Shuji tidak pernah melihat lagi interaksi Jingga dengan pria asing sebelumnya.
Jam dua sore, Shuji bersiap keluar. Di cermin dekat pintu masuk dia merapikan rambutnya dan menyemprotkan sedikit minyak wangi. Dia tidak langsung keluar, melainkan menunggu beberapa saat sampai terdengar suara pintu yang dibuka-tutup. Hari ini dia akan datang lebih lambat—tidak lama, hanya lima menit.
Lima menit kemudian, Shuji keluar dari apartemennya dengan membawa tas belanja.
Dengan tenang dia menuruni lift dan berangkat ke supermarket. Meski gelagatnya acuh tak acuh, sudut matanya selalu mencari sosok bersyal.
Sangat mudah menemukan Jingga karena perempuan itu satu-satunya yang mengenakan syal di kepalanya.
Shuji bergerak ke bagian produk susu dan memilih yoghurt tawar. Sambil pura-pura memeriksa bahan, sosok yang ditunggu akhirnya muncul.
“Hai, belanja buat makan malam?”
Dengan keterkejutan yang dibuat-buat, Shuji menoleh. “Ah, kau juga?”
“Yup.”
Keduanya sering bertemu karena tinggal di satu apartemen dan bertetangga. Jadi wajar kalau bertemu. Awal mulanya Jingga heran karena hampir setiap waktu dia belanja, dia bertemu Shuji. Namun sudah sifatnya bawaan yang membuatnya selalu berpikir positif. Jingga menganggap bahwa ini adalah bagian dari kegiatan Shuji—berbelanja. Pertemuan mereka hanya rutinitas biasa.
Dia tidak sadar saja kalau semua ini Shuji yang rancang.
Dua minggu ini mereka sering bertukar obrolan setiap bertemu, Shuji tidak lagi bersikap sinis padanya—tentu saja Jingga senang.
“Kau mau masak apa?”Jingga melirik keranjang Shuji.
“Ah.” Shuji menunjukkan isi keranjangnya, “Aku mau buat kari.”
“Ooh~” Jingga mengangguk-angguk dan memutuskan untuk mencari bahan lain setelah mengambil susu.
“Aku duluan, ya.”
Shuji mengangguk masih dengan wajah netral dan bediam di tempat beberapa menit guna meredakan perasaan berbunga di hatinya sebelum bergerak ke bagian camilan.
Melihat sosok yang dia cari hendak bergerak ke kasir, Shuji mengambil asal kue kering di jajaran terdekat dan melangkah stabil ke kasir lain.
Beberapa menit kemudian dia selesai, Shuji melihat Jingga mampir sebentar di stan ubi bakar. Begitu ubi bakarnya di terima, Shuji sudah dekat.
Karena arah mereka sama, keduanya berjalan berbarengan. Lagi.
“Kau sudah coba ubi bakar ini?” Jingga membuka obrolan dan Shuji menimpali dengan senang hati. Meski wajahnya masih datar, Shuji berusaha menyambung obrolan hingga keduanya menaiki lift dan sampai diatas.
Jingga pamit untuk duluan ke apartemen. Dengan gerakan lambat, Shuji memutar kunci hingga orang disampingnya masuk.
Cklek.
Dia diam di dekat rak sepatu. Tidak ada suara yang terdengar dari apartemen sebelah karena peredam suaranya bagus. Shuji hanya bisa membayangkan Jingga yang bergerak dari ruang tengah ke dapur.
Hal itu membuat Shuji merasa mereka melakukan kegiatan berdampingan.
Dengan riang yang samar Shuji bergerak ke dapur dan siap memasak kari-nya.
---
“Haruskah aku melakukannya?”
Satu jam kemudian Shuji selesai masak, di depannya duduk dua mangkok berisi kari.
Sudah beberapa minggu ini mereka mulai menjalin hubungan wajar ‘antara tetangga’. Shuji pikir ini waktunya dia berbagi hidangan ke apartemen sebelah, kan?
Tidak disangka, suara bel berbunyi. Shuji tidak bisa memikirkan siapa yang mengunjungi dirinya selain Jingga.
Menahan antusias, Shuji mencium aroma kaosnya dan setengah berlari ke kamar. Kaos dilempar sembarang dan dia menarik kaos baru dari lemari sebelum bergerak ke pintu masuk. Dia menata rambutnya dan menarik napas, sebelum membuka pintu.
“Ya?”
“Hai.”
Jingga di depannya berdiri dengan mengenakan apron, membuat Shuji sedikit termangu. Sangat manis.
Tiba-tiba di depan mukanya disodorkan sepiring gorengan.
Shuji yang tersadar segera menerima.
“Aku buat lebih dan sayang rasanya kalau gak kemakan.” Kata Jingga pelan. Melihat reaksi yang hambar dari Shuji, perempuan itu langsung cemas.
“Mungkinkah kau tidak bisa makan gorengan? Maafkan aku.” Tangannya hendak mengambil kembali piring, tapi Shuji segera mengelak.
“Kebetulan aku merasa lapar yang tidak biasa hari ini.” Kau ngomong apa, Oda Shuji? Shuji mencerca dirinya sendiri dengan alasan payah itu.
Teringat dengan dua mangkok karinya di dapur, Shuji menyelidik halus. “….Kau suka kari?”
“Huh? Oh, aku gak tahu sih, aku belum pernah makan kari disini.”
Shuji menarik sebelah alisnya, terkejut.
“…Kenapa?” Kari merupakan menu paling umum. Di satu sisi, hal ini membuat Shuji senang karena kari buatannya bisa jadi kari pertama yang dicicipi Jingga.
“Makanan disini tidak semuanya boleh aku konsumsi.” Mendengar jawaban Jingga, Shuji tercenung.
“Bahkan kari sekalipun? Apa kau alergi?”
“Engga, bukan begitu… Hm. Ada beberapa bahan makanan yang tidak boleh aku makan, dan kebayakan hidangan di sini mengandung bahan itu.” Jingga menggaruk pelan kerudungnya. “Aku kadang menerima makanan dari rekan kerjaku, tapi karena tidak bisa kumakan, kadang aku memberikannya lagi pada orang lain… atau membuangnya.”
Keduanya diam sejenak, tidak menerima balasan dari Shuji, Jingga tersenyum sedih. “Menurutmu aku jahat dengan membuangnya dan…?”
“Tentu saja tidak.” Bantah Shuji mengerutkan kening. Dia tidak tahu bahan makanan apa yang di larang itu, tapi menolak pemberian seseorang apalagi makanan itu hal biasa. Dia juga tidak akan menerima pemberian dari orang asing. Meski pun makanan itu dari kenalannya, dia tidak akan memakannya mentah-mentah sebelum memeriksanya.
Akan tetapi menolak terus-terusan dalam kehidupan sosial tidak mengenakkan juga, Shuji mengerti hal itu.
“Kau punya alasan untuk tidak memakannya. Dan menerimanya, yang kau lakukan adalah menghargai mereka. Aku mengerti kau melakukan hal itu karena takut menyakiti perasaan mereka.” Kata Shuji. “Tapi aku sarankan kau memberitahu mereka pelan-pelan bahwa ada yang tidak boleh kau makan.” Shuji mengerutkan keningnya halus. Kalau tanpa sengaja yang memberi makanan itu melihat Jingga membuangnya, pasti akan repot.
Seandainya saja dia bekerja di tempat yang sama dengan Jingga, dia bisa membantu. Sosialisasi adalah keahliannya.
Mendengar penjelasan Shuji, pelan-pelan senyum muncul di wajah Jingga.
“Aku mengerti. Aku orangnya agak pemalu dan susah untuk terbuka. Tapi aku bisa mengatakannya pada teman dekatku.”
Melihat senyum itu, Shuji tidak bisa membalas dan hanya mengangguk kaku.
“Kalau begitu aku duluan, ya. Selamat makan malam.” Jingga melambaikan tangan dan kembali ke apartemennya.
Shuji menutup pintu apartemennya sambil menggigit sepotong gorengan. Saat dia bergerak ke dapur, dia sadar bahwa dia lupa menanyakan bahan khusus apa yang Jingga hindari.
Memikirkan yang dia masak mengandung hal yang tidak boleh Jingga makan, dia merasa dua mangkok itu mengganggu penglihatannya hanya dengan duduk diam di konter dapur.
Beberapa detik kemudian perutnya berbunyi. Dengan berat hati Shuji membawa dua mangkok itu ke meja makan.
Bukankah Jingga memberinya gorengan karena masak terlalu banyak? Dari sini kelihatan Jingga orang yang tidak suka membuang makanan.
Shuji berniat untuk menghabiskan karinya.
Sambil menunggu jam bergerak ke angka lima sore, Shuji makan dan cuci piring.
Mendekati waktu yang di tunggu, dia bergerak ke jendela. Duduk di kursinya dengan binocular dikalungkan di lehernya. Di lorong diluar, terdengar samar suara pintu yang dibuka-tutup. Beberapa saat kemudian, sosok yang ditunggunya terlihat berjalan keluar gedung, melewati taman menuju halte. Setelah sosok itu menghilang, tanpa sengaja Shuji menemukan sesosok manusia berdiri di stan ubi.
Orang itu tidak terlihat membeli apapun dan pergi.
Shuji tidak memikirkan kejadian itu dalam-dalam dan beranjak untuk memasang alarm pukul tiga pagi sebelum menyalakan komputernya dan mulai bekerja.
**
Jam tiga pagi, alarm berbunyi pelan. Shuji membuka matanya perlahan dan diam beberapa saat sebelum bangun. Sambil lewat ke kamar mandi, alarm dimatikan.
Menunggu jam tiga lewat setengah jam, Shuji berdiri di depan jendela sambil angkat barbel.
Selesai menghitung, dia memasang binocularnya dan memperhatikan sosok kecil yang berjalan pulang dari halte menuju apartemen.
“?”
Shuji mengerutkan kening saat dia melihat sosok yang berdiri di mesin minuman di sisi jalan.
Pakaian itu, celana itu, ukuran badannya…
Shuji tidak memikirkan dengan mendalam, tapi itu sosok yang baru dia tangkap di sore hari. Kalau melihat lebih dari sekali, ya, dia ingat.
Mungkinkah hanya kebetulan?
Shuji bergegas membawa kameranya dan men-zoom sedekat mungkin untuk mengambil sosok itu, dan mengangkap gambar.
“!”
Gambar yang terkunci tepat ketika pria itu melirik kearah pintu masuk gedung apartemen.
Shuji memicingkan mata, memikirkan Jingga yang berjalan sendirian ketika pulang kerja. Mendadak dia gelisah. Rasanya dia tidak bisa diam.
Shuji berjalan cepat ke pintu masuk, menempelkan telinganya sampai dia mendengar suara pintu yang terbuka dan tertutup dari apartemen sebelah, barulah dia bernapas lega.
Rasa kantuk Shuji yang tadinya masih menghantui hilang seketika. Ketika dia kembali ke dekat jendela, sosok pria itu sudah menghilang namun hal itu tidak menurunkan kecurigaan Shuji. Dia membuka memori kameranya dan memasangkannya dikomputer untuk mengkompres resolusi gambar supaya lebih jelas.
Gaya suram ini, Shuji yakin tujuh puluh persen bukan kebetulan.
Besok Manis masih shift malam. Shuji merasa dia harus menajamkan pengawasannya.
**
Esok sorenya, Shuji berangkat belanja makan malam jauh lebih telat dari biasanya. Sekali belanja, Jingga akan menyiapkan untuk makan dua hari, jadi Shuji tidak akan bertemu dengan tetangganya di supermarket hari ini.
Shuji mengubah jadwal belanjanya jadi jam lima. Begitu dia selesai belanja, Jingga ada berdiri di depan stan ubi bakar.
Sebelum mendekat, Shuji mengawasi sekeliling dan ekspresinya memburuk begitu melihat sosok yang kemarin dia tangkap di kamera, berdiri beberapa meter dari posisi Jingga. Begitu dekatnya.
Pria gemuk itu masih mengenakan pakaian yang sama sejak kemarin, beberapa orang yang lewat menjauhinya.
*Sudah berapa hari orang itu tidak mandi? Beraninya bernapas di ruang yang sama dengan Manis. *Shuji menyerapah dalam hati.
Lewat poni panjang orang itu, Shuji tahu pria itu mengawasi.
Shuji langsung berjalan menghampiri. Berdiri di sisi Jingga.
Merasakan seseorang yang berdiri begitu dekat dengannya, Jingga merasa awas. Tapi ketika melihat sosok Shuji, dia langsung lega.
Dia masih belum lupa dengan kata-kata Shuji bahwa manusia dan hewan tidak akan saling jatuh cinta. Poinnya, Shuji tidak tertarik dengan dirinya, dan Jingga merasa aman meski berinteraksi sedekat ini dengan Shuji.
“Kau mau beli juga?”
“Mau satu.” Shuji tidak menjawab pertanyaan Jingga dan berkata pada penjual.
Dari sudut matanya, dia melihat pria mencurigakan itu bergerak seperti cacing, gelisah di tempat. Dalam hati Shuji menyeringai.
Penjual itu sudah menyiapkan beberapa sejumlah ubi, jadi ubi bakar milik Shuji dan Jingga selesai bersamaan.
Jingga berjalan menuju halte dengan kantung kertas berisi ubi.
Dia berjalan, dan menemukan bahwa Shuji mengikutinya. Tapi dia tidak mau salah sangka lagi, jadi Jingga hanya melirik Shuji. Tatapan matanya menunjukkan kebingungan. Sayangnya pria disampingnya tidak ambil peduli. Wajahnya lurus kedepan, dan kalau diperhatikan, entah kenapa Shuji terlihat sedikit mengerikan….
Meski masih tanpa ekspresi, auranya berbeda dengan aura santai biasanya.
Sementara Jingga bingung dan menunggu bus datang, dia memperhatikan Shuji bergerak ke papan pengumuman dimana rute bus tertulis.
Sampai bus yang Jingga tunggu datang, pria itu tidak menoleh sedikit pun selain membalas sapaan Jingga ketika dia pamit duluan.
“Mungkinkah dia mau jalan-jalan?” gumam Jingga mengingat sosok Shuji yang memeriksa jalur bus.
Melewati lampu merah, bus berbelok dan Shuji berhenti menatap papan pengumuman.
Sayang sekali dia tidak bisa fokus gara-gara memikirkan orang mencurigakan itu. Kapan lagi dia bisa mengantar Jingga berangkat kerja? Dengan kesal dia berjalan pulang ke apartemennya.
Dia melirik jalanan dan sekitar stan. Orang-orang berlalu lalang, tapi sosok mencurigakan itu sudah menghilang.
“Tidak bisa begini terus.” Shuji menghembuskan napas. Sosok itu akan jadi ancaman. Bagaimana kalau Shuji tidak ada dan orang itu muncul di sekitar Jingga?
Membayangkannya membuat mata Shuji menyala.
“Yang namanya kecoak tentunya harus di basmi.” Shuji memicingkan mata sambil berpikir apa yang bisa dia lakukan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments