12. Kejar?

Jingga menyadari beberapa hari ini dia hampir tidak bisa menemukan Shuji.

Pikirkan, bukankah aneh kalau sebelumnya dia selalu bertemu, tapi tiba-tiba, sekarang—melihat batang hidungnya saja susah.

Jingga berpikir sekali lagi salah apa yang dia perbuat.

'Perasaan aku gak ada salah?' Jingga berkata pada dirinya sendiri.

Kalau tidak ada salah kenapa dia bisa menangis? Suara di kepalanya membalas.

"...." itulah salah satu misteri yang Jingga ingin bongkar. Apa dia menangis karena dirinya? Atau karena hal lain?

Dengan perasaan gelisah Jingga menekan bel apartemen Shuji tapi tidak ada respon.

Kalau saja dia bisa telepon...

Ah, mereka sudah kenal agak lama tapi masih belum punya nomor satu sama lain.

Jingga mengulang  ingatan dan memikirkan kali terakhir mereka bertemu. Waktu dia memberikan air madu kemarin-kemarin Shuji baik-baik saja. Tapi memang ada yang aneh dari gelagatnya.

Jingga tidak pandai menebak, karena semakin dia menebak, dia merasa akan semakin salah paham. Jadi lebih baik langsung tanya ke orangnya.

Jingga mondar-mandir sebelum kembali ke apartemennya dan menggerutu. “Mungkinkah karena aku melihat dia menangis, dia jadi membenciku? Dan tidak mau bertemu lagi denganku?”

Tapi Jingga sudah pernah melihat keadaan Shuji yang lebih buruk sebelumnya…. Melihatnya menangis…, mungkinkah ini bagian dari martabat laki-laki?

Di seberang, timbul suara Jingga yang masuk ke bagian dalam apartemennya.

Sementara Shuji yang berbaring di lantai langsung terperanjat.

Benar, gerutuan Jingga kali itu terekam mikrofon mini di pot apartemen dan dikirim ke perangkat di rumah Shuji.

Bagaimana mungkin aku membencimu. Shuji menatap dirinya sendiri di pantulan cermin. Rambutnya berantakan, mata bengkak bekas menangis dan merah karena begadang, di tambah kulitnya yang kering…

Setelah berhari-hari galau dan tidak mandi, perasaan Shuji masih sakit. Satu-satunya obat hanyalah suara yang sesekali terdengar dan gambar tembok (apartemen Jingga) di layar tv.

Tapi tentu saja ini semua tidak cukup. Shuji yang biasa bertemu Jingga sehari dua kali, mengawasi sepanjang hari, kini hanya bergelut di kamar. Dia tidak bisa mengawasi Jingga secara langsung karena setiap melihat sosok itu, akan terbayang seorang laki-laki yang berjalan di samping Jingga—yang bukan dirinya.

Sekarang pun, saat memeriksa rekaman handycam dia masih kadang menangis.

Sungguh memalukan dan menyedihkan dirimu ini, Oda Shuji. Shuji mencemooh dirinya sendiri, tapi rasa sedihnya tidak hilang. Benar sekali, aku ini mahluk menyedihkan.

Shuji menghitung-hitung hari sejak dia mulai mengawasi, kemudian panik. Sudah lewat tiga bulan dan dia—masih menyukai Jingga.

Perasaannya bukan berkurang apalagi hilang; melainkan bertambah.

Ingin dia menampar dirinya yang berkata akan move on dengan mudah di masa lalu.

Shuji jatuh terbaring di lantai kamar mandi dan menatap langit-langit dengan nanar.

Hancur sudah.

Karena galau yang di deritanya, selain waktu dia menerima air madu dari Jingga, hari-hari lainnya dia tidak bisa tidur. Dia mencoba membuat air madu sendiri tapi yang ada dia bulak-balik ke kamar kecil.

Alhasil dia tertidur-lah di kamar mandi.

Sekarang pun, sebetulnya dia sangat mengantuk. Tapi, kalau dia tertidur dan mimpi bagaimana?

Ah, ya, di mimpinya, dia seperti mendengar suara Jingga…

Tunggu—Shuji membuka matanya yang hampir terpejam—mata itu melotot dan kemerahan, menatap suara yang keluar dari tv di ruang tengah.

“—Apa dia baik-baik saja? Mungkin aku bisa meminta penjaga gedung untuk membukakan pintu apartemennya… untuk jaga-jaga..”

Shuji beringsut bangun dan melihat di layar, terlihat Jingga yang bersiap untuk keluar dan memprediksi tujuan selanjutnya adalah pintu apartemen Shuji.

Dia segera mematikan tv dan mencabut segala perangkat yang terhubung sebelum berlari ke pintu.

Di depannya, Jingga yang baru mau lewat untuk pergi ke bawah—menghubungi petugas apartemen—terkejut saat orang yang selama ini di cari akhirnya muncul.

Cklek.

“Shuji!” Jingga berseru.

“Uh-hm.”

“Kau—” Jingga hendak mengomeli karena pria ini tidak mengabari apa-apa dan menghilang tiba-tiba. Tapi melihat keadaan Shuji yang semrawut, kalimatnya terhenti. “Kau baik-baik saja?”

Alis perempuan di depannya memancarkan kekhawatiran yang kentara dan Shuji tiba-tiba ingin menangis lagi karena terpikir bahwa wajah khawatir di depannya, bukan hanya miliknya. Mungkin perempuan ini juga pernah menghibur pria yang kemarin. Mungkin merawatnya ketika sakit, menyuapinya, sementara aku—

“….” Jingga memperhatikan ekspresi Shuji yang berubah-ubah. Jingga takut laki-laki di depannya akan menghilang lagi dan berkata dengan cepat, “Hei, aku minta maaf sudah membuatmu menangis….” dia memulai dengan hati-hati.

Tapi Shuji tidak membalas, hanya menatap Jingga nanar seakan dia adalah perempuan paling brengsek di muka bumi.

Jingga: why.

'Jadi benar dia menangis karenaku.' Jingga meluruskan garis bibirnya. Padahal dia hanya setengah menebak.

“Maafkan aku, oke?” Jingga tidak tahu sebabnya, tapi dia tidak ragu untuk minta maaf. Hanya saja, semakin dia minta maaf, semakin air menggenang di mata Shuji.

“Kau… kau meminta maaf karena menolak cintaku?” dengan suara serak dan kering Shuji akhirnya bicara.

“Aku bukan…. hah?” Jingga membulatkan matanya mendengar penyataan cinta tak disangka itu.

“Kau minta maaf karena sudah bersama orang itu, bukan begitu?” Shuji berkata lirih, tenggelam dalam dunianya sendiri. Ah, dadaku sakit sekali. Mencintai sungguh melelahkan. Shuji melara dalam hati. Lalu air matanya pun turun sederas air terjun. “Pergi, pergi padanya. Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi.”

Setelah berkata demikian, Shuji menutup pintu dan kembali mengisolasi dirinya. Meninggalkan Jingga yang berdiri mematung dengan wajah merah, malu dan tak bisa berkata apa-apa.

Jingga menatap pintu apartemen di depannya dengan penuh tanda tanya. Perasaan senang merayapi hatinya ketika menyadari bahwa Shuji baru saja menyatakan bahwa dia menyukai Jingga.

Perasaan bingung dan ajaib bercampur sampai dia tidak bisa menahan senyum, namun raut mukanya berubah khawatir.

Jadi selama ini sikap Shuji dan kejadian kemarin berkaitan tentang aku?

Jingga kembali ke apartemennya. Kalau keadaannya tidak serius, Jingga akan berpikir Shuji adalah pemain teater.

Ini betulan Shuji yang tenang, kalem, dan kadang suram itu? Jingga di landa kebingungan sambil mengerjakan aktivitas rumahnya.

Memakai sandal bulu, Jingga duduk di sofa setelah mandi sambil memeluk bantal. Di meja kopi di letakkan segelas cokelat panas.

Perlahan-lahan kejadian-kejadian yang sempat dia curigai mulai dia pikirkan ulang.

Jingga selalu berpikir positif. Selama tidak menyakiti siapapun, sekalipun dia merasakan sesuatu yang ganjil, Jingga tidak akan memikirkannya dalam-dalam. Terutama kalau hal itu berhubungan dengan orang yang—Jingga memiliki perasaan baik padanya.

Dalam hal ini, Shuji ada di kriteria tersebut.

Sejak awal bertemu, dan dengan semua peristiwa yang terjadi, kalau di pikirkan dari sudut pandang normal tentu saja berbahaya dan mencurigakan.

Tapi Jingga meloloskan poin tersebut, menganggap Shuji adalah manusia yang perlu di beri kesempatan untuk memperbaiki diri. Jingga pikir poin ini tidak salah.

Hanya dia tidak tahu sejak kapan Shuji menyukai dirinya.

Aku masih ingat dia menyamaiku dengan hewan waktu awal kenalan. Jingga menggumam cemberut namun segera mengoreksi. Waktu itu kami belum saling kenal, jadi wajar.

"Jingga, kenapa kau menganggap normal orang yang memperlakukanmu dengan seenaknya? Kau sakit?" Jingga menahan kepalanya yang berdenyut. Bahkan orang asing pun lebih beradab daripada Shuji waktu itu.

"Ah, tapi waktu itu aku yang mulai duluan mendekati dia." sudahlah, mungkin ini semua salahku.

Mau tak mau pikirannya kembali ke kejadian saat Shuji menyatakan cinta. Tanpa bisa di tahan semburat merah merambat ke wajah Jingga. "Dia suka aku? Bagaimana bisa?"

Jingga menggeleng lemah.

Kalau di bilang suka, mungkin Jingga juga sedikit suka. Tapi untuk mencintai, masih belum sejauh itu.

Tunas perasaan Jingga yang hendak tumbuh langsung di ratakan dengan prinsip yang selama ini dia jalani.

“…. Aku harus mengobrol lagi dengannya.” Jingga tersenyum, sebagian dari senyum itu menunjukkan kesepian. Menjadi kekasih tidak bisa—tapi mungkin jadi teman, jadi tetangga seperti biasanya—mereka bisa.

“Tentu saja kalau dia masih mau.” Jingga tertawa, menggumam pada dirinya sendiri. Dalam hati dia tahu bahwa dia akan berpisah dengan sesuatu.

Jingga menyesap cokelatnya pelan-pelan.

Selalu ada hal harus yang di lepaskan, wajar.

Jingga sudah mengetahui hukum ini, namun dia tidak bisa menahan rasa sedihnya. Yang bisa dia lakukan hanya berdoa.

**

Hari ini masih hari galau seperti kemarin.

Shuji duduk di sofa menatap layar tv; yang sampai kapan pun tidak pernah akan berubah gambar temboknya.

Tapi suara yang dikeluarkan berbeda-beda, dan hal itu jadi sesuatu yang mengunci Shuji untuk terus duduk.

“..asdfasgsag..” Hanya kadang seperti ini. Tetangga perempuannya bicara dengan bahasa Shuji atau kadang dengan bahasa kampung halamannya, yang Shuji tidak mengerti.

Tentu saja mendengar suaranya saja sudah bagus—tapi kalau dia mengerti isinya lebih bagus lagi.

Lain kali aku akan coba tanya. Ah, aku tidak bisa mengobrol dengan dia lagi...

Shuji menahan perasaan sedihnya yang naik ke permukaan dan berusaha fokus ke layar.

“asdaf—uhuk-uhuk—hh,”

Telinga Shuji menajam mendengar suara batuk dari speaker. Semakin di dengarkan, batuk itu semakin sering terdengar. Ketika bicarapun, Shuji mendengar suara Jingga agak serak.

“Mungkinkah demam? Flu?” Selama ini dia bertetangga, tidak pernah dia melihat Jingga jatuh sakit. Suara langkah kaki di speaker semakin dekat, setelah terdengar gemeresik, Shuji melihat sosok Jingga di layar tv yang bersiap kerja lengkap dengan seragam polosnya.

Di speaker terdengar suara putaran kunci, bersambung suara langkah dari luar apartemen. Shuji melompat berdiri tapi segera duduk lagi. Dia ingin memeriksa keadaan Jingga—tapi tidak mungkin dia melakukannya.

-Kenapa? Kenapa hanya karena dia sudah punya pacar kau tidak boleh khawatir padanya? 🧐

Kepalanya berbisik.

-Bukankah sudah etikanya untuk mundur saat seseorang itu sudah jadi milik orang lain? 😢😢😢

Hati Shuji menjawab.

-Jadi bego kau, ya? Rebut saja! Lagian sejak kapan kau punya etika…😤

-Tapi..🥺🥺🥺

-Masih diam juga? Pikirkan dia yang sedang sakit. Kau tidak dengar suara batuknya itu seperti sakit keras? Kalau ini kali terakhir kau bertemu dengan dia bagaimana!😠

-Jangan bicara sembarangan!😡

-Ah, pikiranku! Cuih—maksudku tentu saja dia akan bersamamu sampai ke pelaminan, heheh. Tapi tetap saja, kau harus usaha.😶‍🌫️

-Bukankah aneh kalau aku tetap mendekati dia setelah kemarin aku…😢

-….🙄🙄

-….setelah aku marah pada dia kemarin?😭

-Kau sungguhan jadi idiot? Kemarin kau menyatakan cinta padanya. Apalagi yang kurang? Cepat pergi dan kejar dia!🤬

-A-a-a-apa maksudmu menyatakan cinta??😥

-Bus-nya akan segera datang! Cepaaaat!🤐

Sambil bergelut dengan pikirannya, Shuji menarik mantelnya dan bergegas keluar apartemen. Shuji setengah berlari ke halte, dan untungnya bus belum datang. Sosok yang selama  ini dia hindari tengah duduk dengan manis di kursi tunggu.

Shuji berdiri di ujung halte, masih dengan pakaian kemarin-kemarin... entahlah berapa banyak kemarin? Dengan rambut berantakan dan mantel yang miring dia pelan-pelan dia merapikan dirinya; memasang wajah super dingin meski orang-orang di sekitar menatapnya sambil menyisir rambut dengan jari-jarinya.

Shuji memelototi seorang laki-laki seumurnya yang menatapnya lama dan menunjukkan taringnya ketika orang itu malah tertawa. Shuji memicingkan mata sampai laki-laki itu berlalu.

Lupakan, Shuji. Waktumu berharga. 

Saat bus datang, Shuji naik. Ketika hendak bayar—barulah sadar dia tidak bawa dompet atau kartunya.

“….” Hiks.

“Anak muda, kau mau naik atau tidak? Orang mengantre di belakangmu.” si sopir bus melirik jam digital di dashboard, berpikir kalau telat dia harus ngebut untuk ke pemberhentian selanjutnya.

“…Maaf, aku mau naik. Tapi aku lupa bawa uang.”

“Begitukah? Sayang sekali kau harus turun.” si sopir tidak ingin ambil pusing.

“Tidak bisa.”

“…. hey, nak, dengar..”

“—Shuji?”

Melihat macet yang terjadi di pintu masuk, Jingga yang sudah duduk bangun dan segera bangun ketika melihat tetangganya berdiri polos di depan mesin. Dia langsung menggesek kartunya.

Shuji yang masih terdiam merasakan lengan mantelnya di tarik; dia lalu di dudukkan di kursi dekat jendela. “Kau mau kemana?” suara ringan dari orang di sampingnya terdengar.

Shuji membuka tutup mulutnya, lalu membulatkan tekad. “A-aku mengejarmu.” Jawab Shuji dengan suara sekecil mungkin.

Kalau Jingga tidak memperhatikan dan mendengarkan baik-baik, dia hampir tidak menangkap jawaban Shuji.

“..Apa?” Mengejarku? “Kenapa?”

Shuji tidak menjawab. Dia hanya melihat keluar jendela.

Jingga: ….

Jingga merasa sampai kapanpun dia tidak akan pernah mengerti jalan *mood *laki-laki ini.

Memikirkan kejadian kemarin, Jingga jadi ingat bahwa masih ada yang harus di bicarakan diantara mereka.. tapi bus ini bukanlah tempat yang tepat.

“Kau… apa nanti malam ada waktu?”

“Ah?”

Akhirnya menoleh juga. “Nanti aku pulang kerja, gimana kalau kita makan di restoran Oishio?” Jingga menawari.

“….” Shuji tidak langsung menjawab. Kencan? Mungkinkah dia mengajakku kencan? Tapi dia kan punya pacar…. Mungkin yang begini adalah seleranya? Punya dua pacar sekaligus??

“…O-ke.” Shuji merasa terguncang tapi dia berusaha menjawab meski agak kaku. Dia tidak terlihat seperti perempuan yang suka begitu...

-Tolol, dia mau putus denganmu!

Suara di kepalanya terdengar lagi, menyadarkan Shuji. Tapi dia menolak mengakuinya.

Shuji menggeleng pelan, menghapus pikiran itu.

-Jangan ngawur, kita belum jadian!

-Hahaha! Dia mau memutuskanmu dari hidupnya selamanya!

“…..” Shuji berpaling ke jendela, takut wajah sedihnya terlihat.

Dia hanya lupa saja, bayangannya terpantul di jendela dan Jingga bisa melihat dengan jelas.

Jingga: ….

Kenapa dia seperti ingin menangis? Melihat sikap Shuji, Jingga sendiri jadi percaya bahwa dia adalah playgirl brengsek tukang mempermainkan perasaan orang.

“….Aku ingin membicarakan soal kejadian kemarin.” Kata Jingga hati-hati, takut membuat Shuji menangis lagi. “Kemarin, kau bilang suka padaku, kan?” Jingga memastikan. Saat begini yang terbaik adalah terus terang.

Orang di sampingnya tidak menoleh, tapi bahunya sempat berkedut. Melihatnya Jingga tidak bisa menahan senyum.

“Banyak yang kau tidak tahu tentang aku. Dan, aku ingin memberitahumu soal itu.” Jingga diam sejenak. “Satu lagi, yang kemarin itu sepupu laki-lakiku. Meski secara fundamental kami bisa jadi pasangan, tapi aku dan dia sudah seperti adik-kakak… jadi…”

“Sepupu?” kepala Shuji berputar, matanya membulat mendengar penjelasan itu.

“Y-ya..,”

“Bukan pacarmu?”

“….bukan.” Jingga ingin bersembunyi karena malu. Kenapa orang ini malah fokus kesana? Dan kenapa juga dia harus memperjelas hal ini?

“…Oh.” Shuji hanya mengeluarkan kata itu, kemudian kembali menatap keluar jendela.

Kali ini, Jingga tidak bisa membaca isi pikiran Shuji hanya dari pantulan kaca; dia seperti sudah kembali ke Shuji yang tanpa ekspresi dan selalu tenang.

Jingga berpaling dan menunggu bus sampai ke tujuan—merasa hatinya sedikit mencelos. Sayang sekali, padahal ekspresinya menarik untuk diperhatikan.

Bus sampai di pemberhentian dan Jingga turun. Dia tidak langsung jalan melainkan menunggu Shuji berdiri di sampingnya.

“Kau... ada ongkos pulang, kan?” Jingga membuka tas selempangnya dan mengeluarkan dompet. Dia tidak bisa memberikan kartu transportasinya, tapi dia punya uang recehan.

“Tidak perlu.”

“Ah? Kenapa?”

“Aku mau jalan-jalan di sekitar sini.”

“…Apa kau punya uang?” Untuk bayar bus saja tidak bisa, apalagi jalan-jalan. Jingga akan segera pergi bekerja dan dia tidak tahu bagaimana Shuji akan menghabiskan waktunya. Kalau siang lapar bagaimana? Memikirkan Shuji berjongkok di pinggir jalan, kelaparan, sifat keibuan Jingga yang dia pikir tidak eksis mendadak muncul.

“Tidak.” Shuji menjawab dengan gagah.

“Aku harus berangkat kerja sekarang.” Jingga mengeluarkan dompetnya dan baru ingat kalau dia belum mengambil uang. Hanya ada beberapa lembar uang yang Jingga takutkan tidak akan cukup.

“Nih.” Jingga menyodorkan salah satu kartu debitnya. Di dalamnya ada lima ribu yen. Uang ini tadinya akan dia pakai untuk rencana makan malam mereka. Tapi sekalipun Shuji memakainya, tidak masalah. Palingan mereka akan makan sate di pinggir jalan jadinya.

“Kodenya 121221. Di dalamnya tidak banyak uang—uhuk—tapi cukup untuk makan dan ongkos pulang hari ini.” Jingga memasukkan dompetnya setelah menyodorkan—memaksakan—kartu itu ke tangan Shuji.

“Aku pergi dulu, dah.” Tanpa menunggu respons, Jingga langsung berjalan menuju arah tempat kerjanya.

Shuji menatap punggung Jingga yang menghilang pelan-pelan ditelan kerumunan. Dia berjinjit untuk mencuri lihat sampai sosok perempuan itu mengecil dan tak lagi kelihatan. Shuji diam di tempat beberapa lama, sebelum menundukkan kepala. Kedua tangannya memegang kartu debit dengan bergetar.

Mungkinkah ini yang di namakan— “…Sponsor?”

Episodes
1 1. Semua harus ada Goal
2 2. Beginikah Caranya?
3 3. Anti-Parasitisme
4 4. Transisi
5 5. Kusut
6 6. Aku Lebahnya, Yang Lain Kecoak.
7 7. Tidak Sadar
8 8. Penjaga
9 9. Bukan Level
10 10. Gadis Bayangan
11 11. Sedih dan Senang
12 12. Kejar?
13 13. Resolusi
14 14. Untuk Bersama
15 15. Malu? Apa itu malu.
16 16. Yuk main yuk
17 17. Tangkap dan Lepaskan
18 18. Cerita seseorang
19 19. Sweet Time
20 20. Teh Manis
21 21. Berita
22 22. Tik, tok, tik, tok
23 23. Gimana lagi lah ya
24 24. Sudah kuduga
25 25. Akar yang rusak
26 26. Angin
27 27. Bakti
28 28. Sakura
29 29. Clean N Clear
30 30. WAKIL
31 31. Selamat Tinggal
32 32. Hibernasi
33 33. Keringat
34 34. Masih rahasia?
35 35. Rahasia lama
36 36. Mengambang
37 37. Jujur
38 38. Terbuka
39 39. Want You
40 40. Bersedia
41 41. Mother
42 42. Ay
43 43. Debut
44 44. Tidak Seperti Harapan
45 45. Asing
46 46. Siapa tahu
47 47. Bagi-bagi
48 48. Househusband
49 49. Cantik
50 50. Sampai
51 51. Kenanganmu
52 52. Rencana Karir
53 53. RadioOnPod
54 54. Gak usah lama lama pisahnya
55 55. Punya Anak
56 56. Ryu
57 57. #YukNikahSamaOrangJ
58 58. Dicegat
59 59. Jadi CEO mau ga?
60 60. Istirahat
61 61. Tahun Baru
62 HARI INI ABSEN
63 62. Saingan
64 63. Ikan Asin
65 64. Agenda
66 65. Bergerak ke Depan
67 66. Seumuran
68 67. Perselisihan
69 68. Noda
70 69. Nee San
71 TANTANGAN BACA kalian ngerti gak
72 70. Obrolan Gak Perlu
73 71. No more
74 72. Kunjungan
75 73. Bergetar
76 74. Diskusi
Episodes

Updated 76 Episodes

1
1. Semua harus ada Goal
2
2. Beginikah Caranya?
3
3. Anti-Parasitisme
4
4. Transisi
5
5. Kusut
6
6. Aku Lebahnya, Yang Lain Kecoak.
7
7. Tidak Sadar
8
8. Penjaga
9
9. Bukan Level
10
10. Gadis Bayangan
11
11. Sedih dan Senang
12
12. Kejar?
13
13. Resolusi
14
14. Untuk Bersama
15
15. Malu? Apa itu malu.
16
16. Yuk main yuk
17
17. Tangkap dan Lepaskan
18
18. Cerita seseorang
19
19. Sweet Time
20
20. Teh Manis
21
21. Berita
22
22. Tik, tok, tik, tok
23
23. Gimana lagi lah ya
24
24. Sudah kuduga
25
25. Akar yang rusak
26
26. Angin
27
27. Bakti
28
28. Sakura
29
29. Clean N Clear
30
30. WAKIL
31
31. Selamat Tinggal
32
32. Hibernasi
33
33. Keringat
34
34. Masih rahasia?
35
35. Rahasia lama
36
36. Mengambang
37
37. Jujur
38
38. Terbuka
39
39. Want You
40
40. Bersedia
41
41. Mother
42
42. Ay
43
43. Debut
44
44. Tidak Seperti Harapan
45
45. Asing
46
46. Siapa tahu
47
47. Bagi-bagi
48
48. Househusband
49
49. Cantik
50
50. Sampai
51
51. Kenanganmu
52
52. Rencana Karir
53
53. RadioOnPod
54
54. Gak usah lama lama pisahnya
55
55. Punya Anak
56
56. Ryu
57
57. #YukNikahSamaOrangJ
58
58. Dicegat
59
59. Jadi CEO mau ga?
60
60. Istirahat
61
61. Tahun Baru
62
HARI INI ABSEN
63
62. Saingan
64
63. Ikan Asin
65
64. Agenda
66
65. Bergerak ke Depan
67
66. Seumuran
68
67. Perselisihan
69
68. Noda
70
69. Nee San
71
TANTANGAN BACA kalian ngerti gak
72
70. Obrolan Gak Perlu
73
71. No more
74
72. Kunjungan
75
73. Bergetar
76
74. Diskusi

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!