13. Resolusi

Shuji menatap sungai di depannya dengan wajah tenteram. Seorang anak SMA yang membolos dan galau dengan kehidupan sekolahnya, duduk di rumput tak jauh dari posisi Shuji.

Gadis SMA itu melirik Shuji yang terlihat begitu puitis. Orang itu pasti punya masalahnya sediri. Benar. Setelah dewasa nanti, pasti aku akan berhadapan dengan hal yang lebih berat lagi.

Gadis SMA itu merenung dan berpikir bahwa dirinya yang bolos sekolah adalah sikap yang tidak benar. Setelah membulatkan niatnya, gadis SMA itu membawa tasnya, dan beranjak pergi ke sekolah.

Beberapa menit setelah gadis SMA itu pergi, Shuji terkekeh. Tentu saja dia bukan terdiam untuk merenungi kehidupan.

Dia sedang memutar kembali kejadian yang terjadi sejak kemarin, dan berhenti di titik dimana ketika Jingga berkata bahwa orang yang kemarin bukan pacarnya.

“Hehe… Hahaha!” Shuji tertawa lepas dan mengangguk-angguk. Tentu saja, Manis bukan orang seperti itu—dia penyayang, lembut, jago masak, dan yang utama—setia.

Darimana Shuji tahu? Dia tidak tahu.

Tapi dia yakin Jingga adalah seorang yang setia. Kalau Shuji jadi pasangannya nanti, ah, kebagiaan yang tak terkira.

Shuji mengeluarkan kartu debit yang di berikan Jingga sebelumnya, dan berpikir cepat. Saat ini pasti Jingga sudah mulai kegiatan bekerjanya.

Shuji berjalan ke pusat perbelanjaan setelah memikirkan benda apa saja yang akan dia beli pakai uang ini.

Meski wilayah N tidak semeriah kota-kota besar dan ibukota, tempat ini tetap ramai. Shuji berjalan menuju farmasi, namun terhenti saat melihat penampilannya dari jendela toko.

Dia mau menemui Jingga seperti ini?

Shuji memicingkan mata.

Berdiri di antara dua toko, dia melirik toko baju bermerk, kemudian ke toko baju serba murah di sampingnya.

Sebagai pasangan yang berkualitas, aku harus pintar-pintar mengatur uang. Ditambah, uang panas di tangannya ini adalah hasil keringat Jingga. Dia tidak bisa membayangkan berapa banyak air mata darah yang mengucur demi lima ribu won ini, hiks.

Selain mantelnya, Shuji membungkus pakaiannya yang lain dan menggantinya dengan kaos dan celana panjang berwarna senada. Shuji berbelok ke toko serba ada dan membeli sisir serta gel rambut sebelum menata kasar rambutnya di toilet umum.

“Lebih baik,” Shuji mengangguk melihat tampilannya di cermin. Dia mengeluarkan parfum kecil murahan yang dia rasa baunya cukup layak dari plastik. Seumur-umur, ini pertama kali Shuji pakai parfum picisan.

Shuji membungkus kembali barang-barang yang dia beli ke dalam plastik. Barang murahan yang tidak akan pernah Shuji lirik dia kemas dengan hati-hati.

Barang ini di beli dengan uang Manis.

Shuji keluar dari toilet seperti orang lain, dengan rambut rapi dan pakaian bersih tanpa kusut.

*Meski tidak parah, kalau dibiarkan batuknya akan jadi serius. *Shuji masuk ke apotek dengan wajah serius.

Berdiri di depan konter, dia meneliti produk yang di tawarkan oleh apoteker.

“Terbuat dari apa yang ini?” Shuji mengangkat kotak hijau yang sering dia lihat iklannya.

“Apa anda ada alergi? Anda bisa tenang, obat ini umum digunakan dan cocok untuk semua kalangan—.”

“Tidak, aku tanya apakah obat ini terbuat dari hewani atau natural…?”

Apoteker itu meminta kembali obat di tangan Shuji dan memeriksa komposisi. “Yang ini ada campuran hewani-nya." dia mengangkat wajahnya seperti teringat sesuatu. "Apakah anda seorang vegetarian?”

Meski sedikit, tapi kadang ada beberapa pelanggan yang datang mencari obat tanpa kandungan hewani di dalamnya.

Shuji memikirkan Jingga yang tidak bisa menerima sembarang makanan. “Orangnya sedang sakit flu… dia batuk-batuk, dan ya, kalau bisa mau yang untuk vegetarian.”

“Oh, apakah batuknya sudah lama?” tanya apoteker itu lagi.

“..Tidak, baru hari ini. Batuknya juga belum parah, hanya sekali-kali.”

“Begitu? Kalau seperti itu saya sarankan ini saja.” Petugas farmasi itu mengeluarkan permen untuk sakit tenggorokan, "Karena kandungannya mengandung herba yang murni, harganya agak mahal.”

Apoteker itu menyebutkan sederet harga yang langsung membuat Shuji lunglai. “Lupakan, aku tidak bisa membelinya.” Shuji mulai menyesali dirinya yang beli baju dan barang lainnya. Apa masalahnya kalau dia datang ke tempat kerja Jingga dengan berantakan? Paling tidak dia bisa membeli obat!

“Oh..,” Apoteker itu tidak tersinggung sama sekali dan mengusulkan. “Kalau untuk batuk kenapa tidak membuat saja? Mencampurkan air madu dan jahe bisa membantu meredakan batuk dan radang tenggorokan. Kalau batuknya baru, bisa diredakan dengan teh yuzu." jeda, "Kalau mau, di seberang ada yang jual air madu. Penjualnya keturunan Turk, dan dia banyak berbagi obat herbal yang harganya lebih murah.” Tidak banyak orang lokal yang mau membeli obat/produk luar negeri, jadi si apoteker itu tidak keberatan sama sekali untuk memberi rekomendasi. Dan lagi, laki-laki di depannya terlihat tidak akan beli karena tidak punya uang—melakukan kebaikan sekali-kali boleh lah.

“Aku mengerti."

Shuji mengobrol sebentar lalu keluar dari farmasi dan pergi ke tempat yang di tunjuk si apoteker.

**

Jam istirahat siang itu, Jingga merasa keadaan badannya mulai tidak membaik. Dia mulai tidak bisa menahan batuknya dan berjalan ke manajernya, meminta izin untuk istirahat mulai besok—akan berabe kalau penyakitnya menular ke lansia yang dia jaga.

Manajer memberikan izin selama dua hari, kalau setelah itu tidak kunjung membaik, Jingga bisa memberitahukannya lebih lanjut.

Keluar setelah meminta izin, Jingga melihat Yuka—salah satu teman dekatnya yang merupakan orang lokal sekaligus salah satu staf yang kerja satu shift dengan dirinya.

Perempuan berambut pendek itu menghampiri setengah berlari kearahnya.

“Jin-ga!”

“Ada apa?”

“Ada orang yang mencarimu.” Kata Yuka dengan mata berbinar, sinarnya menunjukkan rasa penasaran yang kentara.

“Mencari aku? Siapa?”

“Seorang laki-laki.” Yuka menggelengkan kepalanya, tak sempat menanyakan siapa namanya.

Sosok Shuji tersirat di pikiran Jingga. “Terimakasih banyak. Dimana dia sekarang?”

“Di resepsionis.” Yuka ikut mengekor di belakang. “Ne, siapa itu? Pacarmu?” Yuka merasa senang berpikir Jingga memiliki pacar. Mereka bisa double date kalau libur!

“Bukan pacarku. Jangan berkata yang aneh-aneh.” Kata Jingga pelan.

Yuka manyun. “Kenapa? Oh, apa kau tidak boleh pacaran juga?” Yuka yang sudah dekat dengan Jingga tahu sedikit-sedikit soal kehidupan Jingga. Banyak hal yang harus Jingga hindari, jadi dia selalu bertanya.

“Bisa di bilang begitu.”

“Uwah… kalau aku tidak mungkin bisa menahan diri.” Yuka menggelengkan kepalanya pelan.

Jingga tersenyum, “Sama saja, banyak juga orang yang tidak bisa mengontrol diri. Ini manusiawi.”

“Kalau begitu kau hebat bisa bertahan.”

“Zenzen.” Jingga menolak pujian itu dan sampai di resepsionis. Melihat Shuji, berpenampilan berbeda dari saat mereka berpisah di pagi hari.

Dia tengah berbincang ringan dengan petugas resepsionis yang sedang makan siang.

“Shuji?”

Mendengar panggilan itu, seperti pomeranian yang mendengar majikannya memanggil, Shuji langsung berdiri dan tersenyum berseri-seri. “Manis, aku sudah menunggumu.”

“……”

“!!!”

Semua staf yang hadir membulatkan mata melihat dan menyaksikan. Siapa yang tidak tahu kalau Manis itu nama belakang Jingga?

Tapi karena berbeda adat, mereka sadar bahwa orang yang memanggil Jingga dengan cara yang berbeda pasti orang yang sangat dekat dengannya!

Meski pakaiannya terlihat murah—kecuali mantel dan sepatunya—wajah pria muda di depan mereka kelihatan begitu cerah.

Yuka mendorong bahu Jingga dan mengedipkan sebelah mata pada Jingga.

Jingga: ….

Jangankan kalian yang kaget. Aku juga kaget. Siapakah laki-laki yang tersenyum bahagia di depannya ini? Jingga tidak kenal!

Jingga berjalan kaku dan menarik lengan mantel Shuji untuk keluar dari gedung.

Bahkan sempat-sempatnya Shuji menunduk memberi salam pada setiap staf sebelum mengikuti Jingga keluar. Jangan lupa dengan senyumnya yang masih menggantung.

“Apa yang kau lakukan?” Jingga pikir kesabarannya sedang sangat diuji. “Datang kesini… apa kau tahu sikapmu itu membuat orang bisa salah paham?”

Shuji di depannya tidak menunjukkan ekspresi berarti. Tapi matanya tidak langsung menatap mata Jingga.

“…” Bodohnya aku, Jingga pikir.

Kenapa dia bisa berpikir bahwa Shuji itu laki-laki yang selalu tanpa ekspresi? Bahkan dalam diamnya dia bisa memancing rasa kasihan kalau mau.

Laki-laki di depannya hanya berdiri diam dan menundukkan kepala, meski wajahnya datar, orang akan mengira Jingga sedang menindas dia!

Jingga menarik napas panjang. “Kenapa kau tidak pulang?” Jingga melihat baju yang di pakai Shuji, mendadak sakit kepala. “Kau… kenapa malah beli baju dan bukannya disimpan untuk hal yang lebih penting?” Jingga mengerutkan keningnya.

“Aku akan mengganti uangmu.”

“Bukan itu intinya.” Meski masih dengan suara pelan, nada Jingga penuh tekanan. Jingga melirik jam tangannya. Bagus. Dia sakit, belum makan siang, belum sembahyang, orang-orang sekarang salah paham bahwa dia punya pasangan—kesalahpahaman yang tidak Jingga harapkan, dan kini dia menghabiskan waktu… untuk apa?

Jingga memejamkan matanya dan berbalik. Dia berjalan cepat dan duduk di bangku taman depan gedung. Terserah, lah. Marah pun dia tidak bisa. Jingga yakin kalau dia berbalik dan menatap Shuji; yang ada dia malah kasihan.

Melihat Jingga yang nampak emosi, Shuji bingung. Tapi hal itu tidak menghentikan dirinya untuk mengikuti.

Saat Jingga duduk di bangku, Shuji tidak berani untuk duduk di sampingnya dan hanya berdiri.

“Kau marah?” tanya Shuji pelan. Nadanya datar, tapi Jingga seperti bisa mendeteksi perasaan sendu.

Jingga, kau pasti sudah gila. “…..” Perempuan itu memilih untuk tidak menjawab.

“Maafkan aku.” Kata Shuji.

Maaf? Maaf untuk apa! “Oh ya? Memangnya apa salahmu?”

“……”

“Kau juga tidak tahu, kan?” Jingga mengerutkan keningnya. Di pikir-pikir memang Shuji tidak salah. Jingga yang memberikan kartu itu, dan itu urusan Shuji mau di pakai beli apa; saat kemari pun, Shuji tidak bilang dia pacarnya Jingga dan seterusnya. Tapi—

“… Maaf karena sudah menghabiskan uangmu.” Kata Shuji lagi. “… Dan datang kemari tanpa memberitahumu.”

“….” Mendengar kata-kata tulus itu, Jingga tidak bisa marah lama-lama.

“Tapi kau memberikan kartu ini padaku," Shuji membasahi bibirnya. "Aku memanfaatkan setiap yen-nya dan tidak membuangnya sama sekali.” Shuji menyambung. “Kalau aku bawa ponsel dan punya nomormu, aku pasti akan mengirim pesan sebelum datang kemari.”

“…..” Jingga mengambil napas panjang. Betul dia yang memberikan kartu itu, tapi paling tidak ada rasa penghargaan—ah, bukan.

Lalu apa maksudnya mengirim pesan sebelum kemari? Bukankah poin pentingnya adalah 'minta izin' ? Kenapa dari kata-kata Shuji sepertinya laki-laki ini tidak minta izin, melainkan melapor dan langsung datang?

Jingga mendengar suara gemeresik rumput, dan sepasang sepatu terlihat berdiri di depannya.

“Jangan marah lagi.” Shuji menatap serius dengan mata hitamnya. “Kau bilang apa yang membuatmu marah. Aku akan memperbaikinya.”

Jingga membuka-tutup mulutnya ingin menjelaskan, tapi merasa ada yang salah dengan percakapan ini.

Kenapa mereka mengobrol seolah-olah mereka ini pasangan?

Jingga merasa dia masuk ke perangkap berkali-kali—mungkinkah ini hanya perasaannya saja??

“…Kau bilang kau memanfaatkan setiap yennya? Kau beli apa saja memangnya?” kenapa sekarang Jingga malah terdengar seperti seorang istri yang sedang minta penjelasan?

Jingga sudah tidak mengerti lagi.

Mendengar itu, Shuji langsung mengodok isi tas kertas di tangannya yang di lupakan. Tas kertas itu terlihat cukup besar. Shuji mengeluarkan tumblr termos dari dalam. “Ini air madu hangat campur jahe.” Kata Shuji pelan. “Kau batuk-batuk sejak tadi pagi. Aku akui aku salah, harusnya aku beli obat dulu sebelum beli pakaian baru.” Kata Shuji pelan-pelan. Menjelaskan dengan serius bahwa dia bukannya menghabiskan uang dengan semena-mena.

Dia menjelaskan bagaimana dia berusaha terlihat rapi supaya Jingga tidak malu di depan teman kerjanya memiliki kenalan seperti dirinya.

“Aku beli madu, lemon, dan jahe bubuk juga. Untuk airnya, kau hanya bisa menyeduh sendiri.” Shuji meletakkantas kertas yang lebih kecil di samping Jingga.

“Yang ini.” Shuji menunjuk termos. “Yang ini racikan herba istimewa, kau bisa tenang, orang itu bilang ini…” Shuji mengerutkan kening memikirkan istilah yang di sebut penjual keturunan Turk itu. “Kata dia ini halal.” meskipun dia tidak mengerti artinya apa, Shuji menerima saran penjual itu dan mengatakannya.

Setelah menjelaskan, dia melihat Jingga terdiam menatap barang-barang beliannya.

Sudah kuduga. Shuji langsung menyesal. Mungkinkah dia masih keliru? Memikirkan kemungkinan bahwa penjual itu menipunya dengan harga murah—membuat Shuji geram. Bagaimana pun ini uangnya Jingga.

“..Atau aku barang ini pulang dan…”

“Terimakasih.”

“Ah?”

“Terimakasih.” Kata Jingga pelan.

Shuji melihat senyum yang dia kira tak akan pernah ditunjukkan padanya, terulas di wajah Jingga.

"—Apa artinya sekarang kau tidak marah lagi?” Shuji langsung berdiri tegak.

“…Aku masih marah kau datang kesini tanpa izin.”

“Oh.” Bahu Shuji langsung turun. Wajah datarnya itu melihat sekeliling—menunjukkan kegelisahan.

Jingga tertawa pelan memperhatikan. “Karena itu aku kasih nomorku, supaya kau bisa menghubungiku.”

“?” Shuji langsung menoleh. “Kau akan memberikan nomor teleponmu?”

“Hmm.”

“Oke.” Shuji mengangguk cepat, “Kau bisa sebutkan.” Dia takut Jingga berubah pikiran.

Jingga yang tadinya mau mengambil kertas dan pulpen ke dalam terkejut mendengar itu. “Kau yakin?”

Pertanyaan itu seperti hinaan bagi Shuji. “Sebutkan saja.” Kata dia sambil mengerutkan kening.

“+8149…,”

Shuji mendengarkan dengan seksama. Wajah seriusnya terlihat menggemaskan. Dengan perasaan riang yang asing Jingga menggumam, Aku betulan sudah gila.

Jingga menyebut untuk kedua kalinya yang di tolak Shuji. Seperti murid teladan yang superior di kelas, dia langsung menyebutkan nomor telepon Jingga tanpa kesalahan.

“Kau sungguh langsung hafal!” melihat kekaguman terpancar dari mata Jingga, Shuji menahan diri untuk tidak jumawa—yang mustahil dia tahan.

“Aku memang sudah pintar dari dulunya.”

“Mm.” Jingga menganggukkan kepalanya.

Shuji melirik sekitar sebelum berkata dengan penuh rasa enggan. “Aku pulang dulu,” alisnya bahkan sampai jatuh, seperti dia merasa hal yang sangat di sayangkan karena dia tidak bisa menunggu Jingga selesai kerja dan pulang bersama.

Jingga tidak bisa menahan senyum. “Mm. Apa uangnya masih ada?”

Nada Jingga terdengar seperti kekasih yang khawatir pasangannya kekurangan sesuatu, membayangkannya membuat Shuji malu. Tapi tentu saja wajahnya masih datar. Shuji mengangguk. “Masih ada.”

“Oke, kalau begitu hati-hati.”

“Aku akan hati-hati.” Shuji mengangguk lagi.

Tapi dia tidak segera pergi. Dia menatap Jingga serius, menunggu barangkali ada kata-kata perpisahan lainnya—pikirkan aku di rumah, mimpikan aku, dan seterusnya—misalnya.

Kali ini Jingga yang bingung. Apa ada yang tertinggal?

Melihat tidak ada tanda-tanda itu, Shuji menghembuskan napas penuh penyesalan. “Aku pulang. Dah.”

“Mm. Dah.”

Shuji ingin tinggal lebih lama, tapi kalau dia mengganggu, waktu istirahat Jingga yang berharga akan terbuang. Meski sedikit, kalau sisa waktu itu bisa di pakai untuk istirahat—tidur siang misalnya, demi kesehatan Jingga, kenapa tidak.

Jingga kembali ke dalam bersama termos dan tas kertas berisi lemon, jahe, dan botol madu.

Para staf yang melihat itu hanya menatap Jingga penuh makna. Kali ini Jingga hanya tersenyum menanggapinya, tanpa keberatan.

Dia meletakkan sisa barang di loker dan meneguk isi termos. Menebak apa saja isinya karena rasanya lebih dari air madu dan jahe.

'Mungkin aku bisa mengunjungi tempat Shuji membeli ini.' meski efeknya tidak langsung berpengaruh, Jingga merasa badannya kembal fit hanya dengan menerima ini semua.

Jingga sembahyang, dan menghabiskan sisa waktu istirahatnya untuk makan siang.

Di seling minum air termos kiriman Shuji itu, Jingga jadi memikirkan laki-laki itu lagi. Mereka berbeda, dari segi keyakinan, adat dan budaya juga kewarganegaraan.

Tapi Jingga tidak tahu kapan dia bisa menemukan yang seperti Shuji.

“….Meski begitu, aku harus tetap menjelaskannya pada Shuji.” Jingga menggumam pelan. Dia tidak ingin memaksa Shuji berubah, pun Jingga tidak ingin menyalahi prinsip hidupnya. Satu-satunya jalan hanya dengan jujur dan mencari jalan keluar.

Jalan keluar seperti apa? Jingga tidak tahu, dia tidak berani memikirkannya dalam-dalam.

Kalau tidak berhasil, hanya ada perpisahan yang menanti di depan mereka.

Kegelisahan Jingga sebelumnya berangsur-angsur reda.

Episodes
1 1. Semua harus ada Goal
2 2. Beginikah Caranya?
3 3. Anti-Parasitisme
4 4. Transisi
5 5. Kusut
6 6. Aku Lebahnya, Yang Lain Kecoak.
7 7. Tidak Sadar
8 8. Penjaga
9 9. Bukan Level
10 10. Gadis Bayangan
11 11. Sedih dan Senang
12 12. Kejar?
13 13. Resolusi
14 14. Untuk Bersama
15 15. Malu? Apa itu malu.
16 16. Yuk main yuk
17 17. Tangkap dan Lepaskan
18 18. Cerita seseorang
19 19. Sweet Time
20 20. Teh Manis
21 21. Berita
22 22. Tik, tok, tik, tok
23 23. Gimana lagi lah ya
24 24. Sudah kuduga
25 25. Akar yang rusak
26 26. Angin
27 27. Bakti
28 28. Sakura
29 29. Clean N Clear
30 30. WAKIL
31 31. Selamat Tinggal
32 32. Hibernasi
33 33. Keringat
34 34. Masih rahasia?
35 35. Rahasia lama
36 36. Mengambang
37 37. Jujur
38 38. Terbuka
39 39. Want You
40 40. Bersedia
41 41. Mother
42 42. Ay
43 43. Debut
44 44. Tidak Seperti Harapan
45 45. Asing
46 46. Siapa tahu
47 47. Bagi-bagi
48 48. Househusband
49 49. Cantik
50 50. Sampai
51 51. Kenanganmu
52 52. Rencana Karir
53 53. RadioOnPod
54 54. Gak usah lama lama pisahnya
55 55. Punya Anak
56 56. Ryu
57 57. #YukNikahSamaOrangJ
58 58. Dicegat
59 59. Jadi CEO mau ga?
60 60. Istirahat
61 61. Tahun Baru
62 HARI INI ABSEN
63 62. Saingan
64 63. Ikan Asin
65 64. Agenda
66 65. Bergerak ke Depan
67 66. Seumuran
68 67. Perselisihan
69 68. Noda
70 69. Nee San
71 TANTANGAN BACA kalian ngerti gak
72 70. Obrolan Gak Perlu
73 71. No more
74 72. Kunjungan
75 73. Bergetar
76 74. Diskusi
Episodes

Updated 76 Episodes

1
1. Semua harus ada Goal
2
2. Beginikah Caranya?
3
3. Anti-Parasitisme
4
4. Transisi
5
5. Kusut
6
6. Aku Lebahnya, Yang Lain Kecoak.
7
7. Tidak Sadar
8
8. Penjaga
9
9. Bukan Level
10
10. Gadis Bayangan
11
11. Sedih dan Senang
12
12. Kejar?
13
13. Resolusi
14
14. Untuk Bersama
15
15. Malu? Apa itu malu.
16
16. Yuk main yuk
17
17. Tangkap dan Lepaskan
18
18. Cerita seseorang
19
19. Sweet Time
20
20. Teh Manis
21
21. Berita
22
22. Tik, tok, tik, tok
23
23. Gimana lagi lah ya
24
24. Sudah kuduga
25
25. Akar yang rusak
26
26. Angin
27
27. Bakti
28
28. Sakura
29
29. Clean N Clear
30
30. WAKIL
31
31. Selamat Tinggal
32
32. Hibernasi
33
33. Keringat
34
34. Masih rahasia?
35
35. Rahasia lama
36
36. Mengambang
37
37. Jujur
38
38. Terbuka
39
39. Want You
40
40. Bersedia
41
41. Mother
42
42. Ay
43
43. Debut
44
44. Tidak Seperti Harapan
45
45. Asing
46
46. Siapa tahu
47
47. Bagi-bagi
48
48. Househusband
49
49. Cantik
50
50. Sampai
51
51. Kenanganmu
52
52. Rencana Karir
53
53. RadioOnPod
54
54. Gak usah lama lama pisahnya
55
55. Punya Anak
56
56. Ryu
57
57. #YukNikahSamaOrangJ
58
58. Dicegat
59
59. Jadi CEO mau ga?
60
60. Istirahat
61
61. Tahun Baru
62
HARI INI ABSEN
63
62. Saingan
64
63. Ikan Asin
65
64. Agenda
66
65. Bergerak ke Depan
67
66. Seumuran
68
67. Perselisihan
69
68. Noda
70
69. Nee San
71
TANTANGAN BACA kalian ngerti gak
72
70. Obrolan Gak Perlu
73
71. No more
74
72. Kunjungan
75
73. Bergetar
76
74. Diskusi

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!