“Hai, ada apa?”
Shuji tersadar dari khayalannya, tapi latar belakang lagu itu tidak berhenti berputar di kepalanya.
“Mm. Apa aku mengganggumu?”
“Tidak.. aku memang baru mau pergi keluar, kok.”
Seperti kaset rusak, lagu di kepalanya di paksa berhenti dan bunga-bunga di sekitarnya layu seketika.
Biasanya Jingga akan bertanya soal keadaan dirinya, semisal—‘kau pakai apron? Habis ngapain?’—dengan mata bulatnya berbinar ingin tahu (imajinasi Shuji). Tapi sekarang Shuji basa-basi apakah dia mengganggu, perempuan ini bilang dia baru mau pergi keluar?
Kenapa? Apa dia mengganggu? Baiklah dia akan ganggu. (^-^)
“Kau terlihat berbeda, apa ini hari istimewa?” tanya Shuji. Kau sangat cantik, tapi kau mau kemana?
Shuji kira Jingga memang biasa berpakaian polos dan celana longgar panjang.. ternyata dia bisa dandan juga. Sayang, dia dandan bukan untuk dirinya.
Mungkinkah usahanya masih tidak jelas? Tidakkah dia melihat bahwa Shuji selalu tampil sempurna di hadapannya? Oke, meski kadang dia tampil ‘berantakan’ itu, kan, bagian dari naskah.
“Oh… aku mau makan di luar.”
“Oh, begitukah..” Shuji tersenyum sampai matanya tidak terlihat. Apa? Apa makan ini begitu istimewa? Kenapa si Manis ini sampai tersenyum penuh rona begitu? (efek blush).
Shuji bergelut dengan pikirannya—meski wajahnya masih ramah. Sementara Jingga mulai gelisah karena Shuji tidak segera mengatakan urusannya.
“Itu.. anu… aku sebenarnya sedang buru-buru..,”
“Oh, benar.” Shuji menghela napas dramatis. Aku menahanmu, dan kau ingin segera pergi? “Menurutmu bunga mawar ini cantik?”
“Cantik.” Jingga mengangguk dan menjawab serius. Setengah karena dia ingin cepat selesai, setengahnya lagi karena dia sedang gelisah—takut terlambat. Mendengar kata ‘bunga’ dia langsung jawab saja.
Krak.
Shuji menahan otot tangannya yang gemas ingin meremukkan pot di genggamannya. “Ini bunga lili.” Dia mendesis halus, seperti ular.
Tapi perempuan di depannya tidak sadar. “Lili juga cantik.” Jingga mengangguk lagi.
Shuji menghembuskan napas pelan dan menatap Jingga dengan teliti. Melihat wajah yang berkata ‘cantik’ dengan serius dan mata bulatnya yang seperti masih belum fokus dengan obrolan mereka, marah Shuji hilang.
Lupakan, perempuan ini bodoh dan menggemaskan, aku bisa apa.
Ini risikonya suka diam-diam. “Kalau begitu kau simpan pot ini. Letakkan di atas lemari rak sepatu supaya lebih berwarna.” Shuji menyerahkan paksa pot bunga itu pada Jingga.
“Oh, untukku?”
Kapan aku bawa sesuatu ke depan pintu apartemenmu—kalau bukan untukmu! “Mm.” senyum Shuji masih setenang danau.
“Terimakasih banyak.”
Shuji tidak langsung pergi.
Jingga yang merasakan aura tak mengenakkan di sekitarnya, mulai merasa panik. Dan hal itu menghapus kekhawatirannya untuk segera berangkat. Dia melirik Shuji yang memasang senyum, hanya saja matanya tidak tersenyum sama sekali. Mungkinkah aku melakukan kesalahan tanpa kusadari?
Jingga memutar cepat otaknya. “Oh.” Kemudian bergerak meletakkan pot diatas lemari rak sepatu. Dia melirik dari sudut matanya dan menarik segaris senyum. “Aku (sudah) letakkan di atas rak?”
Setelah yakin Jingga meletakkannya di atas lemari rak sepatu, Shuji mengangguk pamit.
“Mm. Kalau begitu aku duluan, ya.”
“O-oke.” Jingga mengangguk di tempat.
Shuji berbalik dan kembali ke apartemennya. Saat terdengar bunyi pintu tertutup, Jingga teringat dengan janji temunya dan segera memakai sepatu.
Tak berapa lama, suara denting lift terdengar, Jingga masuk ke dalam dan pintu lift tertutup.
Pintu apartemen Shuji yang tadinya tak bergeming terbuka pelan-pelan.
“Aku tidak akan ganggu, hanya… memeriksa." Ya, perempuan itu terlalu polos sampai kalau di culik tidak akan sadar. Shuji keluar dengan penampilan berbeda. Dia mengenakan setelan kerja dengan mantel panjang selutut. Rambutnya di sisir rapi kesamping dengan kacamata bertengger di hidungnya. Dia memakai masker dan di tangannya dia membawa buku saku untuk pelengkap penyamarannya.
Shuji berjalan tenang. Begitu memasuki pintu tangga darurat dia langsung berlari, melangkahi dua-tiga anak tangga sekaligus. Ketika dia sampai di lantai bawah, Shuji masih mengatur napasnya. Bersembunyi di balik tembok, dia mendengar suara denting lift, dan sosok pink lembut itu keluar dari lift.
Shuji membuka buku sakunya dan berjalan beberapa meter di belakangnya.
Didepan, Jingga mengangkat telepon entah dari siapa dan mengobrol dengan begitu cerianya.
Shuji ingin tahu siapa, tapi dia tidak bisa membongkar penyamarannya. Buku dipasang di depan wajahnya sementara kakinya tak berhenti bergerak. Keduanya berdiri bersisian di halte dengan jarak dua sampai tiga meter. Satu persatu orang mulai berdatangan dan keberadaan Shuji semakin tersamarkan.
Ketika bus datang dan Jingga naik, Shuji ikut naik.
Di akhir pekan, bus nomor rute ini akan selalu penuh karena melewati beberapa area wisata. Meski di dalam ramai, Shuji mendapatkan kursi tanpa usaha dan duduk tepat di belakang kursi Jingga. Dengan terang-terangan tapi tidak ketahuan, dia mengangkat kepalanya—mengintip layar ponsel Jingga.
Bus berhenti di pemberhentian pertama dan pengunjung naik-turun. Kursi di sebelah Shuji pun terisi. Namun melihat gelagat Shuji yang mengintip ke ponsel orang di kursi depan, orang yang duduk di sebelahnya langsung kembali berdiri dan pindah tempat yang mana Shuji tak pedulikan.
Sepuluh menit berjalan, bus berhenti di salah satu agrowisata wilayah N yang terkenal.
Hutan Marika adalah salah satu spot agrowisata yang memperkenalkan panen sederhana dengan spot kencan yang unik.
Di depannya, Jingga berdiri.
"Huh." dengan segera Shuji mengikuti. Mungkin dia kemari untuk bertemu teman?
Shuji mengerutkan kening. Pikir, Shuji. Sejak awal ditanya perempuan itu tidak mengatakan yang sebenarnya. Bilang mau makan di luar tapi datang ke tempat seperti ini entah dengan siapa.
Mungkinkah dia punya pacar? Siapa? Sejak kapan? Menurut pengamatan tajamnya, Jingga tidak mungkin punya pacar. Perempuan itu tidak ada waktu untuk hal seperti itu karena sibuk bekerja.
Tidak mungkin. Shuji bersikeras. Bisa saja teman dekatnya, kan?
Namun ketika seorang pria mendekati Jingga dan keduanya masuk bersama ke dalam area, Shuji terpaku di tempat. "Mungkin hanya temannya?" Shuji berkata pada dirinya sendiri. Namun logika di kepalanya berkata itu tidak benar.
Di saat yang sama, merasakan denyut sakit di dadanya.
Dia bingung.
‘Apa aku sakit jantung?’ Shuji menatap pintu gerbang hutan yang kini sudah kosong sambil menggaruk area jantungnya. Orang-orang yang turun bersamaan dengannya sudah masuk ke dalam berpasangan, hanya Shuji yang berdiri di luar sendirian.
Meskipun masih bingung, mengesampingkan rasa sakit itu, Shuji pergi beli tiket dan masuk ke dalam.
Meski terlambat masuk, dua sosok yang dia perhatikan barusan belum berjalan jauh. Shuji berjalan pelan-pelan, tak ingin mendengar apa yang sedang di bicarakan keduanya, tapi di satu sisi penasaran.
'Kenapa dia tertawa lepas begitu?' Shuji merapatkan bibirnya. Manis tidak pernah tertawa begitu di depanku.
Shuji mengikuti mereka saling berfoto satu sama lain setiap menemukan spot menarik. Saling bercerita kisah yang Shuji tidak ketahui, bahkan sampai saling merangkul bahu satu sama lain.
Buku saku yang dia pegang di depan wajah turun melayu bersama tangannya yang hilang tenaga.
"Dia... terlihat bahagia." Dan setiap melihat senyum itu, Shuji bukan merasa bahagia. Melainkan sakit di dadanya semakin menjadi-jadi.
Ternyata menyukai seseorang itu menyakitkan.
**
Apa yang sulit dari menyukai seseorang diam-diam?
Melihat orang yang kau suka kencan dengan orang lain, tertawa dan menikmati harinya.
Saat ini dia ada di restoran tengah hutan dan langsung disuguhkan pemandangan pohon-pohon yang mulai gugur. Kehijauan yang diselimuti kabut menambah suasana mellow. Pengunjung yang duduk di meja balkon bahkan sampai saling merapat dengan pasangan masing-masing karena hawa dingin yang sesekali merayap.
Ada perapian dan penghangat masing-masing untuk di dalam dan diluar restoran. Hanya saja suasana saat ini membuat orang ingin semakin lekat dengan orang terkhususnya.
Di sekelilingnya orang-orang mengobrol dan tertawa pelan, cahaya restoran yang menerangi membuat ruangan seperti dibumbui efek jatuh cinta.
Sayang sekali baik hangat perapian maupun atmosfer bersahabat itu tidak melenyapkan rasa frustrasi Shuji.
“Punya sake?” Shuji duduk beberapa meja dari posisi Jingga.
Pelayan di depannya nampak terkejut. “Kita… tidak menyediakan sake…” kalau orang mabuk parah di tempat ini akan repot. “Tapi ada anggur merah..”
Shuji tidak langsung menjawab.
Pelayan itu melihat tamu di depannya melihat ke arah lain dan tidak menaruh perhatian pada menu yang di tawarkan.
“Aku mau menu yang sama dengan meja itu.” Shuji menunjuk meja Jingga.
Pelayan itu terkejut tapi menerima permintaannya. “Baik, tunggu sebentar.”
Setengah galau Shuji duduk bersandar di kursinya. Dia bahkan tidak repot-repot membuka buku sakunya. Hanya tidak melepas maskernya dan memperhatikan dari balik bingkai kacamata di temani sakit berdenyut yang tidak berhenti di dadanya.
Shuji membuka ponsel dan menghubungi klinik.
“Halo, aku mau buat janji." Mungkinkah umurku sudah tidak lama lagi? "—Aku akan datang malam ini. Benar, untuk pemeriksaan pribadi.”
Shuji menutup panggilan. Lima belas menit kemudian menu pesanannya datang. Tanpa kata Shuji mulai makan, sesekali melirik ke meja Jingga.
Apa dia buta? Shuji menggerutu. Dengan perawakan seperti ini, gaya makan, dan dia yang sudah membuka masker meski duduknya miring—lewat profil sampingnya, bagaimana bisa perempuan itu tidak sadar kalau ini dirinya.
Shuji makin galau.
Tidak di notice oleh orang yang kau suka, tidak masalah. Hanya jika orang itu tidak memiliki orang yang dia sendiri suka.
Shuji makan nasi telur di hadapannya sambil menahan sedih. Beberapa pasangan yang duduk di sekitar mejanya saling berbagi hidangan satu sama lain, yang mana tidak membantu sama sekali.
Shuji menunduk dan fokus makan. Dia takut kalau melirik, dia akan melihat Jingga menyuapi laki-laki lain.
Seorang pelayan lewat dan mendengar Shuji terisak. Tisu di letakkan di mejanya tanpa suara.
“Terimakasih.” Shuji berkata tanpa mengangkat wajahnya dan menarik tisu, menghapus air matanya yang menitik.
Sudah tahu single, kenapa datang ke tempat ini. Kan sedih jadinya, si pelayan menghela napas dalam hati dan pergi sambil menggelengkan kepala kasihan.
Shuji meremukkan tisu dan diam sejenak. Untung orang-orang fokus dengan dunianya sendiri. Meski ada beberapa yang melirik, Shuji tidak mengindahkan dan lanjut menangis.
Setelah itu dia keluar mengikuti Jingga dan pasangannya—Shuji sudah menerima kenyataan bahwa laki-laki itu adalah pasangan Jingga.
Berkeliling memetik stroberi di rumah kaca, memberi makan rusa, lalu memperhatikan hutan lewat teropong di atas pohon sementara Shuji hanya bisa memandang dari bawah.
Shuji menyaksikan semuanya dari jauh. Samar-samar dia mendengar keduanya mengobrol dengan bahasa yang Shuji kenali.
Benar, bahkan bahasa mereka pun tidak sama. Shuji meratap sambil menyeret kakinya.
Tanpa sadar dia sudah mengikuti sampai kegiatan mereka selesai.
Jam tiga sore, Jingga menaiki bus untuk pulang, Shuji mengikuti tanpa suara. Dia bahkan tak repot-repot menyembunyikan presensinya, seakan sudah menyerah untuk bersembunyi.
Tapi yang menyedihkannya, perempuan di depannya masih tidak menyadari ini dirinya.
Bus melaju diiringi suara berita dari radio, melantunkan lagu musim kemarau yang lembut dan sendu.
Shuji menyandarkan kepalanya ke jendela, tidak mendengarkan suara di sekelilingnya dan hanya menatap ke satu tempat.
Kepala berwarna pink lembut. Melihatnya lama, dia jadi membayangkan permen lolipop. Mungkin nanti dia akan beli banyak permen lolipop pink dan menggigitnya gemas sampai puas.
Seperti kesurupan dia bangun ketika kepala pink itu berdiri.
Keduanya turun di halte dan berjalan beriringan menuju gedung apartemen.
Saat itu, sosok lembut di depannya tiba-tiba berbalik. Shuji masih belum bereaksi, dan hanya menatap lurus.
Kenapa sepertinya perempuan itu berjalan kearahku? Shuji melirik ke belakangnya, bertanya-tanya barangkali pria yang jalan dengan Jingga ikut kemari juga.
Tapi kosong. Hanya ada dirinya.
“Ji… Shuji!”
“Ah?”
"Shuji!!"
“Ahh??”
Shuji menunduk melihat perempuan yang selama ini dia perhatikan dari jauh, mengerutkan alisnya—terlihat marah. Tapi pipi bulat itu membuatnya jadi manis.
Shuji tertawa pelan.
“Shuji?”
“Ya?”
“…Kau mengikuti aku?”
“…. uh-huh?” kenapa pertanyaannya terdengar real? “Ya, aku mengikutimu.”
Perempuan di depannya nampak terkejut dengan jawaban Shuji yang terus terang. Tiba-tiba Jingga tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Sementara Shuji yang melihatnya tertawa lagi.
“Kau banyak tertawa… kau sedang senang?” Jingga menatap pria di depannya khawatir. Ini pertama kalinya Jingga melihat Shuji tertawa. Apa kepalanya baik-baik saja?
“Aku tidak senang… aku justru sedih.” Shuji menunduk. Teringat dengan kejadian yang dia saksikan, air mata lalu jatuh berlinangan menembus maskernya.
“..?!” Jingga membulatkan mata melihat Shuji menangis, panik. “K-kau kenapa? Siapa yang membuatmu menangis?” mengingat sosok Shuji yang sendirian berhadapan dengan depresi tapi tidak pernah menangis sekalipun, Jingga melembutkan nadanya.
Apa yang akan kau lakukan saat laki-laki tampan menangis di depanmu dengan lemahnya? Sulit untuk orang tidak tersentuh. Apalagi ini Shuji.
“Turunkan maskermu.” Kata Jingga pelan.
Masih menangis, Shuji menurunkan maskernya. Pipi dan hidungnya terlihat kemerahan.
Jingga menghela napas. “Buka kacamatanya.” Sejak kapan dia pakai kacamata? Jingga bertanya-tanya.
Tanpa kata Shuji menarik kacamatanya, memegangnya lesu di samping badannya.
Bagaimana bisa laki-laki ini mendengarkan dengan begitu patuhnya? Apapun yang Jingga pikirkan saat itu langsung terlupakan. Dia yang tadinya hendak menginterogasi batal begitu melihat keadaannya.
“Kenapa kau menangis? Hm?” Jingga mengangkat tisu di tangannya dan menekan pelan ke wajah Shuji untuk menyerap air mata.
“Aku...” dengan berlinang Shuji menatap perempuan di depannya namun tidak mengatakan apa-apa. Perempuan di depannya juga tidak memaksakan dan akhirnya mengajaknya pulang.
Lalu seperti gigi-gigi jam yang saling mengunci, dengan bunyi klik, mesin berputar.
Shuji menghapus air matanya, mengikuti Jingga ke gedung apartemen dari belakang seperti anak itik mengikuti induknya.
Otaknya bertanya-tanya: ???
“Masuk dan istirahatlah.” Jingga berdiri di depannya dan berpesan.
Shuji tidak berkata apa-apa, hanya mengangguk dan membuka pintu.
Saat itulah dia sadar.
“Apa yang?” Shuji menatap keadaan dirinya yang menyedihkan di pantulan cermin dekat pintu masuk. Rambutnya berantakan, wajahnya basah dan matanya bengkak.
Selesai sudah.
Shuji menopang kepalanya yang terasa langsung pusing.
Saat itu ponsel di mantelnya berdering.
“Halo?”
“Pak, untuk janji malam ini saya konfirmasikan sekali lagi, ya.” terdengar suara dari seberang.
“Batal.”
“Ya?”
“Saya batal periksa. Saya sudah tidak sakit lagi." Shuji memejamkan matanya erat-erat. "Saya ingin langsung mati saja.” Shuji mengakhiri panggilan dan meratapi dirinya untuk waktu yang lama.
Dia merangkak ke sofa dan berbaring.
Apa yang baru saja terjadi? Apa dia sungguhan menangis seperti orang gila di depan perempuan yang dia sukai barusan? Shuji kau gila, mati saja.
Tapi Manis menghiburku, dia dengan lembut menghapus air mataku. Dia bisa mati bahagia.
Dia bisa mati sekarang, dia tidak ada muka lagi untuk bertemu dengan Jingga setelah ini.
Shuji membuka ponselnya, hendak mem-format isinya sebelum dia mati.
Lalu tangannya berhenti di satu aplikasi yang dia instal belum lama. Oh, benar juga. Aku belum memeriksa yang satu ini.
Dengan bergetar Shuji menekannya. Aplikasi tersambung dengan kamera tak jauh dan di layar ponselnya langsung muncul gambar tembok yang terhalang batang hijau.
Shuji terperanjat dan menaikkan volume sampai maksimal.
Kriuk, kriuk, kriuk.
Dari seberang, Shuji mendengar suara seperti orang sedang makan kue.
Shuji duduk dengan serius dan ponsel di dekatkan ke telinganya.
Dia menangkap suara gemerusuk lalu terdengar suara berita dari tv, menutupi suara lain yang lebih kecil.
Shuji bergerak menuju charger ketika ponselnya menunjukkan tanda baterai lemah. Menyambungkan ponselnya dengan perangkat tv-nya, dia menaikkan volume.
Dari semua sisi di apartemennya, kini dia bisa mendengar suara yang sama dari apartemen sebelah.
Karena pot bunga yang dia antar pagi tadi di letakkan di atas rak sepatu, gambar yang di tunjukkan di layar tv hanya tembok dan sedikit area pintu.
“….” Mati, apa itu mati? Kalau dia mati apakah dia masih bisa melihat semua ini? Mendengarkan suara kunyahan Jingga yang menggemaskan? Tidak, dia tidak akan bisa.
Kalau dia jadi hantu gentayangan tidak apa. Tapi kalau dia langsung ke neraka, akan jadi perpisahan selamanya.
Seperti mendengar terapi, perlahan suasana hati Shuji menjadi tenang. Dia pun mulai beraktivitas seperti biasa. Menulis artikel, beres-beres, membaca buku. Semua dia lakukan sambil mendengarkan suara dari apartemen sebelah.
Tiba-tiba, suara keramaian di seberang lenyap. Shuji langsung menajamkan pendengarannya dan berjalan ke depan tv.
Dia mendengar suara langkah mendekat. Di layar tv, dia melihat sosok Jingga lewat nampak hendak membuka pintu dengan sebuah piring di tangannya.
“!” Shuji seperti bisa mendengar langsung suara langkah kaki di koridor.
Dia langsung mengambil remot dan mematikan tv. Kemudian menekan tombol power di ponselnya, bersamaan dengan itu bunyi bel terdengar.
“….” hampir saja.
**
Jingga menunggu di depan pintu beberapa menit sebelum orang di dalam membukanya.
Berdiri di ambang pintu, Shuji menundukkan kelopak matanya dan masih kelihatan lesu.
“Kau baik-baik saja?” tanya Jingga hati-hati. Memikirkan bagaimana laki-laki ini menangis sebelumnya, Jingga tidak bisa membayangkan hal apa yang sudah menimpa dirinya.
“Hm.”
Lihat, bahkan suaranya pun masih serak. “Kau mau kubuatkan air madu?”
“…tidak… ya.. tidak, maksudku. Aku punya madu.”
Jingga tersenyum mendengar itu. “Aku tahu, tapi aku ingin membuatkannya untukmu.” Dia lalu menyerahkan piring bersisi jamur oseng buatannya. “Sayang sekali aku belum belanja, hanya bisa masak ini hari ini.”
“Untukku?”
“Kalau kau sudah menyiapkan menu makan sendiri…”
“Tidak, aku belum ada waktu untuk masak juga.” Kata Shuji cepat.
Hm, kupikir juga begitu. Jingga hanya mengangguk. “Kau tunggu disini, aku buat dulu, ya.” Jingga berbalik kembali ke apartemennya untuk membuat air madu hangat.
Shuji berdiri kaku di tempat, ingin membuka ponselnya dan mendengarkan, tapi menahan dirinya. Kalau Jingga kembali dengan cepat… akan repot jadinya.
Shuji menghitung—empat menit kemudian, Jingga kembali dengan mug hijau di tangannya.
“Nih.”
“Terima kasih.”
“Kau masuklah.”
Shuji tidak protes dan masuk. Dia menutup pintu perlahan tanpa berani menatap Jingga.
Setelah pintu tertutup sempurna dan dikunci, Shuji langsung meletakkan piring dan mug di tangannya sebelum melangkah lebar ke ruang tengah dan menyalakan kembali perangkat yang sempat dia matikan.
“Sial.” Shuji menghembuskan napas menyesal karena tidak sempat melihat sosok Jingga masuk ke apartemen. Tapi dia segera terhibur saat mendengar suara piring dan sendok bersahutan. Dengan semangat dia mengambil roti tawar dan makan dengan teman nasi yang Jingga bagi.
Rasanya seperti mereka sedang makan bersama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments