Shuji berdiri di depan pintu apartemennya dan tidak masuk. Dia menunggu untuk Jingga masuk lebih dulu, tapi yang di tunggu justru berdiri diam.
“Apa ada masalah?” mungkinkah sakitnya sampai susah berdiri dan berjalan?
“…itu..,”
“?”
“Jaketmu buka?” Jingga bertanya ragu-ragu.
“Jaketku?” Shuji memeriksa jaket yang di pakainya. “Kenapa dengan jaketku memangnya?”
“…Jaketmu kan bekas aku pakai, biar aku cuci dulu.”
Meski Shuji ingin jaketnya di cuci oleh Jingga, tapi tidak untuk kali ini.
“Untuk apa di cuci, jaketku hanya di pakai untuk menutupi saja.” Shuji bergerak untuk membuka pintu miliknya, kali ini tanpa menunggu Jingga.
“A-aku ingin cuci jaketmu!”
Siapa sangka gadis itu malah menarik ujung jaket Shuji.
Keduanya terjebak dalam dead-lock yang tidak perlu.
Hanya mencuci jaket saja, kenapa sampai tidak mau?
Melihat gelagat Shuji ini, Jingga heran. “Kenapa kau tidak ingin jaketmu aku cuci?” tiba-tiba gadis itu tersadar. “Apa mungkin jaketmu ini khusus dan takut rusak kalau aku cuci?”
“…Ya, ya,” meski pun bukan karena itu, tapi memang jaketnya bermerek. Seperti mendapatkan dukungan untuk alasannya, Shuji melanjutkan. “Sebenarnya jaket ini tidak mudah untuk di cuci, harus benar caranya.”
“Kalau begitu aku pakai jasa laundry?”
“Ah?” Shuji mengerjap. “Aku suka mencucinya sendiri.”
“….” Jingga tidak bisa berkata apa-apa lagi, akhirnya perempuan itu melepaskan cengkeramannya.
“Mungkinkah kau tidak ingin jaketmu aku sentuh sembarangan?”
“Mana mungkin!” Shuji langsung membantah. “Aku hanya tidak ingin merepotkanmu.”
“Padahal aku tidak protes waktu kau membantuku sebelumnya.” balas Jingga cemberut.
“…Kau… kenapa bersikeras begini..” padahal hanya jaket. Shuji yang punya niat tersembunyi akhirnya menyerah saat melihat ekspresi wajah Jingga. Merajuk? Dia merajuk, kan? Kenapa harus menggemaskan begini?
Shuji akhirnya membuka jaketnya dan menyerahkannya dengan sedikit, hanya sedikit—berat hati.
Tidak apa, Shuji. Paling tidak yang ini dihitung sebagai baju pertama yang di cuci Manis. Pakai air dari rumah Manis, detergen punyanya Manis, dan dari tangan Manis….
“Jangan khawatir, aku akan pilih jasa laundry terbaik.”
“….Tidak.” Shuji melipat tangannya di dada. Karena dia sudah menyerahkan kesempatan langka-nya, dia akan memanfaatkan peluang ini. “Kau harus cuci sendiri, aku tidak percaya pada tukang laundry disini.”
“Kenapa?”
Shuji berdehem dan merangkai kata bualannya. “Banyak kasus orang tak bertanggung-jawab yang menggunakan pakaian pelanggan untuk hal-hal tak senonoh.”
“Tak senonoh bagaimana?”
“Aku tidak bisa memberitahumu, ini sangat memalukan.”
“Tapi kan, tidak semua tempat laundry buruk... seperti itu…” Jingga mengerutkan kening. Kalau semua tempat tidak bisa di percaya, sudah bangkrut industri perlaundry-an.
“Memangnya kau tahu mana yang bagus dan jelek? Semua perusahaan ini tentu saja menunjukkan hal bagus di depan. Tentu saja ini juga tidak bisa di timpakan kesalahannya pada perusahaan karena yang melakukannya adalah individual.”
“….” Jingga membulatkan matanya. Karena Shuji berkata cepat dengan kalimat yang tidak Jingga pahami, perlu waktu untuknya mengerti.
“Jadi….”
“Baiklah, aku akan cuci sendiri.”
“Oke.” Shuji mengangguk puas. Kalau jaketnya akan di cuci, tentu saja harus langsung dari tangan Jingga. Bukannya dia mau membuat Jingga lelah. Hanya sekali kok, hanya kali ini saja.
Dia akan menjadikan jaket itu sebagai tropi. Semua yang pertama kali itu harus di simpan dan di abadikan.
Ah, aku harusnya simpan pistol cat yang Manis gunakan. Minimal ambil gambar, lah.
Sebelum Shuji menyesal untuk kesekian kalinya, Jingga mengambil perhatian.
“Kau beritahu aku bagaimana caranya, biar aku tidak salah.” Kata Jingga.
“Aku video-call saja, bagaimana?”
“Oke.” Jingga mengangguk tanpa pikir panjang.
Shuji mengangguk lagi, kali ini rasa sesalnya sedikit terkikis. “Masuklah.”
“Em. Kau juga masuklah, di luar dingin.”
“Aku tahu.” Shuji menyaksikan Jingga masuk ke apartemennya, sebelum dia membuka pintu miliknya.
**
Sore itu minimarket Hisashi masih menyambut arus pelanggan yang datang, seperti hari-hari lainnya. Yui, salah satu kasir di minimarket sekali lagi melihat lelaki yang menarik hatinya—sayangnya, laki-laki itu sudah punya pacar.
Meskipun sejauh yang Yui selidiki mereka tidak seperti kekasih, tapi Yui bisa menebak bahwa keduanya saling menyukai. Tapi objek yang disukainya, Yui menilik sekitar—dia tidak melihatnya.
Biasanya perempuan berkerudung itu akan selalu muncul bersamanya.
Karena jam pulang kerja jadi supermarket ramai dan laki-laki itu tidak memilih self service. Ketika Yui melihat laki-laki itu berjalan ke kassa miliknya, kasir perempuan itu langsung menahan girang dalam hatinya.
Tetap positif, mungkin mereka sudah putus—atau mungkin pengamatan Yui selama ini salah!
“Sumimasen.”
“Hai.”
Yui men-scan barang yang di beli dan menebak mau masak apa laki-laki itu hari ini.
“Ano..,”
“Hai?” jangan bilang laki-laki sadar aku sengaja memperlambat scan barangnya?? Yui mencengkeram mesin scan masih sambil mempertahankan senyumnya.
“Kalau perempuan sedang menstruasi biasanya ingin makan apa?”
Termasuk wanita yang mengantre di belakangnya dan Yui sendiri, mereka membulatkan mata terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba itu. Yui langsung mengontrol wajahnya. “K-kenapa tanya begitu?” mungkinkah laki-laki ini tahu aku sedang… ahem.
“Pacarku tidak nyaman perutnya karena period-nya, jadi…”
Yui tidak tahu laki-laki bicara apa saja—dia hanya merasa lesu dan lunglai seketika.
“Kalau aku suka ingin makanan yang manis.” Wanita yang mengantre di belakang ikut berkomentar.
“Yang manis?”
“Betul. Hanya saja waktu menstruasi kau tidak ingin melakukan apa-apa. Apalagi keluar dari pintu untuk beli kue ke toko. Mungkin bisa beli online, tapi kalau punya pacar, aku akan minta dia belikan kue untukku dan membawanya sampai ke kamar.”
Keduanya asik bertukar obrolan sampai Yui memotong. “…Barangnya sudah selesai di scan, totalnya….,”
“Oh, hai. Arigatou gozaimasu.” Shuji segera mengambil tas belanjaannya dan berpamitan pada wanita di belakangnya sebelum pulang ke apartemen.
Yui hanya bisa melanjutkan pekerjaannya dengan penuh kesedihan.
"Ii, ne. Ano otoko."
"...." stop, tante. Aku tidak mau dengar. Apa gunanya memuja laki-laki yang sudah punya kekasih!!
Sesampainya di apartemen, Shuji tidak langsung menyalakan tv ke kamera di apartemen Jingga.
Setelah terbiasa, Shuji akan langsung mengirim pesan pada Jingga kalau ingin tahu perempuan itu sedang apa. Dan ketika ingin melihat wajahnya, Shuji akan langsung minta video call.
Mungkin ini saatnya aku membongkar kamera itu. Shuji menggumam sambil membongkar isi belanjaan.
Saat itu ponselnya berdering menandakan pesan masuk. Renungan Shuji sebelumnya buyar dan dia langsung fokus ke ponselnya.
Jingga: aku suka semua jenis makanan
Jingga: tentunya harus halal.
Pesan Jingga itu membalas pertanyaan Shuji yang bertanya mau makan apa.
Sebelum Shuji membalas, Jingga mengirim pesan lagi.
Jingga: Tapi kenapa kau bertanya?
Shuji: Aku mau masak makan malam, sekalian aku masakkan untukmu.
Jingga: (//O.O//)
Jingga: kau mau masak?
Shuji: tenang saja, caraku makan sudah sama denganmu. Bahkan alat masakku yang di rumah pun sudah kuganti semuanya.
Kali itu jawaban tidak langsung datang, membuat laki-laki itu membaca kembali balasannya, mungkinkah dia terlalu gegabah?
Sebelum Shuji sempat overthinking, Jingga membalas.
Jingga: Sungguh di buang? Apa kau tidak sayang?
Shuji: tidak di buang. Aku menyumbangkannya ke tempat lain.
Shuji: aku memang ingin menggantinya kok.
Shuji mengirim pesan dengan puas dan memandang suasana dapurnya dengan penuh kemenangan. Dari piring, pisau, sampai rak, semuanya mirip dengan yang Jingga pakai. Hanya beberapa model default dari apartemen yang tidak bisa di ganti karena miliknya sudah di rombak dari dulu.
Yang beda hanya warnanya saja.
Shuji: kalau tidak percaya, nanti aku kirim komposisinya, ya
Jingga: aku tidak sabar! Hehe
Shuji membaca balasan itu berulang kali dengan senyum tertahan. Api seperti menyala di badannya dan Shuji dipenuhi semangat berkobar.
“Baiklah, mulai dari apa dulu, ya.”
Shuji memeriksa buku resep dan memutuskan untuk masak makanan asal Negara T. Untuk hidangan penutupnya dia akan coba mochi isi stroberi.
Dia mencoba tomyam waktu berkunjung ke T-food fest saat travel kemarin-kemarin. Awalnya agak aneh tapi lama-lama enak juga. Shuji sendiri biasa membuatnya saat dia sedang ingin makan makanan yang asam.
Tomyam hangat dengan nasi sudah pasti nyaman di perut.
Shuji membersihkan udang dan kerang lalu menepikannya. Karena beberapa bumbu tidak dia dapati, Shuji menggunakan bumbu siap saji yang di kuatkan dengan menambah rempah lain yang tersedia. Bawang merah, bawang putih, udang kering dan lengkuas.
Setelah menyiapkan sausnya, dia memanaskan air dan memasukkan bahan seafood bersama beberapa rempah, lalu menambahkan saus tadi dan menuangkan susu cair untuk kuah yang lebih kental.
“Sepertinya sudah cukup.” Shuji mencicipi dan mengangguk lalu mulai membuat mochi stroberi.
Kalaulah Jingga melihat sosoknya saat ini, perempuan itu pasti terpesona. Shuji yang melipat lengan bajunya sampai sikut dan rambutnya yang rapi itu terlihat sedikit natural dengan peluh di dahi.
Di tambah apron yang di pakainya menambah poin plus.
Pukul lima lewat tiga puluh Shuji selesai masak dan langsung pergi mandi. Karena dia akan mengantarkan makanan ini, dia ingin datang dengan wangi dan segar.
Setelah menata dua mangkok piring masing-masing berisi nasi dan tomyam serta kotak makan yang penuh berisi mochi, Shuji berangkat ke apartemen sebelah.
Ding dong.
Menerima pesan sebelumnya, tidak perlu waktu lama untuk pintu di bukakan.
Shuji pikir dia sudah maksimal, tapi perempuan di depannya terlihat lebih manis dari biasanya. Amai, seperti mochi buatannya.
Kulitnya kemerahan dan ada sedikit bekas air di bulu matanya. Dari aroma sabun yang terkuar, Shuji tahu bahwa Jingga habis mandi.
“Wanginya!”
Mm, wangi milikmu. “Sangat wangi," kata Shuji dengan maksud tersembunyi.
"Ini untukku?"
"Yup. Bagaimana perutmu?”
“…Kau harus berhenti menanyakan perutku.”
“Baiklah, bagaimana keadaanmu sekarang? Masih tidak enak?”
“Sudah enakan.” Jingga menjawab dengan senyum yang kaya hati. Shuji merasa dadanya seperti di panah cinta.
“Masuk dan makanlah. Jangan lupa pakai kaoskaki dan tetap hangat.”
“…Tapi aku tidak bisa kasih apa-apa.” Bisik Jingga malu meski tangannya menerima dengan antusias nampan dari Shuji. Melihatnya, mata Shuji berbinar penuh senyum.
“Kau ini bicara apa. Kau sendiri suka masak untukku….” Shuji tiba-tiba teringat dengan sejarah kelamnya dan langsung mengubah topik. Takut Jingga teringat. “Katanya malam ini akan hujan, jadi jangan lupa tutup jendela.”
“Oke.”
“Masuklah.”
“Kau duluanlah pulang.”
“Aku ingin melihatmu masuk dan menutup pintu.” Kata Shuji serius. “Kalau sudah terdengar bunyi pintu di kunci, baru aku akan pulang.”
Jingga diam sesaat dan akhirnya menurut.
“Kau juga jangan lupa makan, ya.”
Shuji mengangguk dan menunggu Jingga sampai perempuan itu menutup pintu.
Setelah terdengar bunyi kunci di putar, laki-laki itu kembali ke apartemennya.
Padahal hanya terpisah dengan pintu, tapi rasanya sudah berpisah lama sekali. Begitu keduanya pegang hp masing-masing, Shuji dan Jingga langsung berbalas pesan sambil makan malam.
Shuji: sudah pernah coba yakitori?
Jingga: entahlah aku tidak ingat
Jingga: memangnya itu apa
Shuji: itu daging ayam bakar yang di susun dengan tusukan
Jingga: oh! Sate!
Shuji: sate?
Jingga: di tempatku juga ada. Namanya sate
Jingga: enak sekali
Shuji: disini namanya Yakitori
Shuji: beda dengan yang lain
Shuji: punyaku ada resep khusus sendiri
Jingga: Benarkah??
Shuji: besok aku buatkan
Jingga: ah?
Jingga: tapi kau sudah masak hari ini..
Shuji: kenapa kau terus berusaha menolak
Shuji: aku sudah kirimkan komposisinya dan kau bisa periksa aku sangat hati-hati
Jingga: ….
Jingga: kau jauh lebih teliti daripada aku sebetulnya
Jingga: baiklah besok aku coba…
Jingga: tapi kalau merepotkanmu aku tidak mau
Shuji: jangan bercanda
Shuji: aku senang di repotkan olehmu.
Jingga membaca pesan terakhir dan langsung menenggelamkan wajahnya di bantal. Dia melirik layar ponsel dan menenggelamkan wajahnya lagi ke bantal.
Ya Allah tolong. He’s so precious.
Jingga menahan perasaan yang membuncah di dadanya dan segera membalas pesan Shuji.
Kalau besok dia tidak ada jadwal kerja, Jingga pasti sudah menghabiskan semalaman untuk terus bertukar pesan.
Saat Jingga pamit untuk tidur, barulah Shuji menyambungkan Tv-nya ke kamera. Di waktu malam dia tidak akan mendengar apa-apa dari apartemen sebelah. Tapi justru kalau mendengar sesuatulah dia bisa lebih awas. Meski tentu saja itu hanya salah satu alasannya.
Alasan yang lainnya adalah Shuji sudah terbiasa dengan rutinitas ini. Saat tidak melakukannya, dia merasa ada yang kurang.
Kalau Jingga sampai tahu....
Shuji langsung menggelengkan kepalanya. "Aku harus mencopot benda ini dengan segera." meski berat hati, dia tidak ingin kehilangan Jingga demi kesenangannya. Tidak sebanding.
Shuji memantapkan tekadnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments