Yugani memiliki perawakan atletis, berkebalikan dengan badan Shuji yang ideal. Perbandingan ini tentu saja tidak bagus. Karena di samping Yugani, Shuji kelihatan seperti pria lemah.
Shuji melihat kaos dan rompi yang melekat di badan Yugani dengan tampannya, perasaan iri dan cemburu merayapinya—bagaimana kalau Jingga tergoda?
Yugani tersenyum dan langsung bertukar obrolan dengan Jingga dengan santainya, terang-terangan mengabaikan Shuji yang melemparinya tatapan dingin dan tajam.
“Sejak kapan kau main kesini?”
“Ini pertama kalinya.” Jingga menjawab dengan sumringah—perempuan itu sudah menanggalkan maskernya.
“Bohong, kan? Bagaimana bisa tembakanmu begitu tepat sasaran?” Yugani menatap Jingga kaget. Perempuan di depannya di kenal sebagai orang asing ramah yang lembut dan selalu tersenyum. Sulit di bayangkan bahwa tembakan tajam sebelumnya berasal dari perempuan yang sama.
“Shuji mengajariku.” Kata Jingga, menarik obrolan pada laki-laki tinggi di sampingnya yang sejak tadi di abaikan.
Sejak awal Yugani memang tidak ingin tahu soal rekan yang bersama Jingga saat ini. Tapi sebagai seorang polisi, dia mengetahui hampir setiap penghuni lingkungan sekitar komplek dan nama ‘Shuji’ tidak meninggalkan kesan baik baginya.
Yugani memiringkan kepalanya. “Shuji?” di tambah, orang ini yang mengajari Jingga?
Sejak kapan mereka berdua begitu dekat?
Tentu saja pertanyaan Shuji sebelumnya yang mengatakan bahwa dia adalah pacarnya Jingga tidak Yugani dengarkan. Dia tahu jawaban itu hanya bentuk permusuhan seorang lelaki pada saingannya.
Mendengar namanya di panggil, Shuji membuka maskernya dan dengan santai menata rambutnya yang bersepah.
Yugani menarik sebelah alisnya. “Kau terlihat berbeda dari yang… sebelumnya.” Ini sungguhan laki-laki suram itu? Terakhir bertemu, Yugani melihat lelaki ini di depan mesin minuman dengan keadaan mencurigakan. Tapi yang di depannya sekarang ini, seperti pemuda sehat yang ceria. Wajahnya tidak lagi suram dan Shuji terlihat energetik.
“Jingga membantuku.” Kata Shuji singkat dengan pesan tersembunyi yang pekat.
Yugani yang masih tersenyum langsung menurunkan garis bibirnya. "Bercandamu cukup aneh." respons polisi itu.
Dia ingin mengatakan sesuatu pada Jingga, namun tempat dan waktunya tidak tepat. Bagaimana bisa perempuan seperti Jingga berkeliling dengan orang seperti Shuji?
Tidakkah gadis itu tahu bertapa berbahayanya orang seperti ini?
“Bagaimana kalau kalian ikut bergabung dengan kami?” tawar Yugani setengah khawatir dan setengahnya lagi dengan niat lain.
Shuji menarik senyum miring. “Tentu—” dia ingin menunjukkan dan membalas kekalahannya barusan.
“Mungkin lain kali.” Jingga mendahului Shuji yang mengagetkan dua pria itu.
“Kenapa? Aku lihat kau sangat lihai memainkan paintball ini. Jangan khawatir, kali ini rekan tim-ku tidak akan gegabah seperti sebelumnya.” Yugani membujuk sambil mengangkat topik mereka yang menembak sembarangan di awal.
“Tidak, aku dan Shuji...” Jingga melirik Shuji cepat sebelum melanjutkan. “Aku sedang kencan dengan Shuji. Jadi mungkin lain kali bisa.”
“….Kencan..?” Yugani tertegun beberapa saat, namun segera mengontrol ekspresinya. “Jadi benar yang dia bilang tadi.” Setelah berkata demikian, Yugani kembali memakai maskernya. “Aku duluan kalau begitu.” Dengan membawa pistol catnya, Yugani langsung berbalik tanpa menunggu balasan.
Shuji tidak ambil peduli dengan sikap Yugani yang aneh.
Saat ini dia fokus dengan kalimat Jingga yang mengaku bahwa mereka sedang ‘kencan’. Shuji kira hanya dia yang menganggap kegiatan hari ini istimewa.
“Kau kenapa?” Jingga yang berdiri di samping memicing ke arah Shuji yang seperti melamun.
“Kencan?” Shuji mengulang.
“….” Jingga membuka-tutup mulutnya. Saat ada orang lain, perempuan itu bisa mengatakannya tanpa beban. Tapi ketika hanya tersisa mereka berdua, Jingga tiba-tiba jadi salah tingkah.
“Aku hanya…”
“Sejak kapan kau menganggap ini kencan?” tanya Shuji setengah mendesak. Laki-laki itu mendekat, sedang Jingga mundur.
“Aku hanya… mengulang jawabanmu.” Jingga menjawab tergagap sambil terus mundur. “Bukan benar-benar menganggapnya sebagai ‘kencan’.”
“Hmm.” Matanya tidak lepas sedikitpun dari wajah Jingga yang sudah merona merah. Pipinya yang gembil itu membuat Shuji gemas ingin menggigit. Dia segera mengalihkan perhatiannya. Karena ekspresi ini, Shuji memutuskan untuk memaafkan jawaban Jingga.
Bruk.
Punggung Jingga bertemu batang pohon. Shuji langsung tersadar. “Kau tidak apa-apa? Apa punggungmu sakit?” tanpa sadar laki-laki itu mengulurkan tangannya, mengusap punggung Jingga beberapa kali.
“Sakit?” ekspresinya yang terlihat khawatir membuat Jingga sulit untuk menghindar. “Tidak sakit,”
“Huh?” suara Jingga yang kecil itu memaksa Shuji mendekatkan telinganya.
“Aku bilang tidak sakit!”
“Oh,” tapi laki-laki itu tidak mundur sama sekali dan mempertahankan posisinya.
Keduanya terdiam di jarak yang dekat dan mereka bisa mendengar suara napas satu sama lain.
Jingga menurunkan pandangannya, tapi matanya tetap di pertemukan dengan jakun Shuji yang bergerak menggodanya. Jingga menutup matanya.
“Itu, apa kau bisa mundur…” kata Jingga pelan.
“..Kenapa kau menutup matamu?” kalau Shuji tidak pernah bertanya soal hal-hal yang di larang dalam keyakinan Jingga, laki-laki itu mengira Jingga bersiap untuk di cium.
Setiap perempuan yang memejamkan mata ketika di dekati tandanya minta di cium, kan.
Hanya saja Jingga berbeda.
“Kau, kau terlalu dekat.”
“Aku tidak menyentuhmu, kok.” Sesuai pernyataannya, Shuji meletakkan kedua telapak tangannya di sisi kanan-kiri Jingga. Jaraknya dengan Jingga ada dua kepal, hanya saja posisi ini membuat Jingga seperti di kekang. Dan tekanan itu perlahan-lahan menaikkan suhu badannya ke wajah.
Perempuan itu merasa wajahnya panas tapi ekspresinya masih di tahan untuk tetap datar.
“Shuji, jangan jahil.” Jingga membuka matanya dan berkata sambil mengeritkan gigi.
Posisi Shuji yang tidak bergerak menandakan bahwa pria itu tidak mau mundur.
“Aku mau tanya.” Kata Shuji tiba-tiba.
“Apa?”
“Apa kau tahu bahwa polisi itu kelihatan tertarik padamu?”
Jingga mengerjapkan matanya dengan pertanyaan yang out of topic itu.
Shuji memicing menerima reaksi Jingga. “Kau tahu.”
“M-makannya aku bilang sedang kencan.” Keluar jawaban itu, Jingga langsung menutup mata dan mulutnya—dia tidak ingin mengatakan isi hatinya segamblang ini. Rasanya seperti memberi jawaban bahwa yang Jingga suka adalah Shuji.
Memalukan sekali.
Di samping telinganya Jingga mendengar tawa renyah yang rendah.
“Kau senang?” Jingga menjauhkan wajahnya dari suara itu, berusaha mengontrol suasana hatinya.
“Maaf.” Shuji berkata sambil tertawa, namun tangan dan posisinya bergerak mundur. Jingga menghela napas lega dan segera berlutut memunguti barang yang terjatuh.
Demi menebus kesalahannya, Shuji yang mengangkut pistol air dan masker mereka saat kembali ke dalam gedung.
“Kau yakin mau pulang?” tanya Shuji didepan resepsionis. Barang pinjamannya sudah di kembalikan semua.
“Maaf, apa biaya booking-nya mahal?”
“Bukan soal itu." Shuji berkata cepat. Takut perempuan di depannya terpikir untuk membayarnya. "Aku ingin tahu apa mood-mu baik-baik saja?” Mereka baru main setengah jam dan Jingga sudah meminta pulang. Kalau bukan karena gangguan si Yugani tadi, Shuji tidak bisa menemukan alasan lain. Tapi sepertinya bukan karena hal itu.
“…Perutku sakit sejak pagi tadi sebetulnya.”
Mendengar itu dahi Shuji langsung berkerut khawatir. “Kau sudah sarapan? Ah—” Shuji diam sejenak. “Bukan karena itu.”
Jingga yang mendengarnya bingung. Namun perhatiannya segera teralihkan.
“Apa badanmu sakit?” Shuji mengulurkan lengan bajunya dan membiarkan Jingga untuk menggenggamnya.
Jingga yang biasanya tidak akan menerimanya, tapi belakangan ini entah kenapa hasratnya meninggi. Banyak yang dia inginkan dan banyak hal sederhana yang membuat dia kesal.
Jingga membuka ponselnya dan memeriksa kalender saat terpikir sesuatu.
Shuji mendudukkan Jingga di bangku dan bergerak ke staf untuk minta air hangat.
Ketika dia kembali, dia melihat Jingga duduk mengerutkan kening. Tiba-tiba ekspresi perempuan itu berubah terang dan berganti gelisah.
“Masih sakit? Sakit sekali?” Shuji setengah bersimpuh di dekat kaki Jingga dan memberikan gelas kertas berisi air hangat pada Jingga.
Jingga menerimanya tapi tidak langsung meminumnya.
“Tidak.. apa-apa.”
“Wajahmu jelas mengatakan ada sesuatu. Bilang padaku.” Shuji mendesak dengan serius.
“Aku, aku tidak sakit.” Kata Jingga pelan. Dia hampir berbisik karena malu, tapi—malu baginya bukan berarti Shuji akan mengerti.
Jingga harus mengatakannya dengan lugas. “Period-ku datang dan aku lupa.” Dia terlalu khawatir dengan acara akhir pekan ini dan tidak sempat memeriksa kalender.
Apalagi, kali ini period-nya datang empat hari lebih cepat.
“Period….?” Shuji memiringkan kepalanya.
“Period itu…,”
“Aku tahu, menstruasi yang di alami perempuan.” Potong Shuji yang membuat Jingga malu sekali lagi. Lihat, hanya dia saja yang merasa malu.
“Pembalutnya, bawa?” tanya Shuji dengan wajah yang masih datar.
Jingga pasrah dan menggelengkan kepala.
“Di sekitar sini tidak ada yang menyediakan pembalut.” Mau mencari pengunjung perempuan pun akan sulit di waktu seperti ini.
Shuji membuka jaketnya dan meminta Jingga untuk berdiri lalu mengikatkannya di pinggang perempuan itu dengan sempurna.
Shuji memeriksa jam dan mengecek jadwal bus terdekat. “Mungkin agak tidak nyaman, tapi kita ke bawah gunung dulu, ya?”
“..Em.”
Tidak perlu menunggu lama, tujuh menit Jingga duduk di halte, bus datang dan keduanya naik.
“Itu, kalau jaketmu kotor bagaimana.” Bisik Jingga. Bagaimana pun, noda yang tertinggal bukan noda biasa, tapi noda darah. Tidak sedikit orang yang menganggap darah period itu menjijikkan.
“Kalau kotor kan tinggal di cuci.” Jawaban itu membuat pertanyaan Jingga jadi tidak berarti.
“Mau kuusap perutmu?”
“Hah?” Jingga langsung membulatkan mata dan melipat kedua tangannya di depan perut dengan posisi bertahan.
“Katanya ini bisa membuat perut jadi lebih enakan.” Shuji tidak mengalihkan matanya dari hasil pencarian di layar ponselnya.
Jingga mendekatkan dirinya ke jendela dan menolak tegas.
Shuji menoleh ke perut Jingga dengan penuh penyesalan. “Baiklah.”
Di halte selanjutnya, Shuji menarik Jingga untuk turun. Area ini termasuk wilayah pertanian, karena hanya ada padi di sekitarnya, tempat ini jarang di kunjungi. Tapi banyak pekerja yang tinggal di sekitar sini dan konbini bukan bangunan yang langka.
Jingga masuk ke konbini dan bergerak ke rak dengan pembalut yang berjajar. Karena sudah tidak nyaman, Jingga langsung mengambil yang terdekat.
“Kenapa ambil yang itu? Yang bersayap lebih nyaman.” Suara Shuji yang terdengar tiba-tiba di telinganya membuat Jingga terlonjat di tempat.
“K-kau mengagetkanku!”
“Maaf.” Shuji berdiri di belakang Jingga dengan jarak dekat dan tidak berniat untuk pindah sama sekali. Dari belakang posisinya seperti tengah memeluk.
“Dari mana kau dengar yang sayap itu nyaman?” Jingga ingin nyeletuk, kau pernah coba? Tapi jokesnya tidak terdengar mengenakkan untuknya.
“Aku baca di artikel barusan.” Shuji membaca setiap merk dan mengambil satu kotak pembalut berwarna hijau kecil. “Yang ini harum sirih katanya lebih nyaman dan banyak perempuan yang pakai.”
Jingga menahan dahinya untuk menutupi rasa malunya. “Bisa tidak, aku saja yang pilih.” Kau tolonglah diam!!
Shuji yang mendengar itu tidak mengerti sama sekali. “Tapi pilihanmu tidak bagus.” Shuji langsung menyeret Jingga ke area ****** *****. Laki-laki itu sebenarnya ingin ikut memilihkan tapi menahan diri dan berdiri dekat kasir, memberikan waktu leluasa untuk Jingga.
Kedua barang yang membuat Jingga malu setengah mati itu di bayarkan Shuji—sementara perempuan itu sendiri sudah pasrah.
Jingga masuk ke toilet umum dan memeriksa. Untung saja nodanya tidak menembus ke jaket Shuji. Hanya saja bagian belakang celananya terdapat sedikit titik merah.
Jingga keluar dari toilet umum dan langsung menyerahkan jaket Shuji.
“Sudah selesai?”
“Hmm.”
“….” Shuji memperhatikan Jingga yang jalan di depannya. Meski celana Jingga terdapat sedikit noda, titiknya hanya sedikit dan tertutupi dengan ujung hoodie yang di pakainya.
“Kau masih malu apa lagi?” tanya Shuji setengah menggoda.
“Kau tidak mengerti.”
“Em, aku tidak mengerti. Aku tidak pernah menstruasi. Tapi di mataku hal ini sama wajarnya dengan melahirkan…—maksudnya bukan berarti kau mau melahirkan.” Shuji berdehem. “Tapi kan ini aku, jadi kau bisa leluasa.”
“…Maksudnya?”
Shuji menolak melanjutkan topik itu. “Perutmu masih sakit?”
“Lumayan.” Jingga tidak bisa meremehkan periode awal menstruasi. Rasanya melilit membuatnya gelisah. Kadang ingin tiduran, ingin bersembunyi, ingin terlentang—badannya lelah tapi dia di paksa peregangan demi merasa lebih baik.
“Kalau begitu kita langsung ambil bus ke XX.” Wilayah yang Shuji sebutkan adalah komplek mereka tinggal. Jingga yang mendengarnya langsung menentang. “Aku biasa kerja dalam keadaan yang sama juga, kok. Jadi tidak masalah.”
“Aku tahu.” Kata Shuji pelan. “Tapi kan main kita ini supaya kau, dan aku senang. Kalau kau tidak nyaman, bukan main namanya.”
“….”
“Ganti minggu depan bagaimana?”
Maksudnya minggu depan mereka akan 'kencan' lagi? “Ini kan rencanamu sejak awal?”
Shuji menarik senyum halus. “Tadi harusnya kau yang kalah kan?”
Shuji menarik kembali topik permainan paintball mereka sebelumnya.
“Mana bisa kau berkata begitu.” Jingga langsung mengelak. Meski posisinya positif kalah kalau di lanjutkan, tapi pada akhirnya dia tidak di tembak oleh Shuji.
“Kau sendiri juga kalah, kan.”
Shuji tertawa. “Ya, kita berdua kalah.”
“Sebenarnya kalah juga tidak masalah.”
“Mm. Kalau kalahnya berdua aku juga akan senang.”
“…..” kata-kata Shuji selalu berhasil membungkam Jingga. Bagaimaan pun, perempuan ini belum bisa mengucapkan kalimat memalukan seperti itu.
Keduanya kembali duduk di halte. Hari masih siang dan Shuji menyesali kegiatan mereka yang berakhir lebih awal. Tapi momen ini dia akui lebih baik dibandingkan dengan seminggu lalu yang dia habiskan.
Shuji mengingatkan dirinya untuk jaga jarak, jangan serakah. Tapi dia semakin ingin, ingin, dan ingin.
Sebelumnya dia hanya ingin bisa mengawasi Jingga dari jauh.
Setelah dekat dia ingin terus berpapasan dengan Jingga apa pun keadaannya.
Semakin kesini, dia ingin bisa mengobrol dengan Jingga sekali pun mereka berjauhan.
Kini, Shuji ingin terus menempel Jingga.
Alangkah senangnya kalau dia bisa merawat Jingga dalam setiap keadaan.
Memang keserakahan itu tiada habisnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments