NovelToon NovelToon

JUST A CRASH - CROSSING BUTTERFLY

1. Semua harus ada Goal

warning: suicide content. Advice to read wisely.

Langit yang membentang di atas itu, tak ada ujungnya. Shuji yakin dimana pun dia berdiri di bumi ini, dia akan selalu melihat langit. Dia bukan peneliti, tapi pengetahuan itu seperti alami ada di pikirannya. Kalau seperti itu, tidakkah selama ini dia berada di dalam sebuah ruang, yang sangat luas; yang di sebut bumi?

Dia tidak akan bisa keluar dari ruang ini, dan hidupnya dihabiskan di dalam ruang ini. Pun ruang ini tidak akan habis dia jelajahi sampai akhir hayatnya.

Kalau di pikir lagi, untuk apa?

Karena dia tidak memiliki motivasi seperti manusia lainnya, dia bingung. Tidakkah orang-orang ini merasa seperti ada yang mengawasi?

Mungkin hanya Shuji yang merasakannya? Karena setiap ada yang menggelisahkan, dia selalu berfirasat untuk melihat alam, melihat ke langit, melihat entah pada entitas apa. Dia seperti mencari sesuatu, tapi dia merasa yang dia cari itu selalu mengawasinya dan selalu dekat.

Dia hanya tidak tahu apa. Kadang dia pikir mungkin yang dia cari adalah dirinya sendiri. Membingungkan, kan?

Bagi Shuji, hidup sebagai manusia tiada gunanya. Fase-fase ini sama seperti semua mahluk yang ada di bumi. Dia hidup, kucing hidup, semut hidup. Saat waktunya tiba, dia mati juga, kucing mati, semut pun bisa mati.

Yang membingungkan, karena semua sama, apa yang diperjuangkan? Dia tidak ingin menggali dalam-dalam, dia hanya mempertanyakan satu hal itu saja.

Dia bekerja, dia menerima gaji, setiap hari dia makan, setiap hari dia mempersiapkan untuk besok. Tapi sudut hatinya seperti hanya melihat masa depan yang gelap. Padahal masa depan itu jelas terbentang cerah.

Teman kerjanya pernah menawari untuk mencari sesuatu yang seru, katanya hidup Shuji tidak cukup menggairahkan.

Shuji menyambangi kios-kios di distrik merah, dia mencoba sampai langkahnya berhenti ketika dia berpikir, 'mungkin yang dia lakukan kurang menantang?'

Tapi 'sampai kapan'?

Kalau setelah dia melakukan semua ini dan dia masih merasakan jenuh yang sama, bagaimana?

Sebulan setelahnya dia kembali mengerjakan aktivitasnya seperti biasa. Tidur, makan, bekerja, pulang. Dan begitu seterusnya. Kadang dia ingin kembali ke kegiatan hedonisme-nya, menikmati kesenangan sesaat itu. Tapi dia tahu kekosongan di hidupnya akan kembali lagi.

Shuji memutuskan untuk berhenti bekerja dan fokus pada dirinya sendiri, tapi masih belum menemukan jalan yang dia rasa pas di hati.

Ketika dia sibuk dengan internet atau mencari hal baru, dia masih baik-baik saja. Tapi aktivitas itu ada akhirnya juga. Saat berhenti itulah kesepian melanda dirinya. Seperti ombak yang menenggelamkan dirinya ke dasar laut, Shuji terjebak di sana.

Sebagai manusia, Shuji menyibukkan diri karena takut kesepian. Baru enam bulan sejak Shuji resign dari pekerjaan lamanya, dia sudah merasakan kejenuhan yang amat sangat.

Tidak seperti orang lain, dia tidak memiliki hobi. Di pikir-pikir, dari waktu sekolah sampai masuk ke dunia kerja dia tidak memiliki passion. Mungkin dia ahli dalam beberapa bidang tapi sejujurnya, hal itu lebih banyak melelahkannya. Dia mengerjakannya karena tuntutan dan tekanan.

Baru-baru ini dia mengambil kembali dan mencoba melakukan hal yang dia rasa sukai, namun ketika dikerjakan, Shuji sadar dia sudah tidak menyukainya lagi.

Kenapa mau-maunya dia berlelah-lelah seperti ini? Dengan pikiran seperti itu, inspirasi otomatis berhenti masuk.

Shuji tidak ada keluarga atau kerabat, ikatan yang membuatnya jadi lebih betah tinggal di dunia. Shuji disarankan untuk mencari pacar atau memelihara hewan peliharaan. Dalam keadaan seperti sekarang, jangankan mengurus orang lain, mengurus(mental) diri sendiri saja dia sudah kesulitan.

Shuji keluar dari apartemennya, meski dia agak bengkok mentalnya, Shuji masih berusaha untuk membuat dirinya sehat.

Rencananya, sekarang dia akan pergi ke taman untuk duduk santai.

Dia tahu bahwa dirinya depresi, dia juga pernah mendatangi ke psikologis. Katanya dia hanya belum menemukan hal yang dia nikmati di dunia ini.

Shuji mencoba beragam hal, tapi perasaan itu hanya sesaat, dia merasa pada akhirnya bahwa ini semua tak ada artinya lagi.

Shuji melihat anak-anak di taman yang sedang bermain. Dengan sadar diri Shuji mengambil tempat yang tersembunyi.

'Haah... aku juga pernah seperti itu, kan?' Shuji melihat anak-anak yang asik bermain perosotan dan kejar-kejaran. Mereka melakukannya tanpa beban. Shuji harap dia bisa kembali kemasa itu. Dia bisa melakukan banyak hal tak berarti tanpa harus memikirkan tujuan hidup.

Shuji sekali lagi menghembuskan napas. Memandang langit dari bangku taman, di tempat yang sepi, paling tidak dia tidak lagi merasa pengap seperti saat dia di kamar apartemennya.

Yup, dia sekali lagi sadar bahwa dia tidak berharga, tidak berguna, dan tidak ada arti atas keberadaannya di dunia.

Berapa banyak mahluk di dunia ini, menghilangnya satu Shuji tidak akan mengubah poros dunia.

'Haruskah aku mati saja?'

Lantas apakah hidupnya akan berakhir, benar-benar berakhir setelah itu?

Seandainya dia ada ketertarikan di dunia, mengetahui mati adalah akhir dari segalanya, dia akan melakukan apa pun yang dia bisa selama hidup.

Tapi kemana hilangnya ketertarikan itu?

Kenapa dia memikirkan hal-hal seperti ini?

Shuji bergumam pada dirinya sendiri. 'Mungkin ini adalah bisikan monster dalam diriku.'

Tentu saja tidak semua pikiran di otaknya harus dia percayai. Kalau dia berpikir gajah bisa terbang, mungkinkah dia akan percaya 'gajah itu terbang'?

Kadang Shuji merasa bahwa dia bukanlah dirinya.

Kalau sudah berpikir sejauh ini, rasanya sungguh... sangat melelahkan.

'Mati sajalah?'

Shuji berpikir cara mati seperti apa yang cocok untuk dirinya. Shuji tidak mau mati sendirian di apartemennya. Yang ketahuan orang hanya setelah bau busuk tercium. Meski pun dia cinta ketenangan, untuk masalah ini dia terpaksa harus membuat publik resah. Shuji minta maaf lebih dulu dalam hati atas niat bunuh dirinya pada orang-orang yang nantinya mungkin panik saat menyaksikan.

Loncat dari atas gedung bisa dicoba? Kalau loncat dari gedung yang tinggi, dia tidak perlu lagi berpikir kapan dia mati. Begitu dia sampai di permukaan, ya dia mati. Mungkin waktunya sekitar 8-12 detik sampai mati? Saat dia sampai di permukaan, pasti seperti kembang api. Muncrat dan penuh warna.

"Ha-ha-ha." membayangkannya Shuji merasa lucu, lalu menggelengkan kepala. Dia sudah gila.

Mungkin loncat ke rel kereta lebih rapi? Sebelum kereta lewat dia bisa menghitung waktu datangnya kereta.. misalnya 15 menit sebelum kereta sampai. Jadi, dia punya waktu 15 menit sebelum mati. Bukankah akan menegangkan mengetahui kapan waktunya mati dan menantikannya terang-terangan?

Kalau menunggu kapan dia mati, Shuji tidak tahu kapan akan terjadi. Usianya masih 26 tahun. Rata-rata usia manusia kalau mereka mati secara natural, mengikuti kondisi fisik seiring waktu kira-kira 72 tahun. Atau begitulah katanya. Orang tua di panti jompo saja ada yang sampai usia seratus tahun. Shuji tidak bisa membayangkan bagaimana dia akan hidup di tahun-tahun yang akan datang. Pasti jenuhnya seperti ingin meninggal.

Lebih baik dia mati dengan sukarela saja.

Shuji membuka ponselnya dan memeriksa jadwal shinkansen.

"Jam sebelas siang." Sayang sekali di daerah-nya, shinkansen hanya lewat satu kali. "Hari ini tidak bisa berarti, ya?" Shuji terpaksa harus menunggu besok untuk bisa beraksi.

Saat itu muncul notifikasi di ponselnya.

"...Ah?"

Notifikasi di ponselnya memberitahu bahwa mulai besok, selama tiga sampai lima hari ke depan akan ada hujan angin, sehingga kemungkinan jam operasional transportasi akan terhenti. Untuk waktunya masih menunggu informasi lebih lanjut. Masyarakat yang menerima pemberitahuan dihimbau untuk membeli bekal selama isolasi nanti.

"... mau mati pun dipersulit." Shuji tidak tertarik mati karena bencana alam. Dia maunya mati dengan rencana sendiri.

Shuji menggeser layar ponselnya dan melihat ikan-ikan segar yang dijual.

"....." Dalam deskripsi, cara paling ekstrem membunuh ikan, terutama ikan lele adalah dengan membanting kepalanya. Shuji pikir ini menarik, tapi dia tidak bisa mengontrol tenaga untuk membanting kepalanya. Tengkorak manusia kan bisa menahan tekanan sampai 6,5 gigapaskal. Sebagai pembanding kayu oak bisa menahan tekanan di bawah 11 gigapaskal. Intinya, dia tidak bisa menghancurkan tengkoraknya sendiri. Lihat saja orang yang berkelahi, paling parah tengkoraknya retak, tidak sampai hancur.

Mungkin dia bisa coba dengan menyayat dirinya dengan pisau?

Shuji diam sejenak dengan pikiran itu.

Menyayat arteri bisa di bilang rencana mati paling bodoh karena waktunya sangat singkat. Dia akan hilang kesadaran sekitar 15-30 detik sebelum mati dalam waktu dua menit. Kalau loncat dari atas gedung, paling tidak dia bisa menikmati pemandangan sebelum mati. Tapi menyayat diri... dia baca artikel dan katanya rasanya menyakitkan. Bagaimana mereka tahu? Mungkinkah ini kesaksian orang-orang yang selamat setelah arterinya disayat?

Karena tidak pernah ada yang bilang kalau loncat dari gedung, atau misalnya ditabrak kereta, itu menyakitkan. Sebab semua yang melakukannya binasa.

Intinya, memilih mati dengan menyayat diri memberi kemungkinan untuk hidup. Sungguh memalukan kalau dia berniat bunuh diri tapi ternyata dia malah bangun dan hidup pada akhirnya. Dan lagi, dia berniat melakukannya di publik.

Tidak, dia tidak bisa. Kalau pun mau, mungkin dia bisa percobaan dulu. Hm....

Tikus menjadi objek percobaan yang paling standar karena secara umum tikus memiliki kesamaan dengan manusia dalam banyak aspek semisal fungsi sistemnya.

Dia bisa mencari peternakan tikus dan beli secara langsung atau mencari hewan di sekitaran tempat tinggalnya.

Shuji menghela napas lagi. Bahkan mencari cara untuk hal remeh seperti ini pun begitu sulit. Haruskah dia menunggu saja sampai hujannya selesai nanti?

Artinya dia harus tenggelam dalam kejenuhan ini selama 5 hari? Dia bisa mati 4 hari lebih cepat kalau tidak ada hujan angin.

Benar-benar menyebalkan.

Disaat Shuji tengah tenggelam dalam pikirannya, di kakinya dia merasakan sesuatu yang lembut disambut suara mengeong.

"Huh." Kesuraman di sekitar Shuji lenyap seketika. "Hai, kucing." Shuji bergerak untuk merangkul kucing liar di dekat kakinya. Tidak peduli apakah kucing itu berjamur, sakit, atau mungkin menyimpan virus.

"Kau pasti dikirim untukku." kata Shuji dengan senyum lega. Akhirnya satu masalah yang dia khawatirkan terselesaikan. Kucing ini terlihat jelek dan kotor, sudah pasti tidak ada yang pelihara. Kalau pun ada, bukan salah Shuji kalau kucing ini jadi percobaan, suruh siapa kucingnya hilang.

"Tikus dan kucing mungkin agak berbeda." gumam Shuji, tapi dia tidak perlu yang ribet-ribet, dia kan bukannya mau membuat laboratorium. Cukup memeriksa bagian mana yang akan membuat mati lebih cepat, dan seberapa besar sayatan untuk menghambat aliran darah yang keluar.

Sepertinya satu kucing tidak akan cukup.

"Temanmu yang lain mana?" tanya Shuji sambil tersenyum kecil. Kalau dia mengambil mereka semua, dia tidak perlu mencari lagi keluar. Shuji membulatkan niat untuk membeli makanan kucing setelah ini.

---------------------***------------------------

Apa hal yang paling kompleks di dunia ini selain hidupmu?

Berurusan dengan makhluk lain.

Hitung saja, kalau ada objek lebih dari satu, orang harus memikirkan ruang yang lebih besar untuk menempatkannya. Lalu bagaimana posisinya? Ditumpuk atau berdampingan? Tapi bukan ini intinya, yang dimaksud itu, jadi lebih banyak faktor yang harus di pertimbangkan.

Apalagi kalau objeknya berbeda?

Shuji sebagai manusia mengerti bahasa manusia, sudah pasti. Kecuali kalau dalam jati dirinya, dia berpikir dia adalah monyet yang bisa berbahasa manusia.

Satu waktu dia mengobrol dengan klien tapi tidak menemukan titik terang. Shuji curiga dia ini keledai, tapi secara biologis dia manusia dengan reproduksi sejenis laki-laki.

Laki-laki itu spesies yang bisa membuahi spesies perempuan. Bakat ini hanya ada di laki-laki. Baik itu secara langsung maupun tidak langsung.

Shuji yakin dia ini: 1. Manusia, 2. Laki-laki.

Tapi interaksi dengan manusia pun banyak tidak harmonisnya. Padahal mereka sama-sama punya otak, sama-sama punya mulut, sama-sama punya indera. Apa yang di lihat dan di dengar sama, tapi saat keluar jadi pendapat hasilnya beda. Apalagi dengan hewan??

"Mreowww!"

Shuji menatap makanan kering yang dia beli. Bungkusnya sudah sobek dan isinya tercecer berantakan dengan sekumpulan kucing yang berebut makan. Mereka makan sambil mengeluarkan suara 'nyaung-nyaung-nyaung'.

Dari sejarah manusia zaman purba hingga sekarang, hewan memiliki insting dan pikiran yang terbatas untuk hal-hal yang menjadi kebiasaan/ciri-nya. Sapi, instingnya makan rumput, tapi pikiran untuk 'bagaimana caranya membuat rumput jadi lebih enak', atau misalnya pikiran 'bagaimana caranya berimigrasi lebih cepat'? Dengan mobil misalnya—hewan tidak bisa memikirkannya.

Salah satu insting dasar hewan, bukankah mereka akan jinak dan memuja yang memberinya makan?

Yang sekarang Shuji hadapi kan kucing, bukan harimau.

Kenapa makhluk kecil berkaki empat ini begitu beringas setelah dia dengan baik hati datang kemari memberi makan? Menjadikan kucing sebagai percobaannya membuat eksistensi kucing ini lebih berfaedah. Setidaknya kucing ini ada manfaatnya untuk Shuji.

"Kenapa menatapku begitu, hm?" Shuji menatap datar pada kucing oranye gemuk yang melotot kearahnya. Kucing itu baru saja mencakar lengan Shuji. Bekasnya terlihat merah menyala di kulitnya yang putih dan pucat.

Shuji menatap lengannya sesaat dan berpikir. Kalau dia menyayat dengan cepat, rasanya tidak terlalu sakit. Cakar kucing panjangnya kurang dari setengah senti tapi dengan teknik yang khusus, permukaan kulit bisa di kait sehingga lukanya bisa terbuka lebih lebar dan dalam.

"Tapi tentu saja lebih cepat untuk uji coba langsung."

Shuji dengan cepat menangkap kucing oren itu ke pelukannya, yang langsung menerima amukan.

Kaget, Shuji serta-merta melepaskan si kucing namun kucing oren itu justru bergantung di wajahnya.

Bagaimana bisa makhluk ini bergelayut di wajahnya? Meski dia tidak takut dengan luka, tetap saja dia merasakan sakit lama-lama.

Pergulatan di gang itu berlangsung beberapa menit sampai akhirnya, Shuji berhasil menaklukan kucing oren yang sudah menyerah karena kelelahan itu.

Dengan tangan dan wajah berdarah bekas cakar, Shuji berjalan pulang. Merasa biasa saja menerima tatapan aneh dari orang-orang di sekitarnya.

'Kenapa? Tidak pernah lihat orang bawa kucing?' Shuji mendesis dalam hati sambil memelototi wanita paruh baya dari balik poni panjangnya.

Wanita itu baru pulang belanja untuk bekal isolasi, kenapa harus dihadapkan dengan orang gila?

Wanita itu lantas berbelok memilih jalan lain.

"Bulumu yang lebat ini akan menghalangi sayatan. Aku akan menggunduli dan mengulitimu.. tunggu saja." Shuji mengancam kucing yang dia peluk. Meski tidak mengerti, dari nada dan frekuensi ucapan Shuji—kucing itu tahu dia sedang diantagonisi oleh budak rendahan. Mata kucing itu membalas Shuji dengan sama tajamnya.

"..Kalau saja kucing di taman tadi tidak menghilang, tidak akan aku memilihmu. Anggap saja sebagai kesialan kita berdua." Niatnya yang di awal untuk membawa banyak kucing batal. Kalau semua kucing liar di gang itu seliar kucing oren ini, dia harus memikirkan strategi yang lebih efisien. Mungkin dengan jaring atau perangkap.

"Huuh...?" suara nyaring itu membuyarkan lamunan Shuji. Di depannya berdiri wanita mengenakan syal yang menutupi seluruh kepalanya. Wanita itu menatap Shuji dengan ekspresi terkejut yang kentara.

"Apa?" Shuji berkata ketus. "—Tidak pernah lihat orang bawa—," sebelum Shuji selesai berkata-kata, lengannya di tarik dan si kucing oren yang sudah dia dapatkan dengan proses yang panjang itu melompat lari kembali ke gang-nya. Buntut panjangnya yang mencuat ke atas itu seperti mencemooh Shuji.

Shuji menatap kepergian si kucing oren dengan dendam mendalam. Kemarahan meningkat memikirkan wanita yang muncul tiba-tiba ini membuat rencananya gagal.

"Lepas!" Shuji menarik kasar tangannya dan menatap penuh kekesalan pada wanita di depanya.

"Oh,"

"Ngapain menarik tangan orang sembarangan? Tidak tahu kau sudah lancang?" kata Shuji geram, melap pergelangannya ke kaos.

"Ma-maaf." wanita itu menjawab dengan gugup. "Tapi, kau... terluka."

"Apa aku merugikanmu?"

Wanita itu nampak terkejut dengan pertanyaan Shuji yang keluar dari topik. Bingung apa hubungannya dengan luka di lengannya.

"Mau aku sehat atau terluka, hidup atau mati, tidak ada hubungannya denganmu. Tahu?"

"..." Wanita itu membulatkan matanya, seperti heran menemukan pernyataan ini.

"Ah," Shuji tiba-tiba teringat. Pantas saja kelihatan familiar. Bukankah wanita ini orang asing yang baru pindah ke pinggir kamar apartemennya beberapa bulan lalu? Kesialan apalagi yang harus dia hadapi. Hah.

"Kau orang asing, aku mengerti. Jadi kau pasti tidak tahu. Disini, di tempat ini, bantulah hanya orang yang memerlukan bantuanmu. Sekalipun aku sekarat, selama aku belum minta, tidak perlu sok baik melakukannya. Paham?"

Shuji tidak tahu apakah wanita itu mengerti atau tidak dengan kata-katanya. Dia langsung berbalik dan memutuskan untuk kembali ke apartemennya. Biarlah dia pikirkan cara baru untuk menangkap kucing-kucing itu.

'Kenapa hujan angin itu tidak segera datang'. Shuji berpikir kesal. Kalau topan itu datang lebih awal, siapa tahu urusannya bisa selesai lebih cepat.

Shuji berjalan melewati sekelompok ibu-ibu yang tengah mengobrol dekat pintu masuk gedung. Ibu-ibu itu menatap Shuji awas dan menjauh perlahan. Obrolan riang itu berangsur-angsur berubah bisikan. Tanpa melirik pun Shuji tahu dia yang mereka bicarakan.

'Lihat?' inilah reaksi yang wajar.

Tapi wanita tadi? Shuji mendengus kesal. Apakah orang luar negeri begitu terbuka sampai orang asing yang mereka temukan di jalan akan di bawa pulang, di beri makan, di sekolahkan, dan ditunggu sampai berkeluarga?! (Author: ngga gitu juga^^;)

Disini, orang-orang akan menjauhi dan kalau pun mau peduli, ada banyak hal yang mesti dipertimbangkan.

Shuji tahu. Karena dia pernah ada di posisi sebagai orang-orang itu juga.

Mana dia tahu dia malah akan jadi manusia yang dulu Shuji pandang rendah?

Waktu seniornya bilang hidup itu berputar seperti roda, Shuji hanya mencemooh. Seniornya mengatakan kata-kata itu supaya Shuji tidak jumawa. Kenapa, ya, waktu itu? Ah, dia menerima nasehat itu gara-gara dia naik jabatan lebih cepat sementara masa kerjanya yang paling singkat diantara yang lain.

Seseorang bisa berada di atas lalu jatuh ke bawah. Kalimat itu semata-mata diucapkan oleh orang yang memiliki kepercayaan diri rendah, dimana mereka berkata demikian hanya untuk menghibur ketidakmampuan mereka.

Mungkin ini roda kehidupannya; dimana dia kini berdiri di bawah. Tapi Shuji berbeda, dia memilih sendiri titik dia berdiri. Dia bukannya tidak sanggup, dia masih bisa melamar pekerjaan dan berdiri di puncak rantai makanan seperti sebelumnya, yang menurut pandangan manusia adalah puncak kehidupan.

Karir, cinta, keluarga. Dia juga bisa menikah dengan wanita cantik, punya anak dan liburan rutin setiap minggunya.

"Mau di bawah atau di atas," Shuji menggumam datar.

—Roda-roda kehidupan itu dia yang atur. Dia hanya sedang tidak tertarik saja.

2. Beginikah Caranya?

Duduk di depan meja kerja di kamarnya, Shuji menelusuri toko online untuk membeli kandang kucing dan jaring. Energi menyegarkan yang dia dapat dari luar seperti melebur dan menyusut begitu dia kembali ke apartemennya, membuatnya kembali diselimuti muram.

Shuji menatap jam digital di sisi komputer untuk waktu yang lama. Dia seperti bisa mendengar suara detak jantungnya. Menunduk, Shuji merasakan dadanya bergetar naik turun.

Dug dug dug

Dalam kejenuhan yang tiada habisnya itu, mudah untuk monster dalam dirinya berbisik.

Malam selalu jadi waktu yang menyenangkan untuk berbuat jahil.

Jari panjang Shuji bergerak ke keyboard, berselancar dan menelusuri satu demi satu video dokumenter mengenai kriminal yang terkenal di dunia.

Mungkin saja dia ini sebenarnya psikopat? Shuji pikir, kalau dia ada potensi demikian, dia bisa mempelajari pendahulunya.

Seorang pria di kamera tersenyum meski tangannya di borgol dan kematiannya ada di depan mata.

Kejahatan yang dia lakukan berkaitan dengan keselamatan perempuan dan anak; tidak hanya dia menjadi penjahat keji, hakim pun tidak sudi melihat wajahnya. Ketika kejahatannya dibacakan, hakim itu menangis untuk para korban. Tanpa pikir panjang, pria itu dijatuhi hukuman mati dengan sengat listrik.

Shuji menonton dengan serius dan dia bernapas lega. Dia mengerti psikologis penjahat itu, tapi dia tidak akan pernah bisa melakukan kejahatan yang sama.

Hanya dia tidak sadar saking fokusnya, setelah dia menelusuri satu demi satu video dan artikel, pelan-pelan algoritma menunjukkannya ke web gelap.

Dengan mudahnya Shuji masuk dan berselancar di dalam web.

"...hm?" Shuji membulatkan mata melihat daftar web terlarang yang penuh dengan konten ilegal untuk eksis di dunia.

Jarinya bergerak klik klik klik dan setiap ada kesulitan akses tangannya bergerak lincah diatas keyboard untuk menyelusup. Malam itu Shuji merasakan antusias yang tidak biasa.

Tengah malam, seperti ada suara 'tik' di kepalanya, Shuji tersadar dari yang dia lakukan. Shuji menatap layar dengan tatapan kosong beberapa menit sebelum menghembuskan napas panjang dan memutuskan untuk beli beberapa kaleng kopi. Dia mengabaikan mesin di hall apartemen dan memilih untuk keluar gedung.

Keheningan di sekitar area seperti memberikan kedamaian tersendiri. Seandainya dunia ini hening seperti malam, Shuji bisa tidur dimana pun di atas bumi ini.

Shuji berjalan ke mesin minuman terdekat, membeli dua kaleng kopi dan menghabiskan sisa kembalian dengan minuman yang dia asal pilih.

"Oh," Tiba-tiba Shuji merasakan gatal di lengannya, tepat di bagian bekas cakaran kucing kemarin. Namun pada akhirnya dia membiarkannya, toh mau dia sakit atau terluka pun sama saja. Dia akan segera mati.

Shuji memasuki lift kembali ke kamar apartemennya. Mood-nya yang masih baik saat itu seketika berubah buruk ke titik terendah melihat sekantung plastik bertuliskan nama apotek menggantung di daun pintunya.

Matanya dengan geram beralih ke pintu apartemen sebelah yang nampak hening. Hm, pintu itu terlihat tenang padahal diam-diam menguntilinya.

Sepertinya, tetangganya yang suka ikut campur itu menggantungkannya sudah lama, hanya Shuji tidak menyadarinya. Dan dia baru sadar saat kembali dari luar.

"Sungguh merepotkan." Shuji menarik plastik itu kasar dan berjalan ke kamar sebelah. Tangannya bersiap untuk menggedor pintu, namun di tengah-tengah, gerakannya berhenti.

Apa, dia mau apa?

Kalau wanita itu keluar, dia harus bertukar kata lagi dengan wanita itu?

Kenapa harus repot-repot? Shuji mengangguk dalam hati dan akhirnya kembali ke apartemennya. Plastik itu berisi salep anti-infeksi. Berdiri di tempat sampah di dapurnya, Shuji membaca secarik kertas yang di selipkan di dalam.

-Anti infeksi supaya tidak gatal membuat gatal kulit

"Huh??"

Shuji mengulang bacaan itu beberapa kali sebelum meremas kertas itu jengkel.

"Bodoh sekali, kenapa aku terus mengulang untuk membacanya."

Tambahan, tetangga yang suka ikut campur ini tidak bisa menulis dengan baik. Bahkan levelnya tidak jauh dengan anak SD.

"Hah, masih bagusan anak SD." gerutu Shuji dan mencampakkan semuanya ke dalam sampah.

Shuji kembali duduk di depan komputer dan melirik jam. Suasana hatinya yang yang sudah tidak enak jadi semakin turun.

"Bisa-bisanya aku menghabiskan waktu untuk menerima, membaca, dan membuang benda itu." dengan marah, Shuji menekan keyboard seperti dendam. Bunyinya keras tak tak tak.

Konten kembali muncul dilayar komputernya dan perhatian Shuji teralihkan.

....

Hari ini matahari kembali menyinari sebagaimana hari kemarin. Untuk area yang kemungkinan akan terkena hujan angin, orang-orang beraktivitas sibuk mempersiapkan bekal. Tapi di dalam kamar apartemen nomor 48 itu, tidak ada sedikit pun celah matahari yang masuk ke dalam. Masih sama dengan posisi duduknya tujuh jam lalu, Shuji melotot ke layar komputer yang masih memainkan konten.

Shuji mengedipkan matanya perlahan sebelum akhirnya menggerakkan tangannya untuk menutup jendela internet dan mematikan komputer. Bersamaan dengan itu, suara alarm di ponselnya berbunyi.

trinnngg

Shuji menatap layar ponselnya yang menunjukkan gambar jam bergetar. Alarm ini berbunyi setiap hari. Meski dengan ponsel yang berbeda, Shuji selalu mengatur alarmnya jam 7.00 pagi. Kebiasaan itu dia lakukan sejak dia masih kuliah.

Selama betahun-tahun ini dia baik-baik saja.

Tapi kenapa kali ini dia begitu marah mendengar suara ini?

'Ponsel sialan.' Tidak hanya wujudnya, suaranya, bahkan bentuknya pun jadi mengganggu.

'Kenapa tidak aku hancurkan saja?'

Detik berikutnya Shuji sudah bergerak ke dapur, dengan palu di tangan kanannya dan ponsel di atas tatakan kayu.

"Diamlah."

pruk pruk pruk

Dengan gerakan konstan yang tidak lambat dan tidak cepat, ponsel itu mulai remuk layarnya. Hingga layarnya menghitam dan suara alarm berhenti, gerakan tangannya berhenti. Shuji memiringkan kepalanya dan mendengarkan dengan seksama.

"Nah, lebih baik." Shuji mengangguk pelan lalu melempar palu ke tempat cuci piring lantas mengabaikan semuanya.

Shuji bergerak ke ruang tengah, berkeliling mencari remot tv. Setelah menemukannya di sela-sela sofa, Shuji menyalakan tv dan langsung memindahkannya ke saluran ramalan cuaca.

[..Diperkirakan malam ini hujan deras akan turun di kawasan xxx, pemirsa dapat melihat area kemunculannya seperti yang ada pada layar di belakang saya ditandai dengan warna kuning. Badan Meteorologi memperkirakan kenaikan curah hujan kemungkinan memicu hujan angin. Beberapa sekolah di area telah di putuskan untuk libur sampai hujan berlalu. Tingkat kecepatan curah hujan perjamnya...]

'Tidak ada kepastian sama sekali.' Shuji mendengus kesal. Dia berjalan cepat ke kamarnya.

Badannya otomatis bergerak mencari ke meja, mengangkat buku dan menyingkap selimut. Shuji kembali ke ruang tengah dan melirik ke dapur. Benda yang dia cari baru saja dia hancurkan. Shuji tersadar, namun tak sedikit pun dia merasa sayang.

Shuji mengatupkan mulutnya dan pergi ke kamar mandi. 'Pokoknya aku akan mati hari ini.'

Shuji yang seminggu ini belum mandi akhirnya bersih-bersih. Dia menggosok badannya lama hingga kulitnya memerah. Janggut dan kumis yang mulai tumbuh dia cukur.

Setelah memakai setelan kemeja dan jas seperti pekerja kantor lainnya, Shuji menata rambutnya, memperlihatkan wajah rupawannya yang biasa tertutup poni. Garis tipis merah samar-samar terlihat di pipi kanannya, bekas pergelutannya dengan kucing kemarin. Di bawah matanya terdapat kantung mata yang kentara, sosoknya mirip pekerja kantor yang selalu lembur.

Meskipun aura di sekitarnya masih suram, dibandingkan dengan sebelumnya, dia seperti orang lain.

Dengan khidmat Shuji memasangkan dasi, memandang pantulan dirinya di cermin, kemudian mengulas senyum kaku.

Shuji keluar dari apartemen membawa dompetnya. Setelah dikonfirmasi bahwa hujan akan tiba malam nanti, Shuji bisa datang ke stasiun untuk mengejar shinkansen jam 11 pagi ini.

Shuji berjalan melewati gang tempat kucing oren kemarin tinggal. Mungkin karena tidak ada yang memberi makan, gang itu nampak sepi. Shuji berlalu sambil mencemooh. Kucing jelek itu tidak lagi dia perlukan.

Tekad Shuji kini bulat.

Kereta Shinkansen di area dekat apartemen Shuji hanya muncul satu kali. Melirik jam di stasiun, hanya tersisa setengah jam lagi sampai kereta tiba. Dengan bergegas Shuji berjalan ke mesin penjual tiket.

Selesai membeli tiket, Shuji berbalik dan tak sengaja menubruk seseorang.

"Maaf." Shuji berkata cepat.

"Tidak apa-apa."

"...." mendengar suara itu Shuji berhenti bergerak. Kenapa sepertinya dia kenal suara itu?

Saat menoleh, benar saja, orang yang dia tubruk adalah wanita yang kemarin. Mendadak firasat Shuji jadi tidak enak.

"Oh, hai, lukamu sudah baikan?" wanita itu menyapa sebelum Shuji sempat berkata-kata. Ekspresi wanita itu seperti takjub, melihat penampilan Shuji yang sangat jauh berbeda dengan kemarin. Kalau bukan karena suara dan bekas luka di pipinya, wanita itu tidak akan mengenali Shuji.

"Hm." karena Shuji membuang obat-obat itu, dia tidak mengiyakan dan hanya berdehem.

Shuji pikir, karena dia akan mati sebentar lagi, mungkin dia akan berbaik hati untuk bertukar kata sedikit. Memikirkan wanita ini akan menyaksikan Shuji yang mati, tiba-tiba dia jadi bersemangat. Lebih baik lagi kalau bisa meninggalkan mimpi buruk, haha.

"Baguslah..," wanita itu nampaknya masih ingat bagaimana Shuji tidak suka didekati. "Kalau begitu kau duluanlah,"

"Kau mau pesan tiket juga? Kemana?" tanya Shuji akhirnya.

"Aku mau ke XX." destinasi yang dituju wanita itu hanya satu stasiun jaraknya.

"Oh,"

"Kalau begitu aku duluan."

Shuji hanya mengangguk dan berbalik. Melihat waktu yang tinggal dua puluh menit, dadanya berdebar kencang. Shuji berjalan menuju gerbang, tanpa sadar dia mengulas senyum.

"Eh?"

Tiketnya mana?

Bukankah tadi ada di saku?

Beberapa orang yang mengantre di belakangnya mulai menggerutu dan Shuji terpaksa menepi dan memeriksa kantung celananya.

"..Dimana.... ah," memikirkan kejadian saat dia menubruk si wanita, Shuji yakin tiketnya jatuh saat itu. Dari sekian banyak orang yang berpapasan dengannya, kenapa harus wanita itu.

"....kenapa belakangan ini aku sial terus?" wanita itu pasti dikirim sebagai pembawa petaka untuknya. Melihat sekeliling lantai, Shuji tidak menemukan tiketnya.

Tanpa banyak kata Shuji langsung kembali ke loket dan membeli tiket baru.

[Tiket sudah habis]

Shuji menengadah dan menarik napas panjang.

Lagi-lagi.

"Eh kau masih disini?"

Lagi, lagi, dan lagi. Shuji berbalik ke asal suara yang menjadi awal mula hari buruknya.

"Kenapa kau (masih) disini?" kata Shuji dingin, maksudnya tentu saja bukan untuk bertanya.

"Aku habis beli minum untuk di perjalanan... kau?"

"Aku beli tiket tapi hilang." Shuji menjeda dan menarik napas. "Mau beli lagi tapi habis." setelah dia memikirkan dengan panjang, mau marah pun tidak bisa. Kalau dia membuat keributan di tempat umum dan berkelahi dengan wanita ini, dia akan diamankan dan tidak bisa menjalankan rencananya.

"Lupakan." Shuji tidak menunggu perempuan itu menyahut.

Memikirkan hujan angin yang akan datang malam nanti dan memikirkan hidupnya 4 hari kedepan, Shuji merasa pikirannya kosong.

"Aku beli tiket kereta biasa saja."

Meski kecepatannya tak sepadan dengan shinkansen, tapi kereta tetap kereta. Shuji melihat jadwal. Dia hanya perlu menunggu satu jam menuju kematiannya. Shuji menyemangati dalam hati. Dia bergerak untuk memesan tiket baru. Saat dia berniat mengeluarkan dompetnya....

"..."

Shuji mengodok celananya sekali lagi. Seingatnya, ketika dia di gate tadi hanya tiketnya saja yang hilang. Kenapa dompetnya jadi ikut hilang?

Meletakkan kedua tangan di badan mesin, Shuji mengheningkan diri sejenak. Setelan dan rambutnya kini sudah mulai kusut. Meski dia masih terlihat rapi, tapi raut wajahnya meninggalkan kesan berantakan. Sekali lirik orang tahu bahwa dia habis mengalami kesulitan.

Mungkinkah dia ditakdirkan untuk mati karena tekanan tinggi? Seperti inikah?

Tidak masalah.

Tapi apakah dia bisa mengontrol amarahnya sampai dia kena serangan jantung misalnya? Bagaimana kalau dia hanya kena stroke dan harus di rawat?

Sekali pun dia bilang ke dokternya dia ingin mati dia akan tetap di rawat lebih dulu.

"Anu... kau baik-baik saja?"

Shuji harap wanita itu berhenti bicara padanya. Suaranya terdengar sangat... sangat menyebalkan di telinga Shuji saat ini.

'Tolong... berhentilah peduli.'

Tapi Shuji punya firasat kalau wanita akan terus menunggu sampai di jawab.

"Ya." Shuji berbalik dan menjawab cepat. "Aku baik-baik saja." Darah seperti mengalir ke kepalanya dengan kuat, Shuji berusaha menahan emosinya sebisa mungkin.

"Kau tidak bawa uang?"

Shuji tidak akan mengatakan bahwa dia kehilangan tiket dan dompetnya. Apalagi pada wanita di depannya!

"Dompetku hilang." tapi sarafnya bergerak lebih cepat daripada perasaannya.

"Kasihannya kau. Pakai saja dulu uangku, bagaimana?"

"....Tidak usah."

Shuji berjalan keluar stasiun pada akhirnya. Dia sudah tidak ada niat lagi untuk mati ditabrak kereta. Dia hanya ingin keluar dari stasiun ini sekarang. Rasanya kalau dia berada di tempat yang sama dengan wanita itu dia akan terus kena sial.

Harus cepat pergi dari sini.

*****

Shuji pulang dengan berjalan kaki. Karena tiket dan dompetnya hilang, dia hanya bisa pasrah. Niatnya pergi ke kantor polisi untuk melapor dia urungkan, karena tidak sejalan dengan tujuan kematiannya.

Mendekati minimarket, langkah kaki Shuji melambat. Matanya memandang beberapa saat pada jajaran minuman dari balik kaca jendela.

'Apa? Sekarang kau mau minum, huh? Bersikap seperti makhluk yang ingin bertahan hidup.'

Shuji memalingkan wajahnya. Meskipun tekadnya bulat, sudut hati Shuji mencelos tapi dia tidak tahu apa sebabnya.

Perasaan itu berganti jadi ragu ketika dia mulai mempertanyakan; apakah benar begini caranya?

Shuji tidak tidur semalaman, juga belum makan dan minum sejak pagi. Berjalan dari stasiun ditambah tekanan dalam pikirannya membuat badannya letih. Meski cuaca sudah memasuki musim gugur, Shuji tetap berkeringat.

Kebanyakan keringat dingin karena gelisah yang tiada habisnya.

Brukk

Tubrukan ringan itu harusnya tidak masalah, tapi Shuji yang dalam keadaan lemah tidak bisa menahan inersia dan jatuh terduduk.

"Apaan nih, Onii-chan, kalau jalan pake mata-lah?" orang kerdil ini tidak lihat siapa di depannya?

"Hah," Shuji merendahkan matanya, memfokuskan pandangannya yang kabur sesaat.

"Udah nabrak bukannya minta maaf."

Shuji yang masih di tanah mengangkat wajahnya. "Sudah jelas kau yang nabrak?"

"Haaaaaah? Ngomong apa kau?"

"Hmp. Berlagak jadi penguasa jalan." Shuji menggumam sambil berdiri perlahan. "...Padahal pencapaian hanya seremeh itu."

Sebelum Shuji sempat melanjutkan langkahnya, bahunya di tahan dan dia diseret ke dalam gang.

"Oi, Onii-chan, coba ngomong sekali lagi tadi bilang apa?" Mungkinkah dia sudah terlalu jinak sampai orang lupa dengan keberingasannya?

Shuji tidak mengulang kata-katanya, melainkan melontarkan kalimat baru.

"Aku bilang kau payah." Dalam keadaan pusing, mual dan lelah, Shuji meluapkan kekesalannya.

"Kau ini sampah, sampah masyarakat. Tahu sampah? Baunya busuk tapi tidak bisa di daur ulang. Kenapa gak mati aja sih kau?" ironinya saat mengatakan itu, Shuji merasa dia bicara soal dirinya sendiri.

Selesai berkata demikian, Shuji langsung tersungkur dan pipinya berdenyut menyakitkan.

"Oi, barusan gua cuma bercanda, tapi lu kaya gini jadi kesal juga."

Shuji mengusap pipinya, dalam hati dia berharap orang di depannya balas menghujatnya dengan kata-kata yang sama. Tapi di hajar begini juga tidak masalah.

-------------*****----------------

"Ah, ****, kenapa juga gua ngurusin hidup makhluk kaya gini." pria berbadan besar itu menghembuskan napas lelah, dan nampak tersadar akhirnya bahwa Shuji hanyalah satu dari sekian banyak pecundang hidup yang sering dia temui.

*"Udahlah, Onichan, lu bagi aja duitmu, gua maafin kesalahan yang tadi." *pria itu berkata masih dengan logat kentalnya.

Sebenarnya pria itu datang jauh-jauh kemari untuk menagih hutang seseorang. Tapi yang dia cari sudah melarikan diri. Tiba-tiba muncul ikan di depannya, ya dia tangkap. Tentu saja seperti kronologi di atas, bukannya dia sengaja malak, tapi memang orang di depannya minta dihajar.

Shuji tinggal bilang dompetnya hilang, tapi menerima pukulan, dia bukannya takut dan malah menjadi-jadi. Merasakan sakit di badannya Shuji merasa sedikit segar sekaligus sedih.

"Gak ada duit untukmu." Shuji meludah ke arah pria kekar itu. Liurnya merah bercampur darah. "Mati aja lu bangsat." tambahnya gagah.

".....dasar orang gila." sudah jelas kalah masih berlagak juga?

Akhirnya pria itu menghajar Shuji sampai puas sebelum pergi meninggalkan gang.

Dengan bengkak dan sedikit darah di ujung bibirnya, Shuji tergeletak di dalam gang, menatap ke langit-langit yang birunya sudah meredup. Entah kenapa dia merasa ada sesuatu yang mengejeknya di atas sana. Melihat dan memperhatikan gerak-geriknya. Sungguh mengesalkan.

Karena kesal dia balik melotot ke langit.

"Lihat apa kau anjing?" Shuji teriak. Kenyataannya, hanya bisikan lirih yang keluar dari mulutnya. Shuji marah, namun sekaligus merasa ingin mengadu.

Kenapa hidupku seperti ini?

"Pokoknya, aku akan mati." kata Shuji pelan.

Setelah itu dia hilang kesadaran.

----------------------

Bau disinfektan samar-samar tercium, Shuji yang sudah sadar mau tak mau membuka mata. Ini bukan kali pertama dia ada di rumah sakit, tapi ini pertama kali dia terbaring di klinik. Biasanya dia hanya ikut pemeriksaan rutin, tidak sampai terbaring lemah seperti ini.

Di tempat yang tak ada privasi dan hanya di sekat gorden itu, Shuji bisa mendengar suara orang bercakap, suara roda troli, dan bunyi bep mesin yang asing.

Ketika gorden di geser, Shuji menggerakkan bola matanya.

Napasnya tertahan melihat orang di depannya. Dengan gerakan lemah Shuji memiringkan kepalanya seperti ingin memastikan sesuatu. Mata hitamnya menunjukkan kebingungan pada alam semesta.

Kenapa, dari sekian banyak... selalu bertemu perempuan ini ujung-ujungnya.

"Oh kau sudah bangun? Aku panggilkan dokter dulu."

Perempuan itu datang dan pergi secepat kilat sebelum kembali dengan seorang dokter.

Setelah mendengar 'semua baik-baik saja', Shuji tidak bisa mendengar apa-apa lagi. Pikirannya kosong.

Setelah keadaan sedikit sepi, barulah Shuji melirik si perempuan dengan mata penuh tuntutan. Menerima tatapan itu, wanita itu dengan cepat menjelaskan.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu... tapi aku menemukanmu tergeletak di gang tak jauh dari gedung apartemen."

'Apa? Jadi itu sudah dekat apartemen?' penyesalan mendalam menggerogoti Shuji, dia harusnya tidak perlu repot-repot memprovokasi preman itu dan langsung saja pulang.

"Kau tidak sadarkan diri dan babak belur... apa... kau mau aku melaporkannya pada polisi?"

Shuji memalingkan wajahnya, menolak untuk menjawab.

Perempuan itu tidak tersinggung dan duduk di kursi samping ranjang.

"Ah." katanya tiba-tiba. Perempuan itu mengeluarkan sesuatu dari tas selempangnya, "Kau bilang dompetmu hilang kan sebelumnya?"

Dompet itu lalu diletakkan di sisi bantal Shuji dengan hati-hati.

"...Aku menemukan dompetmu waktu masuk lewat gate. A-awalnya mau aku titipkan ke petugas stasiun tapi karena keretaku sudah tiba, aku tidak sempat. Jadi aku baru sempat mengembalikannya padamu saat pulang."

"...." Shuji masih membungkam dan akhirnya mengangguk. Entah artinya terima kasih atau enyah karena anggukan kepalanya bergerak dari bawah ke atas.

Melihat kecanggungan perempuan itu, Shuji tidak peduli.

"Kalau begitu aku duluan?" aneh rasanya kalau menunggui Shuji; mereka tidak akrab. Sejujurnya, nama saja mereka tidak saling tahu.

Perempuan itu pergi dan menutup kembali gorden dengan tertib.

'Akhirnya pergi juga,' gumam Shuji. Dia kembali memejamkan mata dan tanpa sadar kembali tertidur.

Satu jam kemudian, Shuji bangun. Setelah menerima infus dan istirahat, Shuji merasa tenaganya kembali. Dia menyeret kakinya ke loket pembayaran dan menanyakan biaya pengobatan sambil memegang dompetnya.

"Pengobatannya sudah lunas."

"Huh? Coba di cek lagi, saya baru keluar sekarang." Shuji memberikan kartu berobatnya.

Resepsionis itu menyerahkan kembali kartu Shuji dan berkata, "Tadi registrasinya menggunakan nama orang yang membawamu kemari. Pengobatannya sudah di bayar lunas."

"..." maksudnya perempuan tadi? Shuji memeriksa dompetnya dan menghitung bahwa uangnya masih lengkap. Jadi wanita itu membayar biaya pengobatan dengan uang sendiri? Padahal dompet miliknya kan sedang di pegang dia?

Kenapa wanita itu selalu membantu dan melakukan hal yang tidak perlu?

'Mungkinkah wanita itu menyukaiku?' saat pikiran itu terlintas, Shuji langsung merinding.

"Boleh minta namanya?" tanya Shuji.

"Tentu."

Suster itu menyebutkan nama perempuan itu, "Jin-gga... er... Mangis.. are? Apakah seperti ini cara membacanya?"

'Cck. Bodoh banget sih, siapa yang mempekerjakan perempuan ini.' dalamhati berkata demikian, tapi wajahnya masih kalem dan datar. "Boleh saya lihat tulisannya?"

Resepsionis itu memutar layar komputer.

Di layar tertulis 'Jingga Manis'.

'Ginga? Ji? Ji dalam bahasa Inggris Gi... jadi Gin-ga. Hm..' Shuji mengangguk dalam hati. 'Kalau orang luar negeri berarti marganya di belakang, jadi... Manise? Manisu?'

"Gin-ga Manisu."

'Tunggu, kenapa aku peduli?' setelah berpikir demikian, Shuji langsung berhenti berusaha melafalkan nama itu dan berbalik pulang.

"Terima kasih banyak."

"Sama-sama."

Shuji keluar klinik dan membaca papan nama di luar. Ini sudah jelas klinik di daerahnya. Shuji berjalan sampai dia tiba di gang yang jadi tkp. Dia melihat sekeliling lalu kembali berjalan....

Lima menit kemudian, Shuji benar-benar sampai di gedung apartemen.

'Ternyata sungguhan dekat.' Shuji tidak terima. 'Sudahlah, wanita itu menolong karena dia mau, bukan karena aku meminta.' Shuji memutuskan. Benar, dia tidak ada niat untuk mengganti biaya pengobatan itu sama sekali, apalagi berterima kasih.

Kalau pada orang lain mungkin dia akan berusaha membayarnya kembali.

Tapi wanita itu selalu jadi sumber petaka. Dia takut dia tambah sial kalau sengaja menemui.

Sekiranya wanita itu datang untuk menagih, Shuji akan bayar sebagai bentuk mengusir setan. Tapi kalau tidak, dia sendiri juga tidak akan menghampiri. Huh.

"Manisu... Manisu... nama jenis apa itu coba."

3. Anti-Parasitisme

Shuji kembali ke kamar apartemennya tanpa sedikit pun melirik ke pintu sebelah. Sejujurnya, tidak ada bedanya klinik dan apartemennya yang berantakan dan berdebu ini.

Hanya saja dia bingung mau melakukan apa. Shuji berdiri diam untuk waktu yang lama.

Kebingungan kali itu bercampur dengan kekosongan. Dia yang tadinya berniat mati tidak pernah berpikir akan kembali lagi kesini. Kenapa, waktu di luar dia masih bisa bertahan. Tapi begitu kembali kesini Shuji merasa ada rantai yang mengekangnya.

Perasaan menumpuk yang selama ini tertahankan seperti mendorong dinding emosinya, bersiap untuk meledak.

'Semua karena perempuan sial itu.'

Merasakan gatal di kulit lengannya, luka cakaran yang hampir sembuh itu Shuji garuk kuat-kuat.

'Diamlah.' kata Shuji pada lukanya.

Saat mulai berdarah dan perih mulai terasa, barulah Shuji merasa lega. Hatinya yang memberangsang seperti mengalami titik putar balik dan berangsur-angsur tenang.

Shuji melirik ke kran air. Sayang sekali dia tidak bisa menahan kebutuhan fisiologisnya. Dengan pasrah Shuji bergerak untuk mengambil minum.

Shuji membuka lemari dan mengeluarkan gelas, mengisinya dengan air dari kran dan meneguknya tanpa jeda.

Matanya melirik ke objek gelap di samping tempat wastafel. Ingat bahwa dia sudah menghancurkan ponselnya, Shuji melempar benda itu ke tempat sampah.

"Benar sekali, benda yang rusak memang sudah seharusnya di buang." gumam Shuji, seakan-akan meyakinkan dirinya sendiri.

Malam itu hujan deras turun disertai angin kencang. Tidak perlu waktu lama sampai banjir di beberapa titik dan longsor terdengar di radio dan berita setempat—sekiranya Shuji menyalakan radio.

Shuji duduk di depan jendela sejak dia kembali dan belum bergerak dari tempatnya untuk waktu yang lama. Seperti banyak hal yang berbenturan di kepalanya, tapi apa, dia tidak tahu.

Pikiran di kepalanya saling berbenturan dan mendominasi. Terus berkumpul dan berkembang, padahal otaknya sudah tidak muat.

Shuji merendahkan alisnya marah, menatap tetesan hujan deras dari balik kaca jendela. Dari jauh Shuji melihat kilat menyambar, suaranya nyaring tapi tidak sampai ke telinganya. Inderanya seperti mati.

'Kenapa dunia ini begitu menyesakkan?'

'Mungkinkah karena ruangan ini sempit?'

'Tidak?'

'Mungkin karena aku terus-terusan diam di kamar, kenapa tidak coba keluar dan cari suasana baru?'

'Untuk apa?'

'Karena kau sendirian, kau perlu melakukan sesuatu untuk mengalihkan pikiranmu.'

'Ini lagi? Isu lama.'

'Tentu saja, pikiran ini akan selalu datang. Kau lupa hari ini, besok akan muncul lagi.'

'.......'

'Pikiran ini hanya sementara, sama seperti kau tertawa dan menangis. Tidak akan kau lakukan seharian, tapi kau mengalaminya, kan.'

'Tapi aku tidak pernah menangis.'

'Itu karena kau tidak mau mengeluarkan air mata, kenapa?'

'...rasanya seperti merendahkan diriku sendiri. Air mata membuatku lemah.'

'Bukankah tidak begitu? Baca kuotes di internet.'

'Itu kan mereka. Aku merasa, menangis dan meratap hanya memberikan celah untuk kelemahanku. Daripada menangis, lebih baik bangun dan melakukan sesuatu?'

'Oke, kalau begitu ayo lakukan sesuatu?'

'.....'

'...yo?'

'Kenapa harus? Untuk apa?'

'...karena kau manusia. Semua orang hidup dengan tujuan. Rumah mewah, mobil, keluarga, anak. Lihat saja. Bahkan langit di atas pun punya tujuan. Kadang menampung matahari, menurunkan hujan, kadang mengontrol emosi manusia.'

'...Tentu saja. Langit yang begitu saja ada tujuannya. Aku tidak ada.'

'Kau belum cukup mencarinya saja. Coba telusuri sejauh mungkin.'

'Kalau aku sudah gali sebanyak mungkin dan tidak ada tujuan, bagaimana?'

'Tentu saja artinya tujuanmu bukan pada hal ini kan?'

'...Hal ini apa, dunia? Aku hidup dunia. Anjing bodoh.'

Shuji menghentikan perdebatan di pikirannya. Melihat bayangan di kaca jendela yang terpantul, dia seperti melihat orang asing dan tidak kenal siapa.

Bug!

Tertutup bunyi hujan, suara kepalan Shuji yang meninju kaca tebal itu tidak terdengar.

'Memang mati itu sudah benar.'

Untuk apa dia cari-cari alasan hidup di dunia? Bikin lelah saja.

Shuji berbalik ke dapur dan menggeledah seluruh isi laci. Piring dia pecahkan, wadah-wadah dia lempar sampai dia menemukan pisau yang tersembunyi di lemari bawah.

'Aku sudah menyembunyikan pisau ini, tapi pada akhirnya aku menemukanmu juga.'

Petir di luar menyambar nyaring bersahut dengan guntur. Shuji menyeret kakinya yang berat menuju kamar mandi. Meski begitu, perasaannya seringan kapas. Dia merasa invisible dan bisa melakukan apa saja.

Berdiri di depan cermin, Shuji menatap pantulan dirinya yang memuakkan.

Mata ini yang membukakan Shuji pada dunia. Kalau dia tidak punya mata, mungkin pantulan dirinya di cermin akan lenyap. Ujung pisau di arahkan ke bola matanya dengan sudut yang di rasa sempurna.

Sudut bibir Shuji tertarik melengkung ke atas. Suara di sekitarnya menghilang dan pisau di tarik mundur sebelum menusuk cepat ke arah mata.

Dalam dunia Shuji yang saat itu hening, suara nyaring menyela tiba-tiba. Menghancurkan segala tekad yang dia bangun semudah menghapus ilusi.

Ding-dong~

"....."

Shuji melotot ke arah cermin masih dengan senyum yang lebih mengerikan dari tangisan. Tangannya yang memegang pisau bergetar samar. Ujung pisau itu sangat dekat dengan retina-nya.

Keringat nampak menuruni pelipisnya sementara bel pintu berbunyi sekali lagi.

Nekat itu luntur dengan mudahnya, seperti daun yang lenyap di ***** api.

--------------------****-------------------

Jingga berdiri di depan pintu.

Jingga sadar dia terlalu ikut campur. Hal yang wajar di kampungnya seperti tabu, kadang Jingga harus menahan diri untuk peduli. Hanya saja dia sudah terlanjut menolong pria itu... dia juga tetangganya.

"Ini yang terakhir." gumam Jingga. Mengingat bagaimana pria itu abai dengan luka-lukanya, Jingga berniat memberikan obat. Setelah itu, Jingga berjanji dia tidak akan terlalu peduli.

"Apa tidak ada orang di dalam, ya?" sebelum jarinya menekan bel sekali lagi, pintu di buka.

"...Hai, uh?" Jingga berhenti menyapa di tengah-tengah, hampir cegukan begitu melihat wajah kebiru-biruan dan bengkak yang muncul dari balik pintu. "Kau... o-oke?" ditambah isi ruangan yang gelap itu.

"....." Shuji diam untuk beberapa lama dengan tatapan kurang fokus. "Mau apa?" akhirnya dia mengeluarkan suara.

"...Ah.., ini." Jingga menyodorkan kantong plastik kecil berisi obat anti bengkak. "Kudengar kau sudah pulang dari klinik waktu aku cek terakhir. Aku mengira kau tidak akan beli obat,"

"...kenapa?"

"Ya?"

"Kenapa kau melakukan ini semua?"

"... Kenapa...?" Jingga memutar kepalanya cepat dan sedikit panik. Kenapa? Karena kita tetangga. Tapi Jingga pikir dia harus memberikan alasan yang lebih rinci. Firasatnya mengatakan bahwa pria ini sedang tidak baik-baik saja.

Katanya tingkat depresi anak muda di Jepang begitu tinggi.

'Ya Allah, lindungi aku (T_T)'

"...K-kau mungkin tidak ingat, tapi waktu pertama kali aku pindah, aku sempat bingung dengan letak kamar apartemen ini."

"....." Shuji tidak membalas dan hanya menatap Jingga. Tatapannya lurus namun seperti kosong.

Setelah menggali, Shuji akhirnya ingat. Dia pernah membantu seorang penghuni baru menuju apartemennya. Bukan membantu sih, hanya karena mereka bersebelahan dan dia hendak pulang. Jadinya... ya, sekalian.

"Itu? Hanya karena itu?"

"..Ya... ya," Jingga mengangguk cepat setelah memperhatikan pria di depannya menerima dalihnya. Setengahnya mencari alasan, setengahnya lagi memang itu kenyataan. Sebenarnya Jingga tidak ingin menggunakan ingatan kejadian itu dengan cara ini.

Tapi Jingga agak takut pria itu akan menolak dan mencercanya seperti sebelumnya.

Ahem, meski pria itu hanya membentak Jingga sekali, tapi setiap bertemu.... matanya seperti mencemooh. Mungkin Jingga hanya overthinking.

"Um...," Jingga yang lengannya mulai pegal berniat untuk menarik kembali obat di tangannya tapi Shuji mengambil lebih cepat.

Dengan mata dingin dan tanpa sepatah terima kasih, Shuji menutup pintu.

"... Huff, oke." yang penting obatnya diambil, dan tidak ada cemoohan atau bentakan. Jingga menganggukkan kepalanya dan kembali menyemangati dirinya sebelum kembali ke kamar melanjutkan nonton malamnya.

Jingga melanjutkan menonton sampai tak terasa dia tertidur di sofa, dan terbangun dengan ketukan keras pintu apartemennya

Terperanjat, Jingga melihat jam di dinding.

Pukul 2 pagi.

Siapa orang kurang kerjaan yang mengetuk pintu apartemennya? Apa orang itu tidak tahu fungsi bel?

Tidak mungkin orang asing kan, kan?

Jingga mengambil tongkat baseball di tepi rak payung dan berjalan tanpa suara ke lubang pengintip di pintu.

"Astagfirullahal'adzim!" Jingga langsung melompat begitu berhadapan dengan mata lain yang balas menatap di lubang pengintip itu.

Menahan umpatan dan cercaan yang berkumpul di mulutnya, Jingga memakai kerudungnya dan memeriksa sekali lagi siapa di luar setelah menarik napas panjang.

Kali ini, orang yang menggedor pintunya berdiri dengan normal di depan. Pakaian yang baru saja Jingga lihat beberapa jam lalu membuatnya tahu bahwa tetangganya yang mood swing inilah pelaku penggedoran pintu.

"...Kenapa dia menggedor pintuku?" Jingga bertanya khawatir.

Mungkinkah dia mau protes? Mungkin tetangganya mulai tak bisa menahan sabar dan kemari untuk menghajar dia? Tapi Jingga merasa hubungan mereka belum sampai ke titik mengerikan seperti itu.

Jingga ingin meneruskan overthinking-nya, tapi seperti punya indra keenam, tetangganya yang tadi masih melihat ke sembarang arah kini beralih ke lubang pengintip dan diam mengamati untuk waktu yang lama.

"......." Jingga menelan ludah dan akhirnya membuka pintu. Siapa juga yang mau bertatapan begini.

"Uh.. hi?" Jingga membuka sedikit pintunya, hanya cukup untuk kepalanya terlihat. Melihat gelagat itu, tetangganya tidak repot-repot berkomentar.

"Beri aku makanan." pria itu berkata tiba-tiba, dengan suara serak dan kaku.

"Huh?"

"Makan." ulangnya.

"...." jadi anda datang subuh-subuh, menggedor pintu, untuk minta makan?

Jingga memeriksa kedua tangan pria di depannya. Bersih, oke, tidak ada benda berbahaya.

"...Ya, ada.. ada." Jingga yang di hadapkan situasi ini untuk pertama kalinya jadi terbata dan untuk sesaat dia tidak tahu harus melakukan apa.

Meninggalkannya di luar?

Menutup pintu, kemudian bawa kembali mi instan?

Makan? Disini? Di bawa pulang?

Dia bukan restoran, kan!!!

Jingga menyembunyikan kepalanya ke belakang pintu dan meratap sepersekian detik. Inikah akibatnya kalau dia membantu sembarang orang?! Tapi ini tetangganya.

Lalu Jingga teringat soal cuaca yang akan mengisolasi selama beberapa hari kedepan.

"Kau tidak beli perbekalan?" tanya Jingga kembali memunculkan kepalanya.

Setelah diam yang lama, Jingga pikir tetangganya itu tidak akan menjawab.

"...tidak beli. Persediaan di rumah habis."

"...Oh, kalau begitu..." kau tunggu di luar, aku tutup pintu dulu, lalu aku akan kembali sebentar lagi?

Belum dia mengucapkan kalimatnya, tetangganya itu tiba-tiba jatuh pingsan.

"!!" apa nih, akting?

Setelah menunggu beberapa saat, sosok yang tergeletak itu tidak bergerak juga.

Betulan pingsan! "M-Mas!!"

********

Jingga mengingat kembali kejadian beberapa waktu lalu. Jingga, kau kenapa sih? Kenapa menyeret orang asing kerumah?

Bukankah yang dia lakukan justru mencurigakan?

"Sekarang apa?"

Tapi barusan Jingga sungguhan panik dan yang terpikirkan adalah membawa orang ini lebih dulu ke dalam rumah setelah dia memastikannya bernapas.

Jingga menatap tetangganya—yang dia tidak tahu namanya—yang kemarin masih menyelisihinya—yang kini terbaring di sofa ruang tengahnya.

'Ya Allah, inilah tinggal sendirian. Coba ada temen, aku pasti ga akan bingung mesti gimana.'

"... udah gila aku, ya?" Jingga menekan dahinya yang berdenyut menyakitkan. "Aku telepon ambulans saja..," kata Jingga setelah ragu setengah detik. Jingga memeriksa daftar nomor darurat di ponselnya dan langsung menelepon.

Trrrr

"Dengan 911 ada yang bisa di bantu?" benar-benar bisa diandalkan, Jingga tidak perlu menunggu lama untuk tersambung.

"Ah, ya. Tetangga saya pingsan tiba-tiba.."

"Ugh...," erangan terdengar dari sofa.

"Ah, kau bangun?"

"Halo? Bisa dijelaskan situasinya?"

"O-oh, iya, tetangga saya pingsan tapi sekarang sudah baik-baik saja. Sumimasen,"

Jingga bertukar beberapa kata sebelum operator memutus sambungan. Dia berdiri dengan jarak aman dari sofa dan memanggil hati-hati, "..Hei?"

"Ara...."

"Ara?"

"Araheta...," pria itu mengeluh.

"... Lapar? Ka-kau lapar?"

"Ugh.." laki-laki di sofa itu memegangi perutnya sambil merintih pelan.

"Anu..., aku panggilkan ambulans, ya?"

"Tidak usah." jawaban lugas keluar, tidak terdengar lemah sama sekali.

"...." baiklah.

Jingga setengah menyeret kakinya ke dapur masih dalam kebingungan. Tongkat baseball dia tepikan, dan Jingga mulai memasak bubur sederhana. Nasi sisa makan malamnya dia blender dan di campurkan air sebelum di didihkan di atas api kecil.

Karena dia baru stok, Jingga menambahkan telur, wortel dan seledri. Dalam keheningan malam itu hanya terdengar suara kesibukan Jingga memasak. Harum aroma masakan mulai menyebar ke ruang tengah.

Sepuluh menit kemudian, Jingga keluar dari dapur. Dia hampir saja melempar nampan di tangannya saat melihat tetangganya sudah duduk di meja. Tegak, tak bersuara, kalau bukan diperhatikan dengan seksama, Jingga kira dia tidak bernapas.

"...." Jingga menarik napas dalam, menahan kaget sekaligus heran. Kenapa tetangganya ini suka mengubah genre jadi thriller? Jingga meletakkan mangkok di meja.

Seperti orang brengsek, pria itu tidak mengucapkan apa-apa setelah tujuannya tercapai. Pada suapan pertama, gerakannya terlihat ragu-ragu. Kedua dan seterusnya barulah biasa. Gelagatnya seperti hewan liar yang tidak percaya pada manusia.

Jingga : Speechless.jpg

Jingga melihat pria didepannya makan seperti boneka. Duduk tegak, tanpa suara, hanya menggerakkan sendok ke mulut. Tanpa jeda, dengan konstan.

Di tambah cahaya yang temaram....

Ahhhhhh!!

"Oh iya," Dengan keadaan seperti ini, Jingga memaksa dirinya untuk mengisi keheningan. "Waktu di klinik siang tadi, katanya kau kurang nutrisi dan dehidrasi. Kau tidak makan atau... apa?" Awalnya tidak niat, tapi begitu memulai, Jingga tak bisa menahan diri untuk memikirkannya. Benar, kenapa? Apa karena tidak punya makanan? Tidak punya uang?

Jingga tidak berharap di jawab, karena dia mengerti bahwa tetangganya memilik sifat yang kontradiktif.

Antara benci tapi butuh, kira-kira begitulah.

Tidak di sangka, pria itu menjawab. "TIdak masak."

"Oh? Kenapa?"

"Agak... malas." gumam pria itu lalu menyelesaikan suapan terakhir.

Malas? Jadi kau kelaparan karena malas masak? Filosofi hidup yang sungguh berbahaya.

"Gochisousama." lanjut pria itu singkat dan mendorong mangkok menjauh darinya.

Dengan maklum Jingga membawa mangkok itu ke dapur dan kembali duduk. Pria itu melirik sekeliling apartemen Jingga dengan wajah penasaran yang Jingga sangka tidak akan pernah dia lihat pada pria yang senantiasa sinis itu.

Jingga membuka tutup mulutnya sebelum membulatkan hati.

"Hei, soal itu..." Jingga berpikir beberapa saat. "Katanya kau tidak ada persediaan untuk beberapa hari. Kebetulan aku beli banyak makanan instan jadi kau bisa pilih beberapa."

'Bilang iya, terus pergilah dari tempatku. Please.' Jingga tidak terbiasa berduaan dengan lawan jenis seperti ini. Kalau bukan karena darurat tidak mungkin hal ini terjadi.

"Kalau kau merasa tidak enak badan... aku bisa bantu hubungi ambulans... bagaimana?" Lima puluh persen Jingga merasa pria ini akan menolak.

"...Namamu Mangis?"

"...Ah?" Dia tidak mendengarkan aku sama sekali. Jingga menarik napas dalam-dalam.

"Namamu." ulang laki-laki itu.

"O-oh, namaku." Namanya Jingga, tapi pelafalannya seringkali salah jika diucapkan oleh orang lokal. "Ah, namaku Jingga. Jin-ga."

"Jin-ga? Itu nama pertamamu." kata laki-laki itu. Tidak mungkin dia memanggil orang yang baru dia kenal dengan nama depannya—kira-kira begitu maksudnya.

"Nama depan....," Jingga tentu punya nama depan dan belakang, tapi nama belakangnya bukan nama yang wajar untuk di pakai sebagai panggilan. Dan lagi.. nama belakangnya agak... aneh kalau disebut.

"Kau panggil nama depanku saja." kata Jingga serius.

Pria di depannya mengerutkan kening, menolak.

Jingga menarik napas panjang dan akhirnya menyerah. "Nama belakangku, Manis."

"Aku tahu. Manisu?"

"...Jangan pake su." Kenapa dia bisa tahu? Tapi Jingga tidak mau repot-repot menggali.

"Ma-nis?"

"...."

"Manis?"

....asd, kenapa aneh banget. Jingga menahan diri supaya tidak merespons berlebihan dan mengangguk sulit.

"Namaku Oda Shuji."

"Oh? Aku.. panggil Shuji atau Oda..?"

"Shuji."

Jingga memiringkan kepalanya curiga. "Bukannya itu nama depanmu?"

"Aku kurang suka dipanggil Oda. Panggil Shuji saja." pria itu, Shuji, lalu menatap Jingga seperti ini adalah fakta—dan Jingga harus mengikutinya.

"Bukannya orang luar negeri sudah biasa memanggil dengan nama depan?" kata Shuji. Dibelakangnya ada tanda tanya, tapi kalimat itu sebenarnya pernyataan.

Shuji tidak menunggu Jingga untuk membalas dan langsung to the poin. Dia mengeluarkan lima puluh ribu yen. Jingga sampai membulatkan matanya.

Berdua, di ruangan yang temaram, di malam yang larut ini, di tambah transaksi uang...

Tapi untung saja mulutnya di tahan sebelum dia keceplosan.

"Dapur ditempatku tidak bisa di pakai." kata Shuji singkat. "Sampai cuaca kembali sediakala, aku numpang makan disini."

"Hah?"

"Aku tidak suka seledri dan menurutku rasanya bisa dibuat sedikit ringan." Shuji berdiri dari kursinya. "Besok sarapan porsinya tolong di tambah."

Jingga: ......

"Dah."

Clak.

Sampai pintu tertutup, Jingga masih memproses untuk mencerna apa yang baru saja terjadi.

"Dia... minta aku jadi tukang masak, begitu, kan...?" Jingga bertanya pada udara. Melirik ke selembaran lima puluh ribu di meja, uang itu nampak berkilau. Seperti sedang melambaikan tangan padanya.

"... Ini terlalu banyak." gumam Jingga. Tunggu, bukan ini poinnya.

'Kenapa aku mau-maunya di suruh-suruh begini?'

"Dapurnya tidak bisa di pakai?" alasan konyol apa itu? Pertama kalinya Jingga menemukan manusia seperti Shuji. Datang minta makan, lalu pergi setelah memberi uang.

Di satu sisi Jingga merasa kesal, di sisi lain dia merasa sedikit khawatir soal keadaan tetangganya. Kemarin dicakar kucing, hari ini masuk klinik gara-gara di hajar, kemudian pingsan di depan pintunya.

Di pikir-pikir tetangganya itu malang juga.

"Bukankah cuma beberapa hari?" Jingga memutuskan untuk menerima tantangan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!