Duduk di depan meja kerja di kamarnya, Shuji menelusuri toko online untuk membeli kandang kucing dan jaring. Energi menyegarkan yang dia dapat dari luar seperti melebur dan menyusut begitu dia kembali ke apartemennya, membuatnya kembali diselimuti muram.
Shuji menatap jam digital di sisi komputer untuk waktu yang lama. Dia seperti bisa mendengar suara detak jantungnya. Menunduk, Shuji merasakan dadanya bergetar naik turun.
Dug dug dug
Dalam kejenuhan yang tiada habisnya itu, mudah untuk monster dalam dirinya berbisik.
Malam selalu jadi waktu yang menyenangkan untuk berbuat jahil.
Jari panjang Shuji bergerak ke keyboard, berselancar dan menelusuri satu demi satu video dokumenter mengenai kriminal yang terkenal di dunia.
Mungkin saja dia ini sebenarnya psikopat? Shuji pikir, kalau dia ada potensi demikian, dia bisa mempelajari pendahulunya.
Seorang pria di kamera tersenyum meski tangannya di borgol dan kematiannya ada di depan mata.
Kejahatan yang dia lakukan berkaitan dengan keselamatan perempuan dan anak; tidak hanya dia menjadi penjahat keji, hakim pun tidak sudi melihat wajahnya. Ketika kejahatannya dibacakan, hakim itu menangis untuk para korban. Tanpa pikir panjang, pria itu dijatuhi hukuman mati dengan sengat listrik.
Shuji menonton dengan serius dan dia bernapas lega. Dia mengerti psikologis penjahat itu, tapi dia tidak akan pernah bisa melakukan kejahatan yang sama.
Hanya dia tidak sadar saking fokusnya, setelah dia menelusuri satu demi satu video dan artikel, pelan-pelan algoritma menunjukkannya ke web gelap.
Dengan mudahnya Shuji masuk dan berselancar di dalam web.
"...hm?" Shuji membulatkan mata melihat daftar web terlarang yang penuh dengan konten ilegal untuk eksis di dunia.
Jarinya bergerak klik klik klik dan setiap ada kesulitan akses tangannya bergerak lincah diatas keyboard untuk menyelusup. Malam itu Shuji merasakan antusias yang tidak biasa.
Tengah malam, seperti ada suara 'tik' di kepalanya, Shuji tersadar dari yang dia lakukan. Shuji menatap layar dengan tatapan kosong beberapa menit sebelum menghembuskan napas panjang dan memutuskan untuk beli beberapa kaleng kopi. Dia mengabaikan mesin di hall apartemen dan memilih untuk keluar gedung.
Keheningan di sekitar area seperti memberikan kedamaian tersendiri. Seandainya dunia ini hening seperti malam, Shuji bisa tidur dimana pun di atas bumi ini.
Shuji berjalan ke mesin minuman terdekat, membeli dua kaleng kopi dan menghabiskan sisa kembalian dengan minuman yang dia asal pilih.
"Oh," Tiba-tiba Shuji merasakan gatal di lengannya, tepat di bagian bekas cakaran kucing kemarin. Namun pada akhirnya dia membiarkannya, toh mau dia sakit atau terluka pun sama saja. Dia akan segera mati.
Shuji memasuki lift kembali ke kamar apartemennya. Mood-nya yang masih baik saat itu seketika berubah buruk ke titik terendah melihat sekantung plastik bertuliskan nama apotek menggantung di daun pintunya.
Matanya dengan geram beralih ke pintu apartemen sebelah yang nampak hening. Hm, pintu itu terlihat tenang padahal diam-diam menguntilinya.
Sepertinya, tetangganya yang suka ikut campur itu menggantungkannya sudah lama, hanya Shuji tidak menyadarinya. Dan dia baru sadar saat kembali dari luar.
"Sungguh merepotkan." Shuji menarik plastik itu kasar dan berjalan ke kamar sebelah. Tangannya bersiap untuk menggedor pintu, namun di tengah-tengah, gerakannya berhenti.
Apa, dia mau apa?
Kalau wanita itu keluar, dia harus bertukar kata lagi dengan wanita itu?
Kenapa harus repot-repot? Shuji mengangguk dalam hati dan akhirnya kembali ke apartemennya. Plastik itu berisi salep anti-infeksi. Berdiri di tempat sampah di dapurnya, Shuji membaca secarik kertas yang di selipkan di dalam.
-Anti infeksi supaya tidak gatal membuat gatal kulit
"Huh??"
Shuji mengulang bacaan itu beberapa kali sebelum meremas kertas itu jengkel.
"Bodoh sekali, kenapa aku terus mengulang untuk membacanya."
Tambahan, tetangga yang suka ikut campur ini tidak bisa menulis dengan baik. Bahkan levelnya tidak jauh dengan anak SD.
"Hah, masih bagusan anak SD." gerutu Shuji dan mencampakkan semuanya ke dalam sampah.
Shuji kembali duduk di depan komputer dan melirik jam. Suasana hatinya yang yang sudah tidak enak jadi semakin turun.
"Bisa-bisanya aku menghabiskan waktu untuk menerima, membaca, dan membuang benda itu." dengan marah, Shuji menekan keyboard seperti dendam. Bunyinya keras tak tak tak.
Konten kembali muncul dilayar komputernya dan perhatian Shuji teralihkan.
....
Hari ini matahari kembali menyinari sebagaimana hari kemarin. Untuk area yang kemungkinan akan terkena hujan angin, orang-orang beraktivitas sibuk mempersiapkan bekal. Tapi di dalam kamar apartemen nomor 48 itu, tidak ada sedikit pun celah matahari yang masuk ke dalam. Masih sama dengan posisi duduknya tujuh jam lalu, Shuji melotot ke layar komputer yang masih memainkan konten.
Shuji mengedipkan matanya perlahan sebelum akhirnya menggerakkan tangannya untuk menutup jendela internet dan mematikan komputer. Bersamaan dengan itu, suara alarm di ponselnya berbunyi.
trinnngg
Shuji menatap layar ponselnya yang menunjukkan gambar jam bergetar. Alarm ini berbunyi setiap hari. Meski dengan ponsel yang berbeda, Shuji selalu mengatur alarmnya jam 7.00 pagi. Kebiasaan itu dia lakukan sejak dia masih kuliah.
Selama betahun-tahun ini dia baik-baik saja.
Tapi kenapa kali ini dia begitu marah mendengar suara ini?
'Ponsel sialan.' Tidak hanya wujudnya, suaranya, bahkan bentuknya pun jadi mengganggu.
'Kenapa tidak aku hancurkan saja?'
Detik berikutnya Shuji sudah bergerak ke dapur, dengan palu di tangan kanannya dan ponsel di atas tatakan kayu.
"Diamlah."
pruk pruk pruk
Dengan gerakan konstan yang tidak lambat dan tidak cepat, ponsel itu mulai remuk layarnya. Hingga layarnya menghitam dan suara alarm berhenti, gerakan tangannya berhenti. Shuji memiringkan kepalanya dan mendengarkan dengan seksama.
"Nah, lebih baik." Shuji mengangguk pelan lalu melempar palu ke tempat cuci piring lantas mengabaikan semuanya.
Shuji bergerak ke ruang tengah, berkeliling mencari remot tv. Setelah menemukannya di sela-sela sofa, Shuji menyalakan tv dan langsung memindahkannya ke saluran ramalan cuaca.
[..Diperkirakan malam ini hujan deras akan turun di kawasan xxx, pemirsa dapat melihat area kemunculannya seperti yang ada pada layar di belakang saya ditandai dengan warna kuning. Badan Meteorologi memperkirakan kenaikan curah hujan kemungkinan memicu hujan angin. Beberapa sekolah di area telah di putuskan untuk libur sampai hujan berlalu. Tingkat kecepatan curah hujan perjamnya...]
'Tidak ada kepastian sama sekali.' Shuji mendengus kesal. Dia berjalan cepat ke kamarnya.
Badannya otomatis bergerak mencari ke meja, mengangkat buku dan menyingkap selimut. Shuji kembali ke ruang tengah dan melirik ke dapur. Benda yang dia cari baru saja dia hancurkan. Shuji tersadar, namun tak sedikit pun dia merasa sayang.
Shuji mengatupkan mulutnya dan pergi ke kamar mandi. 'Pokoknya aku akan mati hari ini.'
Shuji yang seminggu ini belum mandi akhirnya bersih-bersih. Dia menggosok badannya lama hingga kulitnya memerah. Janggut dan kumis yang mulai tumbuh dia cukur.
Setelah memakai setelan kemeja dan jas seperti pekerja kantor lainnya, Shuji menata rambutnya, memperlihatkan wajah rupawannya yang biasa tertutup poni. Garis tipis merah samar-samar terlihat di pipi kanannya, bekas pergelutannya dengan kucing kemarin. Di bawah matanya terdapat kantung mata yang kentara, sosoknya mirip pekerja kantor yang selalu lembur.
Meskipun aura di sekitarnya masih suram, dibandingkan dengan sebelumnya, dia seperti orang lain.
Dengan khidmat Shuji memasangkan dasi, memandang pantulan dirinya di cermin, kemudian mengulas senyum kaku.
Shuji keluar dari apartemen membawa dompetnya. Setelah dikonfirmasi bahwa hujan akan tiba malam nanti, Shuji bisa datang ke stasiun untuk mengejar shinkansen jam 11 pagi ini.
Shuji berjalan melewati gang tempat kucing oren kemarin tinggal. Mungkin karena tidak ada yang memberi makan, gang itu nampak sepi. Shuji berlalu sambil mencemooh. Kucing jelek itu tidak lagi dia perlukan.
Tekad Shuji kini bulat.
Kereta Shinkansen di area dekat apartemen Shuji hanya muncul satu kali. Melirik jam di stasiun, hanya tersisa setengah jam lagi sampai kereta tiba. Dengan bergegas Shuji berjalan ke mesin penjual tiket.
Selesai membeli tiket, Shuji berbalik dan tak sengaja menubruk seseorang.
"Maaf." Shuji berkata cepat.
"Tidak apa-apa."
"...." mendengar suara itu Shuji berhenti bergerak. Kenapa sepertinya dia kenal suara itu?
Saat menoleh, benar saja, orang yang dia tubruk adalah wanita yang kemarin. Mendadak firasat Shuji jadi tidak enak.
"Oh, hai, lukamu sudah baikan?" wanita itu menyapa sebelum Shuji sempat berkata-kata. Ekspresi wanita itu seperti takjub, melihat penampilan Shuji yang sangat jauh berbeda dengan kemarin. Kalau bukan karena suara dan bekas luka di pipinya, wanita itu tidak akan mengenali Shuji.
"Hm." karena Shuji membuang obat-obat itu, dia tidak mengiyakan dan hanya berdehem.
Shuji pikir, karena dia akan mati sebentar lagi, mungkin dia akan berbaik hati untuk bertukar kata sedikit. Memikirkan wanita ini akan menyaksikan Shuji yang mati, tiba-tiba dia jadi bersemangat. Lebih baik lagi kalau bisa meninggalkan mimpi buruk, haha.
"Baguslah..," wanita itu nampaknya masih ingat bagaimana Shuji tidak suka didekati. "Kalau begitu kau duluanlah,"
"Kau mau pesan tiket juga? Kemana?" tanya Shuji akhirnya.
"Aku mau ke XX." destinasi yang dituju wanita itu hanya satu stasiun jaraknya.
"Oh,"
"Kalau begitu aku duluan."
Shuji hanya mengangguk dan berbalik. Melihat waktu yang tinggal dua puluh menit, dadanya berdebar kencang. Shuji berjalan menuju gerbang, tanpa sadar dia mengulas senyum.
"Eh?"
Tiketnya mana?
Bukankah tadi ada di saku?
Beberapa orang yang mengantre di belakangnya mulai menggerutu dan Shuji terpaksa menepi dan memeriksa kantung celananya.
"..Dimana.... ah," memikirkan kejadian saat dia menubruk si wanita, Shuji yakin tiketnya jatuh saat itu. Dari sekian banyak orang yang berpapasan dengannya, kenapa harus wanita itu.
"....kenapa belakangan ini aku sial terus?" wanita itu pasti dikirim sebagai pembawa petaka untuknya. Melihat sekeliling lantai, Shuji tidak menemukan tiketnya.
Tanpa banyak kata Shuji langsung kembali ke loket dan membeli tiket baru.
[Tiket sudah habis]
Shuji menengadah dan menarik napas panjang.
Lagi-lagi.
"Eh kau masih disini?"
Lagi, lagi, dan lagi. Shuji berbalik ke asal suara yang menjadi awal mula hari buruknya.
"Kenapa kau (masih) disini?" kata Shuji dingin, maksudnya tentu saja bukan untuk bertanya.
"Aku habis beli minum untuk di perjalanan... kau?"
"Aku beli tiket tapi hilang." Shuji menjeda dan menarik napas. "Mau beli lagi tapi habis." setelah dia memikirkan dengan panjang, mau marah pun tidak bisa. Kalau dia membuat keributan di tempat umum dan berkelahi dengan wanita ini, dia akan diamankan dan tidak bisa menjalankan rencananya.
"Lupakan." Shuji tidak menunggu perempuan itu menyahut.
Memikirkan hujan angin yang akan datang malam nanti dan memikirkan hidupnya 4 hari kedepan, Shuji merasa pikirannya kosong.
"Aku beli tiket kereta biasa saja."
Meski kecepatannya tak sepadan dengan shinkansen, tapi kereta tetap kereta. Shuji melihat jadwal. Dia hanya perlu menunggu satu jam menuju kematiannya. Shuji menyemangati dalam hati. Dia bergerak untuk memesan tiket baru. Saat dia berniat mengeluarkan dompetnya....
"..."
Shuji mengodok celananya sekali lagi. Seingatnya, ketika dia di gate tadi hanya tiketnya saja yang hilang. Kenapa dompetnya jadi ikut hilang?
Meletakkan kedua tangan di badan mesin, Shuji mengheningkan diri sejenak. Setelan dan rambutnya kini sudah mulai kusut. Meski dia masih terlihat rapi, tapi raut wajahnya meninggalkan kesan berantakan. Sekali lirik orang tahu bahwa dia habis mengalami kesulitan.
Mungkinkah dia ditakdirkan untuk mati karena tekanan tinggi? Seperti inikah?
Tidak masalah.
Tapi apakah dia bisa mengontrol amarahnya sampai dia kena serangan jantung misalnya? Bagaimana kalau dia hanya kena stroke dan harus di rawat?
Sekali pun dia bilang ke dokternya dia ingin mati dia akan tetap di rawat lebih dulu.
"Anu... kau baik-baik saja?"
Shuji harap wanita itu berhenti bicara padanya. Suaranya terdengar sangat... sangat menyebalkan di telinga Shuji saat ini.
'Tolong... berhentilah peduli.'
Tapi Shuji punya firasat kalau wanita akan terus menunggu sampai di jawab.
"Ya." Shuji berbalik dan menjawab cepat. "Aku baik-baik saja." Darah seperti mengalir ke kepalanya dengan kuat, Shuji berusaha menahan emosinya sebisa mungkin.
"Kau tidak bawa uang?"
Shuji tidak akan mengatakan bahwa dia kehilangan tiket dan dompetnya. Apalagi pada wanita di depannya!
"Dompetku hilang." tapi sarafnya bergerak lebih cepat daripada perasaannya.
"Kasihannya kau. Pakai saja dulu uangku, bagaimana?"
"....Tidak usah."
Shuji berjalan keluar stasiun pada akhirnya. Dia sudah tidak ada niat lagi untuk mati ditabrak kereta. Dia hanya ingin keluar dari stasiun ini sekarang. Rasanya kalau dia berada di tempat yang sama dengan wanita itu dia akan terus kena sial.
Harus cepat pergi dari sini.
*****
Shuji pulang dengan berjalan kaki. Karena tiket dan dompetnya hilang, dia hanya bisa pasrah. Niatnya pergi ke kantor polisi untuk melapor dia urungkan, karena tidak sejalan dengan tujuan kematiannya.
Mendekati minimarket, langkah kaki Shuji melambat. Matanya memandang beberapa saat pada jajaran minuman dari balik kaca jendela.
'Apa? Sekarang kau mau minum, huh? Bersikap seperti makhluk yang ingin bertahan hidup.'
Shuji memalingkan wajahnya. Meskipun tekadnya bulat, sudut hati Shuji mencelos tapi dia tidak tahu apa sebabnya.
Perasaan itu berganti jadi ragu ketika dia mulai mempertanyakan; apakah benar begini caranya?
Shuji tidak tidur semalaman, juga belum makan dan minum sejak pagi. Berjalan dari stasiun ditambah tekanan dalam pikirannya membuat badannya letih. Meski cuaca sudah memasuki musim gugur, Shuji tetap berkeringat.
Kebanyakan keringat dingin karena gelisah yang tiada habisnya.
Brukk
Tubrukan ringan itu harusnya tidak masalah, tapi Shuji yang dalam keadaan lemah tidak bisa menahan inersia dan jatuh terduduk.
"Apaan nih, Onii-chan, kalau jalan pake mata-lah?" orang kerdil ini tidak lihat siapa di depannya?
"Hah," Shuji merendahkan matanya, memfokuskan pandangannya yang kabur sesaat.
"Udah nabrak bukannya minta maaf."
Shuji yang masih di tanah mengangkat wajahnya. "Sudah jelas kau yang nabrak?"
"Haaaaaah? Ngomong apa kau?"
"Hmp. Berlagak jadi penguasa jalan." Shuji menggumam sambil berdiri perlahan. "...Padahal pencapaian hanya seremeh itu."
Sebelum Shuji sempat melanjutkan langkahnya, bahunya di tahan dan dia diseret ke dalam gang.
"Oi, Onii-chan, coba ngomong sekali lagi tadi bilang apa?" Mungkinkah dia sudah terlalu jinak sampai orang lupa dengan keberingasannya?
Shuji tidak mengulang kata-katanya, melainkan melontarkan kalimat baru.
"Aku bilang kau payah." Dalam keadaan pusing, mual dan lelah, Shuji meluapkan kekesalannya.
"Kau ini sampah, sampah masyarakat. Tahu sampah? Baunya busuk tapi tidak bisa di daur ulang. Kenapa gak mati aja sih kau?" ironinya saat mengatakan itu, Shuji merasa dia bicara soal dirinya sendiri.
Selesai berkata demikian, Shuji langsung tersungkur dan pipinya berdenyut menyakitkan.
"Oi, barusan gua cuma bercanda, tapi lu kaya gini jadi kesal juga."
Shuji mengusap pipinya, dalam hati dia berharap orang di depannya balas menghujatnya dengan kata-kata yang sama. Tapi di hajar begini juga tidak masalah.
-------------*****----------------
"Ah, ****, kenapa juga gua ngurusin hidup makhluk kaya gini." pria berbadan besar itu menghembuskan napas lelah, dan nampak tersadar akhirnya bahwa Shuji hanyalah satu dari sekian banyak pecundang hidup yang sering dia temui.
*"Udahlah, Onichan, lu bagi aja duitmu, gua maafin kesalahan yang tadi." *pria itu berkata masih dengan logat kentalnya.
Sebenarnya pria itu datang jauh-jauh kemari untuk menagih hutang seseorang. Tapi yang dia cari sudah melarikan diri. Tiba-tiba muncul ikan di depannya, ya dia tangkap. Tentu saja seperti kronologi di atas, bukannya dia sengaja malak, tapi memang orang di depannya minta dihajar.
Shuji tinggal bilang dompetnya hilang, tapi menerima pukulan, dia bukannya takut dan malah menjadi-jadi. Merasakan sakit di badannya Shuji merasa sedikit segar sekaligus sedih.
"Gak ada duit untukmu." Shuji meludah ke arah pria kekar itu. Liurnya merah bercampur darah. "Mati aja lu bangsat." tambahnya gagah.
".....dasar orang gila." sudah jelas kalah masih berlagak juga?
Akhirnya pria itu menghajar Shuji sampai puas sebelum pergi meninggalkan gang.
Dengan bengkak dan sedikit darah di ujung bibirnya, Shuji tergeletak di dalam gang, menatap ke langit-langit yang birunya sudah meredup. Entah kenapa dia merasa ada sesuatu yang mengejeknya di atas sana. Melihat dan memperhatikan gerak-geriknya. Sungguh mengesalkan.
Karena kesal dia balik melotot ke langit.
"Lihat apa kau anjing?" Shuji teriak. Kenyataannya, hanya bisikan lirih yang keluar dari mulutnya. Shuji marah, namun sekaligus merasa ingin mengadu.
Kenapa hidupku seperti ini?
"Pokoknya, aku akan mati." kata Shuji pelan.
Setelah itu dia hilang kesadaran.
----------------------
Bau disinfektan samar-samar tercium, Shuji yang sudah sadar mau tak mau membuka mata. Ini bukan kali pertama dia ada di rumah sakit, tapi ini pertama kali dia terbaring di klinik. Biasanya dia hanya ikut pemeriksaan rutin, tidak sampai terbaring lemah seperti ini.
Di tempat yang tak ada privasi dan hanya di sekat gorden itu, Shuji bisa mendengar suara orang bercakap, suara roda troli, dan bunyi bep mesin yang asing.
Ketika gorden di geser, Shuji menggerakkan bola matanya.
Napasnya tertahan melihat orang di depannya. Dengan gerakan lemah Shuji memiringkan kepalanya seperti ingin memastikan sesuatu. Mata hitamnya menunjukkan kebingungan pada alam semesta.
Kenapa, dari sekian banyak... selalu bertemu perempuan ini ujung-ujungnya.
"Oh kau sudah bangun? Aku panggilkan dokter dulu."
Perempuan itu datang dan pergi secepat kilat sebelum kembali dengan seorang dokter.
Setelah mendengar 'semua baik-baik saja', Shuji tidak bisa mendengar apa-apa lagi. Pikirannya kosong.
Setelah keadaan sedikit sepi, barulah Shuji melirik si perempuan dengan mata penuh tuntutan. Menerima tatapan itu, wanita itu dengan cepat menjelaskan.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu... tapi aku menemukanmu tergeletak di gang tak jauh dari gedung apartemen."
'Apa? Jadi itu sudah dekat apartemen?' penyesalan mendalam menggerogoti Shuji, dia harusnya tidak perlu repot-repot memprovokasi preman itu dan langsung saja pulang.
"Kau tidak sadarkan diri dan babak belur... apa... kau mau aku melaporkannya pada polisi?"
Shuji memalingkan wajahnya, menolak untuk menjawab.
Perempuan itu tidak tersinggung dan duduk di kursi samping ranjang.
"Ah." katanya tiba-tiba. Perempuan itu mengeluarkan sesuatu dari tas selempangnya, "Kau bilang dompetmu hilang kan sebelumnya?"
Dompet itu lalu diletakkan di sisi bantal Shuji dengan hati-hati.
"...Aku menemukan dompetmu waktu masuk lewat gate. A-awalnya mau aku titipkan ke petugas stasiun tapi karena keretaku sudah tiba, aku tidak sempat. Jadi aku baru sempat mengembalikannya padamu saat pulang."
"...." Shuji masih membungkam dan akhirnya mengangguk. Entah artinya terima kasih atau enyah karena anggukan kepalanya bergerak dari bawah ke atas.
Melihat kecanggungan perempuan itu, Shuji tidak peduli.
"Kalau begitu aku duluan?" aneh rasanya kalau menunggui Shuji; mereka tidak akrab. Sejujurnya, nama saja mereka tidak saling tahu.
Perempuan itu pergi dan menutup kembali gorden dengan tertib.
'Akhirnya pergi juga,' gumam Shuji. Dia kembali memejamkan mata dan tanpa sadar kembali tertidur.
Satu jam kemudian, Shuji bangun. Setelah menerima infus dan istirahat, Shuji merasa tenaganya kembali. Dia menyeret kakinya ke loket pembayaran dan menanyakan biaya pengobatan sambil memegang dompetnya.
"Pengobatannya sudah lunas."
"Huh? Coba di cek lagi, saya baru keluar sekarang." Shuji memberikan kartu berobatnya.
Resepsionis itu menyerahkan kembali kartu Shuji dan berkata, "Tadi registrasinya menggunakan nama orang yang membawamu kemari. Pengobatannya sudah di bayar lunas."
"..." maksudnya perempuan tadi? Shuji memeriksa dompetnya dan menghitung bahwa uangnya masih lengkap. Jadi wanita itu membayar biaya pengobatan dengan uang sendiri? Padahal dompet miliknya kan sedang di pegang dia?
Kenapa wanita itu selalu membantu dan melakukan hal yang tidak perlu?
'Mungkinkah wanita itu menyukaiku?' saat pikiran itu terlintas, Shuji langsung merinding.
"Boleh minta namanya?" tanya Shuji.
"Tentu."
Suster itu menyebutkan nama perempuan itu, "Jin-gga... er... Mangis.. are? Apakah seperti ini cara membacanya?"
'Cck. Bodoh banget sih, siapa yang mempekerjakan perempuan ini.' dalamhati berkata demikian, tapi wajahnya masih kalem dan datar. "Boleh saya lihat tulisannya?"
Resepsionis itu memutar layar komputer.
Di layar tertulis 'Jingga Manis'.
'Ginga? Ji? Ji dalam bahasa Inggris Gi... jadi Gin-ga. Hm..' Shuji mengangguk dalam hati. 'Kalau orang luar negeri berarti marganya di belakang, jadi... Manise? Manisu?'
"Gin-ga Manisu."
'Tunggu, kenapa aku peduli?' setelah berpikir demikian, Shuji langsung berhenti berusaha melafalkan nama itu dan berbalik pulang.
"Terima kasih banyak."
"Sama-sama."
Shuji keluar klinik dan membaca papan nama di luar. Ini sudah jelas klinik di daerahnya. Shuji berjalan sampai dia tiba di gang yang jadi tkp. Dia melihat sekeliling lalu kembali berjalan....
Lima menit kemudian, Shuji benar-benar sampai di gedung apartemen.
'Ternyata sungguhan dekat.' Shuji tidak terima. 'Sudahlah, wanita itu menolong karena dia mau, bukan karena aku meminta.' Shuji memutuskan. Benar, dia tidak ada niat untuk mengganti biaya pengobatan itu sama sekali, apalagi berterima kasih.
Kalau pada orang lain mungkin dia akan berusaha membayarnya kembali.
Tapi wanita itu selalu jadi sumber petaka. Dia takut dia tambah sial kalau sengaja menemui.
Sekiranya wanita itu datang untuk menagih, Shuji akan bayar sebagai bentuk mengusir setan. Tapi kalau tidak, dia sendiri juga tidak akan menghampiri. Huh.
"Manisu... Manisu... nama jenis apa itu coba."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments