15. Malu? Apa itu malu.

Shuji mengawali paginya dengan roti panggang dan kopi. Jendela apartemennya di buka dan dari luar siulan burung bersahutan mengiringi. Sambil mendengarkan kesibukan suara di apartemen sebelah, Shuji menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya yang tidak banyak dan menatap tumpukan baju yang sudah dia lipat dengan rapi—tidak pernah dia seproduktif ini. Dia berjalan ke balkon untuk memeriksa tanamannya, di saat yang sama seekor burung terbang berlalu dan buang kotoran.

Shuji tersenyum kearah burung dan melap bekas kotorannya dengan hati damai. Bila cuaca petir menggelegar sekalipun, Shuji tidak akan pernah marah.

Mood-nya sejak dia membuka mata hari ini tidak bisa di gambarkan dengan kata-kata. Setiap yang dia lihat seperti memancarkan keindahan. Bahkan kecoak yang lewat pun, dia masih bisa tersenyum.

“Imutnya..,” Shuji berjongkok menyaksikan kecoak yang sekarat disemprot pestisida. Dengan serius dia membawa kecoak yang sudah mati itu dan menguburnya di pot kosong di balkon. “Semoga lain kali kau tidak lahir jadi kecoa.” Shuji berdoa dengan serius.

Shuji pergi mandi dan memilih pakaian santai hangat lalu beranjak keluar apartemen. Dia langsung bertemu dengan Jingga yang bersiap berangkat kerja.

“Kenapa tidak memanggilku?” Shuji mengerutkan kening dan keduanya jalan bersama menuju lift. Tentu saja dia hanya akting, sejak awal, dia tahu Jingga hendak berangkat.

“Memanggilmu…, kenapa?”

“Huh.” Shuji memalingkan wajahnya. “Aku bisa mengantarmu ke halte.”

Jingga mengerjapkan bulu matanya. “Tapi halte sangat dekat.”

“Aku antar ke tempat kerja kalau begitu?”

“Jangan konyol.”

“Hmp.”

Jingga mengabaikan  protesan itu dan masuk ke lift. Jingga berdiri, menunggu dan menunggu, tapi dia lama-lama tidak bisa menahan diri.

“Kau, bisa tidak berhenti melakukan itu.”

“Memangnya aku berbuat apa?” Shuji menarik sebelah alisnya halus.

Laki-laki di sampingnya terus saja mendengus ‘hmp’, ‘hmp’ tanpa henti sekalipun sudah keluar gedung. Kalau saja ini orang lain…

Tapi yang di bicarakan ini Shuji, Jingga selalu bisa memaklumi. “Kau tidak lelah mendengus terus?”

“Hmph!”

“…..” Jingga berpikir lama sebelum mengusulkan. “Baiklah, nanti aku akan beritahu kalau aku berangkat kerja?”

“….” Shuji melirik dari ekor matanya. “Kau bisa tekan bel apartemenku.”

Meski Jingga setuju untuk coba mengenal Shuji lebih dekat, bukan berarti dia bisa langsung berinteraksi begitu dekatnya.

“Kan ada ponsel, nanti aku SMS.” kata Jingga akhirnya.

Shuji mengiyakan beberapa menit setelah berpikir—dia merasa mengirim pesan tidak sebagus bertemu langsung.

Hanya kali ini Jingga tidak peduli dengan perasaan Shuji. Kenapa juga gadis itu harus menyamper seseorang hanya untuk di antar ke halte?

Jingga menyipitkan matanya menatap ke ujung jalan, kalau dia terus-terusan mengalah, semisal Shuji benar-benar mengantarnya ke tempat kerja setiap hari bagaimana?

Meski ada manis-manisnya, agak cringe untuk di bayangkan. Bahkan anak SD di sini berangkat dan pulang sekolah sendirian. Shuji tidak bekerja di tempat yang sama dengannya, jadi mustahil Jingga akan melakukan itu.

“Makan siangmu bagaimana?” tanya Shuji tiba-tiba.

Di sekeliling mereka penumpang mulai berdatangan dan berdiri di sekitar halte.

“Aku bawa bekal.” Balas Jingga.

“Termos minum, bawa?”

“Em, aku buat air madu jahe  seperti yang kau bawa kemarin.”

“Harusnya kau pakai syal.”

“Ah? Tidak apa-apa. Pagi hari tidak terlalu dingin. Malam juga aku di luar hanya sebentar…” Jingga tidak sempat menyelesaikan kalimatnya saat syal di pasangkan di lehernya.

Shuji yang keluar mengenakan syal kini membiarkan lehernya tertiup angin musim kemarau. Di depannya, jakun Shuji bergetar--Jingga segera menurunkan pandangannya dan berusaha fokus ke jari-jari Shuji yang bergerak melilitkan syal.

Dalam hati perempuan itu berpikir, kenapa lama sekali padahal hanya memasangkan syal?

“Sudah mendekati musim dingin, udara akan semakin dingin. Apalagi kau sedang batuk, kan.” Shuji menghela napas lelah. “Kenapa kau ceroboh seperti ini.”

“Indahnya masa muda.” Celetuk suara tua di dekat keduanya tiba-tiba.

Jingga menoleh ke asal suara dan menunduk menyadari sepasang orang tua duduk dan memperhatikan mereka berdua.

“Senangnya jadi pasangan muda.” Kata si nenek. “Waktu dulu aku juga begitu kan.”

Si kakek di sampingnya mengangguk. “Persis seperti kita waktu dulu.”

“Bus-nya sudah datang,” kata Shuji menarik kembali perhatian Jingga.

Melihat bus jurusannya datang, Jingga menghela napas lega dan melirik Shuji cepat. “Kau tidak dengar apa kata orang tua itu tadi?”

“Hm? Memangnya mereka bilang apa?”

“Mereka bilang—”

“Bus-nya kelihatan penuh, cepat masuk, nanti tidak kebagian kursi.” Shuji mendorong pelan punggung Jingga. Ketika jari panjang Shuji menyentuh punggungnya, panas seperti mengalir menuju kulitnya langsung yang membuat Jingga kaku. Mulutnya berhenti bicara dan dia cuma bisa mengikuti arus penumpang untuk masuk ke dalam bus. Dia mengambil kursi di sisi jendela dan menatap keluar.

Shuji melambaikan tangan kearahnya. Meski suhu dingin tidak terhapus oleh hangat matahari, sinarnya masih menyilaukan ketika berpapasan dengan wajah Shuji.

Diam-diam Jingga melekatkan syal di lehernya, samar-samar aroma maskulin tercium. Menyegarkan sekaligus menenangkannya. Dengan ragu, Jingga membalas lambaian tangan itu, memancing senyum berseri dari laki-laki di luar.

Shuji menyaksikan bus menghilang di belokan.

Sekelompok anak sekolah berlalu dengan penuh semangat, menambah keceriaan.

Shuji berbalik menuju stan ubi bakar.

“Anak muda, pacarmu mana?” tanya Takemi, penjual rutin stan ubi bakar. Biasanya saat dia tidak bekerja, istrinya atau anaknya akan menggantikannya.

Hari masih pagi dan kebanyakan orang yang mampir ke stan tidak akan berdiri diam dan basa-basi. Mereka biasanya membeli ubi yang sudah jadi dan langsung pergi. Di tambah, orang tidak makan ubi bakar setiap hari.

Hanya beberapa saja yang selalu mampir ke stan setiap hari, meski waktunya tidak selalu sama. Shuji adalah salah satunya.

Pemuda di depannya menerima ubi bakar yang baru matang dan menggigit sesuap sebelum menjawab. “Sudah berangkat kerja.”

“Pantas saja kau sendirian.” Takemi membalikkan ubi sambil lanjut mengobrol ringan.

[…aksi penembakan liar yang terjadi di Area F menewaskan dua orang dan menyebabkan kepanikan masal..]

Telinga Shuji yang damai langsung berubah tajam begitu menangkap berita yang sedang di siarkan di radio. Takemi yang masih berceloteh saat itu juga ikut diam mendengarkan sampai berita selesai.

“… Akhir-akhir ini berita yang muncul selalu tidak mengenakkan.” Gumam Takemi. Ikat kepalanya dia longgarkan sebelum di pasang ulang. “Area F ada di kota sebelah tapi sebenarnya tidak jauh dari sini kan. Tinggal naik kereta, pelaku itu bisa sampai kemari.” Penjual ubi itu mengisi ulang arang. “Ah, aku ini bicara apa, sih.” Dia lalu beralih ke Shuji dan minta maaf.

“Tidak, memang sudah seharusnya kita berhati-hati.” Shuji menghabiskan potongan ubinya yang terakhir. “Bukankah kemarin juga baru ada penangkapan di area ini?” kata Shuji, mengangkat kembali berita penguntit yang berhasil di tangkap beberapa waktu lalu.

“Kau benar. Aku akan mengunjungi kuil minggu ini untuk minta perlindungan.”

Shuji hanya menarik senyum dan tiba-tiba terlintas di pikirannya. Apa Tuhannya Jingga punya kuil juga?

Haruskah aku mengunjunginya?

Meksi dia bukan orang yang supertisius, tapi biasanya dia pergi ke kuil dan berdoa setiap tahun baru.

Tapi siapa nama Tuhannya Jingga? Mungkinkah Tuhannya Jingga adalah Dewa juga seperti yang sudah ada?

“Tambah lagi, anak muda?” suara Takemi membuyarkan lamunan Shuji. Penjual itu menawarkan ubi bakar baru yang di tolak Shuji karena sebetulnya dia sudah sarapan.

Shuji pamit dan memutuskan untuk pulang. Tapi apa gunanya menyembah? Mau ke kuil mana pun, tidak akan bisa menyelamatkan diri dari bahaya.

Tentu saja, opini ini lahir berdasarkan pemikiran Shuji. Karena dia tidak pernah mengalami pengalaman menakjubkan atau sesuatu yang ajaib. Setiap kesulitan yang dia alami, dia selesaikan dengan kekuatan dan usahanya sendiri.

Ditambah berita di radio barusan cukup membuatnya khawatir. Doa membuat orang jadi berani dan yakin, tapi hal itu tidak membantunya menghindari dari bahaya.

Kalau sendirian, tidak akan Shuji menghubungkan dirinya dengan kejadian berbahaya.

Sekarang ada Jingga, dia harus berpikir dalam-dalam. Seingatnya…. Gadis itu tidak bisa bela diri. Bagaimana kalau ada penembak liar atau orang gila yang menusuk sembarangan saat Shuji tidak ada…

Shuji belajar bela diri karate—mungkin dia bisa mengajarkan Jingga juga?

Meski dia jarang latihan, dia masih hafal dengan gerakannya. Mengajarkan gerakan bela diri sederhana tidaklah sulit.

Tapi untuk melatih insting bertahan hidup seseorang, lebih baik kalau melakukan simulasi membahayakan. Hanya saja, mustahil Shuji akan membiarkan Jingga dalam bahaya.

“Aku bisa mengajarkannya menembak… tapi ini tidak relevan. Dia kan tidak akan bawa pistol kemana-mana.” Tiba-tiba lampu di otak Shuji bersinar. “Atau aku bisa mengajak dia untuk main paintball. Simulasi di tempat, tidak berbahaya, dan bisa melatih gerakan seseorang—apalagi untuk menghindar.”

Shuji mengangguk-angguk di jalan menuju apartemennya. Kegiatan ini juga bisa menjadi kencan pertama mereka. Shuji merasa dia sungguh jenius!

“Aku coba ajak dia minggu ini.” Shuji membuka ponselnya dan mencari arena paintball terdekat.

Tempat yang muncul tidak jauh letaknya dari agrowisata yang pernah Shuji kunjungi. Wajah Shuji yang berseri seketika berubah suram. “Sungguh kebetulan.” Dia mencibir. Hampir saja Shuji lupa dengan topik ini.

Cemburu bergejolak dalam hatinya namun segera dia padamkan.

Dia baru mencapai kesepakatan dengan Jingga. Sekalipun Shuji ingin mengangkat topik ini, kalau Jingga balas menyenggol soal dirinya yang mengikuti perempuan itu saat jalan-jalan… sepertinya tidak worth it.

Shuji dengan berat hati harus melupakannya. Mungkin dia bisa menanyakan biodata pria itu setelah dirinya jauh lebih dekat dengan Jingga.

Untuk sekarang, dia hanya bisa sabar.

Tidak apa, nanti juga aku bisa kencan ke banyak tempat dengan Jingga.

Pikiran itu membuat Shuji mendapat ide baru. Sambil menyusun menu baru untuk artikelnya, dia bisa berkeliling daerah dan jalan-jalan dengan Jingga.

Mungkin inilah yang namanya cinta dan karir yang seimbang.

**

+8245XXX: Baik.

Jingga yang makan sendirian di ruang staf sedang menyaksikan reels di ponselnya. Tiba-tiba nomor asing muncul di notifikasi, mengiriminya pesan tidak jelas.

‘Baik? Baik apanya?’ Jingga bergerak untuk memblokir nomor tersebut, namun pesan baru menyusul.

+8145XXX: Maaf aku salah kirim.

+8145XXX: Ini aku, Shuji

Kalau pesan pertama membuat Jingga maklum, pesan kedua justru membuatnya curiga.

Tapi dia tidak bisa menjelaskan kecurigaan apa yang menyelusup di dadanya. Jemari lentik Jingga bergerak menyimpan nomor Shuji.

Jingga: Maaf aku lupa tidak punya nomormu.

Sementara tadi pagi Jingga bilang dia akan menghubungi Shuji kedepannya kalau ada sesuatu… Jingga jadi malu.

Shuji: Ah, iya. Aku juga lupa memberikanmu nomorku.

Shuji: Apa aku mengganggumu?

Jingga: Tidak, kok. Aku sedang istirahat makan siang.

Shuji: Ah.

Shuji: Kau tidak perlu membalas, biar aku saja yang kirim pesan.

Tawa Jingga lepas membaca pesan terakhir itu. Mana ada kirim pesan tapi cuma read doang sementara dua-duanya online?

Jingga geleng-geleng kepala dan segera membalas.

Jingga: Kenapa begitu?

Shuji: Aku tidak mau mengganggumu makan.

Shuji: Kalau baca saja kan tidak terlalu mengganggu…

Jingga menatap titik tiga di akhir balasan Shuji dan tertawa lagi. “Kenapa tidak berhenti kirim pesan saja sekalian?”

Jingga: Aku sudah selesai kok.

Setelah itu dia lanjut makan. Dia membalas demikian karena tidak ingin Shuji merasa tidak enak. Jingga sendiri tidak akan ada waktu untuk membalas saat jam kerja nanti.

Shuji: Oh, baguslah

Shuji: Jangan lupa minum air hangat, cuaca dingin

Jingga membalas dengan ‘iya’ singkat.

Dia pikir Shuji tidak akan membalas lagi, tapi  sistem menunjukan ‘mengetik..’ lama yang menjelaskan bahwa Shuji sedang menulis.

Shuji: Kau tahu di dekat area kita ada arena paintball, loh

Jingga berpikir beberapa detik. Dia membuka mesin telusur dan mencari tahu apa itu paintball. Seorang laki-laki mengenakan rompi dan pistol yang mengeluarkan peluru cat muncul di hasil pencarian.

"Ooh...," Dia pernah lihat sebenarnya, tapi dia tidak tahu apa nama permainan ini.

Jingga: Aku belum pernah main paintball

Sekalipun Jingga pergi ke arena, dia tidak akan bisa bermain, jadi lupakan saja.

Shuji: Aku pernah main paintball tapi sekarang sudah lupa

Shuji: Ne,

Shuji: Mau main kesana?

Jingga: Paintball?

Jingga: Aku takut pas main malah bikin malu

Shuji: Biasanya tidak ramai, asal di jadwal datangnya

Shuji: Sepi, kok, tempatnya.

Jingga menelan suapan terakhir dan merapikan kotak makannya dengan segera.

Jingga: Aku pikir-pikir dulu?

Shuji: Oke^^

Jingga tidak lagi membalas pesan dan bersiap untuk kembali kerja karena waktu istirahat hampir habis. Shuji sendiri tidak lagi mengirim pesan.

Di apartemennya, Shuji duduk di depan komputer. Di layar terpampang homepage arena paintball. Tanpa memikirkan balasan Jingga, Shuji langsung booking tempat untuk akhir minggu ini.

Setelah menulis artikel sepanjang pagi dan menentukan jadwal kencan mereka, Shuji tidak bisa menahan rasa senangnya. Dia melihat ke layar TV yang menunjukkan tembok apartemen Jingga. Dengan leluasa laki-laki itu mengambil alat dan berjalan ke apartemen sebelah.

Senandung dia dendangkan dan Shuji masuk dengan santainya. Shuji menutup pintu dan berdiri di posisi dimana kamera menangkap gambarnya dengan sempurna. Dia ingin merekam jejaknya yang berdiri di apartemen Jingga.

Shuji mengenakan sandal rumah Jingga yang berbulu lembut dan berkeliling ruangan dengan santainya.

“Hm, ternyata seperti ini kamarnya.” Shuji masih menilai dirinya sebagai gentleman, jadi dia hanya berdiri di muka pintu kamar. Merekam setiap sudut dan interior sebelum beralih ke ruang tengah dan sudut lain.

“Oh, aksesoris ini lucu juga.” Shuji mengangguk dua kali, berpikir dia bisa memasangnya karena sudut ini tidak akan terlihat dari pintu masuk. Di atas meja ruang tengah, terdapat toples kaca berisi permen. Shuji tidak pernah melihat produk ini di supermarket dan penasaran. Dia membuka toples, mengeluarkan satu permen dan menemukan di bungkusnya itu tertulis kalimat asing yang tidak dia mengerti.

“Kis-u?” Shuji membaca produk dan memeriksa bahwa setiap tulisan di belakangnya berbeda setiap permennya. Tanpa pikir panjang dia mengambil lima butir, memastikan toplesnya tidak terlihat berkurang sebelum keluar dari apartemen dengan puas.

“Rindu kamu.” Shuji membaca dengan tertatih dan membuka mesin telusur untuk menerjemahkannya.

“…Aitai?”

Shuji menahan senyum bibirnya dan menerjemahkan pesan di kelima permen itu. Kedua tangannya di bawa ke depan mulut, menutup seringai yang terkembang sementara wajahnya memerah tersipu.

Rasanya seakan dia menerima kalimat ini langsung dari Jingga.

Shuji menurunkan tangannya setelah reda dari euforia singkatnya dan tiba-tiba terpikir, dari mana Jingga mendapat permen ini? Kenapa dia membeli permen seperti ini?

Shuji menggigit bibirnya, merasa setengah menyesal. Sayang sekali dia tidak bisa bertanya langsung.

Mungkin dia bisa pura-pura haus benda manis, dan gantinya Jingga akan kasih permen ini.

Shuji membuka satu permen, menggigitnya langsung dan menempelkan bungkusnya di papan jadwal di tembok.

“Boku mo, aitai desu.” Shuji berbisik pada bungkus permen itu, seakan membalas pesan cinta.

Episodes
1 1. Semua harus ada Goal
2 2. Beginikah Caranya?
3 3. Anti-Parasitisme
4 4. Transisi
5 5. Kusut
6 6. Aku Lebahnya, Yang Lain Kecoak.
7 7. Tidak Sadar
8 8. Penjaga
9 9. Bukan Level
10 10. Gadis Bayangan
11 11. Sedih dan Senang
12 12. Kejar?
13 13. Resolusi
14 14. Untuk Bersama
15 15. Malu? Apa itu malu.
16 16. Yuk main yuk
17 17. Tangkap dan Lepaskan
18 18. Cerita seseorang
19 19. Sweet Time
20 20. Teh Manis
21 21. Berita
22 22. Tik, tok, tik, tok
23 23. Gimana lagi lah ya
24 24. Sudah kuduga
25 25. Akar yang rusak
26 26. Angin
27 27. Bakti
28 28. Sakura
29 29. Clean N Clear
30 30. WAKIL
31 31. Selamat Tinggal
32 32. Hibernasi
33 33. Keringat
34 34. Masih rahasia?
35 35. Rahasia lama
36 36. Mengambang
37 37. Jujur
38 38. Terbuka
39 39. Want You
40 40. Bersedia
41 41. Mother
42 42. Ay
43 43. Debut
44 44. Tidak Seperti Harapan
45 45. Asing
46 46. Siapa tahu
47 47. Bagi-bagi
48 48. Househusband
49 49. Cantik
50 50. Sampai
51 51. Kenanganmu
52 52. Rencana Karir
53 53. RadioOnPod
54 54. Gak usah lama lama pisahnya
55 55. Punya Anak
56 56. Ryu
57 57. #YukNikahSamaOrangJ
58 58. Dicegat
59 59. Jadi CEO mau ga?
60 60. Istirahat
61 61. Tahun Baru
62 HARI INI ABSEN
63 62. Saingan
64 63. Ikan Asin
65 64. Agenda
66 65. Bergerak ke Depan
67 66. Seumuran
68 67. Perselisihan
69 68. Noda
70 69. Nee San
71 TANTANGAN BACA kalian ngerti gak
72 70. Obrolan Gak Perlu
73 71. No more
74 72. Kunjungan
75 73. Bergetar
76 74. Diskusi
Episodes

Updated 76 Episodes

1
1. Semua harus ada Goal
2
2. Beginikah Caranya?
3
3. Anti-Parasitisme
4
4. Transisi
5
5. Kusut
6
6. Aku Lebahnya, Yang Lain Kecoak.
7
7. Tidak Sadar
8
8. Penjaga
9
9. Bukan Level
10
10. Gadis Bayangan
11
11. Sedih dan Senang
12
12. Kejar?
13
13. Resolusi
14
14. Untuk Bersama
15
15. Malu? Apa itu malu.
16
16. Yuk main yuk
17
17. Tangkap dan Lepaskan
18
18. Cerita seseorang
19
19. Sweet Time
20
20. Teh Manis
21
21. Berita
22
22. Tik, tok, tik, tok
23
23. Gimana lagi lah ya
24
24. Sudah kuduga
25
25. Akar yang rusak
26
26. Angin
27
27. Bakti
28
28. Sakura
29
29. Clean N Clear
30
30. WAKIL
31
31. Selamat Tinggal
32
32. Hibernasi
33
33. Keringat
34
34. Masih rahasia?
35
35. Rahasia lama
36
36. Mengambang
37
37. Jujur
38
38. Terbuka
39
39. Want You
40
40. Bersedia
41
41. Mother
42
42. Ay
43
43. Debut
44
44. Tidak Seperti Harapan
45
45. Asing
46
46. Siapa tahu
47
47. Bagi-bagi
48
48. Househusband
49
49. Cantik
50
50. Sampai
51
51. Kenanganmu
52
52. Rencana Karir
53
53. RadioOnPod
54
54. Gak usah lama lama pisahnya
55
55. Punya Anak
56
56. Ryu
57
57. #YukNikahSamaOrangJ
58
58. Dicegat
59
59. Jadi CEO mau ga?
60
60. Istirahat
61
61. Tahun Baru
62
HARI INI ABSEN
63
62. Saingan
64
63. Ikan Asin
65
64. Agenda
66
65. Bergerak ke Depan
67
66. Seumuran
68
67. Perselisihan
69
68. Noda
70
69. Nee San
71
TANTANGAN BACA kalian ngerti gak
72
70. Obrolan Gak Perlu
73
71. No more
74
72. Kunjungan
75
73. Bergetar
76
74. Diskusi

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!