Shuji mengawali paginya dengan roti panggang dan kopi. Jendela apartemennya di buka dan dari luar siulan burung bersahutan mengiringi. Sambil mendengarkan kesibukan suara di apartemen sebelah, Shuji menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya yang tidak banyak dan menatap tumpukan baju yang sudah dia lipat dengan rapi—tidak pernah dia seproduktif ini. Dia berjalan ke balkon untuk memeriksa tanamannya, di saat yang sama seekor burung terbang berlalu dan buang kotoran.
Shuji tersenyum kearah burung dan melap bekas kotorannya dengan hati damai. Bila cuaca petir menggelegar sekalipun, Shuji tidak akan pernah marah.
Mood-nya sejak dia membuka mata hari ini tidak bisa di gambarkan dengan kata-kata. Setiap yang dia lihat seperti memancarkan keindahan. Bahkan kecoak yang lewat pun, dia masih bisa tersenyum.
“Imutnya..,” Shuji berjongkok menyaksikan kecoak yang sekarat disemprot pestisida. Dengan serius dia membawa kecoak yang sudah mati itu dan menguburnya di pot kosong di balkon. “Semoga lain kali kau tidak lahir jadi kecoa.” Shuji berdoa dengan serius.
Shuji pergi mandi dan memilih pakaian santai hangat lalu beranjak keluar apartemen. Dia langsung bertemu dengan Jingga yang bersiap berangkat kerja.
“Kenapa tidak memanggilku?” Shuji mengerutkan kening dan keduanya jalan bersama menuju lift. Tentu saja dia hanya akting, sejak awal, dia tahu Jingga hendak berangkat.
“Memanggilmu…, kenapa?”
“Huh.” Shuji memalingkan wajahnya. “Aku bisa mengantarmu ke halte.”
Jingga mengerjapkan bulu matanya. “Tapi halte sangat dekat.”
“Aku antar ke tempat kerja kalau begitu?”
“Jangan konyol.”
“Hmp.”
Jingga mengabaikan protesan itu dan masuk ke lift. Jingga berdiri, menunggu dan menunggu, tapi dia lama-lama tidak bisa menahan diri.
“Kau, bisa tidak berhenti melakukan itu.”
“Memangnya aku berbuat apa?” Shuji menarik sebelah alisnya halus.
Laki-laki di sampingnya terus saja mendengus ‘hmp’, ‘hmp’ tanpa henti sekalipun sudah keluar gedung. Kalau saja ini orang lain…
Tapi yang di bicarakan ini Shuji, Jingga selalu bisa memaklumi. “Kau tidak lelah mendengus terus?”
“Hmph!”
“…..” Jingga berpikir lama sebelum mengusulkan. “Baiklah, nanti aku akan beritahu kalau aku berangkat kerja?”
“….” Shuji melirik dari ekor matanya. “Kau bisa tekan bel apartemenku.”
Meski Jingga setuju untuk coba mengenal Shuji lebih dekat, bukan berarti dia bisa langsung berinteraksi begitu dekatnya.
“Kan ada ponsel, nanti aku SMS.” kata Jingga akhirnya.
Shuji mengiyakan beberapa menit setelah berpikir—dia merasa mengirim pesan tidak sebagus bertemu langsung.
Hanya kali ini Jingga tidak peduli dengan perasaan Shuji. Kenapa juga gadis itu harus menyamper seseorang hanya untuk di antar ke halte?
Jingga menyipitkan matanya menatap ke ujung jalan, kalau dia terus-terusan mengalah, semisal Shuji benar-benar mengantarnya ke tempat kerja setiap hari bagaimana?
Meski ada manis-manisnya, agak cringe untuk di bayangkan. Bahkan anak SD di sini berangkat dan pulang sekolah sendirian. Shuji tidak bekerja di tempat yang sama dengannya, jadi mustahil Jingga akan melakukan itu.
“Makan siangmu bagaimana?” tanya Shuji tiba-tiba.
Di sekeliling mereka penumpang mulai berdatangan dan berdiri di sekitar halte.
“Aku bawa bekal.” Balas Jingga.
“Termos minum, bawa?”
“Em, aku buat air madu jahe seperti yang kau bawa kemarin.”
“Harusnya kau pakai syal.”
“Ah? Tidak apa-apa. Pagi hari tidak terlalu dingin. Malam juga aku di luar hanya sebentar…” Jingga tidak sempat menyelesaikan kalimatnya saat syal di pasangkan di lehernya.
Shuji yang keluar mengenakan syal kini membiarkan lehernya tertiup angin musim kemarau. Di depannya, jakun Shuji bergetar--Jingga segera menurunkan pandangannya dan berusaha fokus ke jari-jari Shuji yang bergerak melilitkan syal.
Dalam hati perempuan itu berpikir, kenapa lama sekali padahal hanya memasangkan syal?
“Sudah mendekati musim dingin, udara akan semakin dingin. Apalagi kau sedang batuk, kan.” Shuji menghela napas lelah. “Kenapa kau ceroboh seperti ini.”
“Indahnya masa muda.” Celetuk suara tua di dekat keduanya tiba-tiba.
Jingga menoleh ke asal suara dan menunduk menyadari sepasang orang tua duduk dan memperhatikan mereka berdua.
“Senangnya jadi pasangan muda.” Kata si nenek. “Waktu dulu aku juga begitu kan.”
Si kakek di sampingnya mengangguk. “Persis seperti kita waktu dulu.”
“Bus-nya sudah datang,” kata Shuji menarik kembali perhatian Jingga.
Melihat bus jurusannya datang, Jingga menghela napas lega dan melirik Shuji cepat. “Kau tidak dengar apa kata orang tua itu tadi?”
“Hm? Memangnya mereka bilang apa?”
“Mereka bilang—”
“Bus-nya kelihatan penuh, cepat masuk, nanti tidak kebagian kursi.” Shuji mendorong pelan punggung Jingga. Ketika jari panjang Shuji menyentuh punggungnya, panas seperti mengalir menuju kulitnya langsung yang membuat Jingga kaku. Mulutnya berhenti bicara dan dia cuma bisa mengikuti arus penumpang untuk masuk ke dalam bus. Dia mengambil kursi di sisi jendela dan menatap keluar.
Shuji melambaikan tangan kearahnya. Meski suhu dingin tidak terhapus oleh hangat matahari, sinarnya masih menyilaukan ketika berpapasan dengan wajah Shuji.
Diam-diam Jingga melekatkan syal di lehernya, samar-samar aroma maskulin tercium. Menyegarkan sekaligus menenangkannya. Dengan ragu, Jingga membalas lambaian tangan itu, memancing senyum berseri dari laki-laki di luar.
Shuji menyaksikan bus menghilang di belokan.
Sekelompok anak sekolah berlalu dengan penuh semangat, menambah keceriaan.
Shuji berbalik menuju stan ubi bakar.
“Anak muda, pacarmu mana?” tanya Takemi, penjual rutin stan ubi bakar. Biasanya saat dia tidak bekerja, istrinya atau anaknya akan menggantikannya.
Hari masih pagi dan kebanyakan orang yang mampir ke stan tidak akan berdiri diam dan basa-basi. Mereka biasanya membeli ubi yang sudah jadi dan langsung pergi. Di tambah, orang tidak makan ubi bakar setiap hari.
Hanya beberapa saja yang selalu mampir ke stan setiap hari, meski waktunya tidak selalu sama. Shuji adalah salah satunya.
Pemuda di depannya menerima ubi bakar yang baru matang dan menggigit sesuap sebelum menjawab. “Sudah berangkat kerja.”
“Pantas saja kau sendirian.” Takemi membalikkan ubi sambil lanjut mengobrol ringan.
[…aksi penembakan liar yang terjadi di Area F menewaskan dua orang dan menyebabkan kepanikan masal..]
Telinga Shuji yang damai langsung berubah tajam begitu menangkap berita yang sedang di siarkan di radio. Takemi yang masih berceloteh saat itu juga ikut diam mendengarkan sampai berita selesai.
“… Akhir-akhir ini berita yang muncul selalu tidak mengenakkan.” Gumam Takemi. Ikat kepalanya dia longgarkan sebelum di pasang ulang. “Area F ada di kota sebelah tapi sebenarnya tidak jauh dari sini kan. Tinggal naik kereta, pelaku itu bisa sampai kemari.” Penjual ubi itu mengisi ulang arang. “Ah, aku ini bicara apa, sih.” Dia lalu beralih ke Shuji dan minta maaf.
“Tidak, memang sudah seharusnya kita berhati-hati.” Shuji menghabiskan potongan ubinya yang terakhir. “Bukankah kemarin juga baru ada penangkapan di area ini?” kata Shuji, mengangkat kembali berita penguntit yang berhasil di tangkap beberapa waktu lalu.
“Kau benar. Aku akan mengunjungi kuil minggu ini untuk minta perlindungan.”
Shuji hanya menarik senyum dan tiba-tiba terlintas di pikirannya. Apa Tuhannya Jingga punya kuil juga?
Haruskah aku mengunjunginya?
Meksi dia bukan orang yang supertisius, tapi biasanya dia pergi ke kuil dan berdoa setiap tahun baru.
Tapi siapa nama Tuhannya Jingga? Mungkinkah Tuhannya Jingga adalah Dewa juga seperti yang sudah ada?
“Tambah lagi, anak muda?” suara Takemi membuyarkan lamunan Shuji. Penjual itu menawarkan ubi bakar baru yang di tolak Shuji karena sebetulnya dia sudah sarapan.
Shuji pamit dan memutuskan untuk pulang. Tapi apa gunanya menyembah? Mau ke kuil mana pun, tidak akan bisa menyelamatkan diri dari bahaya.
Tentu saja, opini ini lahir berdasarkan pemikiran Shuji. Karena dia tidak pernah mengalami pengalaman menakjubkan atau sesuatu yang ajaib. Setiap kesulitan yang dia alami, dia selesaikan dengan kekuatan dan usahanya sendiri.
Ditambah berita di radio barusan cukup membuatnya khawatir. Doa membuat orang jadi berani dan yakin, tapi hal itu tidak membantunya menghindari dari bahaya.
Kalau sendirian, tidak akan Shuji menghubungkan dirinya dengan kejadian berbahaya.
Sekarang ada Jingga, dia harus berpikir dalam-dalam. Seingatnya…. Gadis itu tidak bisa bela diri. Bagaimana kalau ada penembak liar atau orang gila yang menusuk sembarangan saat Shuji tidak ada…
Shuji belajar bela diri karate—mungkin dia bisa mengajarkan Jingga juga?
Meski dia jarang latihan, dia masih hafal dengan gerakannya. Mengajarkan gerakan bela diri sederhana tidaklah sulit.
Tapi untuk melatih insting bertahan hidup seseorang, lebih baik kalau melakukan simulasi membahayakan. Hanya saja, mustahil Shuji akan membiarkan Jingga dalam bahaya.
“Aku bisa mengajarkannya menembak… tapi ini tidak relevan. Dia kan tidak akan bawa pistol kemana-mana.” Tiba-tiba lampu di otak Shuji bersinar. “Atau aku bisa mengajak dia untuk main paintball. Simulasi di tempat, tidak berbahaya, dan bisa melatih gerakan seseorang—apalagi untuk menghindar.”
Shuji mengangguk-angguk di jalan menuju apartemennya. Kegiatan ini juga bisa menjadi kencan pertama mereka. Shuji merasa dia sungguh jenius!
“Aku coba ajak dia minggu ini.” Shuji membuka ponselnya dan mencari arena paintball terdekat.
Tempat yang muncul tidak jauh letaknya dari agrowisata yang pernah Shuji kunjungi. Wajah Shuji yang berseri seketika berubah suram. “Sungguh kebetulan.” Dia mencibir. Hampir saja Shuji lupa dengan topik ini.
Cemburu bergejolak dalam hatinya namun segera dia padamkan.
Dia baru mencapai kesepakatan dengan Jingga. Sekalipun Shuji ingin mengangkat topik ini, kalau Jingga balas menyenggol soal dirinya yang mengikuti perempuan itu saat jalan-jalan… sepertinya tidak worth it.
Shuji dengan berat hati harus melupakannya. Mungkin dia bisa menanyakan biodata pria itu setelah dirinya jauh lebih dekat dengan Jingga.
Untuk sekarang, dia hanya bisa sabar.
Tidak apa, nanti juga aku bisa kencan ke banyak tempat dengan Jingga.
Pikiran itu membuat Shuji mendapat ide baru. Sambil menyusun menu baru untuk artikelnya, dia bisa berkeliling daerah dan jalan-jalan dengan Jingga.
Mungkin inilah yang namanya cinta dan karir yang seimbang.
**
+8245XXX: Baik.
Jingga yang makan sendirian di ruang staf sedang menyaksikan reels di ponselnya. Tiba-tiba nomor asing muncul di notifikasi, mengiriminya pesan tidak jelas.
‘Baik? Baik apanya?’ Jingga bergerak untuk memblokir nomor tersebut, namun pesan baru menyusul.
+8145XXX: Maaf aku salah kirim.
+8145XXX: Ini aku, Shuji
Kalau pesan pertama membuat Jingga maklum, pesan kedua justru membuatnya curiga.
Tapi dia tidak bisa menjelaskan kecurigaan apa yang menyelusup di dadanya. Jemari lentik Jingga bergerak menyimpan nomor Shuji.
Jingga: Maaf aku lupa tidak punya nomormu.
Sementara tadi pagi Jingga bilang dia akan menghubungi Shuji kedepannya kalau ada sesuatu… Jingga jadi malu.
Shuji: Ah, iya. Aku juga lupa memberikanmu nomorku.
Shuji: Apa aku mengganggumu?
Jingga: Tidak, kok. Aku sedang istirahat makan siang.
Shuji: Ah.
Shuji: Kau tidak perlu membalas, biar aku saja yang kirim pesan.
Tawa Jingga lepas membaca pesan terakhir itu. Mana ada kirim pesan tapi cuma read doang sementara dua-duanya online?
Jingga geleng-geleng kepala dan segera membalas.
Jingga: Kenapa begitu?
Shuji: Aku tidak mau mengganggumu makan.
Shuji: Kalau baca saja kan tidak terlalu mengganggu…
Jingga menatap titik tiga di akhir balasan Shuji dan tertawa lagi. “Kenapa tidak berhenti kirim pesan saja sekalian?”
Jingga: Aku sudah selesai kok.
Setelah itu dia lanjut makan. Dia membalas demikian karena tidak ingin Shuji merasa tidak enak. Jingga sendiri tidak akan ada waktu untuk membalas saat jam kerja nanti.
Shuji: Oh, baguslah
Shuji: Jangan lupa minum air hangat, cuaca dingin
Jingga membalas dengan ‘iya’ singkat.
Dia pikir Shuji tidak akan membalas lagi, tapi sistem menunjukan ‘mengetik..’ lama yang menjelaskan bahwa Shuji sedang menulis.
Shuji: Kau tahu di dekat area kita ada arena paintball, loh
Jingga berpikir beberapa detik. Dia membuka mesin telusur dan mencari tahu apa itu paintball. Seorang laki-laki mengenakan rompi dan pistol yang mengeluarkan peluru cat muncul di hasil pencarian.
"Ooh...," Dia pernah lihat sebenarnya, tapi dia tidak tahu apa nama permainan ini.
Jingga: Aku belum pernah main paintball
Sekalipun Jingga pergi ke arena, dia tidak akan bisa bermain, jadi lupakan saja.
Shuji: Aku pernah main paintball tapi sekarang sudah lupa
Shuji: Ne,
Shuji: Mau main kesana?
Jingga: Paintball?
Jingga: Aku takut pas main malah bikin malu
Shuji: Biasanya tidak ramai, asal di jadwal datangnya
Shuji: Sepi, kok, tempatnya.
Jingga menelan suapan terakhir dan merapikan kotak makannya dengan segera.
Jingga: Aku pikir-pikir dulu?
Shuji: Oke^^
Jingga tidak lagi membalas pesan dan bersiap untuk kembali kerja karena waktu istirahat hampir habis. Shuji sendiri tidak lagi mengirim pesan.
Di apartemennya, Shuji duduk di depan komputer. Di layar terpampang homepage arena paintball. Tanpa memikirkan balasan Jingga, Shuji langsung booking tempat untuk akhir minggu ini.
Setelah menulis artikel sepanjang pagi dan menentukan jadwal kencan mereka, Shuji tidak bisa menahan rasa senangnya. Dia melihat ke layar TV yang menunjukkan tembok apartemen Jingga. Dengan leluasa laki-laki itu mengambil alat dan berjalan ke apartemen sebelah.
Senandung dia dendangkan dan Shuji masuk dengan santainya. Shuji menutup pintu dan berdiri di posisi dimana kamera menangkap gambarnya dengan sempurna. Dia ingin merekam jejaknya yang berdiri di apartemen Jingga.
Shuji mengenakan sandal rumah Jingga yang berbulu lembut dan berkeliling ruangan dengan santainya.
“Hm, ternyata seperti ini kamarnya.” Shuji masih menilai dirinya sebagai gentleman, jadi dia hanya berdiri di muka pintu kamar. Merekam setiap sudut dan interior sebelum beralih ke ruang tengah dan sudut lain.
“Oh, aksesoris ini lucu juga.” Shuji mengangguk dua kali, berpikir dia bisa memasangnya karena sudut ini tidak akan terlihat dari pintu masuk. Di atas meja ruang tengah, terdapat toples kaca berisi permen. Shuji tidak pernah melihat produk ini di supermarket dan penasaran. Dia membuka toples, mengeluarkan satu permen dan menemukan di bungkusnya itu tertulis kalimat asing yang tidak dia mengerti.
“Kis-u?” Shuji membaca produk dan memeriksa bahwa setiap tulisan di belakangnya berbeda setiap permennya. Tanpa pikir panjang dia mengambil lima butir, memastikan toplesnya tidak terlihat berkurang sebelum keluar dari apartemen dengan puas.
“Rindu kamu.” Shuji membaca dengan tertatih dan membuka mesin telusur untuk menerjemahkannya.
“…Aitai?”
Shuji menahan senyum bibirnya dan menerjemahkan pesan di kelima permen itu. Kedua tangannya di bawa ke depan mulut, menutup seringai yang terkembang sementara wajahnya memerah tersipu.
Rasanya seakan dia menerima kalimat ini langsung dari Jingga.
Shuji menurunkan tangannya setelah reda dari euforia singkatnya dan tiba-tiba terpikir, dari mana Jingga mendapat permen ini? Kenapa dia membeli permen seperti ini?
Shuji menggigit bibirnya, merasa setengah menyesal. Sayang sekali dia tidak bisa bertanya langsung.
Mungkin dia bisa pura-pura haus benda manis, dan gantinya Jingga akan kasih permen ini.
Shuji membuka satu permen, menggigitnya langsung dan menempelkan bungkusnya di papan jadwal di tembok.
“Boku mo, aitai desu.” Shuji berbisik pada bungkus permen itu, seakan membalas pesan cinta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments