Di sebuah ruang gelap, tiada suara tiada udara. Didalamnya hanya ada kebisuan dan rasa sesak. Ruangan itu pelan-pelan bergerak, terdistorsi seperti ada yang merobek dimensi. Shuji berdiri di tengah-tengah ruangan memasang tangan dan kakinya yang terpisah, kemudian melepasnya lagi. Di apartemennya, meja dan kursi terbalik, beberapa menempel di dinding seakan dilekatkan dengan sesuatu.
Di pojok ruangan terdapat sampah makanan dengan ulat dan belatung sebesar kepalan tangan, tapi belatung itu seperti memiliki poros sendiri dan fokus di tempat masing-masing.
Shuji yang sibuk bongkar-pasang badannya berpikir, ah, beginilah mati yang ideal. Meski sehancur apa pun badannya, dia tidak merasakan sakit.
Seandainya kematian itu ada trial-dan-error-nya, Shuji bisa memilih untuk hidup atau mati dan mempertimbangkan mana yang lebih baik.
Dia menoleh kebelakang saat terdengar bunyi bel. Pintu apartemennya yang muncul tiba-tiba berayun terbuka perlahan.
Disana berdiri seorang perempuan. Memakai syal di kepalanya juga celana dan lengan panjang. Perempuan itu menarik kaos seorang pria yang berdiri di sampingnya. Dilihat-lihat, kedua pasangan itu ternyata mengenakan baju couple.
Lalu keduanya saling menyuapi gorengan.
“!!”
Shuji membuka matanya tersentak dan menarik napas dalam-dalam. Keringat muncul di peluhnya.
“Sial.” Mimpi yang sungguh mengerikan.
Shuji beranjak mencuci mukanya lalu menatap pantulan wajahnya dalam-dalam.
“Beraninya mahluk gaib itu makan gorengan…” buatan Manis. Shuji mengeritkan giginya. Pakai baju couple lagi.
Tidak, dia tidak percaya Jingga punya pacar. Perempuan itu? Punya pacar? Haha. Mungkin kalau kiamat baru ada yang mau.
Selain dirinya, siapa yang mau bersama perempuan itu?
Shuji, kau gila? Tentu saja banyak di luar sana yang mengagumi Manis. Ini perempuan yang kau suka, ingat?
Shuji menggelengkan kepala menghentikan pikiran-pikiran itu. Ini pasti akibat karena dia begadang kemarin, yang mana memancing alam bawah sadar dan ketakutannya saat dia tidur.
Tapi siapa sosok yang Shuji lihat bersama perempuan itu? Sungguh membuatnya frustasi.
--
Minggu ini Jingga kerja shift siang.
Pukul sebelas pagi, Shuji sudah berdiri diantara sayur-mayur di supermarket. Hari ini Shuji mengenakan sweater hijau netral berkerah panjang dan celana hitam. Poninya dibiarkan jatuh menutupi alis dengan ujungnya sedikit keriting.
Tema penampilannya hari ini adalah fuwa-fuwa.
Saat itu seorang pelanggan mengambil spot di sampingnya. Shuji bergeser sambil berpikir akan pakai baju warna apa Jingga hari ini. Kalau ternyata mereka pakai baju dengan warna sama, pasti takdir.
Kita ditakdirkan bersama. Shuji berpikir senang.
Orang disampingnya bergeser sekali lagi ke arahnya, membuat Shuji mengambil langkah terang-terangan untuk pindah ke sisi sebelah.
“Ano…”
Sayangnya orang itu tidak mengerti kenapa Shuji menjauh.
“Mamaku minta untuk masak lobak..,” perempuan dengan suara menyebalkan itu berceloteh a—i—u—entahlah. Tidak cukup sampai disana, perempuan itu melirik isi keranjang Shuji yang sudah diisi beragam bahan.
*Dasar tak beretika. *Shuji mendesis dalam hati.
Dia tidak menangkap kata-kata yang diucapkan si perempuan. Melirik sekelilingnya, dia menemukan Jingga masuk ke dalam supermarket. Perasaan kesal Shuji lenyap seketika. Sayangnya, dia tertahan dengan hantu wanita di sampingnya.
“Menurutmu sayur ini bagus?”
Shuji menarik napas pendek dan menatap sinis. Kalau bisa dia sebenarnya tidak ingin memandang sama sekali.
Jelek banget. Kenapa bisa ada manusia sejelek ini. Shuji pikir matanya perlu di cuci.
Dia berpaling dan melihat sosok yang dinanti berjalan mendekat ke area sayuran dimana Shuji berdiri, rasanya udara sekeliling seperti berubah segar.
“Hai.” Jingga melambaikan tangan. Shuji menganggukkan kepala dan berniat untuk mengobrol. Namun dia menangkap gelagat Jingga yang matanya menatap Shuji dan hantu di sampingnya bergantian.
Dengan tatapan penuh arti Jingga mengangguk-angguk. Tatapan itu seperti menyemangati.
Apa maksudnya? Wajah Shuji berubah muram saat Jingga berlalu ke bagian lain.
“Ano…”
“Apa?” sialnya hidupku. Tangan Shuji gatal ingin menusuk sayur di depannya begitu melihat sosok Jingga semakin jauh. Padahal dia ada kesempatan untuk mengobrol. Jingga pasti belum puas melihat ketampanan dirinya.
“Menurutmu….”
Shuji tidak menunggu perempuan itu menyelesaikan kata-katanya dan menahan salah satu pegawai supermarket yang lewat.
“Perempuan ini belanja untuk pertama kalinya dan dia tidak bisa membedakan mana bawang dan buah. Kau tolong bantu dia, ya. Jelaskan. Serinci. Mungkin.” Setelah berkata demikian Shuji berbalik pergi untuk mengambil telur.
Dia masih beruntung hari ini, karena Jingga mengantre di belakangnya. Mereka berdiri di jalur kasir yang sama.
Shuji menahan diri untuk tidak bersenandung.
Selesai dihitung belanjaannya, Shuji tidak langsung pergi melainkan menunggu sampai Jingga selesai.
Tanpa kata keduanya pulang bersama.
“Hei, kau…. Itu,”
“Apa?”
“Itu, perempuan tadi masih memperhatikanmu.” Kata Jingga. Kalau keduanya berbalik, mereka akan melihat wanita yang tadi menempeli Shuji sedang berjinjit demi menangkap sosok Shuji.
“Bahkan waktu mengantre perempuan itu terus melirik kearahmu!”
“Hah?” perempuan? Shuji tidak repot melihat sekeliling dan hanya menatap Jingga dengan serius. Kan kau perempuan?
Shuji bingung.
“Kau tahu, perempuan yang tadi mengobrol denganmu waktu di supermarket. Dia manis sekali.”
Shuji diam beberapa saat untuk berpikir. Mungkinkah yang dimaksud adalah hantu itu? “Benarkah?”
“Kau sungguhan tidak tahu atau pura-pura? Waktu aku lewat wangi parfumnya sangat enak.”
Mendengar itu Shuji mengerutkan kening. Dia tidak tahu seperti apa bau hantu itu. Tapi sudah pasti parfum yang dia pakai lebih harum, kan?
“Bagaimana denganku?”
“Apanya?”
Shuji mengulurkan lengan panjangnya yang terbalut sweater ke depan hidung Jingga, tepat dimana dia menyemprot parfumnya.
Jingga mengerjapkan matanya dan melirik Shuji gugup sebelum mengendus hati-hati.
“Ooh, ini parfum-mu, ternyata.” Kata-kata Jingga tergagap; bukan pertanyaan atau rasa heran. Lebih seperti reaksi setelah menemukan jawaban dari sebuah misteri.
Shuji memutar otaknya cepat. Parfum ini dia pesan custom. Mungkinkan ada orang lain yang memakainya juga?
“Kenapa memangnya?” Shuji memperhatikan setiap raut wajah Jingga.
“Oh, bukan. Kadang…. Kadang waktu naik lift atau lewat depan kamar apartemenmu, aku bisa cium wangi-wangian. Aku kira pengharum ruangan di lorong atau sejenisnya. Ditambah wanginya enak.” Jingga berkata sedikit malu. “Aku hampir saja mau minta rekomendasi ke tukang bersih-bersih lorong… “
Shuji memalingkan wajahnya sambil menggulung senyum. Dia menahan senyumnya untuk tidak merekah. Memikirkan Jingga diselimuti parfum yang dia pakai, Shuji harus menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya.
“Begitukah, aku tidak sadar.” Kata Shuji mengatur nada suaranya.
“Tapi iya, sih. Kita kan jalan bareng, nih. Aku tidak mencium wangi khusus meskipun kita berjalan bersama-sama. Makannya aku tidak sadar ini wangimu.”
Mendengar ulasan membahagiakan itu, Shuji berniat untuk tidak pindah toko parfum.
“Aku membelinya di toko khusus kalau kau mau tahu." Mata Shuji berbinar sedetik kemudian. "Oh, atau daripada beli duluan, bagaimana kalau coba dulu?”
“Maksudnya?”
“Aku beli lebih dari satu jenis parfum, dan yang lain masih belum di pakai.” Kata Shuji. Dalam hati memberi high-five atas idenya. Semua parfum kustom yang dia beli dia pilih sendiri.
“Ah? Mana boleh begitu?” Jingga mengerutkan keningnya. Melihat tanda-tanda Jingga akan menolak, Shuji berkata dengan cepat. “Parfum itu tidak cocok untuk laki-laki. Jadi dibiarkan pun tidak akan terpakai. Tidak tahu harus di apakan.”
“Hmmmm.”
“Sambil lewat coba saja dulu.”
“Mana boleh begitu, aku beli saja gimana?”
Shuji menyadari Jingga enggan menerima pemberian yang terkesan mahal dan elegan secara cuma-cuma.
“Dengan kau yang memanfaatkan parfum itu, sudah sangat membantuku.” Shuji berdehem. “Aku tidak mau menerima uangmu… Kau… buatkan saja aku gorengan.”
“Hah?”
Entah dimana yang aneh, Jingga membulatkan matanya lalu tertawa, seperti mendengar ada yang lucu.
“Kenapa?”
“Aneh saja kau meminta gorengan…”
“Kenapa dengan gorengan memangnya?” Shuji memikirkan sosok yang muncul di mimpinya sebelumnya. Kekesalannya muncul kembali. “Aku cuma terima bayaran berupa gorengan.” Shuji bersikeras.
“Haha, oke, gorengan kalau begitu….” Sudah sejauh ini, bagaimana mungkin Jingga tidak melihat kalau Shuji bersikeras untuk memberikannya parfum? Dia akhirnya menerima dengan barter meski tidak setimpal.
Keduanya memasuki gedung apartemen.
---
Shuji menarik napas panjang di teras dan langsung merasa seperti diberkati. Barusan Jingga menerima parfum pemberiannya, dan saat di coba, Shuji menyemprotkannya di depan pintu apartemen sebagai tester dan baunya sampai ke dalam.
Berpikir bahwa mereka kini memakai parfum dari sumber yang sama… mungkin ini yang namanya couple item?
“Hahahaha!!” Shuji tertawa lepas menuju dapur. Sayang sekali dia tidak bisa memberikan parfum miliknya sendiri... Jingga sudah pasti tidak akan menerimanya. Tak apa, dia hanya perlu maju pelan-pelan.
Di masa depan, mungkin bukan parfumnya saja yang di pakai. Jingga mungkin akan pakai kaos panjangnya sebagai pengganti piyama dan....
Selama masak makan siangnya kali itu Shuji bersenandung; berimajinasi ini dan itu. Mood baiknya bertahan sampai Jingga mengantarkan gorengan dan berangkat kerja.
Menatap kepergian Jingga lewat binokularnya, Shuji mulai merasa tidak puas. Dia duduk di depan komputer dan mengunjungi profil perusahaan tempat Jingga bekerja. Melihat barangkali ada lowongan.
Dia menghubungi nomor yang tertera.
“Hai, moshi-moshi?” suara perempuan terdengar di seberang.
“Halo, saya ingin tanya soal lowongan staf yang tersedia di pantijompo…”
“Ah, iya. Lowongannya sudah penuh, untuk saat ini tidak tersedia..,”
“Baiklah kalau begitu. Terimakasih banyak.”
Shuji menghela napas panjang dan menutup telepon. Meskipun dia bekerja di tempat yang sama, bukan berarti jadwal kerjanya akan sama dengan Jingga.
Shuji melupakan untuk kerja di tempat yang sama. Sebenarnya dia kurang suka juga sih berurusan dengan orang tua.
Tapi seandainya lowongan tersedia dan dia bisa satu shift kerja dengan Jingga, dia akan langsung melamar.
Shuji memeriksa pesanan minicam-nya sebelum lanjut menulis artikel sepanjang siang itu. Dia pikir dia akan makan malam dengan sisa makan siang barusan...
Cklak.
Shuji masih mengetik, beberapa saat kemudian jarinya berhenti bergerak. Selama ini dia tidak pernah menyalakan tv atau mendengarkan musik karena dia khawatir akan melewatkan datang dan pergi-nya Jingga. Jadi ketika ada suara pintu yang akrab itu, Shuji diam sesaat.
Meski samar, dia yang tinggal bersebelahan dengan Jingga sudah hafal. Suara itu datangnya dari arah pintu apartemen Jingga.
Shuji melangkah lebar dan membuka pintu sebelum melihat lorong yang kosong. Mungkinkah dia salah dengar? Meski begitu Shuji tetap ingin memastikan.
Dia mengenakan sandalnya dan mengecek pintu apartemen Jingga. Pelan-pelan tangannya bergerak menyentuh kenop pintu.
Clak.
Dengan gerakan yang sangat hati-hati, kenop berputar dan pintu terbuka.
Saat itu, amarah dingin menyelimuti Shuji. Aura disekelilingnya berubah suram.
Siapa? Siapa yang berani masuk ke dalam? Mata Shuji melotot seakan bisa menembus pintu kepada siapa pun yang sedang berada di dalam. Kalau bisa memancarkan laser, semua benda di hadapannya sudah akan hangus.
Hanya logikanya saja yang masih menahan Shuji untuk bersikap gegabah.
Dia menutup kembali pintu perlahan, sebelum kembali ke apartemennya tanpa suara.
Sudah lewat empat jam dari waktu Jingga berangkat, sudah pasti siapapun yang menerobos masuk itu bukan Jingga.
Shuji mengambil handycam dari holder kamera dan memeriksa video yang terekam.
Jam ke-3 lewat tiga puluh—beberapa menit sebelum Shuji mendengar ada yang menyusup ke apartemen Jingga. Dia melihat sosok asing menyebrang jalan, dengan arah menuju gedung apartemen ini kemudian menghilang dari bingkai kamera.
Dia pikir, situasi ini bagus juga sebenarnya.
Melihat sosok jelek di kamera, Shuji tahu ini kecoak yang sama yang dia lihat beberapa hari lalu.
Kemarin-kemarin Shuji gelisah karena belum tahu harus melakukan apa.
Sekarang kecoak itu beraksi, Shuji bisa ambil tindakan.
Dalam sepuluh tahun sejak berdirinya, gedung apartemen ini berdiri sudah cukup lama. Shuji tinggal disini sudah lima tahun lebih, sistem administrasinya masih memakai sistem yang lama; selain lift dan hall setelah pintu masuk, tidak ada cctv yang terpasang di koridor hunian.
Di tambah, daerah ini bukan pusat kota jadi update soal sistem keamanan apartemen bukan prioritas karena penghuninya sendiri sudah merasa aman.
Shuji menempelkan telinganya ke pintu dan mendengarkan dengan seksama.
Clak pelan terdengar disusul gemerusuk orang berjalan. Shuji membuka pintu perlahan, dan mengintip kecoa itu berbelok ke tangga darurat.
Shuji mengeritkan gigi. Kalau bukan karena kamera di lift, manusia babi itu mana mau naik-turun tangga.
Sekali lihat Shuji sudah mengerti mental jenis apa orang seperti ini.
Kalau dia ingin lewat jalur hukum, tentu saja akan lebih mudah dengan membiarkan kamera itu menangkap sosok Jingga lebih dulu, sebagai bukti. Kalau melapor sekarang… kejahatan yang dia lakukan hanya akan menerima kurungan beberapa hari yang… tidak akan membuat jera.
Shuji menolak membiarkan kecoak itu bebas, kalau nanti dia balas dendam bagaimana? Kalau mengincar Shuji tidak masalah, tapi kalau mengincar Jingga?
Shuji berdecak kesal dan mengambil obeng serta peralatan kecil untuk membongkar.
Shuji membobol pintu apartemen Jingga yang sudah terkunci kembali dengan mudahnya. Shuji mengangkat sebelah alisnya, merasa kagum dengan aksinya.
Dia masuk dan tak lupa menutup pintu.
Begitu masuk dan mencium aroma segar dari detergen yang biasa Jingga pakai, Shuji merasa hidup kembali. Ekspresi senangnya seketika berubah jelek mengingat kecoak itu masuk dan mencium harum yang sama.
“Sial, menjijikkan.” Beraninya dia masuk, mencium aroma Jingga dan menjejakkan kaki disini?
Tanpa menunggu lama, Shuji bergerak untuk memereteli. Mungkin karena dia dan orang itu memiliki kesamaan (obsesi?) dan mungkin bakat alami, Shuji mengumpulkan kamera itu tanpa bersusah payah. Senter ultravioletnya dia matikan begitu selesai.
Setiap sudut yang mungkin diletakkan kamera di dalamnya, dia korek. Sampai toilet pun tidak dia lewatkan. Melihat setumpuk mini-cam serta mikrofon mini, Shuji tidak bisa menahan rasa geramnya.
“Aku akan membunuhmu, tunggu saja.”
Shuji mengemasi kamera ke dalam tas kertas yang di bawa, menyaring sekali lagi dan mengembalikan beberapa barang yang berubah ke posisi awalnya. Ketika dia sampai di ruang cuci, Shuji memalingkan wajahnya dengan malu melihat kain yang di jemur. Pantas saja di balkon luar Jingga hanya terlihat baju biasa. Bukannya dia fokus kesana, tapi balkon orang lain selalu ada pakaian dalam yang menggantung. Jingga tidak.
Dari segi privasi sudah bagus. Kehati-hatiannya juga patut diacungi jempol. Memisahkan pakaian luar dan dalaman saat menjemur…
Bukan kesalahan Jingga kalau masih ada serangga yang berkeliaran di sekitarnya.
Shuji mengunci kembali pintu apartemen setelah memastikan kondisi aman.
"Saatnya menyiapkan pestisida untuk membunuh kecoak."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments