Shuji jalan selangkah di belakang Jingga, menapaki jejak yang tinggalkan. Kalau salju sudah turun, pasti jejaknya akan terlihat. Shuji tidak sabar untuk musim dingin datang.
Musim dingin sebelumnya…, dia tidak ingat sebenarnya. Mungkin menyenangkan, atau tidak menyenangkan. Tapi berhubung dia tidak ingat, sudah pasti kejadian yang terjadi di musim dingin kemarin biasa saja, kan.
Shuji ingin segera memeluk jaketnya sendiri, jaket yang di pakai Jingga di pinggangnya, dia merasakan pinggang perempuan itu ternyata begitu ramping. Lengannya bisa melingkarinya dalam sekali pelukan.
Shuji tahu pikirannya akan berlari lebih jauh, tapi ini bukan saatnya. Jingga bisa begitu peka di saat tak terduga—akan berabe kalau perempuan itu menyadari isi kepala Shuji yang sebenarnya.
“Eh?” Jingga di depannya berhenti tiba-tiba.
“Ada apa?”
“Ini.., aku tidak tahu disini ada masjid?”
“Masjid?” kata itu terdengar asing di telinga Shuji. Jingga mungkin pernah menyinggungnya tapi dia tidak ingat. Meski begitu, melihat raut antusias di wajah Jingga, Shuji menawarkan. “Mau kesini?”
“… Boleh?”
Mendengar pertanyaan manis itu, Shuji tak bisa menahan senyum.
“Tentu saja boleh, apa yang tidak?”
“…..” Jingga diam sedetik sebelum sadar dan menjelaskan. “Maksudnya, ini kan tempat ibadahku… aku takut kau keberatan datang. Bukannya aku minta izin untuk berkunjung—ah, bukan begitu….,”
“Aku tahu, aku hanya bercanda.” Shuji mengolah kalimatnya. “Aku juga penasaran seperti apa ‘kuil’ tempatmu ibadah. Tapi aku takut perutmu sakit lagi…”
“Sama sekali tidak sakit!”
“Yakin?” Shuji yakin Jingga tidak berpura-pura sakit karena wajah perempuan itu sampai memucat. Tapi melihat energinya yang kembali muncul, membuat Shuji tidak ingin melenyapkannya. “Baiklah ayo,”
Keduanya memasuki jalan, melewati tanda kayu bergambar kubah. Karena area ini sepi, gang ini juga terlihat sepi. Hanya ada toko-toko yang tertutup dan sepeda yang terpakir bebas. Shuji tidak menyangka dia akan menemukan masjid dengan halaman yang luas di dalam gang ini.
“…Wow…,” Jingga membulatkan mata melihat pemandangan di depannya.
“Sepertinya ini bukan masjid sungguhan.” Komentar Shuji.
“Maksudnya?” Jingga yang mendengarnya penasaran.
“Sepertinya pemilik rumah ini mengalokasikan sedikit bagian rumahnya sebagai ‘masjid’,”
Di depan keduanya berdiri rumah tradisional dengan halaman luas yang di penuhi tanaman hijau. Tidak mungkin seseorang mengubah tempat seperti ini jadi masjid. Penganut keyakinan seperti Jingga tidak banyak, meskipun ada, area ini terlalu sepi. Di tambah, rumah ini perlu biaya yang tinggi untuk merawatnya.
Mungkin kalau menyewanya bisa, tapi kalau beli… orang yang pintar akan memilih area yang lebih ramai.
Keduanya berjalan masuk, melewati jalan setapak berkerikil yang terbelah dua oleh kolam ikan di tengah-tengah. Jingga melihat tanda kayu bersimbol perempuan dan laki-laki di masing-masing arah.
“Tempat ini sangat cantik… aku ingin foto.” Tapi Jingga menahan diri, karena di depan kolam terdapat keterangan bahwa pemilik tidak mengizinkan tempat ini untuk di foto dan di sebarkan.
“Sepertinya benar katamu, tempat ini masih properti pribadi.” Kata Jingga.
“Tapi kenapa laki-laki dan perempuan terpisah?” tanya Shuji tiba-tiba.
“Ah?” Jingga mengerjapkan mata. “…Karena.., ada bagian perempuan yang tidak boleh terlihat oleh laki-laki. Dan.., mungkin kalau di satukan mereka akan tidak fokus untuk ibadah.”
“Mungkin?” Mungkinkah ada orang yang datang ke masjid dan bukan untuk ibadah?
Semakin di dengarkan, semakin Shuji bertanya-tanya. Bukankah yang datang ini berniat untuk ibadah kepada Tuhan? Apakah ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan di mata Tuhan ketika ibadah? Shuji mengerti konsep ‘semua mahluk itu sama di hadapan penciptanya’.
“Kau tidak tahu?” Shuji murni bertanya, tapi tangannya sudah dilipat di dada.
“Aku tahu, aku tahu,” Jingga mengulang dengan sedikit panik. “Tapi aku tidak bisa menjelaskannya. Meski pun aku tidak tahu, aku yakin ada jawabannya di luar sana.”
“Di luar sana?”
“…Aku tidak begitu berpengetahuan soal topik yang dalam…”
Shuji berkedip dua kali. “Menurutku pertanyaan ini sederhana.”
“Ibadah kan harus suci. Jadi setiap hal yang bisa menodai ‘kesucian’ ini harus di hindari.”
“Kalau laki-laki dan perempuan bercampur, kemungkinan akan ada hasrat yang tersemai di dalamnya, dan konsep ibadah jadi tidak murni lagi.” Shuji menyimpulkan jawaban layak yang menurutnya pas-pasan.
“Tapi aku tidak bisa masuk.” Jingga menambahkan.
“Kenapa?”
“Karena… period-ku,”
“Oh…, oh?” Shuji memiringkan kepalanya. “Apakah menstruasi di nilai sebagai sesuatu yang kotor?”
“Kurasa tidak.” Jingga mengerutkan kening. “Menstruasi itu alami, tidak kotor. Hanya yang di keluarkan adalah darah kotor. Jadi, yah…”
Tiba-tiba, terdengar suara dari belakang mereka. Jingga dan Shuji menghentikan obrolannya dan berbalik.
Melihat tiga orang pelancong yang Jingga tidak asing ciri-cirinya. Di tambah, mereka bicara Bahasa ibunya!
Melihat seorang perempuan berkerudung, membuat satu dari tiga orang turis itu semangat dan mendekat.
Tapi Shuji sudah lebih dulu menghalangi di depan.
“Eh?”
“Shuji, mereka sepertinya turis dari negaraku.” Jingga berbisik di belakang punggung Shuji.
“Apa kau kenal mereka?”
Jingga seperti mengerti arah pertanyaan Shuji. “..Tidak.”
“Berarti orang asing.” Simpul Shuji.
“Tapi mereka sepertinya tidak bisa Bahasa lokal. Aku ingin membantu mereka.” Jingga mengerti keparnoan Shuji dan dia hanya bisa menjelaskannya perlahan.
“Hm..." Shuji berpikir tiga detik. "Baiklah.”
“Hai?” Jingga memulai setelah Shuji menepi.
Tiga perempuan muda yang gugup dengan sosok Shuji langsung sumringah saat Jingga menyapa.
“Aku tidak menyangka akan melihat orang I disini!” seorang gadis berambut pendek dan bertopi berseru. Temannya yang dua mengenakan kerudung dan jaket kembar masing-masing berwarna kuning dan hijau.
“Kenapa kalian ada disini?”
“Ah, kak, kita nyasar sebetulnya.” Yang berjaket kuning menjawab malu. “Namaku Wika, omong-omong. Yang jaket hijau adikku, Namanya Prita. Yang ini temanku…,”
“Aku Ghea.”
Jingga tidak menahan senyumnya dan menyambut keantusiasan ketiganya, “Panggil saja Jingga.”
“Kak sebetulnya kita salah turun.”
“Huh?”
“Iya, jadi kita harusnya turun di stasiun X buat ketemu sama pemandu kita. Tapi kita kebablasan dan tadi sempat berurusan dengan petugas stasiunnya. Kita gak ngerti cara pesan tiketnya, akhirnya temanku bilang untuk menunggu saja… nanti di jemput.” Ghea menjelaskan. “Tapi kita lapar, akhirnya kita cari-cari makanan yang halal lewat mesin pencarian. Tapi kita malah nyasar kesini.”
“Tapi kenapa bisa ke daerah ini…?” Setahu Jingga, dia tidak melihat ada stasiun kereta di sekitar masjid.
“Karena ada bentuk kubahnya, kita datang saja kemari! Haha!” Ghea berseru.
“Ahem!” Shuji berdehem dan menunjuk papan kayu bergambar volume yang dicoreng.
“G-gomen.” Wika nyengir sambil minta maaf dan ketiga gadis itu berdiri diam seperti putri malu.
“Ini memang tempat buat sholat, tapi sepertinya yang punya masih orang lokal sini.”
“Keren..!”
“Ah, dan disini tidak boleh foto.” Kata Jingga mengingatkan, mengerti jelas impuls turis dari negaranya yang selalu ingin foto segala macam hal. Karena keterangan di papan di tuliskan dengan bahasa lokal, dia menjelaskannya.
“Kalian tidak mengerti bahasa sini?”
“Ahem, kita hanya tahu yang sederhana, kak. Tapi kalau tulisan, itu menyerah kita. Makannya bingung mau pesan tiket."
"Pemandumu itu bagaimana?"
"Dia ada panggilan mendadak katanya, tapi harusnya sekarang sudah selesai. Hanya saja, dari tempatnya kesini katanya lumayan lama, dia tidak ingin menjemput dan menyalahkan kami karena bablas kereta terlalu jauh. Jadi dia suruh kita untuk pesan tiket sendiri.”
“Pemandu kalian masih teman sendiri?”
“Iya, kita jalan-jalan kesini karena punya teman disini kak. Dia bilang mau memandu kami. Tapi malah bilang supaya kita pesan tiket sendiri. Biar belajar katanya.”
“…” pertemanan yang… unik. Meskipun agak sembrono, kalau dia boleh berkomentar. Jingga lalu beralih ke Shuji dan menjelaskan.
“Oke, kalau begitu aku keliling dulu.” Shuji tidak mungkin berdiri disini terus dan mematung. Setelah yakin tiga orang ini tidak berbahaya, Shuji memasuki jalan batu setapak yang mengarah ke area laki-laki.
“Kita duduk di situ dulu, ya.” Jingga mengajak ke tiga-nya duduk di bangku taman terdekat.
Sementara Jingga membantu ketiganya membeli tiket dan administrasi terkait, Shuji menikmati waktunya berjalan-jalan. Dia memeriksa jam, “Sepuluh menit harusnya cukup.” Tapi Jingga pasti akan mengobrol, jadi mungkin lima belas menit.
Shuji berjalan menuju sayap kanan bangunan. Dia tidak begitu tertarik dengan pemandangan kebun ini karena baginya sudah tidak asing lagi. Tapi dia penasaran seperti apa isi ruangan ibadahnya.
Pintu di geser. Ruangan yang biasanya berlapis tatami itu di timpa karpet halus. Shuji membaca tulisan yang di tempel di pintu masuk, menyatakan bahwa dia harus cuci kaki dulu sebelum masuk.
Tanpa kata Shuji mengikuti. Beberapa meter dari pintu masuk, berdiri tiga pilar setinggi pinggang dengan saluran kran air yang sepertinya di bangun belum lama karena tema-nya tidak nyambung dengan rumah tradisional ini. Setiap pilarnya terdapat tulisan tata cara ‘bersuci’ yang wajib di lakukan sebelum ibadah. Karena dia kemari untuk membuang waktu, Shuji membacanya dan hanya mencuci kaki.
Jalan setapak bersambung ke ruangan ibadah tadi dengan batu marmer yang sekali lagi tidak cocok tema-nya dengan rumah ini.
Shuji memijakkan kakinya di atas karpet dan berkeliling yang selesai hanya dalam beberapa langkah.
“Begini saja?”
Shuji menoleh ke lemari dan menemukan buku cetak tertata. Dia membuka satu demi satu. Dari semua yang dia buka, hanya satu yang ada kanji-nya. Sisanya murni Arab yang tidak dia fahami.
“Jarang sekali ada orang lokal yang berkunjung.”
Suara tiba-tiba itu mengagetkan Shuji. Dia berbalik dan menemukan seorang pria tua mengenakan yukata masuk ke dalam ruangan. Kakinya di atas karpet terlihat basah, termasuk wajah dan tangannya.
‘Apa dia habis mandi?’ Shuji mengejek dalam hati, langsung lupa dengan tulisan yang dia baca di pilar sebelumnya.
“Kau tidak bisa memegang buku itu, loh.” Orang tua itu berkata dengan logat yang kental.
“Oh, Sumimasen.” Shuji segera menyimpan kembali buku di tangannya.
“Aku kan sudah bilang untuk ‘bersuci’ dulu, di pilar sudah kutulis tata caranya?”
“Eto… aku tidak kemari untuk ibadah." dia tidak tahu kalau menyentuh buku itu harus 'bersuci' juga.
“Kau bukan muslim?”
“…Bukan… mungkin belum.”
“Huh.” Pria itu mengambil buku yang sebelumnya Shuji raba. “Ini Kitab Al Quran, biasanya di baca setelah ibadah sholat.”
“Soukka.” Shuji mengangguk-angguk demi menjaga adab.
“Lupakan, kau terlihat tidak tertarik.”
“Ah, tidak begitu…,” Shuji mengusap belakang kepalanya, merasa canggung yang jarang karena bagaimana pun, ini topik yang asing baginya. Di sisi lain dia juga tidak ingin menyinggung pria tua di depannya.
“Yang ini ada terjemahnya. Kau bisa bawa pulang.”
“Eh? Untuk saya? Ti-tidak, tidak perlu.” Untuk pertama kalinya dia tergagap.
“Bukankah kau membukanya karena penasaran? Meski aku tidak tahu apakah kau akan membacanya atau tidak, bawa saja dulu. Kalau nanti perlu, kau tidak akan repot mencari. Yang ini aku dapat dari ibu kota. Langsung dari kantor pusat Islam.”
“Tapi…,” ah, Shuji mengeluh dalam hati. Meski dia bilang dia akan belajar sedikit-sedikit, dia bukannya berniat belajar dengan serius.
Dia ingin berdiskusi dengan Jingga untuk menghabiskan waktu berdua. Kalau untuk belajar sendiri….
“Arigatou gozaimasu.” Mungkin kalau dia sedang bosan, Shuji menambahkan dalam hati dan akhirnya menerima Al Quran yang di bungkus dalam kantong kain.
Saat itu teleponnya bergetar. Shuji memeriksa ponselnya yang menerima pesan dari Jingga, berkata bahwa perempuan itu sudah selesai.
“Kalau begitu saya pamit dulu.”
“Hmm.” Pria itu menatap Shuji dengan agak menyesal. “Baiklah, aku juga mau sholat.” Pria itu mengayunkan tangannya, minta Shuji untuk segera pergi. Padahal dia kira dia bisa menarik orang baru untuk menemaninya ibadah.
Shuji keluar area masjid, tapi tidak seperti ekpektasinya. Dia kira urusan Jingga sudah benar-benar selesai, nyatanya ketiga nyamuk itu masih berdiri bersama Jingga.
“Tiketnya sudah di beli, tapi aku harus antar dulu ke stasiun karena mereka tidak tahu jalan.”
Bagaimana dengan peta? Kan ponsel ada? Shuji ingin mencecari dengan pertanyaan, tapi menahan diri. “Huh.” Shuji tidak repot-repot menyembunyikan wajah sinisnya pada tiga orang di sekitar Jingga.
Melihatnya, Jingga tidak marah. Dia malah jadi teringat dengan Shuji ketika mereka pertama kali bertemu. Sinis, dingin, dan mudah iritasi.
Tapi Jingga tahu Shuji sebenarnya orang yang hangat.
“Maaf, ya? Atau, kau bisa pulang duluan dan aku akan..,”
“Tidak mungkin.” Shuji langsung menolak. “Ke stasiun, kan?" Shuji menarik ponsel Jingga dan memeriksa. "Pemberhentian ini tidak jauh, jadi kita bisa berjalan dari sini.”
“Baiklah.”
Jingga beralih ke tiga turis itu dan berjalan di depan, meninggalkan Shuji mengikuti di belakang.
Benar saja, mereka sampai di stasiun tidak lama. Tapi karena terpencil, stasiunnya agak tersembunyi.
“Kalian ingat kan, harus naik apa?”
“Kami ingat.” Kata Ghea. “Dari sini naik stasiun, turun di dua stasiun berikutnya. Habis itu pindah platform dan naik kereta ke XX.”
“Kalau tidak tahu kalian akan…?”
“Tanya petugasnya.”
“Benar, langsung saja sebutkan nama stasiunnya, nanti petugasnya akan mengarahkan.” Jingga melirik jam di dinding. “Keretanya masih satu jam lagi.”
“Kakak duluanlah, kami bisa kok sendiri.” Kata Wika.
“Kalian yakin?”
Ketiganya mengangguk bersamaan dengan tegas. Mereka bertiga sebetulnya sangat senang bertemu Jingga dan masih ingin mengobrol banyak. Kalau bukan karena laki-laki yang bersama Jingga terus memelototi mereka, tidak akan mereka berpisah secepat ini.
“Baiklah kalau begitu.” Jingga tidak berkata banyak dan pamit.
“Dia kayaknya orang J asli kan, yang laki-laki itu?” Ghea langsung memulai gosipnya.
“Sepertinya sih iya.”
“Ganteng banget, gak, sih?”
“Malas, jutek gitu.” Bisik Prita.
“Tapi kan…,”
“Ssst.” Wika segera menghentikan diskusi saat mereka melihat laki-laki yang di bicarakan menghampiri mereka.
Ada apa nih? Apa mereka akan di pukul?
Shuji menyerahkan plastik berisi beberapa bungkus roti yang membuat ketiganya langsung kaku dan bingung.
Shuji yang tidak menerima respons langsung melotot dan berkata sambil mengeritkan gigi. “Ambil, gak.”
Meski ketiganya tidak mengerti, melihat ekspresi dan nada bicara Shuji, plastik itu langsung di terima dengan terpaksa.
Shuji berbalik namun berhenti sesaat seakan teringat. Dia menunjuk plastik itu dan berkata dengan lugas. “Ha-lal.” Setelah itu dia lanjut berjalan ke Jingga yang menunggunya.
“Kaget banget. Kirain mau menyatakan cinta.” Ghea menelan ludah. “Isinya apa?”
Wika membuka plastik itu. “Isinya roti.”
Terdengar suara menelan ludah lagi dan di susul bunyi perut.
“….Oke, oke, aku tahu kalian lapar dan belum makan.”
“Aku kira kak Jingga tidak akan ingat.” Ghea mengambil satu bungkus roti dan segera membukanya. “Maksudnya, aku kan bilang hanya selewat. Bukannya minta untuk makan.”
“Em. Baik banget sih mereka.” Prita mengunyah roti dengan sungguh-sungguh. “Mana enak lagi rotinya.”
“Yang bilang cowok tadi jutek siapa?”
“Memang betulan jutek, kan?”
“Cowok Negara J memang seperti ini ya? Jutek tapi care. Apa sih namanya?” tanya Wika.
“Apa? Tsundere?” Ghea menyeletuk. “Jadi ingin cari juga, nih.”
“Kau tidak lihat ekspresi laki-laki itu waktu kita pertama muncul?” Wika mengingatkan.
“Eh, aku ingat. Dia melihat kita ini seperti melihat kutu. Hahaha!” ketiganya lalu tertawa. "Aku baru sadar ekspresi orang bisa semeriah itu!"
Wika menghentikan makannya dan membuka aplikasi di ponselnya untuk segera update status. Dia berniat menceritakan pengalamannya hari ini.
“Hah, kapan diambilnya itu?”
“Hehehe, barusan.”
“Kau tidak takut, ya?” Ghea sendiri tadinya ingin mengambil gambar. Tapi mengingat laki-laki yang sinis dan dingin itu, dia mengurungkan niatnya.
“Kalian tidak mengerti.” Kata Wika sambil menghela napas. Laki-laki itu sebenarnya tahu Wika mengambil gambar. Tapi Wika memberi sinyal yang anehnya dimengerti dan laki-laki itu menerima untuk di foto.
Di gambar, laki-laki itu berdiri berdampingan bersama Jingga, meninggalkan stasiun. Mata laki-laki itu begitu fokus sampai Wika merasa iri. Sayang sekali bakat fotonya tidak bisa mengambil momen dengan sempurna.
“Tidak apa, bakat menulisku bisa menggantikannya.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments