Pagi hari itu Jingga merasa seperti habis di tabrak, pegal seluruh badan sampai rasanya dia tidak ingin berangkat. Setelah minum air jahe barulah badannya mulai terasa lebih baik dan dia pun melanjutkan aktivitasnya untuk bersiap berangkat kerja.
Hari ini Jingga tidak mengemasi bekal karena Shuji bersikeras untuk membuatkannya. Dalam hati Jingga antusias dan gembira. Saat keluar dari apartemennya, Shuji sudah berdiri di lorong sambil memainkan ponsel.
“Sudah siap?” tanya lelaki itu.
“Um.”
Hari ini Shuji kelihatan segar dengan penampilan kasualnya.
Jingga merapikan jaketnya sebelum jalan bersama menuju lift.
“Hari ini parfumnya beda?” celetuk Shuji tiba-tiba.
“Eh? Benarkah?”
“Mungkin softenernya. Aku ganti baru kemarin..,”
Shuji diam sesaat. “Kenapa tidak pakai yang wangi lama?”
“Soalnya yang ini hadiah dari diskon, beli satu gratis satu.” Jingga melirik Shuji. Ekspresi laki-laki itu terlihat normal.
Jingga tahu perasaan suka Shuji padanya. Karena itu, gerak-gerik Shuji yang terlihat biasa, kini Jingga berani membacanya lebih dalam.
Kenapa Shuji keberatan softener miliknya di ganti?
Jingga mendekat dan mengendus sweater yang Shuji kenakan, langsung membuat laki-laki itu kaku di tempat.
“Oh, ternyata softener kita sama.” Jingga menatap Shuji dengan jenaka. “Sayang sekali harum kita beda sekarang, hehe.”
“…Aku.., hanya berpikir bau softener ini enak, jadi pakai yang ini.” Shuji menjelaskan dengan buru-buru. “Bukan karena sama dengan punyamu atau apa.”
Jingga tertawa kecil. “Menurutku juga yang ini harumnya enak.”
“Benar sekali.” Shuji mengangguk tegas.
Sampai di halte, Shuji langsung menyerahkan kotak makan yang sejak tadi dia bawa. Jingga juga melihatnya, tapi kotak makan ini benar-benar…. Terlalu besar.
“…Semuanya?”
“Ini kotak bertingkat. Aslinya satu kotak.”
“Ini... bukannya terlalu banyak?”
Shuji mengerutkan kening. “Menurutku tidak ada istilah ‘terlalu banyak’ saat makan makanan sehat. Aku sudah menghitung porsi dan jumlah kalori. Kau bisa makan dengan tenang semuanya.” Kata Shuji. “Wadahnya besar karena banyak variannya, tapi porsinya kecil-kecil.”
“Tapi…, ini sungguh…,” Jingga menggigit bibirnya dan menghentikan kalimatnya saat memperhatikan kantung mata di bawah mata Shuji. Mungkin Shuji menutupinya dengan concealer tapi tidak begitu rata.
Jingga akhirnya menyerah. “Kalau begitu aku akan lanjut makan saat pulang kalau terlalu kenyang, bagaimana?”
Shuji mengerutkan kening, tapi akhirnya setuju.
“Dah…,”
Shuji membalas lambaian tangan Jingga sambil berpikir masak apa malam ini. Tentu saja sudah berhasil memasakkan makanan untuk Jingga satu kali, Shuji tidak akan berhenti.
“Katanya tomyam-ku enak sekali,” gumam Shuji. “Tapi kalau masak tomyam lagi nanti malah bosan. Mungkin aku bisa coba buat hot pot.”
“Yang terbaik dari hot pot itu, tentu saja kuahnya.” Shuji juga berencana untuk membuat madu jahe sekalian untuk meredakan kram perut karena menstruasi.
Pria itu memikirkan sederet menu sambil berjalan menuju supermarket. Beberapa orang yang terbiasa terlihat di kawasan sekitar mulai menyapanya dan Shuji membalasnya.
Kawasan ini berada di tepi kota, jadi orang-orangnya masih suka berbaur dan saling mengenal.
Jam sebelas siang Shuji selesai berbelanja. Menuju apartemennya, dia membawa sekantung belanjaan sementara di tangannya yang satu lagi terdapat ubi bakar.
Shuji masih berjalan santai sampai dia melihat dua sosok di depan gedung. Yang seorang adalah pria berseragam tak asing. Bajingan yang diam-diam mengincar gadisnya.
Hehe, sayang sekali kesempatan ada di tanganku sekarang.
Tapi rasa kemenangan itu tidak bertahan lama ketika melihat sosok wanita paruh baya di sampingnya.
Wajah wanita itu terlihat asing untuk orang sekitar dan kelihatannya baru sampai dari perjalanan jauh. Di kakinya terdapat sebuah kardus dan kantong rakit yang berisi sayur-mayur. Jika di perhatikan dengan seksama, wanita itu memiliki mata yang serupa dengan Shuji.
Bergegas, Shuji menghampiri keduanya.
“Bibi Mio.” Shuji memanggil, kemudian melayangkan tatapan datar pada Yugani. “Halo pak polisi…, sedang bekerja?” cepat pergi dari sini dan jangan malas-malasan.
“Selamat pagi.” Yugani mengangkat topinya. “Kebetulan kebagian patrol area sini dan bertemu dengan Nyonya Oda.” Selesai berkata demikian, Yugani tiba-tiba melihat mata Shuji yang berkilat dingin. Bahkan waktu dia mendekati Jingga sekali pun, reaksi Shuji tidak setajam ini. Yugani berpikir sejenak.
“Di pikir-pikir marganya sama denganmu. Kalian berkeluarga? Atau…” Yugani memperhatikan keduanya. Meski tidak mendapati kemiripan, ada gerak-gerik serupa dari cara kedua orang ini bersikap.
“…Ibumu?”
Mio, yang mendengar kata-kata Yugani sempat merasa senang sesaat. Namun segera di padamkan dengan reaksi Shuji.
“Jangan sembarangan.” Shuji mendesis. Ibunya sudah mati.
“Oh.” Yugani mengangkat sebelah alisnya namun tidak melanjutkan. Dia mengobrol sebentar dengan Mio, dan kembali melanjutkan patrolinya karena seseorang terus memelototi seakan ingin menghantuinya. Sambil berlalu, mata Yugani bersinar sesaat—seakan mendapatkan ide cemerlang.
Shuji yang mood-nya kini turun drastis, mengangkut dus dan dua kantong belanjaan. Kalau bukan karena kekuatannya, dia tidak akan bisa mengangkutnya sekaligus.
“Biar…. Bibi bantu.”
“Tidak perlu.” Balas Shuji. “Lagipula bagaimana bisa kau membawa barang sebanyak ini sendirian?” kata Shuji.
Mio tergagap. “Aku tidak datang sendirian… Aku, diantar… sampai depan jalan.”
“…..”
“Tapi karena dia ada pekerjaan jadi aku suruh dia segera berangkat.”
“Kau tidak perlu begitu berhati-hati.” Kata Shuji dengan nada terlampau santai. “Bagaimana kabar ayah?”
Mendengar pemuda di sampingnya masih bersedia memanggil sebutan ‘ayah’, Mio langsung lega dan ketegangannya sedikit berkurang. “Kemarin dia baru saja diangkat di perusahaannya jadi manajer umum.” Mio menjawab dan tidak memperpanjang.
“Bagaimana dengan Morie?”
“Oh,” Mio berkedip beberapa kali. “Morie berhasil masuk jadi bagian tim baseball dan musim panas mendatang dia akan ikut dalam turnamen… kau tahu, koshien selalu menjadi cita-cita anak itu…,”
“…Hmm,”
Menerima tanggapan dari Shuji membuat Mio semakin bersemangat menceritakan keadaan di rumah.
“Tempatku tidak begitu rapi tapi masuklah.” Shuji membukakan pintu apartemennya sambil memasukkan barang satu persatu dan membereskan dapur.
Shuji meletakkan belanjaannya yang baru dia beli di lemari dapur yang tidak bisa di gapai selain oleh dirinya. Kemudian menyiapkan air teh untuk tamunya.
“Apartemenmu… terlihat berbeda dengan yang sebelumnya.” Gumam Mio sambil menerima teh yang di suguhkan.
“Apakah aneh?”
“Tidak, tidak aneh sama sekali.” Mio meneguk teh untuk menghilangkan kegugupannya. “Hanya saja yang sekarang terasa lebih nyaman dan lebih hidup.”
Mendengar pujian itu, mata Shuji melembut. “Menurutku juga begitu.”
Hanya saja Mio bingung, selera Shuji berubah 180 derajat dengan yang sebelumnya. Tata letak apartemen dan barang-barang di rumahnya nampak... lebih feminim…
“Oh.” Mio bergumam dalam hati, mungkin Shuji tinggal dengan kekasihnya?
Mengetahui rahasia ini, Mio merasa senang dan lega dalam hatinya.
“Ah…,” menyadari keduanya diam untuk waktu yang lama, Mio berusaha memecah keheningan. “Bagaimana kalau menyalakan tv saja?” sambil berkata demikian wanita paruh baya itu memutar kepalanya mencari remot tv.
Remot tv itu tergeletak di atas meja makan di tepi jendela—yang Mio dapati, hanya posisi meja ini saja yang sejalan dengan kepribadian Shuji. Aneh dan unik. Di letakkan sesuka hati tanpa peduli sekeliling.
“Teman ayahmu tampil di satu berita acara, mungkin kau masih bisa melihat siaran ulangnya. Nama ayahmu di sebut sebagai salah satu kontributor…” sambil mejelaskan, Mio menggerakkan tangannya menuju remot.
Tapi belum sampai jari itu menyentuhnya, tangan Shuji bergerak lebih dulu menepis.
“Ah?”
“….” Dengan lihai Shuji memindahkan remot ke sisi tv dan menjelaskan. “Tvnya sedang rusak dan suaranya menganggu.” Shuji memasang senyum kecil. “Maafkan reaksiku, aku takut kau menekan tombolnya tanpa sengaja. Biasanya tetangga suka protes.”
“Ah, tidak, tidak apa-apa. Memang yang terpenting itu menjaga kerukunan sekitar.” Mio tinggal di kota dan tahu betul, bahkan suara kecil sekalipun bisa memancing orang yang depresi menjadi gila.
Dia hanya berpikir reaksi Shuji barusan juga berhubungan dengan keengganannya mendengar berita soal ayahnya. Mio tidak melanjutkan dan menawarkan untuk memasak menu makan siang yang untungnya Shuji sambut dengan senang hati.
"Kau tidak tahu, panen kali ini di kirim langsung oleh Nenek. Seperti biasa dia selalu mengirim porsi banyak. Dia berpikir kau masih di rumah."
Wanita itu melihat ada beragam rempah dan beragam botol di rak bumbu, yang mana mengejutkannya. Sepertinya ini koleksi pacarnya Shuji.
“Shuji-kun, apa kau punya botol kecap merek XX?” tanya Mio dari dapur. Shuji yang duduk di sofa berpikir sesaat dan menjawab. “Aku sudah tidak pakai kecap itu.”
“Oh, begitu. Sayang sekali padahal kalau pakai kecap itu masakan akan lebih gurih.” Mio menggumam pada dirinya sendiri.
Merk yang di sebut Mio barusan merupakan produk yang tidak bisa Jingga makan. Shuji sudah lama mengenyahkan semua jenis produk Merk itu dari rumahnya.
Pria itu sudah memeriksa barang yang di bawa Mio. Selain umbi dan sayuran di dalamnya, ada beras juga. Tidak ada daging sama sekali, karena itu juga lah dia bersedia membiarkan Mio masak makan siang kali ini.
Akan repot kalau dia harus mengganti alat masaknya, kan.
Tiga puluh menit kemudian Mio datang membawa panci berisi nasi ubi ke meja. Shuji berdiri dan segera membantu membawa makanan sampingan.
“Kulihat kulkasmu penuh, ini hal yang sangat bagus.” Kata Mio dengan senyum tulus.
“Hmm.”
“Sebagai laki-laki memang sulit untuk hidup sendiri tanpa ada yang mengurusi.” Mio berkata lagi.
Shuji mengangguk saja.
“Kalau kau tidak keberatan… apa aku boleh berkenalan dengan pacarmu?”
Shuji yang tadinya minum untuk menyembunyikan kebosanannya tanpa sengaja tersedak mendengar pertanyaan itu.
“Apa maksudnya?” Shuji bertanya setelah memaksa batuknya berhenti. Pikirannya berputar cepat ke wajah polisi gadungan yang ditemui sebelumnya.
Mungkinkah orang itu mengatakan sesuatu?
“Bukankah kau tinggal bersama kekasihmu?”
“….Umm…,” Shuji menjawab ambigu, menunggu kalimat Mio selanjutnya.
“Aku lihat banyak bahan masakan di dapur, dan keadaan apartemenmu ini.. kau tidak perlu menyembunyikannya lagi. Aku tahu.”
Shuji berkedip beberapa kali dan tidak menyangkal. “..Dia…, dia kerja dan, aku belum ada niat untuk memperkenalkan..,”
“Oh, lihat aku. Aku sudah terlalu tua. Aku hanya sangat senang dengan hadirnya orang lain di tempat ini. Aku tidak akan mengganggu kalian anak muda.” Mio mengakhiri kalimatnya dengan senyum.
Tebakan ngaco Mio sebelumnya berhasil membuat mood Shuji membaik dan dia dengan murah hati bertukar canda sesaat.
Jam dua siang, Mio beranjak untuk pamit. Shuji tidak menghentikannya untuk makan malam karena dia tahu wanita itu akan makan malam bersama di rumahnya sendiri.
Shuji juga memiliki rencana lain.
“Kau… pulanglah sesekali.” Mio sudah mendengar berita bahwa Shuji tidak lagi bekerja di perusahaan lamanya dari polisi yang mereka temui sebelumnya. Mio ingin berkata panjang lebar, jangan bergantung pada perempuan, kerjalah. Dia juga ingin menawarkan untuk kerja bersama ayahnya toh, mereka masih ayah dan anak.. perusahaan tempat ayahnya bekerja bisa memasukkan satu orang Shuji.
Tapi wanita itu pada akhirnya menahan diri.
“Morie merindukanmu.”
Shuji menundukkan pandangannya, menyembunyikan sirat di matanya.
“Hati-hati di jalan.” Pada akhirnya Shuji tidak menjanjikan apa-apa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments