Shuji kembali ke kamar apartemennya tanpa sedikit pun melirik ke pintu sebelah. Sejujurnya, tidak ada bedanya klinik dan apartemennya yang berantakan dan berdebu ini.
Hanya saja dia bingung mau melakukan apa. Shuji berdiri diam untuk waktu yang lama.
Kebingungan kali itu bercampur dengan kekosongan. Dia yang tadinya berniat mati tidak pernah berpikir akan kembali lagi kesini. Kenapa, waktu di luar dia masih bisa bertahan. Tapi begitu kembali kesini Shuji merasa ada rantai yang mengekangnya.
Perasaan menumpuk yang selama ini tertahankan seperti mendorong dinding emosinya, bersiap untuk meledak.
'Semua karena perempuan sial itu.'
Merasakan gatal di kulit lengannya, luka cakaran yang hampir sembuh itu Shuji garuk kuat-kuat.
'Diamlah.' kata Shuji pada lukanya.
Saat mulai berdarah dan perih mulai terasa, barulah Shuji merasa lega. Hatinya yang memberangsang seperti mengalami titik putar balik dan berangsur-angsur tenang.
Shuji melirik ke kran air. Sayang sekali dia tidak bisa menahan kebutuhan fisiologisnya. Dengan pasrah Shuji bergerak untuk mengambil minum.
Shuji membuka lemari dan mengeluarkan gelas, mengisinya dengan air dari kran dan meneguknya tanpa jeda.
Matanya melirik ke objek gelap di samping tempat wastafel. Ingat bahwa dia sudah menghancurkan ponselnya, Shuji melempar benda itu ke tempat sampah.
"Benar sekali, benda yang rusak memang sudah seharusnya di buang." gumam Shuji, seakan-akan meyakinkan dirinya sendiri.
Malam itu hujan deras turun disertai angin kencang. Tidak perlu waktu lama sampai banjir di beberapa titik dan longsor terdengar di radio dan berita setempat—sekiranya Shuji menyalakan radio.
Shuji duduk di depan jendela sejak dia kembali dan belum bergerak dari tempatnya untuk waktu yang lama. Seperti banyak hal yang berbenturan di kepalanya, tapi apa, dia tidak tahu.
Pikiran di kepalanya saling berbenturan dan mendominasi. Terus berkumpul dan berkembang, padahal otaknya sudah tidak muat.
Shuji merendahkan alisnya marah, menatap tetesan hujan deras dari balik kaca jendela. Dari jauh Shuji melihat kilat menyambar, suaranya nyaring tapi tidak sampai ke telinganya. Inderanya seperti mati.
'Kenapa dunia ini begitu menyesakkan?'
'Mungkinkah karena ruangan ini sempit?'
'Tidak?'
'Mungkin karena aku terus-terusan diam di kamar, kenapa tidak coba keluar dan cari suasana baru?'
'Untuk apa?'
'Karena kau sendirian, kau perlu melakukan sesuatu untuk mengalihkan pikiranmu.'
'Ini lagi? Isu lama.'
'Tentu saja, pikiran ini akan selalu datang. Kau lupa hari ini, besok akan muncul lagi.'
'.......'
'Pikiran ini hanya sementara, sama seperti kau tertawa dan menangis. Tidak akan kau lakukan seharian, tapi kau mengalaminya, kan.'
'Tapi aku tidak pernah menangis.'
'Itu karena kau tidak mau mengeluarkan air mata, kenapa?'
'...rasanya seperti merendahkan diriku sendiri. Air mata membuatku lemah.'
'Bukankah tidak begitu? Baca kuotes di internet.'
'Itu kan mereka. Aku merasa, menangis dan meratap hanya memberikan celah untuk kelemahanku. Daripada menangis, lebih baik bangun dan melakukan sesuatu?'
'Oke, kalau begitu ayo lakukan sesuatu?'
'.....'
'...yo?'
'Kenapa harus? Untuk apa?'
'...karena kau manusia. Semua orang hidup dengan tujuan. Rumah mewah, mobil, keluarga, anak. Lihat saja. Bahkan langit di atas pun punya tujuan. Kadang menampung matahari, menurunkan hujan, kadang mengontrol emosi manusia.'
'...Tentu saja. Langit yang begitu saja ada tujuannya. Aku tidak ada.'
'Kau belum cukup mencarinya saja. Coba telusuri sejauh mungkin.'
'Kalau aku sudah gali sebanyak mungkin dan tidak ada tujuan, bagaimana?'
'Tentu saja artinya tujuanmu bukan pada hal ini kan?'
'...Hal ini apa, dunia? Aku hidup dunia. Anjing bodoh.'
Shuji menghentikan perdebatan di pikirannya. Melihat bayangan di kaca jendela yang terpantul, dia seperti melihat orang asing dan tidak kenal siapa.
Bug!
Tertutup bunyi hujan, suara kepalan Shuji yang meninju kaca tebal itu tidak terdengar.
'Memang mati itu sudah benar.'
Untuk apa dia cari-cari alasan hidup di dunia? Bikin lelah saja.
Shuji berbalik ke dapur dan menggeledah seluruh isi laci. Piring dia pecahkan, wadah-wadah dia lempar sampai dia menemukan pisau yang tersembunyi di lemari bawah.
'Aku sudah menyembunyikan pisau ini, tapi pada akhirnya aku menemukanmu juga.'
Petir di luar menyambar nyaring bersahut dengan guntur. Shuji menyeret kakinya yang berat menuju kamar mandi. Meski begitu, perasaannya seringan kapas. Dia merasa invisible dan bisa melakukan apa saja.
Berdiri di depan cermin, Shuji menatap pantulan dirinya yang memuakkan.
Mata ini yang membukakan Shuji pada dunia. Kalau dia tidak punya mata, mungkin pantulan dirinya di cermin akan lenyap. Ujung pisau di arahkan ke bola matanya dengan sudut yang di rasa sempurna.
Sudut bibir Shuji tertarik melengkung ke atas. Suara di sekitarnya menghilang dan pisau di tarik mundur sebelum menusuk cepat ke arah mata.
Dalam dunia Shuji yang saat itu hening, suara nyaring menyela tiba-tiba. Menghancurkan segala tekad yang dia bangun semudah menghapus ilusi.
Ding-dong~
"....."
Shuji melotot ke arah cermin masih dengan senyum yang lebih mengerikan dari tangisan. Tangannya yang memegang pisau bergetar samar. Ujung pisau itu sangat dekat dengan retina-nya.
Keringat nampak menuruni pelipisnya sementara bel pintu berbunyi sekali lagi.
Nekat itu luntur dengan mudahnya, seperti daun yang lenyap di ***** api.
--------------------****-------------------
Jingga berdiri di depan pintu.
Jingga sadar dia terlalu ikut campur. Hal yang wajar di kampungnya seperti tabu, kadang Jingga harus menahan diri untuk peduli. Hanya saja dia sudah terlanjut menolong pria itu... dia juga tetangganya.
"Ini yang terakhir." gumam Jingga. Mengingat bagaimana pria itu abai dengan luka-lukanya, Jingga berniat memberikan obat. Setelah itu, Jingga berjanji dia tidak akan terlalu peduli.
"Apa tidak ada orang di dalam, ya?" sebelum jarinya menekan bel sekali lagi, pintu di buka.
"...Hai, uh?" Jingga berhenti menyapa di tengah-tengah, hampir cegukan begitu melihat wajah kebiru-biruan dan bengkak yang muncul dari balik pintu. "Kau... o-oke?" ditambah isi ruangan yang gelap itu.
"....." Shuji diam untuk beberapa lama dengan tatapan kurang fokus. "Mau apa?" akhirnya dia mengeluarkan suara.
"...Ah.., ini." Jingga menyodorkan kantong plastik kecil berisi obat anti bengkak. "Kudengar kau sudah pulang dari klinik waktu aku cek terakhir. Aku mengira kau tidak akan beli obat,"
"...kenapa?"
"Ya?"
"Kenapa kau melakukan ini semua?"
"... Kenapa...?" Jingga memutar kepalanya cepat dan sedikit panik. Kenapa? Karena kita tetangga. Tapi Jingga pikir dia harus memberikan alasan yang lebih rinci. Firasatnya mengatakan bahwa pria ini sedang tidak baik-baik saja.
Katanya tingkat depresi anak muda di Jepang begitu tinggi.
'Ya Allah, lindungi aku (T_T)'
"...K-kau mungkin tidak ingat, tapi waktu pertama kali aku pindah, aku sempat bingung dengan letak kamar apartemen ini."
"....." Shuji tidak membalas dan hanya menatap Jingga. Tatapannya lurus namun seperti kosong.
Setelah menggali, Shuji akhirnya ingat. Dia pernah membantu seorang penghuni baru menuju apartemennya. Bukan membantu sih, hanya karena mereka bersebelahan dan dia hendak pulang. Jadinya... ya, sekalian.
"Itu? Hanya karena itu?"
"..Ya... ya," Jingga mengangguk cepat setelah memperhatikan pria di depannya menerima dalihnya. Setengahnya mencari alasan, setengahnya lagi memang itu kenyataan. Sebenarnya Jingga tidak ingin menggunakan ingatan kejadian itu dengan cara ini.
Tapi Jingga agak takut pria itu akan menolak dan mencercanya seperti sebelumnya.
Ahem, meski pria itu hanya membentak Jingga sekali, tapi setiap bertemu.... matanya seperti mencemooh. Mungkin Jingga hanya overthinking.
"Um...," Jingga yang lengannya mulai pegal berniat untuk menarik kembali obat di tangannya tapi Shuji mengambil lebih cepat.
Dengan mata dingin dan tanpa sepatah terima kasih, Shuji menutup pintu.
"... Huff, oke." yang penting obatnya diambil, dan tidak ada cemoohan atau bentakan. Jingga menganggukkan kepalanya dan kembali menyemangati dirinya sebelum kembali ke kamar melanjutkan nonton malamnya.
Jingga melanjutkan menonton sampai tak terasa dia tertidur di sofa, dan terbangun dengan ketukan keras pintu apartemennya
Terperanjat, Jingga melihat jam di dinding.
Pukul 2 pagi.
Siapa orang kurang kerjaan yang mengetuk pintu apartemennya? Apa orang itu tidak tahu fungsi bel?
Tidak mungkin orang asing kan, kan?
Jingga mengambil tongkat baseball di tepi rak payung dan berjalan tanpa suara ke lubang pengintip di pintu.
"Astagfirullahal'adzim!" Jingga langsung melompat begitu berhadapan dengan mata lain yang balas menatap di lubang pengintip itu.
Menahan umpatan dan cercaan yang berkumpul di mulutnya, Jingga memakai kerudungnya dan memeriksa sekali lagi siapa di luar setelah menarik napas panjang.
Kali ini, orang yang menggedor pintunya berdiri dengan normal di depan. Pakaian yang baru saja Jingga lihat beberapa jam lalu membuatnya tahu bahwa tetangganya yang mood swing inilah pelaku penggedoran pintu.
"...Kenapa dia menggedor pintuku?" Jingga bertanya khawatir.
Mungkinkah dia mau protes? Mungkin tetangganya mulai tak bisa menahan sabar dan kemari untuk menghajar dia? Tapi Jingga merasa hubungan mereka belum sampai ke titik mengerikan seperti itu.
Jingga ingin meneruskan overthinking-nya, tapi seperti punya indra keenam, tetangganya yang tadi masih melihat ke sembarang arah kini beralih ke lubang pengintip dan diam mengamati untuk waktu yang lama.
"......." Jingga menelan ludah dan akhirnya membuka pintu. Siapa juga yang mau bertatapan begini.
"Uh.. hi?" Jingga membuka sedikit pintunya, hanya cukup untuk kepalanya terlihat. Melihat gelagat itu, tetangganya tidak repot-repot berkomentar.
"Beri aku makanan." pria itu berkata tiba-tiba, dengan suara serak dan kaku.
"Huh?"
"Makan." ulangnya.
"...." jadi anda datang subuh-subuh, menggedor pintu, untuk minta makan?
Jingga memeriksa kedua tangan pria di depannya. Bersih, oke, tidak ada benda berbahaya.
"...Ya, ada.. ada." Jingga yang di hadapkan situasi ini untuk pertama kalinya jadi terbata dan untuk sesaat dia tidak tahu harus melakukan apa.
Meninggalkannya di luar?
Menutup pintu, kemudian bawa kembali mi instan?
Makan? Disini? Di bawa pulang?
Dia bukan restoran, kan!!!
Jingga menyembunyikan kepalanya ke belakang pintu dan meratap sepersekian detik. Inikah akibatnya kalau dia membantu sembarang orang?! Tapi ini tetangganya.
Lalu Jingga teringat soal cuaca yang akan mengisolasi selama beberapa hari kedepan.
"Kau tidak beli perbekalan?" tanya Jingga kembali memunculkan kepalanya.
Setelah diam yang lama, Jingga pikir tetangganya itu tidak akan menjawab.
"...tidak beli. Persediaan di rumah habis."
"...Oh, kalau begitu..." kau tunggu di luar, aku tutup pintu dulu, lalu aku akan kembali sebentar lagi?
Belum dia mengucapkan kalimatnya, tetangganya itu tiba-tiba jatuh pingsan.
"!!" apa nih, akting?
Setelah menunggu beberapa saat, sosok yang tergeletak itu tidak bergerak juga.
Betulan pingsan! "M-Mas!!"
********
Jingga mengingat kembali kejadian beberapa waktu lalu. Jingga, kau kenapa sih? Kenapa menyeret orang asing kerumah?
Bukankah yang dia lakukan justru mencurigakan?
"Sekarang apa?"
Tapi barusan Jingga sungguhan panik dan yang terpikirkan adalah membawa orang ini lebih dulu ke dalam rumah setelah dia memastikannya bernapas.
Jingga menatap tetangganya—yang dia tidak tahu namanya—yang kemarin masih menyelisihinya—yang kini terbaring di sofa ruang tengahnya.
'Ya Allah, inilah tinggal sendirian. Coba ada temen, aku pasti ga akan bingung mesti gimana.'
"... udah gila aku, ya?" Jingga menekan dahinya yang berdenyut menyakitkan. "Aku telepon ambulans saja..," kata Jingga setelah ragu setengah detik. Jingga memeriksa daftar nomor darurat di ponselnya dan langsung menelepon.
Trrrr
"Dengan 911 ada yang bisa di bantu?" benar-benar bisa diandalkan, Jingga tidak perlu menunggu lama untuk tersambung.
"Ah, ya. Tetangga saya pingsan tiba-tiba.."
"Ugh...," erangan terdengar dari sofa.
"Ah, kau bangun?"
"Halo? Bisa dijelaskan situasinya?"
"O-oh, iya, tetangga saya pingsan tapi sekarang sudah baik-baik saja. Sumimasen,"
Jingga bertukar beberapa kata sebelum operator memutus sambungan. Dia berdiri dengan jarak aman dari sofa dan memanggil hati-hati, "..Hei?"
"Ara...."
"Ara?"
"Araheta...," pria itu mengeluh.
"... Lapar? Ka-kau lapar?"
"Ugh.." laki-laki di sofa itu memegangi perutnya sambil merintih pelan.
"Anu..., aku panggilkan ambulans, ya?"
"Tidak usah." jawaban lugas keluar, tidak terdengar lemah sama sekali.
"...." baiklah.
Jingga setengah menyeret kakinya ke dapur masih dalam kebingungan. Tongkat baseball dia tepikan, dan Jingga mulai memasak bubur sederhana. Nasi sisa makan malamnya dia blender dan di campurkan air sebelum di didihkan di atas api kecil.
Karena dia baru stok, Jingga menambahkan telur, wortel dan seledri. Dalam keheningan malam itu hanya terdengar suara kesibukan Jingga memasak. Harum aroma masakan mulai menyebar ke ruang tengah.
Sepuluh menit kemudian, Jingga keluar dari dapur. Dia hampir saja melempar nampan di tangannya saat melihat tetangganya sudah duduk di meja. Tegak, tak bersuara, kalau bukan diperhatikan dengan seksama, Jingga kira dia tidak bernapas.
"...." Jingga menarik napas dalam, menahan kaget sekaligus heran. Kenapa tetangganya ini suka mengubah genre jadi thriller? Jingga meletakkan mangkok di meja.
Seperti orang brengsek, pria itu tidak mengucapkan apa-apa setelah tujuannya tercapai. Pada suapan pertama, gerakannya terlihat ragu-ragu. Kedua dan seterusnya barulah biasa. Gelagatnya seperti hewan liar yang tidak percaya pada manusia.
Jingga : Speechless.jpg
Jingga melihat pria didepannya makan seperti boneka. Duduk tegak, tanpa suara, hanya menggerakkan sendok ke mulut. Tanpa jeda, dengan konstan.
Di tambah cahaya yang temaram....
Ahhhhhh!!
"Oh iya," Dengan keadaan seperti ini, Jingga memaksa dirinya untuk mengisi keheningan. "Waktu di klinik siang tadi, katanya kau kurang nutrisi dan dehidrasi. Kau tidak makan atau... apa?" Awalnya tidak niat, tapi begitu memulai, Jingga tak bisa menahan diri untuk memikirkannya. Benar, kenapa? Apa karena tidak punya makanan? Tidak punya uang?
Jingga tidak berharap di jawab, karena dia mengerti bahwa tetangganya memilik sifat yang kontradiktif.
Antara benci tapi butuh, kira-kira begitulah.
Tidak di sangka, pria itu menjawab. "TIdak masak."
"Oh? Kenapa?"
"Agak... malas." gumam pria itu lalu menyelesaikan suapan terakhir.
Malas? Jadi kau kelaparan karena malas masak? Filosofi hidup yang sungguh berbahaya.
"Gochisousama." lanjut pria itu singkat dan mendorong mangkok menjauh darinya.
Dengan maklum Jingga membawa mangkok itu ke dapur dan kembali duduk. Pria itu melirik sekeliling apartemen Jingga dengan wajah penasaran yang Jingga sangka tidak akan pernah dia lihat pada pria yang senantiasa sinis itu.
Jingga membuka tutup mulutnya sebelum membulatkan hati.
"Hei, soal itu..." Jingga berpikir beberapa saat. "Katanya kau tidak ada persediaan untuk beberapa hari. Kebetulan aku beli banyak makanan instan jadi kau bisa pilih beberapa."
'Bilang iya, terus pergilah dari tempatku. Please.' Jingga tidak terbiasa berduaan dengan lawan jenis seperti ini. Kalau bukan karena darurat tidak mungkin hal ini terjadi.
"Kalau kau merasa tidak enak badan... aku bisa bantu hubungi ambulans... bagaimana?" Lima puluh persen Jingga merasa pria ini akan menolak.
"...Namamu Mangis?"
"...Ah?" Dia tidak mendengarkan aku sama sekali. Jingga menarik napas dalam-dalam.
"Namamu." ulang laki-laki itu.
"O-oh, namaku." Namanya Jingga, tapi pelafalannya seringkali salah jika diucapkan oleh orang lokal. "Ah, namaku Jingga. Jin-ga."
"Jin-ga? Itu nama pertamamu." kata laki-laki itu. Tidak mungkin dia memanggil orang yang baru dia kenal dengan nama depannya—kira-kira begitu maksudnya.
"Nama depan....," Jingga tentu punya nama depan dan belakang, tapi nama belakangnya bukan nama yang wajar untuk di pakai sebagai panggilan. Dan lagi.. nama belakangnya agak... aneh kalau disebut.
"Kau panggil nama depanku saja." kata Jingga serius.
Pria di depannya mengerutkan kening, menolak.
Jingga menarik napas panjang dan akhirnya menyerah. "Nama belakangku, Manis."
"Aku tahu. Manisu?"
"...Jangan pake su." Kenapa dia bisa tahu? Tapi Jingga tidak mau repot-repot menggali.
"Ma-nis?"
"...."
"Manis?"
....asd, kenapa aneh banget. Jingga menahan diri supaya tidak merespons berlebihan dan mengangguk sulit.
"Namaku Oda Shuji."
"Oh? Aku.. panggil Shuji atau Oda..?"
"Shuji."
Jingga memiringkan kepalanya curiga. "Bukannya itu nama depanmu?"
"Aku kurang suka dipanggil Oda. Panggil Shuji saja." pria itu, Shuji, lalu menatap Jingga seperti ini adalah fakta—dan Jingga harus mengikutinya.
"Bukannya orang luar negeri sudah biasa memanggil dengan nama depan?" kata Shuji. Dibelakangnya ada tanda tanya, tapi kalimat itu sebenarnya pernyataan.
Shuji tidak menunggu Jingga untuk membalas dan langsung to the poin. Dia mengeluarkan lima puluh ribu yen. Jingga sampai membulatkan matanya.
Berdua, di ruangan yang temaram, di malam yang larut ini, di tambah transaksi uang...
Tapi untung saja mulutnya di tahan sebelum dia keceplosan.
"Dapur ditempatku tidak bisa di pakai." kata Shuji singkat. "Sampai cuaca kembali sediakala, aku numpang makan disini."
"Hah?"
"Aku tidak suka seledri dan menurutku rasanya bisa dibuat sedikit ringan." Shuji berdiri dari kursinya. "Besok sarapan porsinya tolong di tambah."
Jingga: ......
"Dah."
Clak.
Sampai pintu tertutup, Jingga masih memproses untuk mencerna apa yang baru saja terjadi.
"Dia... minta aku jadi tukang masak, begitu, kan...?" Jingga bertanya pada udara. Melirik ke selembaran lima puluh ribu di meja, uang itu nampak berkilau. Seperti sedang melambaikan tangan padanya.
"... Ini terlalu banyak." gumam Jingga. Tunggu, bukan ini poinnya.
'Kenapa aku mau-maunya di suruh-suruh begini?'
"Dapurnya tidak bisa di pakai?" alasan konyol apa itu? Pertama kalinya Jingga menemukan manusia seperti Shuji. Datang minta makan, lalu pergi setelah memberi uang.
Di satu sisi Jingga merasa kesal, di sisi lain dia merasa sedikit khawatir soal keadaan tetangganya. Kemarin dicakar kucing, hari ini masuk klinik gara-gara di hajar, kemudian pingsan di depan pintunya.
Di pikir-pikir tetangganya itu malang juga.
"Bukankah cuma beberapa hari?" Jingga memutuskan untuk menerima tantangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
anggita
dukung ng👍 like aja...
2023-10-22
0