5. Kusut

Jingga berdiri berdekatan dengan Shuji dan keduanya memasang jarak bersamaan. Dari sini dia baru sadar kalau Shuji cukup tinggi. Biasanya dia hanya perlu mengangkat kelopak matanya, kini dia harus menengadah.

'Sudah seperti ini.' Jingga menghela napas dan hendak mengajak Shuji makan.

Tapi pria itu sudah menyamankan diri dan duduk di meja makan.

"...." basa-basi yang dia siapkan tidak lagi di perlukan, Jingga menahan bibir bawahnya dan bergerak membawa sepasang alat makan ke meja. Biasanya dia menikmati hari-harinya di rumah, tapi kali itu dia berdoa semoga hujan cepat selesai dan Jingga bisa kembali beraktivitas.

Shuji tidak mengasingkan diri dan mengambil nasi dengan begitu tenangnya. Berasa seperti rumah sendiri.

"... Kau...." di tengah-tengah makan, Jingga membuka mulut. "Kau ada niat melakukan sesuatu?" pertanyaan itu membuat sumpit Shuji mengambang sesaat sebelum bergerak lagi. Mata pria itu tidak beralih dari mangkuk nasi. Dengan suaranya yang masih nasal dia menjawab perlahan.

"Sesuatu yang bagaimana?"

"Sesuatu...., misalnya niat untuk membersihkan apartemenmu dan seterusnya." Tidakkah dia berpikir kalau tempat itu perlu dibersihkan? Mungkinkah... memang begitu cara hidupnya? Jingga tidak mengatakan kalimat terakhir itu dan hanya menyimpannya sendiri.

"..Ohh..," nada Shuji di akhir sedikit diseret seolah lega akan sesuatu. "Tentu saja mau. Hanya sekarang belum ada waktu." Shuji mengangkat matanya bertemu Jingga. Mata hitamnya yang biasa terlihat redup itu menunjukkan binar.

"Tenang saja, aku tidak akan makan disini selamanya." Untuk alasan sebenarnya, hanya Shuji yang tahu.

'Maksudnya dia senang tidak lagi berurusan denganku, begitu kan?' Perasaan Jingga kali ini hanya datar, tanpa riak sama sekali. Sekalipun Shuji mengatakan sesuatu yang menyakitkan, Jingga akan menganggapnya sebagai angin lalu.

Obrolan singkat itu memecah sedikit atmosfer canggung diantara keduanya. Mereka bisa makan tenang berdua seperti ini, seakan memberi Jingga ilusi bahwa hubungan mereka baik. Dengan perasaan senang dia membuka mulutnya.

"Tapi kenapa harus menunggu waktu?" maksudnya, kan bisa dikerjakan sendiri sekarang?

"...Tentunya aku tidak bisa mengerjakan semuanya sendiri."

"....Kenapa?"

Untungnya, Shuji tidak melayangkan tatapan hina-nya itu dan hanya fokus makan. "Lebih baik mengandalkan orang yang profesional." kata Shuji singkat.

Tidak perlu waktu lama untuk Jingga menghabiskan makannya. Di saat kerja, waktu istirahat hanya bisa dia pakai untuk makan dan sembahyang. Bisa di bilang makan cepat bukan kebiasaan yang baik. Biasanya Jingga akan makan perlahan jika dia ada di rumah atau di luar jam kerja. Tapi mungkin dia terlalu ceria dengan kehadiran orang lain yang makan bersama dengannya—lupa kalau tadi siang dia masih gemetar ketakutan.

Jingga melirik mangkuk nasi Shuji yang masih setengah terisi, lalu melirik piring miliknya.

Dengan gerakan pelan, Shuji menyapit tempe dan mengigitnya. Gerakannya terlampau santai, seperti iklan tv. Hanya saja wajahnya yang memar itu membuat keseluruhan gambaran jadi komikal.

"Kau selalu makan seperti ini?" tanya Jingga heran.

"Kenapa memangnya?"

Jingga memicing heran. Kenapa dia begitu antusias mengobrol kali ini? Jingga masih ingat bahwa orang didepannya ini menyimpan kata se-berharga emas. Tapi dia tidak pintar menebak dan berspekulasi, jadi dia berhenti berpikir.

"Masakanmu enak." Basa-basi. Tentu saja, aslinya Shuji berpikir kalau ini adalah selera dia. Bukan serta-merta karena Jingga yang jago masak.

"Benarkah?" Jingga merasa ragu dengan pujian Shuji, karena ini hal yang langka untuk di dengar. Tapi dia tetap merasa senang. "Menu apa yang paling kau suka?"

"Hmm." Shuji berpikir sejenak. "Kurasa aku suka jamur..." entah karena kelaparan atau memang enak, Shuji ingat pertama kali makan, sampai wadahnya dia jilat. Mengingatnya, Shuji ingin mengubur diri.

"Gochisousama." Shuji mengakhiri makannya dengan menghabiskan air sampai tak tersisa. "Airmu rasanya enak, kenapa bisa?"

"Huh? Ah, kau pakai air langsung dari kran?"

"Hm. Kenapa memangnya?"

"Mungkin karena kebiasaan. Ditempatku aku biasa minum dari air terpisah." Jingga menunjuk galon di sudut ruangan. Di atasnya duduk pot kaktus kecil dengan pita yang manis. "Katanya, di beberapa daerah, air kran tidak begitu enak... mungkin itu sebabnya?"

"...begitukah?" Masuk akal, karena tidak semua sumber air di setiap tempat akan sama kualitasnya. Shuji mengangguk-angguk sebelum bangkit menuju pintu.

"Tunggu." Jingga membuka pintu lebih dulu dan memeriksa keadaan di koridor.

"Baiklah, kau bisa keluar."

Shuji tidak berkomentar dan keluar dengan patuh, kembali ke apartemennya.

Esoknya berita cuaca hujan angin selesai memenuhi TV, dan kegiatan berangsur-angsur pulih kembali. Jingga akhirnya menarik napas lega. Besok ia mulai kembali bekerja, Jingga bisa berhenti membuat menu makan. Antara senang dan sedih, hm, Jingga tidak mau memikirkannya dalam-dalam.

Setelah ini mereka mungkin hanya akan jadi tetangga yang kalau bertemu cuma saling angguk. Memikirkan mereka makan bersama lagi di masa depan.... Jingga tidak bisa membayangkannya, oke. Karena dari awal interaksi keduanya terjadi di bawah tekanan keadaan.

-Hari berikutnya-

Amplop berisi seratus ribu yen itu Jingga ambil bersama menu makan malam, sejam sebelum waktu makan biasanya.

Jingga menekan bel. Mungkin karena aneh ada yang menekan bel di jam segini, pintu di buka agak lama.

"Huh, sekarang belum waktunya." gumam Shuji yang terkejut melihat Jingga berdiri di depan pintu.

"Ini makan malam. Dan ini," Jingga tidak meneruskan kata-katanya.

"Apa ini?" Shuji memutar surat. "Surat cinta?"

Jingga menarik napas, menahan urat kesal di dahi. "Itu uangmu,"

"Uang?" Mendengar itu, Shuji mengintip isi amplop dengan sebelah tangan. "Ini uang yang aku beri padamu, kan?" laki-laki itu mengerutkan keningnya.

"Jangan salah paham. Dari awal yang memberikan uang itu sepihak adalah kau." Jingga berkata tenang. "Dan besok aku sudah berangkat kerja lagi. Jadi ini hari terakhir aku masak untukmu."

"Tunggu, apa maksudmu besok kerja lagi?"

"Kau tidak tahu? Beritanya ada di tv."

"....."

"Ah...," mengingat mahakarya di ruang tengah apartemen Shuji, Jingga menutup mulut dan tidak melanjutkan.

".......Hp?"

"......"

Jingga mengangguk-angguk, padahal Shuji belum menjawab apa-apa.

"Tidak apa-apa, banyak kok orang yang lebih suka baca koran daripada main handphone." Jingga menghibur Shuji, berusaha untuk tidak menyinggungnya. Apalagi kalau sampai memprovokasi...

"Hp-ku rusak." Kata Shuji cepat.

"Oh, begitu." Jingga mengangguk. "Pokoknya itu saja." Jingga membuka-tutup mulutnya namun akhirnya dia tidak melanjutkan. "Sudah, ya."

Jingga sebenarnya ingin mengambil kembali wadah makannya, tapi mengingat reaksi Shuji pertama kali.... dan keadaan mentalnya sedang tidak baik-baik saja...

Jingga mencoba merelakan wadah makannya dengan lapang dada dan kembali ke apartemennya. Perempuan itu diam sebentar dekat pintu dan memeriksa sebelum bernapas lega setelah yakin terkunci. Sadar akan tingkahnya, Jingga tertawa satir.

'Oh, Jingga. Kau berlagak seperti orang baik padahal munafik.' Masih ada ketakutan dalam dirinya.

Jingga menyeret kakinya ke dapur dan mulai makan malam. Tv dinyalakan sekedar untuk mengisi kekosongan. Matanya bergerak ke kursi makan di depannya dan mulai khawatir.

"Jelas-jelas dia sedang kesulitan...." Jingga mulai berbicara sendiri sambil memainkan nasinya. "Mungkin aku hanya parno dan seterusnya... tapi..." Tapi ini pertama kalinya dia melihat orang yang depresi.

Jingga sadar mungkin dia terlalu mendalami. Kadang Jingga bertanya-tanya, apa maksud Tuhan menunjukkan hal ini? Sedangkan dia baik-baik saja kalau pun tidak tahu. Jingga hanya bisa mengartikannya sedikit demi sedikit sesuai pemahamannya yang terbatas.

Mungkin supaya aku lebih hati-hati dan menjauhinya.

Jingga daftar dengan visa kerja mandiri. Semua dia lakukan sendiri dari kursus keahlian sampai turun panggilan. Karena itu dia tidak memiliki banyak kenalan. Apartemen ini dekat lokasinya dengan tempat kerja, tapi disana pun dia satu-satunya orang asing.

Dihadapkan keadaan ini, di tambah kesepiannya beberapa bulan ini, Jingga tidak bisa menahan air matanya.

Hanya, kesedihannya berlangsung sesaat.

Sambil mencuci piring bekas makan, Jingga menyemangati dirinya sendiri. "Apa yang menyedihkan? Gajimu oke, kerjamu ringan tidak seperti yang lain, kau ada tempat tinggal, bisa sembahyang juga!"

"Kenapa kalau tetanggamu sedikit aneh? Dia tidak mencemoohmu...," suara Jingga mengecil sebelum mengeras lagi. "Tapi dia tidak menggunjingmu, dan..., dan....," Jingga kesulitan memikirkan kebaikan apa yang tetangganya miliki.

"Lagi pula, kenapa dengan depresi? Justru di masa ini aku harus bantu, biar dia semangat lagi." tentu saja Jingga tidak akan sengaja menghampiri... tapi kalau kebetulan dia lihat tetangganya sedang kesulitan, selama dia bisa bantu kenapa tidak?

Cuci piring yang biasa selesai lima menit itu baru selesai dua puluh menit kemudian karena Jingga mengerjakannya sambil bernarasi.

--------------*****---------------

Keduanya kembali pada aktivitas masing-masing. Jingga dengan pekerjaannya, Shuji dengan perdebatannya—apapun itu. Kalaupun keduanya berpapasan, Jingga hanya akan mengangguk sebagai bentuk sapaan. Tentu saja Shuji tidak membalasnya, hanya menatap Jingga tajam tanpa alasan yang jelas.

Mungkinkah Aku melakukan kesalahan lagi? Jingga menggumam dalam hati.

Tapi hal itu segera terlupakan karena frekuensi pertemuan keduanya benar-benar rendah.

Berkebalikan dengan pertemuan mereka yang seperti penuh dengan 'kebetulan' sebelumnya, mereka berpisah seperti dua dunia yang berbeda.

Jingga membeli yoghurt dan jus sepulang kerja. Mendekati area gedung, dia melihat kucing oranye dan diam sejenak sebelum ingat. Bukankah ini kucing yang Shuji tangkap waktu itu?

Salah satu yang menjadi pertanyaan Jingga yang belum terjawab sampai sekarang adalah, apa yang Shuji lakukan dengan kucing itu sampai rela di cakar?

Jingga tersenyum dalam hati, *bahkan orang depresi pun menyukai kucing. *

"....Oh," Jingga tersenyum kecut, kenapa dia memikirkan orang itu lagi.

"Hai, apa kabar?" Jingga berjongkok dan mengelus kucing oren yang berbaring dekat kakinya. "Kau jinak juga ya, ternyata?" kok bisa dia mencakar Shuji sebegitu hebatnya?

Dengkuran renyah terdengar seperti merespon kata-kata Jingga, membuatnya tidak bisa menahan tawa.

"Kau lucu sekali.. sayang apartemenku tidak boleh pelihara hewan."

Setelah bermain beberapa menit, Jingga bangun dan berpamitan pada si kucing.

Saat memasuki gedung, dia bertemu dengan Shuji.

"Oh, hai, kebetulan banget." sapa Jingga tanpa pikir panjang—basa basi yang biasa dia lontarkan.

"Kebetulan apanya? Kan masih satu gedung, wajar kalau bertemu." kata Shuji datar dengan maksud menggerutu.

"...." iya juga sih. Keduanya tidak memutuskan untuk bersama-sama, tapi karena searah, Jingga mengikuti Shuji menuju lift.

Jingga melirik Shuji yang habis dari luar, dengan kaos putih polos dan celana pendek selutut, backpack di belakangnya seperti dia habis travel.

Jingga tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. "Kau habis darimana?"

"....jalan-jalan."

"Ohh?" mengingat bahwa beberapa waktu lalu keadaan Shuji masih depresi, Jingga merasa senang mendengar tetangganya berkegiatan. Jalan-jalan bisa mengurangi stres, kan.

"Apa kau ada niat jalan-jalan lagi? Bagaimana kalau ke XX dan XXX? Waktu liburan aku pergi kesana dan tempatnya sangat bagus." sambung Jingga.

Terbawa suasana, Shuji mencatat nama tempat yang Jingga sebut di benaknya. "Kau pernah kesana?" Shuji bertanya-tanya dalam hati apakah perempuan ini pergi sendiri, dengan teman asing, atau dengan orang lokal...? Tapi dia tidak bisa menanyakan hal itu.

"Ya, waktu awal-awal datang, aku penasaran jadi aku banyak keliling."

"Hmm."

Ting.

Lift terbuka dan keduanya masuk.

"Soal itu..." Jingga berkata ragu.

"Apa? Bilang saja." sela Shuji sambil menekan tombol lantai.

"Ah, ya. Soal rumahmu....,"

"Rumahnya sudah dirapikan seminggu yang lalu." jawab Shuji pelan. "Waktu itu kau bekerja jadi tidak tahu."

"Oh, begitu." Jingga bernapas lega.

Syukurlah. Kali ini Jingga akhirnya bisa benar-benar tenang. Ketika sampai di lantai tujuan, Jingga tidak menunggu Shuji dan sukarela keluar duluan. Mengingat kalau Shuji orang yang suka ketenangan, Jingga takut dirinya menganggu.

"Kalau begitu aku duluan, bye."

Shuji keluar lift lebih lambat beberapa langkah, namun tidak langsung jalan. Dia diam mengamati di tempat sampai Jingga melangkah jauh dan masuk ke kamar apartemennya.

***

Shuji membuka pintu apartemennya dan bernapas lega begitu menghirup aroma rumah yang akrab. Kalau Jingga melihat isi apartemen Shuji saat ini, dia akan terkejut. Karena isi perabotan dan tata letaknya 70% mirip dengan apartemen Jingga. Bahkan galon airnya pun memiliki kaktus yang sama.

Shuji merasa desain apartemen Jingga cukup nyaman, kenapa tidak dia ikuti saja? Tidak ada yang melarang juga, apalagi hak cipta?

Sayangnya beberapa ruangan masih menggunakan tata letak yang sama, karena Shuji belum pernah menelusuri isi rumah Jingga dengan menyeluruh.

Backpack-nya Shuji letakkan dengan apik di kamar, sebelum dia mandi dan pergi ke dapur. Tidak seperti keadaan lalu, apartemen Shuji kini rapi seperti baru. Bahkan pisau yang biasa dia sembunyikan pun kini diletakkan di konter dengan berani.

Shuji membuat samosa, membuang bahan yang dia benci dan mengurangi bumbu yang baunya menyengat. Rasanya masih enak tapi dia merasa seperti ada yang kurang.

'Mungkinkah karena bahan-bahannya aku ganti sedikit?' tapi yang diubah hanya bahan sampingan, bukan bahan pokok. Harusnya tidak berbeda jauh. Shuji sudah memasak, sudah membuat atmosfer yang sesuai, apalagi yang kurang?

'Mungkinkah aku harus makan dengan orang lain?' dia makan di tempat publik waktu travel, di sekelilingnya ada banyak orang, tapi rasanya biasa saja.

Sebetulnya Shuji terjebak dalam keadaan ini—bukan kasus baru. Awalnya dia masih meraba dan memutuskan untuk menjelajah ketertarikan barunya soal makanan. Tapi dia selalu merasa ada yang kurang. Shuji memutuskan untuk mengatur waktu percobaan. Setelah lewat dari waktu yang dia tentukan, dia kini sadar bahwa perasaan yang hilang itu bukan sekedar firasat.

"Apa yang perempuan itu masukkan ke makananku?" Shuji bertanya pada dirinya sendiri. Kecurigaannya bertambah setiap berpapasan dengan Jingga. Dia merasa ada suatu kesenangan yang asing, Shuji tidak bisa menggambarkan perasaan apa ini.

"...mengesalkan." Shuji menyuap habis samosa-nya dan mencuci piring.

Mengikuti saran Jingga, apartemen Shuji dibersihkan dan di tata ulang. Dia menghabiskan aktivitasnya di dalam apartemen, disaat dia merasa tertekan, dia akan travel.

Kali ini dia bisa berpikir jernih, dan mengakui bahwa waktu-waktu kemarin dia benar-benar tidak sehat.

Shuji ingin mencoba mengobrol dengan Jingga lagi, tapi membayangkan sosok dirinya yang kacau kemarin-kemarin, Shuji tidak punya muka untuk memulai.

Setelah makan bersama terakhir kali, Shuji berkaca. Dia sangat kaget dengan wajahnya yang bengkak dan kacau. Dia sempat bertanya-tanya, bagaimana bisa Jingga tahan makan dan duduk bersamanya? Wajahnya waktu itu bernar-benar menghilangkan nafsu makan.

"Tentu saja aku tidak lagi buruk rupa," Shuji mengusap dagunya dan menilik penampilannya di cermin. "Harusnya kesan dia sudah berubah, kan?"

Dia menyapu rambutnya ke belakang. Shuji tidak bohong, dimasa karir emasnya, dia termasuk pria populer yang selalu dapat ajakan dari rekan perempuannya setiap pulang kerja.

"Waktunya masker rutin." Shuji membuka bungkus masker dan memasangkan ke wajahnya hati-hati. Setelah melakukan rutinitas ini berhari-hari, dia sudah ahli mengaplikasikan skin care dan sejenisnya.

Wajahnya yang sudah bagus itu jadi tambah berkilau setelah di rawat hati-hati.

Satu yang di sesalkan, biaya perawatan wajah tidaklah murah. Dia harus cepat-cepat cari penghasilan, kalau tidak, dia harus berhenti maskeran selamanya.

"Aku harus mulai cari kerja... Sangat disayangkan, tapi mau bagaimana lagi? Ini bagian dari siklus kehidupan." Shuji bicara pada dirinya sendiri. Dia tidak ada niat untuk kembali ke pekerjaan lamanya, mungkin dia bisa jadi food blogger dan sejenisnya?

Esok paginya, Shuji olahraga pagi dengan jalan keliling taman. Setengah jam kemudian, Shuji pergi ke stan roti terdekat untuk sarapan.

"Oh, kau... pemuda yang tinggal di apartemen, kan?" seorang wanita paruh baya bersuara tiba-tiba. Shuji menoleh dan tidak langsung menjawab.

"Anak muda, memang beginilah seharusnya. Pergi keluar, jalan-jalan, jangan muram seharian." kata ibu-ibu itu jelas padanya. Shuji memasang senyum kering dan mengucapkan 'hai, arigatou, sumimasen' dengan setengah hati.

Ibu-ibu itu pergi duluan setelah membeli sarapan. Shuji menebak ibu-ibu itu sepertinya masih penghuni apartemen. Dalam hati dia berharap tidak akan bertemu lagi...

"Hai."

Suara familiar itu langsung mencuri perhatian Shuji.

"Hm." dengan kaku Shuji menjawab. Jingga yang lewat, berbelok untuk beli sarapan juga. Atas reaksi Shuji itu, dia tidak tersinggung sama sekali. "Aku lihat kau habis mengobrol dengan ibu-ibu itu."

"Hmm." A**neh? Dia kan punya mulut.

"Aku tidak tahu kau bisa mengatakan maaf."

Shuji merasa terhina mendengar komentar itu.

"Oh, maksudku, ini sisi yang tidak biasa." Bagi Jingga, ini pertama kalinya dia melihat Shuji begitu sopan pada seseorang sampai bilang maaf dan terimakasih. Mungkin sifat sinisnya memang hanya tertuju pada Jingga.

"Terus aku harus bagaimana? Mengabaikannya?" Shuji menuntut.

"Em.. tidak juga. Menurutku tadi itu bagus."

"Hmph."

"Ah, Jingga-san." dari jauh terdengar suara.

Shuji menghiraukan suara itu, sampai dia mendengar Jingga menyahut dan keduanya terlibat dalam percakapan. Kalau di pikir-pikir, nama perempuan itu memang Jingga. Tapi yang Shuji ingat hanya 'Manis'. Jingga Manis.

Melihat perempuan itu mengobrol begitu akrab dengan seorang pria yang Shuji tak kenal, membuat dia mengerutkan kening tanpa sadar.

'Siapa? Mereka kelihatan begitu akrab.' Shuji memperhatikan di tempatnya. Begitu detail sampai menyadari si pria itu merona pipinya saat di puji.

'Menjijikkan.' Shuji memaksa untuk mengalihkan tatapannya dan segera pergi dari situ. Namun bayangan Jingga yang asik mengobrol dengan pria itu tak hilang dari pikirannya.

'Bukannya wanita itu selalu sendirian? Siapa laki-laki itu?' Sampai di apartemennya, Shuji langsung melempar sarapannya ke meja dan bergerak ke jendela. Dari lantai apartemennya, dia hanya bisa melihat dua garis yang berdiri berdampingan: Jingga dan pria asing itu. Shuji melirik jamnya dan menghitung.

Ketika keduanya berpisah, Shuji merasa marah entah atas dasar apa. Tapi dia terlalu marah untuk memikirkan alasannya.

'Lima belas menit!' Shuji berbalik tapi segera kembali ke kaca. 'Apa yang mereka obrolkan sebegitu lamanya sampai 15 menit!!'

Shuji melotot marah pada Jingga yang pergi untuk bekerja. Sampai sosoknya menghilang ke area halte, barulah dia menarik pandangannya.

'Siapa laki-laki itu sebenarnya...'

Terpopuler

Comments

anggita

anggita

jingga... shuji,, 👏👌

2023-10-22

0

lihat semua
Episodes
1 1. Semua harus ada Goal
2 2. Beginikah Caranya?
3 3. Anti-Parasitisme
4 4. Transisi
5 5. Kusut
6 6. Aku Lebahnya, Yang Lain Kecoak.
7 7. Tidak Sadar
8 8. Penjaga
9 9. Bukan Level
10 10. Gadis Bayangan
11 11. Sedih dan Senang
12 12. Kejar?
13 13. Resolusi
14 14. Untuk Bersama
15 15. Malu? Apa itu malu.
16 16. Yuk main yuk
17 17. Tangkap dan Lepaskan
18 18. Cerita seseorang
19 19. Sweet Time
20 20. Teh Manis
21 21. Berita
22 22. Tik, tok, tik, tok
23 23. Gimana lagi lah ya
24 24. Sudah kuduga
25 25. Akar yang rusak
26 26. Angin
27 27. Bakti
28 28. Sakura
29 29. Clean N Clear
30 30. WAKIL
31 31. Selamat Tinggal
32 32. Hibernasi
33 33. Keringat
34 34. Masih rahasia?
35 35. Rahasia lama
36 36. Mengambang
37 37. Jujur
38 38. Terbuka
39 39. Want You
40 40. Bersedia
41 41. Mother
42 42. Ay
43 43. Debut
44 44. Tidak Seperti Harapan
45 45. Asing
46 46. Siapa tahu
47 47. Bagi-bagi
48 48. Househusband
49 49. Cantik
50 50. Sampai
51 51. Kenanganmu
52 52. Rencana Karir
53 53. RadioOnPod
54 54. Gak usah lama lama pisahnya
55 55. Punya Anak
56 56. Ryu
57 57. #YukNikahSamaOrangJ
58 58. Dicegat
59 59. Jadi CEO mau ga?
60 60. Istirahat
61 61. Tahun Baru
62 HARI INI ABSEN
63 62. Saingan
64 63. Ikan Asin
65 64. Agenda
66 65. Bergerak ke Depan
67 66. Seumuran
68 67. Perselisihan
69 68. Noda
70 69. Nee San
71 TANTANGAN BACA kalian ngerti gak
72 70. Obrolan Gak Perlu
73 71. No more
74 72. Kunjungan
75 73. Bergetar
76 74. Diskusi
Episodes

Updated 76 Episodes

1
1. Semua harus ada Goal
2
2. Beginikah Caranya?
3
3. Anti-Parasitisme
4
4. Transisi
5
5. Kusut
6
6. Aku Lebahnya, Yang Lain Kecoak.
7
7. Tidak Sadar
8
8. Penjaga
9
9. Bukan Level
10
10. Gadis Bayangan
11
11. Sedih dan Senang
12
12. Kejar?
13
13. Resolusi
14
14. Untuk Bersama
15
15. Malu? Apa itu malu.
16
16. Yuk main yuk
17
17. Tangkap dan Lepaskan
18
18. Cerita seseorang
19
19. Sweet Time
20
20. Teh Manis
21
21. Berita
22
22. Tik, tok, tik, tok
23
23. Gimana lagi lah ya
24
24. Sudah kuduga
25
25. Akar yang rusak
26
26. Angin
27
27. Bakti
28
28. Sakura
29
29. Clean N Clear
30
30. WAKIL
31
31. Selamat Tinggal
32
32. Hibernasi
33
33. Keringat
34
34. Masih rahasia?
35
35. Rahasia lama
36
36. Mengambang
37
37. Jujur
38
38. Terbuka
39
39. Want You
40
40. Bersedia
41
41. Mother
42
42. Ay
43
43. Debut
44
44. Tidak Seperti Harapan
45
45. Asing
46
46. Siapa tahu
47
47. Bagi-bagi
48
48. Househusband
49
49. Cantik
50
50. Sampai
51
51. Kenanganmu
52
52. Rencana Karir
53
53. RadioOnPod
54
54. Gak usah lama lama pisahnya
55
55. Punya Anak
56
56. Ryu
57
57. #YukNikahSamaOrangJ
58
58. Dicegat
59
59. Jadi CEO mau ga?
60
60. Istirahat
61
61. Tahun Baru
62
HARI INI ABSEN
63
62. Saingan
64
63. Ikan Asin
65
64. Agenda
66
65. Bergerak ke Depan
67
66. Seumuran
68
67. Perselisihan
69
68. Noda
70
69. Nee San
71
TANTANGAN BACA kalian ngerti gak
72
70. Obrolan Gak Perlu
73
71. No more
74
72. Kunjungan
75
73. Bergetar
76
74. Diskusi

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!