Kaivan tidak bisa tidur, tadinya dia langsung tidur setelah belajar dengan Dania. Tapi, dia malah terbangun jam tiga pagi dan merasa sangat haus. Dia juga sedikit lapar.
Disaat seperti itu, Kaivan ingin makan pisang. Kebetulan semalam keluarga itu mendapat banyak paket buah tropis dari kerabat mereka yang tinggal di Thailand. Ada pisang, nanas, mangga, manggis, pepaya dan lainnya.
Meski Kaivan orang luar, mereka malah senang jika Kaivan tidak sungkan untuk mengambil makanan. Tidak ada istilah milik pribadi, yang ada di dapur bisa dimakan bersama, bahkan pelayan juga bebas mengambil. Kalaupun ada milik pribadi, biasanya disimpan di lemari es di kamar mereka.
Kamar Kaivan tidak ada lemari es, tidak masalah sih, dia juga tamu di sana. Kamar Kaivan sendiri dulunya kamar Hanbin, tapi sudah tidak terpakai karena Hanbin memilih tinggal di apartemen dekat kantornya. Makanya di lemari banyak pakaian tidak terpakai Hanbin. Kaivan masih memakai baju itu, terutama jika di rumah saja, kalau keluar pakai baju baru yang dia beli mahal-mahal. Kembali ke Kaivan yang lapar ingin pisang.
Karena itu dia pun keluar. Suasana rumah tentu saja sangat sepi. Kaivan akhirnya mendapatkan pisangnya, dan juga air kelapa segar untuk minum. Entah kenapa orang di rumah ini jarang menyukai air kelapa, meski kemasan tapi rasanya persis seperti ingatan Kaivan tentang air kelapa yang pernah dia minum. Masih ingat saat kecil Kaivan pernah bekerja di peternakan? Disana ada pohon kelapa cukup banyak di kebun, Kaivan biasanya diberi kelapa muda.
Dia berencana membawa dua pisang lagi bersamanya ke kamar.
Namun, dia dapat melihat kamar Dasha terbuka. Entah mengapa, Kaivan masih khawatir dengan gadis itu. Jadinya dia mengintip ke kamar itu, tidak peduli tingkah lakunya tidak sopan, dia akan minta maaf nanti.
Keadaan di dalam kamar membuat Kaivan terkejut, karena Dasha sedang minum dan makan di dalam sana, walaupun yang dimakan sekeranjang apel dan anggur.
Keadaan Dasha buruk, dia terlihat mabuk dan berantakan. Beberapa kaleng bir berserakan di lantai kamarnya.
Kemudian Dasha menyadari keberadaan Kaivan, dia terkekeh pelan lalu berdiri dan menarik Kaivan agar masuk ke kamarnya.
Kaivan gugup karena Dasha mengalungkan lengannya pada leher Kaivan.
"Kai, kamu tampan dan wangi sekali malam ini...." Bisik Dasha dengan suaranya yang lembut dan seksi.
Jelas, dia mabuk.
Suara yang membuat Kaivan merinding sekaligus gugup dibuatnya.
Degup jantung Kai berpacu tidak seperti biasanya, apalagi dia melihat wajah cantik itu dari dekat.
"Kak? Kau baik-baik saja?"
Dasha menggeleng pelan, lalu menyandarkan kepalanya di dada bidang Kaivan.
"Aku merasa kesal, sedih, stress, semua jadi satu. Penyesalan selalu datang belakangan, bukan? Aku tahu dia tidak mencintaiku, tapi aku yang egois ini terus saja membohongi diriku. Apa sih yang aku harapkan dari pria macam itu? Apa hanya karena dia tampan? Jika saja aku bertemu kamu lebih awal - tidak, kenapa umurmu harus dibawah ku sih? Aku jadi tidak bisa ngapa-ngapain kamu kan, Kai?"
"Memangnya kakak mau apa?"
Kaivan berusaha menjauhkan Dasha dari tubuhnya, tapi Dasha malah semakin erat dan merapat padanya.
Tangan kanan Dasha mulai membelai dada Kaivan, lalu turun ke perutnya, merasakan otot perut yang sudah terbentuk itu. Gerakan tangan yang cukup sensual itu membuat Kaivan merasa tidak nyaman, jantungnya berdegup tidak karuan.
"Sesuatu yang dewasa, mungkin?"
Bruk!
Refleks Kaivan mendorong Dasha dengan kuat, hingga jatuh ke ranjang.
Kaivan jelas paham dengan ucapan Dasha. Traumanya masih melekat disana meski sudah memiliki penguatan mental level tiga. Bayangan ibunya dan beberapa pria berbeda bercinta di hadapannya, sedangkan dia menahan lapar dan kesakitan melintas lagi. Kaivan hanya anak-anak saat itu, adegan tidak senonoh yang terekam jelas itu merusak otaknya, menimbulkan trauma mendalam.
Bahkan melihat adegan ciuman di drama saja dia tidak sanggup.
Perlakuan Dasha yang seharusnya biasa saja menjadi luar biasa menyiksanya.
"Aduh! Sakit...." Keluh Dasha, dia berusaha duduk, kemudian melihat Kaivan yang bertingkah aneh dengan wajah pucat.
"Kaivan? Kamu kenapa? Apa ini gara-gara aku? Maaf - Kai!"
Kaivan pun kabur, masih membawa pisangnya, menuju kamar kemudian menguncinya rapat-rapat.
Tubuhnya merosot, deru nafas yang memburu membuat dadanya sesak.
"Kai, tenangkan dirimu! Tarik nafas perlahan, lalu keluarkan... Tarik nafas lagi, iya seperti itu!"
Rose dalam wujud bocah memeluknya erat, mengusap kepalanya dengan lembut.
"Kau baik-baik saja sekarang, tidak apa, aku ada disini. Kamu bisa pelan-pelan melupakan trauma itu. Tidak ada obat yang menghilangkan trauma, kamu harus menghadapinya dan melepaskannya sendiri, aku hanya bisa membantu sedikit."
Beberapa menit kemudian Kaivan mulai sadar, nafasnya sudah lebih teratur dari sebelumnya.
"Aku sangat lemah" gumam Kaivan.
"Kamu tidak lemah, kamu hanya berbeda, memiliki trauma bukan berarti kamu lemah, jangan seperti ini."
Kaivan mendongak, menatap Rose yang berlutut di depannya, wajah Rose yang cantik itu sedang khawatir.
"Tapi jika aku terus begini, aku mungkin tidak bisa menikah, kan? Aku - sepertinya aku tidak mau punya anak. Bagaimana jika aku menelantarkan anakku seperti ibuku melakukannya padaku? Bagaimana jika aku menyakiti anakku? Tidak, sebelum itu - apakah aku bahkan bisa membahagiakan istri ku? Bagaimana jika aku -"
"Kaivan, cukup! Itu tidak akan terjadi, kamu pasti bisa membuka lembaran baru, memiliki keluarga bahagia sendiri, ayolah, kamu harus kuat, ya?"
Kaivan mengangguk pelan, "iya."
Meski Kaivan sudah berkata iya, kenyataan tidak berkata demikian. Bocah itu mengurung diri lagi di kamarnya, hanya tidur atau main game.
Tidak peduli dengan orang rumah yang memanggilnya. Kaivan tentu tidak masuk sekolah, Hanbin yang harus memberi keterangan pada sekolah jika Kaivan tidak bisa masuk.
Dasha yang merasa bersalah tidak bisa mengatakan jika dia mabuk dan menggoda Kaivan.
Namun, setelah malam tiba dan Kaivan masih mengunci kamarnya, Dasha terpaksa mengatakan yang sebenarnya pada keluarganya, termasuk Hanbin juga.
Dania marah pada kakak perempuannya tersebut, kedua gadis itu sempat bertengkar, tapi Mark melerai mereka.
Hanbin kemudian menceritakan kemungkinan Kaivan memiliki trauma dengan keluarganya, mengingat ibunya bukan wanita yang baik.
"Kaivan kasihan sekali, melihat dia tumbuh menjadi anak baik saja sudah keajaiban, mengingat kebanyakan pembunuh atau kriminal terkenal berasal dari background keluarga seperti itu, bukankah Kaivan terlalu luar biasa?" Ucap Jihyo.
"Kau benar kak, kebanyakan anak seperti Kaivan berakhir tidak baik bahkan jadi kriminal tingkat atas. Aku tahu bocah itu tampan, tapi kalian sebagai gadis yang normal harusnya bisa menahan diri, bukannya menggodanya begitu, jika dia memilih pergi dari rumah ini bagaimana? Ku rasa dia masih belum aman, sindikat yang membawanya itu besar, yang ditangkap masih sebagian, bisa jadi Kaivan akan ditargetkan, mengingat tugas Kaivan di dalam sindikat itu adalah menuliskan dokumen penting mereka." Ucapan Hanbin membuat mereka bungkam seribu bahasa, terutama Dasha dan Dania.
"Kaivan belum makan, bagaimana ini?" Jihyo sangat khawatir dengan keadaan Kaivan, tapi tidak ada yang bisa mereka lakukan. Mereka takut jika terlalu memaksa, Kaivan malah akan pergi.
Mereka tidak tahu saja, jika Kaivan sudah memesan banyak makanan di kamarnya.
Dia sudah baik-baik saja, malah pesta makan dengan Rose.
"Keluarga itu mengkhawatirkan mu lho, gak mau nemuin mereka?" Rose memperdengarkan apa yang keluarga itu bicarakan. Kaivan juga berpikir dia hebat juga karena tidak terpengaruh jahat seperti lingkungannya.
"Besok saja, aku jadi merasa bersalah karena kekanakan begini."
"Kalau kamu memaksakan diri, kamu sendiri yang akan tersiksa, kamu butuh waktu sendiri juga kan?"
"Bagaimana jika kejadian ini terulang lagi? Apa aku akan terus seperti ini?"
Rose terdiam sejenak, mengunyah ayam gorengnya sambil berpikir.
"Ku rasa kamu harus menjalankan semacam terapi, meski itu sama sulitnya, paling tidak kita berusaha" ucap Rose setelah menelan makanannya.
"Terapi seperti apa? Jika merepotkan aku tidak mau."
"Jangan seperti anak kecil! Kamu butuh sembuh dari trauma atau enggak?"
Kaivan mengangguk "butuh!"
"Kalo gitu ya nurut aja! Ada seseorang yang bisa membantumu, dia bisa memberi terapi dan mengajarimu semacam yoga, untuk menenangkan hatimu."
"Oh ya?"
"Tapi kamu harus membayar kelasnya, biaya sekitar satu juta poin untuk sekali kelas."
Refleks Kaivan menjatuhkan sumpitnya di mangkuk Jajangmyeon yang sedang dia makan.
"Sekali saja satu juta poin? Mahal amat!" Protes Kaivan.
"Guru ini terkenal banget soalnya, kelasnya juga tidak bisa main-main! Tenang saja, kamu bisa mengulang kelas yang sudah kamu pelajari kok, otomatis terekam di ponselmu."
Kaivan mengernyitkan dahinya, "otomatis terekam?"
Rose mengangguk, lalu kembali mengangkat ayam gorengnya, "iya, kan kelas online."
Satu juta poin untuk satu kali kelas online? Ini mahal sekali, Kaivan pikir bahkan sekelas Vicky juga pasti berpikiran sama dengannya.
"Mau sembuh gak sih?"
"Ugh, aku pikirkan dulu lah."
"Kamu harus mengikuti kelasnya!"
"Kenapa kau memaksa?"
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
argha putera
percuma obat dri sistem? kwkwkwk gk guna itu sistem payah
2024-08-23
0
swek lord
lemah
2024-06-15
0
Sak. Lim
iya la punya system tpi kox msih trouma aneh mc nya lebay banget
2023-09-15
0