Pernikahan Suamiku (Istri Yang Dituntut Sempurna)
“M-mas, ... Mas suamiku. Sementara Mbak Nurma istri dari alm. mas Bandi, kakak kandung Mas. Namun, apa yang tadi kalian lakukan itu z-zin*a, Mas!” Suci menjelaskan dengan suara bergetar di tengah air matanya yang terus berlinang. Ia tatap kedua mata sang suami penuh keteduhan, meski kedua mata itu tetap menatapnya penuh kebencian.
Sampai detik ini, dada Suci masih bergemuruh hebat dan sudah terasa sangat pegal. Terlebih kini, di ingatannya tak hanya terngiang kejadian tadi pagi yaitu ia yang diserbu ibu-ibu tetangga rumah orang tua Budi, yang mengeluhkan perzi*naan Budi dan Nurma, dan mereka bilang sudah terlalu sering terjadi. Sebab adegan sang suami tengah asyik membenamkan wajah di sela*ngkan*gan Nurma sang kakak ipar yang mana keduanya sama-sama tak berb*usana, juga terus terulang. Adegan tersebut Suci saksikan secara langsung beberapa saat lalu. Adegan yang teramat menyakitkan, meski luka dari rasa sakit itu tak sampai berwujud apalagi disertai darah.
Namun, bukannya penjelasan apalagi permintaan maaf, yang Suci dapatkan dari Budi justru puk*ulan bertubi.
Bukkk!
Budi layaknya kerasukan arwah jahat dan tak kuasa mengontrol emosi. Pria itu tak bisa mengendalikan diri, terus saja sekuat tenaga meng*amuk Suci.
Wajah Suci benar-benar menjadi sasaran empuk tin*ju Budi, khususnya bibir Suci yang sudah mengeluarkan banyak dar*ah. Bibir yang juga menjadi penyebab kemarahan pria berusia tiga puluh tahun itu tak terbendung. Karena gara-gara ulah Suci meneriaki kebersamaan Budi dan Nurma “mali*ng”, beberapa saat lalu, Budi dan Nurma menjadi tontonan warga dalam keadaan tela*nja*ng. Bahkan karena ulah Suci tersebut pula, Budi yang awalnya tengah melakukan hub*ungan ‘sua*mi is*tri’ dan sedang as*yik-as*yiknya di kamar Nurma, harus menyudahi kea*syi*kan sekaligus has*rat menggebunya kepada Nurma.
Bukkkk!
Bogem kesebelas dan Budi lakukan di pa*yud*ara kanan Suci. Detik itu juga dunia seorang Suci hening seiring tubuhnya yang tumbang dan berakhir meringkuk tak berdaya di lantai. Kedua tangan Suci yang gemetaran berangsur memegangi payudara kanannya di tengah air matanya yang kian sibuk berlinang, meski mulut wanita berusia dua puluh delapan tahun itu telah sepenuhnya bungkam.
Tak ada lagi rintih meminta ampun bahkan isak kesakitan yang terdengar dari Suci, meski dalam suara yang benar-benar lirih. Sebab dari semua yang sudah telanjur sakit, bekas tinju di pa*yuda*ra kanan memang nyaris membuat Suci sekarat. Suci sampai berpikir, apakah yang tengah ia rasa merupakan bagian dari pr*o*ses pencabutan nya*wanya?
Namun, tin*ju yang Budi layangkan di mata kiri Suci dan sampai memu*ncra*tkan da*rah segar dari sana, mengantarkan Suci pada kenyataan. Bahwa laki-laki yang dulu begitu mencintainya, laki-laki yang dulu membuatnya mengenal cinta, telah menjadi sumber luka terbesar dalam hidupnya.
“Apa yang kami lakukan bukan zi*na karena semenjak Nurma selesai masa idah, aku dengan sadar menikahinya atas restu keluarga, Ci! Jadi, meski kamu istriku, kamu enggak berhak melara*ng aku terlebih selama ini, kamu hanya memberiku anak perempuan dan justru menjadi sumber si*al!” tegas Budi dengan suara tak kalah menyeramkan dari petir yang sibuk menyambar di luar sana.
Di luar, hujan deras disertai angin lengkap dengan gemuruh memang masih berlangsung. Alasan yang juga membuat tubuh Suci kuyup karena Suci memang baru pulang dari klinik tempatnya bekerja. Suci baru pulang meski rumah mertuanya sudah gelap gulita dan menandakan jika penghuninya sudah tidur. Namun karena wanita itu mendengar suara mer*esah*kan antara Budi dan Nurma dari dalam kamar Nurma, keadaan malah berakhir layaknya sekarang. Karena niat hati menyudahi perzi*na*an keduanya, yang ada ia malah berakhir cela*ka.
“Dua hari lalu kami menikah, status kami masih pengantin baru! Puas kamu?! Itu kan yang ingin kamu tahu?! Itu yang ingin kamu dengar dariku?!”
Budi masih sangat emo*sional bahkan makin meledak-ledak. Ia sama sekali tidak berpikir ulahnya bisa membuat Suci me*rega*ng nyawa. Ia masih tidak terima lantaran hubu*ngan apalagi kemesraannya dan Nurma sampai Suci usik.
Suci pikir, KDRT hanya akan ia alami di pernikahan orang tuanya lantaran dulu, selain terbiasa judi dan mabuk-mabukan, sang bapak yang sangat bengis juga ringan tangan. Namun kini, ia merasakan sendiri. Karena niat hati menyudahi perselingkuhan Budi sang suami dan Nurma—janda dari kakak kandung Budi—yang juga telah membuat warga sekitar geram karena keduanya kerap terpergok zina, Suci malah mendapatkan kenyataan yang lebih menyakitkan.
“Ya Allah, kenapa pernikahan sesakit ini? Tak kalah menyakitkan dari apa yang ibu Hamba alami. Sekuat apa Hambamu ini, hingga cobaan terus saja memeluk Hamba dengan banyak luka dan air mata tanpa jeda ...? Hamba sungguh sudah tidak sanggup. Hamba menyerah ya Allah! Cabut saja nyawa Hamba daripada adanya Hamba, hanya menjadi sumber luka sekaligus dosa!” jerit Suci dalam hatinya. Hanya itu yang mampu ia lakukan karena sampai detik ini, ia benar-benar tak berdaya.
Suci benar-benar tak menyangka, Budi tega mengkhianatinya. Menikahi Nurma tanpa sepengetahuan apalagi izinnya, padahal mereka tinggal di rumah yang sama. Sekadar hidup Nurma pun masih ia yang membiayai karena semenjak menikah dengan Budi, Suci ibarat sumber penghasilan utama di sana.
Dari balik pintu kamar bercat keemasan kusam dan sedikit dibuka, Nurma yang melilit tubuhnya menggunakan kain jarit warna cokelat, menatap puas sik*s*aan yang Suci alami. Terlebih ketika jilbab persegi warna cokelat dan memang basah, akhirnya lolos dari kepala Suci yang terus Budi a*du dengan lantai. Puncaknya, Nurma langsung menghela napas lega ketika Budi dengan keji menja*mb*ak kemudian menyeret Suci menuju ruang rumah bagian belakang.
Dar*ah bercampur air hujan dari tubuh Suci menjadi saksi bisu ketidakadilan yang wanita itu alami. Meski di sana memang bukan hanya Nurma yang menyaksikan K*D*RT br*utal Budi terhadap Suci.
Di rumah se*mi gedong berlantai keramik putih tersebut turut disertai orang tua Budi. Akan tetapi, tak ada satu pun dari ketiganya yang melerai atau setidaknya terlihat iba. Karena yang ada, ekspresi ketiganya yang awalnya menatap kesal Suci perlahan berubah menjadi ekspresi p*uas. Tampang puas yang benar-benar lepas, setelah ketiganya dengan sadar mene*ndang bahkan menginjak tubuh Suci, padahal tubuh itu tampak nyaris mer*egan*g nyawa.
Satu lawan empat, sementara untuk bersuara bahkan bergerak saja, Suci sudah tidak sanggup. Suci masih merasakan kesakitan yang wanita itu kira bagian dari proses penca*bu*tan ny*awa.
“Memang dasar berbakat bikin m*alu! Ku*bur hidup-hidup saja wanita pembawa si*al itu, Bud! Ku*bur di kamar terus dic*or biar aman!” kesal ibu Samsiyah, selaku wanita yang telah melahirkan Budi. Ia menatap beng*is sang menantu yang kembali dise*ret ke ruangan rumah bagian belakang. Ia yakin, Budi akan membawa Suci ke kamar Suci.
Semenjak melahirkan anak pertama dan itu berjenis kelamin perempuan, Suci memang langsung dianggap sebagai pembawa si*al oleh Budi sekeluarga. Berulang kali Suci nyaris dicerai bahkan ketika Suci baru saja melahirkan Binar sang putri. Sebab bagi Budi sekeluarga, anak pertama berjenis kel*amin perempuan tidak membawa rezeki dan justru membawa kesulitan.
Termasuk itu ketika akhirnya Bandi meninggal, satu tahun setelah Suci melahirkan. Padahal, alasan Bandi meninggal karena pria itu jatuh dari pohon kelapa saat menderes atau itu meny*adap nira. Hal yang harusnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan Suci maupun Binar. Apalagi saat kejadian, Suci yang bekerja sebagai seorang perawat di salah satu klinik ternama di kecamatan mereka tinggal, tengah tugas di klinik.
Tak kalah menyakitkan, Suci juga sering dibanding-bandingkan dengan Nurma, hanya karena Nurma telah melahirkan dua anak laki-laki dari Bandi. Akan tetapi, Suci juga tidak menyangka, Nurma yang selama ini ia segani dan selalu menjadi pelipur lar*anya layaknya malaikat, tega menik*amnya.
“Ceraikan aku, Mas ... ceraikan aku daripada adanya aku dalam hidup Mas hanya menjadi sumber luka. Ceraikan aku daripada adanya aku dalam hidup Mas, hanya menjadi sumber dosa. Sekarang aku benar-benar ikhlas, aku akan pergi membawa Binar. Pelan-pelan Binar pasti ngerti. Pelan-pelan Binar pasti terbiasa ...,” rintih Suci.
Pada kenyataannya, alasan utama selama ini Suci bertahan dan sebelumnya selalu memohon agar ia tidak dicerai, memang karena Binar. Binar tidak bisa jauh dari Budi dan akan selalu rewel atau malah sakit parah. Namun jika keadaannya sudah seperti sekarang, sementara Budi sudah sampai menikahi Nurma, yang mana pria itu juga makin ringan tangan, Suci memilih mundur.
***
Jadi, apakah kalian juga percaya jika anak pertama yang berjenis kel*amin perempuan hanya akan menjadi pembawa kesulitan bahkan sia*l? Atau mungkin kalian mengalaminya, layaknya tuduhan keji yang Suci dan Binar alami?
Percaya tidak percaya, hal atau anggapan semacam ini masih ada di masyarakat kita. Benar-benar masih ada yang percaya sekaligus menganut. Aku pribadi pernah mendapatkan sindir*an pedas ini hanya karena anak pertamaku perempuan.
*Mohon maaf, ini novel tema penderitaan istri, jadi jangan harap ada balas dendam ugal-ugalan, ya. Karena memang bukan novel pembalasan istri. Tapi endingnya manis banget dan karma nyata bagi setiap yang dakjal*🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Larasati
biadab bngt keluarga durjana 👊
2024-10-26
0
Fi Fin
masya Alloh biadab banget manusia2 dakjal seperti Budi dan keluarganya yg menganggab anak perempuan pembawa sial
2024-07-07
0
Al Fatih
aq baru mampir Bun.
Anak pertamaq perempuan,, kedua perempuan,, ketiga baru laki2,, keempat perempuan juga,, Alhamdulillah....,, tidak kah mereka bersyukur,, mau laki2 atw perempuan itu sudah anugerah yg luar biasa,, bayangkan pasangan yg belum d karunia anak. Apa si cobreng suaminya suci itu TDK ingat,, bahwa dia d lahirkan oleh seorang perempuan bukan batu....,, mama nya juga,, apa hatinya sdh mati,, melihat penyiksaan bukannya iba malah merasa puas....,, Astaghfirullah
2024-06-21
0