“M-mas, ... Mas suamiku. Sementara Mbak Nurma istri dari alm. mas Bandi, kakak kandung Mas. Namun, apa yang tadi kalian lakukan itu z-zin*a, Mas!” Suci menjelaskan dengan suara bergetar di tengah air matanya yang terus berlinang. Ia tatap kedua mata sang suami penuh keteduhan, meski kedua mata itu tetap menatapnya penuh kebencian.
Sampai detik ini, dada Suci masih bergemuruh hebat dan sudah terasa sangat pegal. Terlebih kini, di ingatannya tak hanya terngiang kejadian tadi pagi yaitu ia yang diserbu ibu-ibu tetangga rumah orang tua Budi, yang mengeluhkan perzi*naan Budi dan Nurma, dan mereka bilang sudah terlalu sering terjadi. Sebab adegan sang suami tengah asyik membenamkan wajah di sela*ngkan*gan Nurma sang kakak ipar yang mana keduanya sama-sama tak berb*usana, juga terus terulang. Adegan tersebut Suci saksikan secara langsung beberapa saat lalu. Adegan yang teramat menyakitkan, meski luka dari rasa sakit itu tak sampai berwujud apalagi disertai darah.
Namun, bukannya penjelasan apalagi permintaan maaf, yang Suci dapatkan dari Budi justru puk*ulan bertubi.
Bukkk!
Budi layaknya kerasukan arwah jahat dan tak kuasa mengontrol emosi. Pria itu tak bisa mengendalikan diri, terus saja sekuat tenaga meng*amuk Suci.
Wajah Suci benar-benar menjadi sasaran empuk tin*ju Budi, khususnya bibir Suci yang sudah mengeluarkan banyak dar*ah. Bibir yang juga menjadi penyebab kemarahan pria berusia tiga puluh tahun itu tak terbendung. Karena gara-gara ulah Suci meneriaki kebersamaan Budi dan Nurma “mali*ng”, beberapa saat lalu, Budi dan Nurma menjadi tontonan warga dalam keadaan tela*nja*ng. Bahkan karena ulah Suci tersebut pula, Budi yang awalnya tengah melakukan hub*ungan ‘sua*mi is*tri’ dan sedang as*yik-as*yiknya di kamar Nurma, harus menyudahi kea*syi*kan sekaligus has*rat menggebunya kepada Nurma.
Bukkkk!
Bogem kesebelas dan Budi lakukan di pa*yud*ara kanan Suci. Detik itu juga dunia seorang Suci hening seiring tubuhnya yang tumbang dan berakhir meringkuk tak berdaya di lantai. Kedua tangan Suci yang gemetaran berangsur memegangi payudara kanannya di tengah air matanya yang kian sibuk berlinang, meski mulut wanita berusia dua puluh delapan tahun itu telah sepenuhnya bungkam.
Tak ada lagi rintih meminta ampun bahkan isak kesakitan yang terdengar dari Suci, meski dalam suara yang benar-benar lirih. Sebab dari semua yang sudah telanjur sakit, bekas tinju di pa*yuda*ra kanan memang nyaris membuat Suci sekarat. Suci sampai berpikir, apakah yang tengah ia rasa merupakan bagian dari pr*o*ses pencabutan nya*wanya?
Namun, tin*ju yang Budi layangkan di mata kiri Suci dan sampai memu*ncra*tkan da*rah segar dari sana, mengantarkan Suci pada kenyataan. Bahwa laki-laki yang dulu begitu mencintainya, laki-laki yang dulu membuatnya mengenal cinta, telah menjadi sumber luka terbesar dalam hidupnya.
“Apa yang kami lakukan bukan zi*na karena semenjak Nurma selesai masa idah, aku dengan sadar menikahinya atas restu keluarga, Ci! Jadi, meski kamu istriku, kamu enggak berhak melara*ng aku terlebih selama ini, kamu hanya memberiku anak perempuan dan justru menjadi sumber si*al!” tegas Budi dengan suara tak kalah menyeramkan dari petir yang sibuk menyambar di luar sana.
Di luar, hujan deras disertai angin lengkap dengan gemuruh memang masih berlangsung. Alasan yang juga membuat tubuh Suci kuyup karena Suci memang baru pulang dari klinik tempatnya bekerja. Suci baru pulang meski rumah mertuanya sudah gelap gulita dan menandakan jika penghuninya sudah tidur. Namun karena wanita itu mendengar suara mer*esah*kan antara Budi dan Nurma dari dalam kamar Nurma, keadaan malah berakhir layaknya sekarang. Karena niat hati menyudahi perzi*na*an keduanya, yang ada ia malah berakhir cela*ka.
“Dua hari lalu kami menikah, status kami masih pengantin baru! Puas kamu?! Itu kan yang ingin kamu tahu?! Itu yang ingin kamu dengar dariku?!”
Budi masih sangat emo*sional bahkan makin meledak-ledak. Ia sama sekali tidak berpikir ulahnya bisa membuat Suci me*rega*ng nyawa. Ia masih tidak terima lantaran hubu*ngan apalagi kemesraannya dan Nurma sampai Suci usik.
Suci pikir, KDRT hanya akan ia alami di pernikahan orang tuanya lantaran dulu, selain terbiasa judi dan mabuk-mabukan, sang bapak yang sangat bengis juga ringan tangan. Namun kini, ia merasakan sendiri. Karena niat hati menyudahi perselingkuhan Budi sang suami dan Nurma—janda dari kakak kandung Budi—yang juga telah membuat warga sekitar geram karena keduanya kerap terpergok zina, Suci malah mendapatkan kenyataan yang lebih menyakitkan.
“Ya Allah, kenapa pernikahan sesakit ini? Tak kalah menyakitkan dari apa yang ibu Hamba alami. Sekuat apa Hambamu ini, hingga cobaan terus saja memeluk Hamba dengan banyak luka dan air mata tanpa jeda ...? Hamba sungguh sudah tidak sanggup. Hamba menyerah ya Allah! Cabut saja nyawa Hamba daripada adanya Hamba, hanya menjadi sumber luka sekaligus dosa!” jerit Suci dalam hatinya. Hanya itu yang mampu ia lakukan karena sampai detik ini, ia benar-benar tak berdaya.
Suci benar-benar tak menyangka, Budi tega mengkhianatinya. Menikahi Nurma tanpa sepengetahuan apalagi izinnya, padahal mereka tinggal di rumah yang sama. Sekadar hidup Nurma pun masih ia yang membiayai karena semenjak menikah dengan Budi, Suci ibarat sumber penghasilan utama di sana.
Dari balik pintu kamar bercat keemasan kusam dan sedikit dibuka, Nurma yang melilit tubuhnya menggunakan kain jarit warna cokelat, menatap puas sik*s*aan yang Suci alami. Terlebih ketika jilbab persegi warna cokelat dan memang basah, akhirnya lolos dari kepala Suci yang terus Budi a*du dengan lantai. Puncaknya, Nurma langsung menghela napas lega ketika Budi dengan keji menja*mb*ak kemudian menyeret Suci menuju ruang rumah bagian belakang.
Dar*ah bercampur air hujan dari tubuh Suci menjadi saksi bisu ketidakadilan yang wanita itu alami. Meski di sana memang bukan hanya Nurma yang menyaksikan K*D*RT br*utal Budi terhadap Suci.
Di rumah se*mi gedong berlantai keramik putih tersebut turut disertai orang tua Budi. Akan tetapi, tak ada satu pun dari ketiganya yang melerai atau setidaknya terlihat iba. Karena yang ada, ekspresi ketiganya yang awalnya menatap kesal Suci perlahan berubah menjadi ekspresi p*uas. Tampang puas yang benar-benar lepas, setelah ketiganya dengan sadar mene*ndang bahkan menginjak tubuh Suci, padahal tubuh itu tampak nyaris mer*egan*g nyawa.
Satu lawan empat, sementara untuk bersuara bahkan bergerak saja, Suci sudah tidak sanggup. Suci masih merasakan kesakitan yang wanita itu kira bagian dari proses penca*bu*tan ny*awa.
“Memang dasar berbakat bikin m*alu! Ku*bur hidup-hidup saja wanita pembawa si*al itu, Bud! Ku*bur di kamar terus dic*or biar aman!” kesal ibu Samsiyah, selaku wanita yang telah melahirkan Budi. Ia menatap beng*is sang menantu yang kembali dise*ret ke ruangan rumah bagian belakang. Ia yakin, Budi akan membawa Suci ke kamar Suci.
Semenjak melahirkan anak pertama dan itu berjenis kelamin perempuan, Suci memang langsung dianggap sebagai pembawa si*al oleh Budi sekeluarga. Berulang kali Suci nyaris dicerai bahkan ketika Suci baru saja melahirkan Binar sang putri. Sebab bagi Budi sekeluarga, anak pertama berjenis kel*amin perempuan tidak membawa rezeki dan justru membawa kesulitan.
Termasuk itu ketika akhirnya Bandi meninggal, satu tahun setelah Suci melahirkan. Padahal, alasan Bandi meninggal karena pria itu jatuh dari pohon kelapa saat menderes atau itu meny*adap nira. Hal yang harusnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan Suci maupun Binar. Apalagi saat kejadian, Suci yang bekerja sebagai seorang perawat di salah satu klinik ternama di kecamatan mereka tinggal, tengah tugas di klinik.
Tak kalah menyakitkan, Suci juga sering dibanding-bandingkan dengan Nurma, hanya karena Nurma telah melahirkan dua anak laki-laki dari Bandi. Akan tetapi, Suci juga tidak menyangka, Nurma yang selama ini ia segani dan selalu menjadi pelipur lar*anya layaknya malaikat, tega menik*amnya.
“Ceraikan aku, Mas ... ceraikan aku daripada adanya aku dalam hidup Mas hanya menjadi sumber luka. Ceraikan aku daripada adanya aku dalam hidup Mas, hanya menjadi sumber dosa. Sekarang aku benar-benar ikhlas, aku akan pergi membawa Binar. Pelan-pelan Binar pasti ngerti. Pelan-pelan Binar pasti terbiasa ...,” rintih Suci.
Pada kenyataannya, alasan utama selama ini Suci bertahan dan sebelumnya selalu memohon agar ia tidak dicerai, memang karena Binar. Binar tidak bisa jauh dari Budi dan akan selalu rewel atau malah sakit parah. Namun jika keadaannya sudah seperti sekarang, sementara Budi sudah sampai menikahi Nurma, yang mana pria itu juga makin ringan tangan, Suci memilih mundur.
***
Jadi, apakah kalian juga percaya jika anak pertama yang berjenis kel*amin perempuan hanya akan menjadi pembawa kesulitan bahkan sia*l? Atau mungkin kalian mengalaminya, layaknya tuduhan keji yang Suci dan Binar alami?
Percaya tidak percaya, hal atau anggapan semacam ini masih ada di masyarakat kita. Benar-benar masih ada yang percaya sekaligus menganut. Aku pribadi pernah mendapatkan sindir*an pedas ini hanya karena anak pertamaku perempuan.
*Mohon maaf, ini novel tema penderitaan istri, jadi jangan harap ada balas dendam ugal-ugalan, ya. Karena memang bukan novel pembalasan istri. Tapi endingnya manis banget dan karma nyata bagi setiap yang dakjal*🙏🙏
Mata kanan Suci yang masih bisa melihat, mengenali ruang keberadaannya sebagai kamar mereka. Kamar yang selama hampir lima tahun terakhir menjadi saksi, betapa menjadi istri Budi sangat tidak mudah, setelah ia diprediksi hamil anak perempuan.
Padahal dari segi kesehatan sekaligus kedokteran, jenis kelamin seorang anak ditentukan oleh tipe kromosom dari spe*rm*a laki-laki yang bertemu kromosom dari sel telur wanita. Budi yang harusnya bertanggung jawab penuh terhadap jenis kelamin anak-anak mereka. Namun, Budi sekeluarga tak menerima fakta itu dan lagi-lagi sibuk menyalahkan Suci.
“Sekarang juga kami akan pergi.” Suci yakin, perceraian menjadi satu-satunya solusi untuk melindungi sang putri. “Untuk apa bertahan, jika yang kalian harapkan sudah ada pada Nurma dan sekarang pun sudah sampai Mas nikahi.”
Suci memiliki pengalaman bu*ruk mengenai KDRT dalam pernikahan. Karena di masa lalu, di usianya yang baru menginjak lima tahun, Suci pernah memergoki sang ibu dih*ajar hingga sek*arat oleh sang bapak, laki-laki yang saat itu masih menjadi suami resmi ibunya. Alasan yang sempat membuat Suci takut menikah. Dan Suci tidak mau, apa yang ia alami sampai disaksikan Binar karena dampaknya benar-benar fatal.
“Jangan pu*kul aku lagi karena andai aku mati, Mas juga yang repot.” Suci yang sempat memilih untuk mati, jadi kembali memiliki tekad untuk hidup, demi Binar. Lagi-lagi karena buah hatinya yang sudah langsung tidak diinginkan meski Binar masih di dalam kandungan hanya karena jenis kelam*innya perempuan.
“Aku hanya boleh mati setelah aku berhasil mengantar Binar menjadi orang sukses!” tekad Suci dalam hatinya. Karena jika bukan dirinya, siapa lagi yang akan peduli kepada sang putri?
Detik itu juga Budi menyadari ulahnya. Ia dapati, Suci tak ubahnya prajurit perang yang tengah menyambut ajal. Rasa bersalah itu seketika muncul dan lama-lama makin besar. Untuk sejenak, Budi menjadi gelisah, mondar-mandir di sekitar sana menyesali apa yang terjadi.
Tentu tak segampang itu Budi melepaskan Suci. Karena semarah apa pun ia kepada Suci, pada kenyataannya rasa untuk wanita itu masih ada meski tak sebanyak rasa untuk Nurma. Selain itu, Binar yang tetap ia anggap anak, juga akan sedih jika orang tuanya tidak dalam keadaan utuh. Terlebih dari lahir, Binar ringkih dan sering sakit. Tak kalah penting, selama ini Suci turut menjadi penopang terbesar ekonomi keluarga Budi.
“Pah ...?” lirih Binar yang akhirnya terbangun akibat keributan yang Budi ciptakan.
Binar memang mendengar suara sang mamah, tapi ia hanya mendapati papahnya yang ia pergoki mondar-mandir tak jauh dari tempat tidur keberadaannya.
Mendengar panggilan dari Binar, Budi yang hanya melilit tubuh bagian bawahnya menggunakan sarung, buru-buru menghampiri Binar. Ia tak membiarkan sang putri melihat keadaan mamahnya yang masih terkapar tak berdaya di lantai tak ubahnya mayat hidup.
Sambil membekap telinga Binar yang ia bopong, Budi berkata, “Jadilah istri berbakti, istri yang sadar diri karena kamu gagal memberiku anak pertama laki-laki!”
Lagi-lagi Budi menuntut Suci agar tetap menjadi istri sempurna.
“Enggak, Mas. Aku mau cerai saja. Biarkan Binar bersamaku.”
“Kalau kamu memang sayang sekaligus peduli kepada Binar, cukup turuti saja. Terima nasib karena sekarang, Nurma yang terpenting! Nurma istriku, dan kamu wajib menghormatinya!”
Balasan Budi barusan membuat darah Suci seolah didihkan. “Sebenarnya paham apa yang kalian an*ut? Paham se*sat? Jika menurut kalian anak pertama berjenis kela"min perempuan yang aku lahirkan hanya membawa s*ial, jangan lupa, sekadar kosmetik Nurma, biaya makan anak-anak Nurma, aku yang bayar! Aku yang menghidupi kalian atas rezeki Allah yang dititipkan melalui Binar!” tangisnya benar-benar histeris. “Selama ini aku diam bukan berarti aku menerima. Andai aku enggak melihat Binar, sudah sejak lama aku tuntut kalian!”
Budi tak mau ambil pusing. Ia memilih pergi, membawa Binar dari sana dan tak lupa mengunci pintu kamar mereka agar Suci yang masih terkapar di lantai tidak bisa kabur. Ia yakin, caranya mampu membuat Suci bertahan di sisinya. Agar semuanya berjalan sesuai rencana.
“Berikan Binar kepadaku! Binar anakku Mas! Biarkan Binar bersamaku!” Suci makin histeris.
Susah payah Suci menggerakkan tubuhnya, tapi sampai detik ini, ia tak mampu melakukannya. Hanya karena bayi pertama yang Suci lahirkan justru seorang perempuan, lima tahun pengabdiannya dibalas dengan luka. Suci terus meronta-ronta terlebih ketika ia mendengar tangis sang putri yang menginginkannya, tapi Budi memaksa Binar untuk ikut dengan Nurma. Nurma yang Budi wajibkan Binar panggil “mamah”!
“Binar anakku! Tolong jangan ram"pas anakku dariku, Mas!” raung Suci.
Kekuatan seorang ibu yang tak mau dipisahkan dari anaknya, membuat Suci memiliki tenaga untuk kembali menggerakkan tubuh. Suci bangkit dan perlahan mampu berdiri di antara luka yang sampai tak lagi ia rasa. Suci berniat mengambil Binar, tapi ia sadar andai ia melakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain khususnya orang berpengaruh yang bisa membuat Budi sekeluarga segan, justru kegagalan yang akan ia dapatkan.
“Aku benar-benar harus pergi. Aku harus mencari bantuan!” yakin Suci. Hatinya benar-benar tak berupa mengingat titah Budi pada Binar yang mewajibkan Binar memanggil Nurma “Mamah”!
Setelah sibuk mengawasi sekitar, tatapan Suci tertuju ke jendela di seberang tempat tidur. Bergegas ia ke sana dengan langkah tertatih sambil mendekap tas bahu di pundak kanannya lebih erat.
Suci mengetuk pintu rumah tetangga terdekat, tapi rumah pertama yang ia datangi tak kunjung merespons. Begitupun dengan rumah selanjutnya dan terasnya dibiarkan gelap gulita layaknya rumah lainnya.
“Andai rumah kelima juga tetap sepi, berarti mereka memang sengaja mengabaikanku. Bisa jadi, tadi Mas Budi memang sampai mengancam mereka agar mereka tak ikut campur lagi,” pikir Suci lagi yang berakhir menelan pil pahit lantaran rumah tetangga orang tua Budi yang ia ketuk-ketuk pintunya, tetap sepi. Benar-benar tak ada respons.
Demi Binar, di tengah Hujan yang masih berlangsung, Suci menghubungi salah satu kontak di ponselnya. Akan tetapi, nasib permintaan tolong yang Suci lakukan juga tetap tak membuahkan hasil. Hingga Suci nekat menerobos hujan dan menggunakan tas bahunya untuk menutupi kepala agar tak sepenuhnya terguyur hujan. Suci berjalan kaki dan berniat pergi ke kliniknya.
Setelah setengah perjalanan menuju klinik tempatnya bekerja, di tengah jalan, Suci meminta tukang ojek untuk mengantarnya. Kali ini, semuanya iba dan buru-buru menolongnya.
***
“Aku enggak berani bantu kamu, Ci. Apalagi kamu bilang, ternyata suami kamu malah sudah sampai menikahi kakak iparnya.”
Balasan dari Ratna selaku sesama perawat di klinik Suci bekerja, sudah langsung membuat Suci merana. “Mbak, aku mohon.”
“Lapor ke polisi saja biar dapat izin visum soalnya kalau aku yang ke sana, yang ada aku pasti ikut dikeroy*ok!” yakin wanita yang kiranya sebaya dengan Budi itu.
Suci mengangguk-angguk. “Iya, Mbak. Gitu saja,” balasnya.
“Tapi aku enggak bisa antar sekarang, Ci. Paling sore soalnya yang lain pada absen karena memang lagi musim sakit. Ditambah lagi, kamu juga enggak mungkin tugas dengan keadaan kamu yang seperti ini. Ya sudah, Ci ... sambil tunggu sampai sore, kamu juga aku infus ya. Mata kamu, bibir, wajah ... ya ampun, ... parah banget—” Ratna belum sampai memeluk Suci, tapi dari belakang terdengar suara laki-laki.
“Sus, itu ada pasien baru lagi, tapi enggak ada yang jaga di depan. Loh, ini kenapa? Ini, ... Suster Suci? Eh, Mbak kamu kenapa kok babak bel*ur begitu?” ucap Sepriandri atau yang lebih dikenal sebagai Sepri.
Mendengar itu, Suci merasa bahwa Sepri yang merupakan anak dari pemilik klinik ia bekerja, dan selama ini ia kenal sebagai pribadi yang sangat pekerja keras sekaligus bertanggung jawab, bisa menolongnya.
“Mas Sepri, ... tolong saya, Mas!” sergah Suci.
Yang Sepri tahu dari ibu-ibu yang mengaku sebagai tetangga orang tua Budi selaku suami Suci, Budi telah berulang kali kepergok zin*a dengan Nurma si kakak ipar yang sudah janda. Namun para tetangga justru menuntut Suci yang tentu saja tidak tahu menahu dan otomatis korban, untuk bertanggung jawab atas perzin*aan tersebut. Pagi kemarin, Sepri menyaksikan laporan itu karena kebetulan, ia juga tengah di dasaran pecel milik mbak Arimbi, tempat Suci membeli pesanan gorengan sekaligus pecel rekan kerjanya.
“Mas Sepri ....”
“Tentu, Mbak! Suami Mbak berani bikin Mbak babak be*lur, aku pastikan wajah sama tulang-tulangnya bakalan aku rem*ukin!” Sepri benar-benar emosi dan ia siap membela sekaligus memperjuangkan keadilan untuk Suci.
Ditemani Sepri, Suci siap mengambil Binar. Sepri membonceng Suci menggunakan motor matic, menelusuri jalan aspal yang masih basah.
“Tapi Mas, sepertinya kalau kita hanya berdua, bakalan tetap enggak bisa ambil Binar. Soalnya suami saya dan orang tuanya tipikal ngeyel, Mas!” ucap Suci sembari memegangi infus yang ia pangku.
Suci memang dipaksa memakai infus oleh Ratna, agar luka-lukanya lebih cepat sembuh. Terlebih bergerak berlebihan termasuk sekadar berucap saja, bibir Suci yang terluka parah langsung berdarah.
Menyimak itu, Sepri yang masih membonceng Suci di pagi yang terbilang dingin akibat sisa hujan semalaman penuh, berkata, “Oke, kita mampir ke balai desa, desa kamu. Namun sebelum itu, aku antar kamu buat beli pakaian ganti. Kamu bahkan enggak pakai kerudung dan luka di wajah kamu yang enggak tertutup begitu juga bisa bikin kamu jadi bahan perhatian. Itu pasti bikin kamu makin enggak nyaman.” Karena Sepri yang melihat Suci saja sudah langsung emosi dan sangat ingin mere*mukkan tulang-tulang Budi. Sepri merasa sangat tak habis pikir kepada seorang suami yang tega melakukan KDRT fatal seperti yang Budi lakukan kepada Suci.
Seperti yang Suci ketahui, Sepri memang pria yang sangat baik. Malahan, Sepri sampai membayar pakaian yang Suci beli di toko pakaian kenalan Sepri. Toko pakaian yang sebenarnya belum beroperasi, tapi karena Sepri menghubungi pemiliknya, pemiliknya secara langsung membuka toko kemudian melayani mereka.
“Mas, ini enggak murah loh!” keluh Suci tetap tidak mau dibayarkan oleh Sepri karena dibantu saja, ia sudah sangat bersyukur.
“Doakan yang terbaik saja buat kita. Buat Mbak Suci, dan juga buat saya. Yang namanya rezeki sudah ada yang mengatur, Mbak. Karena dalam rezeki yang saya dapat juga ada bagian untuk orang lain dan bisa jadi, Mbak termasuk dari bagian itu. Ya sudah, ganti pakaian Mbak, saya tunggu di sini.” Sepri masih menyikapi dengan tegas. Ia sengaja meminta izin pada pemilik toko agar Suci bisa sekalian ganti pakaian di kamar mandi yang ada di toko tersebut.
Suci menghela napas dalam, kemudian mengucapkan terima kasih karena hanya itu yang bisa ia lakukan. Di saat seperti sekarang, uluran tangan dan segala pertolongan tak ubahnya nyawa tambahan untuknya yang sempat nyaris memilih mati sebagai akhir dari apa yang ia alami. Karena andai ia tidak ingat Binar, bisa jadi, ia memang sudah tidak ada di dunia ini.
Sementara itu, di rumahnya, Budi sekeluarga bangun kesiangan.
“Mas, maaf banget, ... aku kesiangan,” ucap Nurma sambil memasang wajah menyesal sekaligus bersedih. Ia buru-buru mencoba pergi, tapi dengan sigap, Budi yang tidur di tengah karena mereka memang tidak hanya berdua lantaran Binar turut di sana, segera mendekap pinggangnya.
Budi sengaja merebahkan kepalanya di pangkuan Nurma dan langsung disambut dengan senyum bahagia yang benar-benar lepas oleh Nurma. Mereka bahkan lupa, jika kebahagiaan mereka, mereka bangun di atas luka sekaligus penderitaan Suci.
“Sudah biarin saja. Kita di kamar saja, mumpung Binar masih tidur,” bisik Budi benar-benar manja.
“Tapi anak-anak harus sekolah, Mas!” bisik Nurma tak kalah manja sambil membelai wajah sekaligus bibir Budi menggunakan kedua tangannya.
“Pasti ibu sudah urus. Mereka kan cucu kesayangan ibu sama bapak. Lagian kunci kamar Suci juga sudah aku kasih ke ibu, kalau ada apa-apa, Suci pasti sudah bantu!” yakin Budi dan langsung disambut senyum girang oleh istri mudanya.
“Jadi ingat pas masa-masa SMA! Kita juga pernah gini, kan?!” ucap Nurma mencoba mengulik masa lalu karena pada kenyataannya, selain teman dekat semasa SMA, mereka memang pernah menjalin hubungan spesial bahkan intens. Ibaratnya, mereka merupakan mantan terindah di masa putih abu-abu yang penuh cerita.
Baru juga membalas ucapan Nurma dengan senyum ceria, teriakan ibu Syamsiah dari luar dan benar-benar heboh, sudah langsung mengganggu keromantisan yang baru saja Budi dan Nurma bangun. Terlebih, ibu Syamsiah sampai menggedor pintu kamar mereka penuh kehebohan.
“Bud, Suci kabur, Bud. Suci minggat dan beneran enggak ada di rumah!” teriak ibu Syamsiah dari luar sana.
Detik itu juga, Budi langsung buru-buru meraih pakaiannya yang terserak di lantai lantaran kini, Budi hanya memakai sarung yang juga pria itu gunakan untuk selimut.
“Mas, ... gimana, dong? Kok Suci bisa kabur? Kalau dia nekat lapor polisi, gimana? Apalagi lukanya terbilang parah banget!” lirih Nurma langsung heboh, tapi kali ini, Budi hanya menatapnya sekilas. Pria itu sampai lari dan terlihat sangat panik.
“Nur, kamu juga cepat bangun. Masak apa gimana. Sudah siang anak-anak juga belum bangun padahal mereka harus sekolah!” semprot ibu Syamsiah pada sang menantu yang malah ia pergoki masih menggulung tubuh dengan selimut, dan suasana kamarnya pun masih sangat berantakan. “Jam segini masih jadi guling! Tetangga sudah makan sampai lima kali, dapur kita masih sepi!”
“Loh, kok aku juga kena semprot?” kesal Nurma dalam hatinya, tapi ia berusaha menyikapinya dengan bersabar sekaligus elegan. “Maaf Bu, maaf. Tapi dari tadi Mas Budi memang enggak mau ditinggal!”
“Allaaaah!” sinis ibu Syamsiah karena pada kenyataannya, kekesalannya kepada Suci juga berdampak kepada Nurma si menantu kesayangan yang sampai ia jadikan sebagai pelampia*san.
Budi baru saja sampai jalan depan rumahnya, tapi ia melihat beberapa motor melaju mendekat ke arahnya. Dari semua wajah di sana, Budi paham wajah Sepri dan ia ketahu sebagai anak dokter sekaligus pemilik klinik Suci bekerja.
Sepri dan rombongan yang dibawa, memasuki pelataran depan rumah orang tua Budi, walau Budi masih kebingungan berdiri di pinggir jalan.
Sepri sungguh memboyong aparat desa setempat meski pak Lurah yang belum datang ke kantor, berdalih akan segera menyusul.
“Kamu boleh saja menikah lagi, tapi tolong, kelakuanmu jangan bikin aku yang sesama laki-laki, malu!” Sepri sudah langsung menghampiri Budi sambil menunjuk-nunjuk wajah pria itu menggunakan telunjuk tangan kanannya.
Sikap Sepri yang sangat emosional membuat Budi yakin, apa yang ia lakukan sudah disebar luaskan oleh Suci.
“Apa maksud Anda bilang begitu? Anda tidak tahu apa yang terjadi, jadi Anda jangan main hakim sendiri!” balas Budi sengaja membela diri.
Sepri tersenyum geli sambil menatap tak percaya lawan bicaranya. Jarak mereka sudah tak kurang dari satu meter. “Yang main hakim sendiri itu kamu, Blog! Namun kalau kamu mau aku main hakim sendiri, oke!” tegas Sepri makin emosional dan detik itu juga langsung melayangkan tin*ju ke wajah Budi.
Tin*ju yang Sepri lakukan sudah langsung membuat Budi sempoyongan. Bahkan, Budi yang terpeleset sudah langsung masuk ke selokan. Suci yang menyaksikan itu, buru-buru menerobos masuk pintu yang kebetulan tidak ditutup.
Yang Suci cari tentu Binar. Ia langsung masuk ke kamar Nurma yang lagi-lagi juga tidak ditutup. Malahan, ia memergoki Nurma baru bersiap bangun. Adegan yang Suci lakukan mirip adegan penculikan. Suci yang sebenarnya tidak memiliki banyak tenaga akibat KDRT yang ia alami, susah payah memboyong Binar.
Nurma yang belum memakai pakaian sehelai pun, sudah sibuk teriak, mengabarkan ulah Suci yang ia teriaki “maling”. Bahkan karena teriakan Nurma juga, ibu Syamsiah dan sang suami ikut sibuk berteriak. Ketiganya berbondong-bondong lari keluar rumah hingga mendapati keramaian yang mereka ciptakan. Karena setelah aparat desa berdatangan, tetangga yang awalnya tidak tahu menahu juga jadi berdatangan.
“Kok rame gini, ini ada apa?” refleks ibu Syamsiah, walau sebenarnya, ia sudah menduga mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Ia yakin, semuanya masih berkaitan dengan KDRT kepada Suci, juga kaburnya Suci yang sebenarnya tengah menjadi bahan kehebohan di sana.
Terjadi perdebatan sengit antara Sepri dan Budi karena keduanya sama-sama emosional. Sepri tetap tidak mengizinkan Budi keluar dari selokan meski Budi sudah penuh lumpur berwarna hitam pekat dan baunya sangat tidak sedap. Nurma dan orang tua Budi heboh berusaha menolong. Hingga aparat desa sekaligus tetangga juga segera menjadi penengah.
Lain dengan Suci yang tetap mengemban dan perlahan mengeluarkan motor matic miliknya dari rumah orang tua Budi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!