Malang, Juli 1997
Waktu berlalu seperti secepat angin berembus. Tidak terasa Yudith dan kawan-kawan sudah melewati penghujung ajaran tahun pertama.
Di hari terakhir ujian CAWU ketiga, Andreas, Yudith dan yang lainnya berkumpul di kantin. Setelah hari ini, mereka akan pergi berlibur ke rumah masing-masing, jadi tidak akan bertemu selama kira-kira dua mingguan.
Selagi yang lain asyik mengobrol, Ririsma malah tidur dengan kepala bertumpu pada meja.
"Dith, pulang bareng aku sama Mas Lius, ya?"
"Aku enggak kau hitung. Kan aku ikut pulang libur ke rumah kau." Fitus protes sambil menempeleng pelan kepala Andreas.
Pulang ke NTT naik kapal, dua minggu terasa hanya buang-buang waktu di perjalanan. Oleh sebab itulah Fitus dan siswa lain yang berasal dari luar pulau lebih memilih ikut berlibur temannya yang dari daerah Jawa.
"Iya, lupa." Andreas tertawa sambil membalas perlakuan Fitus---menempeleng kepala temannya itu cukup kasar sampai yang bersangkutan mengaduh.
"Aku pulang bareng Pak Heru," ujar Yudith setelah menyesap teh kotak, tanpa memberi Andreas atensi karena matanya terpaku pada novel yang sedang dibacanya.
Gadis itu masih sama saja seperti hari kemarin, tidak banyak bicara, suka membaca buku, cuek, dan seperti ada di dunianya sendiri.
Bersyukur hasil pemeriksaan waktu itu menunjukkan bahwa kepala Yudith baik-baik saja. Namun begitu, dia sempat dipaksa beristirahat semi total oleh Suster Davince, selama satu minggu hanya boleh ke sekolah saja, sedangkan aktivitas lainnya dilarang.
Dan waktu itu, setelah kebenaran terungkap, banyak teman-teman yang dulu tidak menyukai Yudith jadi menaruh simpati padanya. Sisa tahun ajaran pertama pun gadis itu lalui dengan situasi yang lebih baik.
"Oleh-olehnya jangan lupa." Suster Vero menyandarkan kepalanya ke bahu Yudith. "Ah, dua minggu tanpa kalian pasti sepi sekali."
Karena Suster Vero adalah biarawati, jadwal libur untuk pulang ke rumah orang tua tidak sama dengan siswa biasa. Para biarawati memiliki peraturan khusus, tidak setiap kali liburan bisa pulang.
Andreas merogoh ke balik baju seragamnya, lalu melepaskan kalung berliontin hati yang beberapa hari terakhir ini dia kenakan.
"Ini, aku kembalikan." Dia meletakkan kalung itu di atas novel yang sedang Yudith baca dengan maksud memberi gadis itu kejutan.
Yudith menatap termenung, dia masih merasa familier dengan benda itu walaupun dua tahun lebih sudah berlalu dari saat benda itu hilang.
"Kalung apa itu, An?" tanya Suster Vero dan segera mengambil benda yang hanya dipandangi oleh Yudith.
"Oeee, kenapa dikembalikan. Kan bisa kau buat kenang-kenangan," celetuk Fitus.
Suster Vero membuka liontin hati dan langsung berseru, "Wah! Ini kamu, Dith? Kok bisa ada di Andreas?"
Setelah terdiam cukup lama, akhirnya senyum tipis tersungging di bibir Yudith yang bergetar. Matanya yang berkaca-kaca menatap Andreas lekat. Yudith bahagia luar biasa, tetapi tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Kalung itu pemberian ibunya.
Kalung itu harganya seharusnya tidak mahal, tetapi bagi Yudith dan ibunya yang sangat berkekurangan, tentu saja masih terasa terlalu mahal.
Waktu Yudith bilang, ibu enggak usah buang-buang uang untuk hal yang enggak penting.
Sang ibu mengatakan, kalau dia ingin Yudith terlihat seperti anak-anak lain yang memakai asesori.
Waktu kalung itu hilang, Yudith merasa sangat bersalah bahkan sempat sakit. Dan sekarang tiba-tiba benda yang sangat berharga itu muncul lagi. Rasanya Yudith seperti sedang bermimpi.
Sejak hilang sampai sekarang, sudah hampir dua tahun dan Andreas yang menemukan masih menyimpannya.
Ya, tidak perlu dijelaskan pun Yudith sudah bisa mengira kalau kalung itu ada pada Andreas, karena Andreas yang sudah menemukannya. Lagi pula, dia juga masih ingat kalau kalung itu hilangnya waktu dia diajak Paklek Jaya belanja di pasar Madiun.
"Dith, maaf. Aku enggak bermaksud menyembunyikan---"
"Makasih, An." Suara Yudith bergetar dan setitik dua titik air matanya mulai berjatuhan, tetapi buru-buru mengusapnya. "Kalung ini ...." dia mengambil kalung dari tangan Suster Vero lalu menggenggamnya erat-erat, "sangat berharga."
Untuk pertama kalinya, Andreas merasakan tatapan mata Yudith sangat teduh dan lembut, senyum di bibirnya yang bergetar itu pun terasa sangat tulus.
Andreas sangat bersyukur, ternyata keputusannya untuk menyimpan kalung itu tidak salah dan tidak sia-sia.
🕳🕳🕳🕳
SMK Mulia Harapan ....
Sekolah yang berhubungan erat dengan kegiatan sosial. Mereka yang bersekolah di sini kebanyakan dari keluarga kurang mampu yang tergiur oleh iming-iming ikatan dinas, tetapi ada juga segelintir dari keluarga mampu yang memang ingin mengabdi.
Biasanya mereka yang berasal dari keluarga mampu tidak akan ikut program ikatan dinas atau paling tidak hanya akan mengambil separuhnya saja, beda dengan mereka yang datang karena keterbatasan biaya.
Namun, baik yang ikut program ikatan dinas maupun yang tidak, mereka tetaplah remaja-remaja istimewa---sama-sama mau mengabdikan diri kepada kaum papa yang tinggal di yayasan tersebut.
Selama liburan berlangsung, selagi para siswa-siswi menikmati kebersamaan dengan keluarga, para suster biarawati dan beberapa pegawai senior disibukkan dengan kegiatan penerimaan murid baru, dan para guru wali kelas harus mempersiapkan jadwal kegiatan praktik untuk para siswa-siswi SMK tahun ajaran kedua.
Di minggu terakhir masa liburan, para guru wali kelas dua dan guru-guru yang telah ditunjuk untuk menjadi pembimbing praktik studi kasus, tengah mengadakan rapat.
Seorang guru perempuan menyerahkan sebuah buku kepada suster kepala sekolah. "Ini daftar nama anak-anak yang kasusnya akan diangkat, Suster. Untuk daftar nama siswa-siswi yang akan menangani mereka masih disusun oleh Bu Fanny."
"Sudah selesai." Dari meja barisan seberang, seorang guru perempuan yang tadinya tekun mencatat, segera menyudahi kegiatannya dan menyerahkan buku catatan kepada suster kepala sekolah.
Suster Davince selaku pimpinan tertinggi yayasan pun segera terlena dengan dua daftar nama yang harus dipadupadankan. Sesekali beliau memberi tanda titik atau ceklist di kedua buku daftar nama tersebut, hingga akhirnya sampai pada nama Yudith.
"Kasih Yudith anak baru yang tinggal di Wisma Awan," ujarnya sambil menatap guru yang tadi menyerahkan daftar nama siswa-siswi.
"Tapi, Suster. Anak itu masih baru jadi nggak kami masukkan dalam daftar."
"Lagi pula, apa nggak terlalu berat untuk Yudith yang pendiam menangani anak itu, Suster?" Salah satu guru laki-laki bertanya dengan nada sangsi.
"Justru bagus. Aku rasa, sesama pendiam akan jauh lebih bisa saling memahami. Yudith harus meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasinya. Aku mau anak baru itu dimasukkan dalam daftar dan Yudith yang akan menangani."
"Tapi, Suster. Irene kasusnya tidak sesederhana itu. Apa Yudith sanggup?"
Dengan santai Suster Davince berkata, "Yudith dan Irene adalah kasus khusus. Target yang harus dicapai bukan keberhasilan untuk menyelesaikan. Aku hanya ingin melihat bagaimana Yudith menghadapi Irene. Metode pendekatan seperti apa yang akan dia gunakan. Tujuan jangka pendek adalah sekedar Yudith bisa mendekati Irene. Untuk tujuan jangka panjang, biar mengalir saja."
Para guru yang hadir pun memahami maksud Suster Davince dan akhirnya setuju. Irene adalah remaja usia dua belas tahun yang mendapat predikat nakal, bandel dan suka membangkang, dari kedua orang tua dan orang-orang di sekitarnya.
Orang tua memasukkan Irene ke yayasan yang pendidik intinya adalah para biarawati, dengan tujuan supaya putri mereka bisa mendapatkan pendidikan moral serta penanganan sikap yang lebih baik.
Di tahun keduanya nanti, ketika kembali dari liburan, Yudith dan kawan-kawan akan menapaki level yang lebih tinggi, yang mana mereka dituntut untuk mempratikkan materi pelajaran Penanganan Kasus yang telah mereka terima di kelas satu.
[ARC 1 END. ARC 2 COMING SOON]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Anny
Lanjutkan Thor. Keren
2023-08-19
0