TIDAK TERDUGA

Yudith dan Andreas tidak punya kesempatan untuk mengobrol karena Yudith harus membantu mencatat barang-barang yang baru datang. Setelah menerima barang titipan dari Paklek Jaya juga klepon dari ibunya Andreas, Yudith hanya sempat mengucapkan terima kasih.

Dan setelah barang-barang dari mobil dikeluarkan semua, Bruder Lius dan Andreas pun langsung pergi.

Sebelum barang dari mobilnya Bruder Lius dikeluarkan, di pelataran gudang rupanya sudah banyak barang bertumpuk. Barang-barang sumbangan dari para donatur yang harus dicatat dengan jelas dan rinci terlebih dahulu baru kemudian dimasukkan ke gudang---dibantu oleh dua orang pria yang biasanya bekerja sebagai tukang kebun dan tukang listrik.

Selagi Yudith sibuk mencatat, datanglah petugas kantor sekolah memanggilnya atas suruhan Suster Davince.

Sesampai di kantor, ternyata tidak hanya Suster Davince yang menunggunya, tetapi ada Suster Rosa juga. Hati Yudith seketika merasa tidak enak, jadi berpikir jangan-jangan dia dipanggil kerena masalah di asrama panti tadi.

Setelah memberi salam dan duduk di ruang tamu kantor berhadapan dengan kedua suster yang sangat berpengaruh di yayasan, Yudith hanya tertunduk diam.

"Yudith, kamu pindah ke asramanya Suster Rosa mau, kan?"

"Huh?" Mengangkat wajah, mata Yudith memandang bergantian ke kedua Suster yang ada di hadapannya. "Maaf, Suster Davince. Suster tadi bilang apa?" Karena suara berisik air hujan, Yudith takut salah dengar.

Kedua suster itu terkekeh ringan, lalu Suster Rosa berkata, "Kamu tidak salah dengar, kok. Aku mau kamu pindah ke Asrama Anggrek. Sepertinya kamu cocok tinggal di sana."

Yudith tertegun, tidak seharusnya siswi kelas satu tinggal di asrama luar, dan bila itu terjadi sudah bisa dipastikan kalau siswi itu mempunyai suatu potensi yang dibutuhkan.

Akan tetapi, Yudith tidak merasa memiliki potensi apa pun yang begitu menonjol sehingga membuat Suster Rosa mau merekrutnya. Bertemu secara langsung dan bertatap muka juga baru tadi di asrama panti dan di kantor ini.

Gadis itu ingin bertanya, tetapi tidak jadi karena dia berpikir, keputusan  yang telah diambil pasti telah melalui pembicaraan hingga pencapaian mufakat. Sebagai orang yang berniat mengabdi, dia hanya wajib patuh dan bersedia ditugaskan di mana pun.

Akhirnya Yudith mengangguk. "Saya manut saja, Suster," ujarnya.

Dan malam itu juga, setelah berkemas-kemas, Yudith berangkat ke daerah S bersama Suster Rosa.

Barang titipan Paklek Jaya dia berikan pada Suster Vero dan Ririsma, sedangkan kleponnya mereka makan bersama sampai habis. Lalu wadahnya dia titipkan pada mereka untuk dicuci dan disimpan. Kalau ada kesempatan akan dikembalikan pada Andreas.

Hujan sudah berhenti ketika mobil yang dikemudikan Suster Rosa sampai di pintu gerbang Asrama Anggrek, sekitar pukul delapan. Mobil itu diparkir di depan rumah seperti mobil-mobil para tetangga.

Asrama Anggrek ini berada di kompleks perumahan yang cukup bagus di daerah S. Bangunan bagian depan dindingnya di dominasi oleh kaca, dua pilar beton yang menyangga teras dicat dengan motif marmer cokelat muda, tampak mengilap mewah.

"Ayo, Dith." Suster Rosa seperti tidak mau kehilangan Yudith, setelah keluar dari mobil, dia menggandeng tangan gadis itu sangat erat. Bahkan saat berdiri di depan pintu gerbang, menunggu pintu dibuka, tangannya tidak dilepas.

Seorang perempuan muda berseragam perawat muncul dengan ombyokan anak kunci di tangan kanannya.

"Selamat malam, Sus." Dia menyapa Suster Rosa, tetapi sambil membuka gembok matanya menatap Yudith. "Ini siapa ya, Sus?"

"Nanti saja kenalan di dalam."

Yudith hanya mengangguk kecil untuk berbasa-basi dan entah kenapa, gadis itu merasa tatapan perawat pegawai itu seperti tidak bersahabat. Senyum yang tersungging di bibirnya terlihat sinis saat melihat tas pakaian yang ditenteng Yudith. Belum apa-apa perasaan Yudith sudah tidak enak.

Hatinya semakin merasa tidak nyaman saat sudah duduk di sebuah ruangan berhadapan dengan empat perawat pegawai senior yang cara menatapnya, seperti mengintimidasi.

"Yudith, kenalkan," Suster Rosa menatap ke arah seorang pegawai berambut pendek, beralis tebal seperti ulat bulu, usianya kira-kira tiga puluh tahunan, "ini Bu Cici, Ibu Asrama di sini."

Sementara Bu Cici menatap tanpa ekspresi sambil bersedekap, Yudith mengangguk sopan, bahkan bibirnya berkedut tersenyum tipis.

"Dia masih sekolah, kan, Sus? Mau apa dibawa ke sini?"

Yudith cukup terkejut dengan cara bicara Bu Cici yang terkesan dingin dan kurang sopan.

"Ya, tinggal di sini to."

Berbanding terbalik dengan Bu Cici, cara bicara Suster Rosa yang usianya lebih muda tiga tahun tampak sangat santai, bahkan senyum tidak luntur dari bibirnya yang tipis dan selalu terlihat basah itu.

Ketiga perawat pegawai saling bertukar pandang dengan mata melebar, sedangkan Bu Cici tampak seperti mau meledak karena wajahnya memberengut.

"Bukannya perawat pelajar enggak boleh tinggal di asrama luar, Sus?"

"Tidak ada peraturan mengikat yang melarang, kok. Boleh-boleh saja. Lagian aku bawa Yudith ke sini atas ijin Suster Davince, bukan aku culik. Ya, sudah kamu urus Yudith tidur di kamar mana dan pegang administrasi siapa. Aku mau mandi dulu." Setelah itu, Suster Rosa pun beranjak pergi.

Sepeninggal Suster Rosa, keempat perawat pegawai menatap sinis pada Yudith, sampai-sampai gadis itu merasa seperti seorang terdakwa, tidak berani mengangkat muka.

Tinggal di asrama baru yang dihuni oleh para perawat pegawai, dengan tingkat senioritas sangat tinggi, Yudith sudah merasakan atmosfer yang sangat berat sejak awal datang.

Sikap tidak bersahabat dan tatapan dingin mereka, sukses membuat Yudith merasa canggung dan tidak nyaman.

Yudith memang cuek dan tidak banyak bicara, tetapi berada di tempat baru yang kehadirannya bahkan seperti tidak dianggap, hatinya merasa miris dan sepi juga. Hanya Suster Rosa yang mau berinteraksi luwes dengannya. Dan bila Suster Rosa tidak di asrama, dia hanya akan mengobrol dengan anak-anak yang diasuh di asrama itu.

Malam kedua berada di Asrama Anggrek, Yudith dibuat terkejut bukan main saat Ibu Asrama menyerahkan dua map administrasi milik dua anak berkebutuhan khusus yang akan menjadi tanggung jawabnya.

"Maaf, Bu Cici ...." Duduk di ruang bersantai Yudith menatap bergantian antara buku-buku yang ada di pangkuannya dan perempuan dewasa yang ada di sebelahnya.

Tatapan perempuan itu sangat tajam juga dingin, membuat Yudith selalu merasa terintimidasi

"Kenapa, Dith?" Nada suaranya berat mirip laki-laki.

"Ini ... maaf, kenapa ini satu minggu observasi tidak diisi? Catatan inventaris barang anak pun yang bulan lalu tidak diperbarui."

"Sudah, kamu karang saja, ya. Jangan terlalu kaku. Kamu enggak usah koar-koar." Cara bicaranya sangat enteng terkesan menyepelekan, juga sarkas.

Yudith tahu, praktik administrasi asrama memang adakalanya kacau. Akan tetapi, mendapati kenyataan bahwa di asrama yang menjadi tempat tinggal sang koordinator, pemegang kendali administrasi seluruh asrama kompleks yayasan, ternyata administrasi asramanya sendiri tidak beres, sungguh di luar dugaan.

Apakah tidak ada pemeriksaan di setiap akhir bulan, seperti yang dilakukan Suster Rosa di kompleks?

Meski terselip rasa takut, tetapi Yudith yang merasa tidak terima hal seperti itu terjadi, tanpa sadar menatap lekat pada Bu Cici.

Yudith tidak bermaksud apa-apa dengan tatapannya, dia hanya merasa tidak suka dengan fakta ini. Akan tetapi, Bu Cici selaku Ibu Asrama rupanya merasa Yudith telah berlaku terlalu berani.

"Tidak usah menatapku seperti itu. Perlu aku tekankan, di asrama ini semua harus saling bekerja sama. Tangan yang bekerja bukan mulut. Yang penting administrasi sudah beres saat koordinator datang untuk memeriksa."

Yudith bisa menangkap dengan baik maksud tersirat dalam perkataan Bu Cici. Saling bekerja sama artinya adalah harus bisa saling menutupi kebobrokan. Bekerja degan tangan bukan mulut, merupakan peringatan agar Yudith tidak mengadu.

Yudith yang terbiasa taat peraturan, tidak bisa menerima begitu saja. Tanpa mengurangi rasa hormat pada yang lebih tua, dia berkata, "Kalau begitu, boleh aku minta buku baru untuk semua catatan administrasi Neli dan Aini. Mulai besok, aku akan isi sebelum berangkat sekolah dan setiap sepulang sekolah. Bagaimana, Bu Cici?"

"Kamu ingin terlihat rajin di hadapan Suster Rosa, begitu?" Bu Cici menatap tajam dibarengi senyum miring sinis.

"Pekerjaan kami tidak hanya ngurusi buku-buku itu, Dith." Perempuan berambut lurus sepunggung muncul dan turut bicara. Kulit perempuan ini putih bersih, pucuk hidung dan dahi tampak mengkilat kemerahan.

"Bersih-bersih asrama, masak, nyuci, ngantar anak sekolah, dan masih banyak lagi kegiatan di asrama ini. Seharusnya siswi seperti kamu tidak tinggal di asrama luar. Aneh saja Suster Rosa membawamu tinggal di sini," tambahnya dengan nada sinis sambil menyandar di diding dekat TV.

Yudith terdiam. Dia teringat kembali kata-kata Suster Vero, 'kamu harus hati-hati karena senioritas sangat terasa di asrama yang isinya memang lebih banyak perawat senior. Usahakan untuk lebih luwes dan bisa mengikuti ritme kerja mereka'.

Yudith menghela napas panjang kemudian berkata, "Maaf, Bu Cici. Aku hanya minta buku baru untuk memulai---"

"Ambar, Ambilkan. Aku malas banyak omong. Mau tidur." Bu Cici beranjak pergi dengan wajah memberengut.

Tanpa sepatah kata pun, Bu Ambar melangkah menuju lemari bufet yang berisi tumpukan buku dan map. Mengambil satu pak buku baru dan diberikan pada Yudith.

"Aku mengerti, semua kegiatanmu dinilai. Tapi, jangan terlalu kaku dan idealis juga, Dith. Kamu enggak harus terlalu tunduk pada ketentuan."

Yudith tidak membalas barang sepatah kata pun. Dia melakukan semua tidak sekadar demi nilai, tetapi memang sudah seharusnya semua berjalan sesuai dengan ketentuan. Bagaima bisa observasi harian yang harus dicatat evaluasi atau kesimpulannya setiap malam, diisi seminggu sekali? Gila saja. Isinya pasti karangan bebas.

Malam itu, Yudith terjaga hingga larut karena harus membuat format observasi dan format catatan buku obat, dan lain-lain.

Di asrama ini dia memiliki kamar sendiri bersama dua anak berkebutuhan khusus yang menjadi tanggung jawabannya, Neli dan Aini.

Tinggal di Asrama Anggrek selama sisa liburan sungguh sangat menyiksa karena harus selalu bertatap muka dengan wajah-wajah yang tidak ramah setiap saat.

Ketika liburan telah berakhir, Yudith bisa sedikit bernapas lega karena intensitas bertatap muka dengan orang-orang asramanya pun berkurang.

Pagi itu, pukul tujuh setelah membuat catatan observasi pagi dan mengisi buku obat, Yudith langsung berangkat tanpa sarapan. Yudith sudah tidak sabar untuk menghirup udara segar di luar asrama dan yang terpenting, sebentar lagi dia akan bertemu Suster Vero dan Ririsma lagi.

Udara dingin di pagi hari ditambah angin bertiup cukup kencang terasa seperti jarum es menusuk kulit, Yudith berjalan sambil memeluk diri. Dia lupa memakai jaket, mau kembali untuk mengambil, malas bertemu dengan penghuni asrama yang sepertinya sudah kompak untuk mendiamkan dirinya.

Masih ada waktu sepuluh menit sebelum bus yayasan berangkat, Yudith harus bergegas kalau tidak ingin ketingalan.

Jalanan kompleks perumahan tempat Asrama Anggrek berada ini sangat sepi. Namun, amat asri karena seluruh pagar besi rumah warga, tertutup oleh tumbuhan merambat yang sengaja ditanam sehingga terlihat hidup.

"Dith!"

Gadis itu menoleh dan seketika berhenti saat melihat Andreas sedang berlari-lari kecil menghampirinya, sambil melepas jaket baseball yang dia kenakan.

"Dingin, kok ya, enggak pakai jaket." Tanpa bertanya, apakah Yudith mau atau tidak, Andreas langsung menutupkan jaketnya ke bahu Yudith. "Hati-hati. Aku berangkat, teman-teman sudah menunggu."

Secepat datangnya, secepat itu pula perginya. Yudith bahkan tidak sempat mengucap satu kata pun. Sepertinya Andreas sengaja segera pergi karena tidak ingin memberi kesempatan pada Yudith untuk menolak. Gadis itu hanya terpaku, bahkan saat teman-teman Andreas melambai, dia tidak bereaksi.

"Terima kasih, An." Berbisik sembari merapatkan jaket pada bagian leher,  seulas senyum tipis tersungging di sudut bibir Yudith.

Tepat setelah mereka berlalu meninggalkan area itu, sebuah bus yayasan yang bertugas menjemput anak-anak, datang dan berhenti di depan Asrama Anggrek. Dari dalam bus tampak para perawat saling berbisik sambil melongok bergantian ke arah Yudith dan arah Andreas pergi.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!