SIASAT JAHAT

Menjadi satu-satunya orang yang taat peraturan di antara yang abai, membuat Yudith bagaikan anomali yang merusak tatanan. Apa pun yang dia lakukan selalu mengundang tatapan sinis bahkan jijik.

Bu Cici dan yang lainnya, keculai Suster Rosa, berbicara pada Yudith hanya seperlunya. Mereka bahkan, seperti tidak sudi berada satu ruangan dengan Yudith. Karena gara-gara Yudith rajin mengisi catatan observasi dan evaluasi, Suster Rosa sekarang mengharuskan semua juga melakukan hal yang sama dan harus dilakukan di ruang belajar anak-anak, bersama-sama tanpa terkecuali.

Sudah terbiasa seenaknya sendiri, sekalinya ditata sudah tentu akan menimbulkan ketidaknyamanan. Gara-gara hal itu Bu Cici menjadi geram setengah mati karena merasa dianggap tidak berkompeten sebagai Ibu Asrama.

Masa iya mereka harus menjadikan Yudith, bocah kemarin sok tahu, sebagai panutan? Begitulah kira-kira jerit batin Bu Cici.

Bagi orang-orang yang tidak tahu situasinya pasti akan bertanya-tanya, kenapa hal sederhana hanya tentang catat-mencatat keseharian anak-anak saja dibesar-besarkan? Apa pentingnya?

Tentu saja segala sesuatu yang berkaitan dengan anak-anak berkebutuhan khusus sangatlah penting, jadi tidak bisa dianggap remeh.

Observasi dan evaluasi keseharian mereka sangat berguna sebagai bahan referensi bila sesuatu hal terjadi pada mereka, terutama yang berkaitan dengan kesehatan, untuk itu apa saja yang mereka makan setiap hari harus dicatat lengkap. Itulah salah satu fungsi dari buku-buku administrasi anak.

Bu Cici sebagai Ibu Asrama yang seharusnya bisa menjadi contoh tauladan juga pengayom, justru berperan sebagai profvokator yang menyebabkan Yudith dikucilkan.

Malam itu seusai makan, semua pegawai yang berjumlah empat orang melakukan pengisian administrasi anak bersama-sama di ruang belajar.

Sebenarnya masih ada cukup tempat untuk Yudith, tetapi mereka sengaja membuat meja dipenuhi banyak buku sehingga terkesan tidak ada tempat lagi. Akhirnya Yudith pergi ke ruang bersantai dan mengisi catatan evaluasi di sana.

"Kamu kok di sini, Dith?" Suster Rosa yang sebenarnya hendak ke dapur malah menghampiri Yudith.

"Di ruang belajar penuh, Suster." Yudith mengatakan apa adanya tanpa ada maksud apa pun. Namun, biarawati asal Jogja yang dianugerahi wajah ayu putri keraton itu menggeleng gusar.

"Sini, ikut aku, Dith."

Yudith menurut saja ketika tangannya ditarik dan tak lama kemudian sudah berdiri di depan para perawat senior yang menatap tidak suka padanya.

Tiga perawat lain berbasa-basi mengucap salam pada Suster Rosa, tetapi Bu Cici tidak. Perempuan angkuh itu menatap tajam pada Yudith.

"Cici, mulai malam ini Yudith akan membantu kamu memeriksa kelengkapan administrasi anak. Kalau kalian sudah selesai mengisi, kumpulkan jadi satu, Yudith akan memeriksanya."

"Aku bisa melakukannya sendiri, Sus. Enggak perlu dibantu." Bu Cici menolak tegas, cenderung kurang ajar dengan mata melotot.

"Ini keharusan. Yudith harus belajar untuk menjadi perawat berkualitas." Suster Rosa memberi penekanan pada dua kata terakhir.

Menyadari ujaran itu sejatinya adalah sindiran, membuat wajah-wajah masygul dengan mata nanar seketika tertuju pada Yudith yang berdiri kaku di samping Suster Rosa.

"Itu buku di atas meja tolong dirapikan biar Yudith bisa bergabung.  Jangan buang-buang waktu, solanya Yudith juga masih harus belajar."

"Pelajar itu memang harusnya fokus belajar, bukan ngurusi administrasi anak. Dan tempat yang cocok untuk dia ya di asrama pelajar." Sambil merapikan buku-buku yang berserak di atas meja, Bu Cici menggerutu.

Ketiga pegawai lainnya tidak bersuara. Mereka melampiaskan kekesalan dengan tindakan---merapikan buku dengan kasar sampai menimbulkan suara gaduh plak pluk plak pluk.

Suster Rosa tersenyum miris melihat kelakuan mereka. "Kalian ini sudah pada dewasa, tapi kelakuan kayak anak TK." Kemudian dia menoleh pada Yudith. "Duduk, Dith. Enggak usah sungkan, dalam pelayanan enggak ada perbedaan pegawai dan pelajar. Santai saja ya."

"Iya, Sus."

Tadinya Yudith pikir, setelah itu Suster Rosa akan meninggalkan ruangan, tetapi ternyata tidak. Beliau ikut duduk dan mengawasi mereka. Hal itu membuat Yudith lebih merasa relaks, sedangkan para pegawai terlihat semakin keruh wajahnya.

Keesokan paginya, seorang perawat yang bertugas belanja mengajak Yudith ke pasar terdekat. Karena hari ini Sabtu, Yudith tidak keberatan. Hari Sabtu Jadwalnya praktik, kegiatan dimulai pukul sembilan, tidak akan membuatnya terlambat. Sesederhana itulah pemikiran Yudith. Dia tidak tahu ada rencana busuk yang telah disusun.

Konspirasi para senior yang ingin mengerjai satu-satunya junior yang mereka anggap sangat menyebalkan. Akhirnya, di sinilah Yudith berada, di tengah hiruk-pikuk keramaian pasar, celangak-celinguk berusaha menemukan Bu Ambar yang tadi mengajaknya. Ini untuk pertama kalinya Yudith ke pasar, jadi masih tidak tahu arah.

Wajah gadis berkulit eksotis itu terlihat tegang. Ini benar-benar malapetaka. Dia tidak berani berpindah dari tempatnya seinci pun, berharap akan segera ditemukan bila Bu Ambar mencarinya.

Setengah jam sudah berlalu, kini jari pendek sang waktu sudah menunjuk angka tujuh lebih. Bagaimana ini? Yudith merasa sangat merana dan hampir menangis.

Tidak mau lebih lama berdiri di situ, akhirnya Yudith memberanikan diri bertanya pada seseorang. Atas arahan orang tersebut, Yudith berhasil keluar dari pasar. Akan tetapi, sayangnya dia keluar di sisi yang berbeda dari saat masuk. Yudith menatap putus asa jalanan yang sudah ramai. Di kedua tangannya terdapat kantong-kantong plastik berisi belanjaan yang sebenarnya tidak berat, tetapi terasa sangat membebani karena hatinya sedang risau.

"Lho, Dith!"

Yudith terlonjak kaget sekaligus bersyukur saat mendapati ternyata Pak Dimas yang menegurnya. Saking lega karena bertemu orang yang dia kenal, mata gadis itu langsung berkaca-kaca dan mulut tak sanggup berkata-kata.

"Kamu sendirian?"

Yudith menggeleng. "Tadi sama Bu Ambar."

"Lha kok, kamu masih di sini? Tadi aku lihat Ambar sudah pulang, lho."

Hah? Pulang? Astaga, Yudith seketika itu juga menyadari kalau dirinya sudah dikerjain. Tega sekali, sih.

"Pak, arah pulang ke Anggrek lewat mana ya?" suara Yudith bergetar karena menahan tangis dan sesak di dada.

"Biar diantar Andreas saja, ya, Dith?" Tanpa menyadari wajah Yudith yang semakin menegang, Pak Dimas memanggil Andreas yang sedang membeli sayur tidak jauh dari tempat mereka berada.

Andreas mengernyitkan dahi saat melihat Yudith. "Wah, kamu tumben ke pasar, Dith? Kamu sendirian?" Remaja putra itu bertanya sambil celingukan.

Yudith hanya diam. Hatinya seketika bimbang teringat ancaman Bu Cici. Itu lebih gawat, Bu Cici akan punya alasan untuk mendepaknya dari asrama.

"Sebaiknya aku pulang sekarang." Yudith sudah hendak melangkah, tetapi Pak Dimas mencekal lengannya.

"Bukan ke sana, tapi ke sana. Andreas akan mengantarmu. Enggak usah takut. Kalau ada apa-apa aku yang akan maju."

Berbeda dengan Yudith yang tampak merana, Andreas malah terlihat semringah. "Sini, biar aku saja yang bawa."

Yudith seperti tidak mampu menolak saat Andreas mengambil alih kantong-kantong plastik darinya. Hati dan pikirannya terlalu kacau sampai rasanya tidak singkron. Setelah berpamitan pada Pak Dimas, keduanya melangkah bersisian.

Karena hati merasakan dilema, selama perjalanan Yudith tidak berbicara apa-apa. Gadis itu seolah menjadi pendengar yang baik atas ocehan Andreas yang sepertinya sedang bahagia, padahal sebenarnya dia sedang memikirkan nasibnya setelah ini.

Berkali-kali Yudith menekankan pada dirinya, dipindah kembali ke asrama dalam bukan masalah besar buatnya, tetapi tidak dengan cara yang secara umum dianggap hina oleh kalangan yayasan. Dia tidak mau dianggap telah melanggar peraturan dan membuat Pak Heru malu.

"Nah, itu dia, Suster! Pulang diantar anak putra!" Suara teriakan itu terdengar bagai tuduhan sekaligus penghakiman bagi Yudith.

Langkah gadis itu terhenti saat Bu Cici, Bu Ambar, dan Suster Rosa keluar dari asrama untuk menyongsog.

"Enggak usah takut, Dith. Kamu enggak salah, kok. Serahkan padaku. Oke?" Nada tenang dan santai dalam suara Andreas tidak mampu membuat Yudith relaks, seluruh urat sarafnya terasa menegang dan kepalanya mendadak pusing, tetapi dia mencoba tetap berdiri tegak.

Aku enggak salah. Aku enggak salah. Semua akan baik-baik saja. Ya, Tuhan, tolong aku.

Dua pasang mata menatap nanar dengan raut wajah galak, tetapi Yudith abaikan. Dia lebih memilih memandang Suster Rosa yang menatapnya lembut.

"Maaf, Suster. Aku tersesat," ujarnya lirih dengan suara bergetar.

"Bohong!" Bu Ambar menyeletuk dan sudah siap hendak melancarkan fitnah, tetapi kalah cepat dari Andreas.

"Yudith berbohong karena enggak mau dibilang mengadu. Bu Ambar sengaja meninggalkan Yudith, kan?"

Wajah Bu Ambar seketika pucat, menatap Bu Cici seolah minta dukungan. "Jangan asal bicara kamu!" Dia menghardik Andreas setelah Bu Cici tidak meresponsnya. Sialan Cici.

"Masuk dan jelaskan bagaimana bisa kamu membiarkan Yudith sendirian padahal kamu tau dia enggak tau jalan. Kalian berdua masuk duluan." Mata Suster Rosa menatap tajam, nada suaranya dingin dan ketus.

Wajah Bu Ambar semakin menegang, bibirnya sampai pucat, tanpa basa-basi langsung beranjak pergi, bahkan Bu Cici dia tinggal.

"Makasih, An."

"Sama-sama. Oh iya, Sus---"

"Sudah, enggak usah khawatir. Aku tahu Yudith enggak salah. Terima kasih sudah ngantar Yudith pulang."

Hati Andreas lega, berpamitan dengan wajah semringah dan langkahnya terasa ringan tanpa beban.

Sekembalinya ke asrama putra, ternyata Burder Lius sudah menunggu di ruang tamu. Begitu Andreas dan Pak Dimas muncul, Bruder Lius langsung berdiri dan tanpa disangka-sangka menyentil dahi Andreas.

"Aduh!" Kedua tangan Andreas memegang kantong isi belanjaan, jadi tidak bisa mengelus dahi yang terasa sedikit panas. Kakaknya tidak main-main menyentilnya. "Mas Lius apa-apaan, sih?"

Mata Bruder Lius mendelik, terlihat galak, tetapi Andreas tahu kakaknya itu tidak sungguh-sungguh marah.

"Kemarin kamu bikin ulah apa, huh? Sampai disidang di kantor."

"Aku enggak buat ulah kok. Cuma ngasih jaket ke Yudith, kasihan dia kedinginan." Wajah Andreas cemberut. Bruder Lius tertawa dalam hati, teringat kembali pada Andreas kecil waktu merajuk.

Andreas yang sekarang akan bersikap seperti itu hanya bila sedang berhadapan dengan ayah, ibu, atau kakaknya saja. Dengan orang lain atau teman-temannya, Andreas sudah tentu akan menciptakan image dewasa.

"Bruder ke sini hanya untuk itu?" Pak Dimas meletakkan barang bawaannya serta bawaan Andreas di lantai dekat pintu masuk ke ruang dalam, dan tidak lama kemudian seorang siswa mengambilnya. "Padahal kemaren sengaja enggak dikasih tau. Bruder tau dari siapa." Tangannya meraih bahu Andreas lalu mengajaknya duduk. Bruder Lius pun kembali duduk.

"Enggak ada yang kasih tau, tapi dengar dari anak-anak institut pas tadi selesai ibadat pagi di kapel."

"Hanya masalah sepele sebenarnya. Cici saja yang berlebihan. Kayaknya Yudith enggak disukai di Anggrek."

"Barusan saja Yudith ditinggal di pasar sama Bu Ambar. Sampai mau nangis soalnya enggak tau jalan pulang. Untung ketemu kita." Andreas menimpali Pak Dimas.

Bruder Lius mengembuskan napas kasar. "Mas tau kamu enggak ada niat aneh-aneh. Tapi sebaiknya jangan diulangi lagi, An. Kasihan Yudith. Nanti makin dibenci sama mereka. Lagian kenapa anak kelas satu sudah ditempatkan di asrama luar?"

Tidak hanya Bruder Lius yang mempertanyakan hal itu, tetapi hampir seluruh warga Yayasan Mulia Harapan juga mempertanyakannya. Sungguh peristiwa langka.

"Suster Davince bilang karena Suster Rosa ingin Yudith menjadi asistennya."

"Asisten?" Bruder Lius dan Andreas berucap bersamaan. Keduanya menatap Pak Dimas tidak percaya.

"Apa yayasan ini kekurangan tenaga? Sampai-sampai anak kelas satu yang baru melewati Catur Wulan pertama sudah direkrut menjadi asisten." Nada bicara Bruder Lius jelas terasa mencela.

Bagaimana tidak? Tugas asisten koordinator itu tidak mudah dan juga membuang banyak waktu. Apalagi di akhir dan awal bulan, di mana inspeksi rutin bulananan selalu diadakan. Belum lagi inspeksi dadakan di pertengahan bulan yang tidak tentu jadwalnya.

Entah sebaik apa kualifikasi yang Yudith miliki, tetapi tetap saja merekrutnya pasti akan membuat Yudith sangat sibuk. Bruder Lius khawatir sekolah Yudith akan terganggu.

"Pak Heru kemarin sudah bilang sama Suster Davince. Kalau situasinya semakin runyam, dia minta Yudith ditarik kembali ke asrama dalam saja."

Mendengar perkataan Pak Dimas, wajah Andreas langsung muram, tampak jelas kecewa. Kalau Yudith dikembalikan ke asrama dalam, dia tidak akan bisa melihat Yudith lagi setiap pagi.

Tuk

"Ihs!" Andreas menggosok dahinya yang tersasa panas karena lagi-lagi disentil Bruder Lius.

"Mulai hari ini kalian akan melakukan pelayanan sosial di lapangan, kan? Hati-hati, jaga jarak aman dari Yudith."

"Memangnya aku mau ngapain Yudith, sih?" Andreas mendelik, pura-pura kesal.

Pak Dimas terkekeh ringan melihat keakraban mereka. Pak Dimas salah satu orang yang tahu kalau mereka bersaudara. Setelah mengobrol kira-kira lima belas menit, Bruder Lius pun pamitan.

"Besok mas berangkat ke Kalimantan. Mungkin sebulan di sana. Kamu hati-hati."

"Ouke."

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!