PERTOLONGAN

"Heuh, ampun. Sejarah membosankan banget. Ngantuk."

"Si kutu buku saja nyerah. Enggak biasanya dia ijin ke toilet pas jam pelajaran, kan?"

Sambil menuruni anak tangga, Ratna dan Lodi bercengkerama. Mereka juga hendak ke toilet, mau cuci muka biar tidak mengantuk di kelas.

"Eh, Rat. Kita kerjain Yudith, yuk!"

"Kerjain gimana?"

"Buruan, yuk! Sebelum dia keluar dari toilet." Alih-alih menjawab, Lodi malah menarik tangan Ratna lalu mengajaknya melangkah cepat. Berhenti di depan pintu toilet, Lodi berbisik, "Kita kunci dia di dalam bilik."

Ratna sekita terkikik sambil mengacungkan kedua jempolnya.  "Lumayan. Biar tau rasa."

Lodi membuka pintu hanya secelah, maksudnya hendak memastikan di dalam tidak ada orang lain, tetapi apa yang dilihatnya malah membuat terkejut dan spontan membuka pintu lebar-lebar.

"Hah, Yudith! Dia kenapa?" Wajah Ratna langsung menegang.

"Hidungnya berdarah. Mungkin kepleset." Wajah Lodi tidak kalah tegang.

Keduanya berdiri merapat pada pintu, tidak berani mendekati Yudith yang pingsan dalam posisi duduk dengan kepala menyandar pada bagian bawah wastafel.

"Kita pergi saja, yuk," ajak Lodi. Dia tadi punya niat jahat, jadi begitu melihat Yudith dalam kondisi seperti itu tanpa sadar dia merasa takut dituduh sudah mencelakainya.

"Jangan, dong. Ayo cari bantuan." Ratna menoleh ke sana-kemari dengan wajah penuh kengerian.

Gurunya tahu dia dan Lodi izin ke toilet tidak lama setelah Yudith keluar. Kalau Yudith ditemukan orang lain, bisa-bisa mereka yang dituduh sudah mencelakai Yudith. Itulah yang sedang dia pikirkan saat ini.

"Tapi, Rat---"

"Kamu tunggu di sini, aku mau cari bantuan."

"Eh, Rat tunggu!"

Tidak hirau pada teriakan Lodi, Ratna segera berlari meninggalkannya. Di koridor yang sepi, sura hentakan kakinya terdengar nyaring dan bergema. Tujuannya adalah kelas Andreas yang paling dekat dengan lokasi.

Sesampai di luar kelas, Ratna langsung menggedor pintu keras-keras. "Bu Pita, tolong Bu ...." Napasnya ngos-ngosan tidak terkendali.

Seorang perempuan membuka pintu, wajahnya langsung mengkerut saat melihat Ratna yang seperti habis lari maraton. "Kamu kenapa, Ratna?"

"Yudith, Bu. Pingsan di toilet."

Brak

Andreas yang tergesa-gesa berdiri kakinya membentur kaki meja. Semua perhatian teralih padanya yang kini berlari ke arah pintu.

"Yudith pingsan?"

Ratna mengangguk cepat. "Di toilet, Lodi bersamanya."

Tanpa basa-basi lagi, Andreas langsung melesat pergi. Berlari di koridor seperti terbang, sesampai di depan toilet hampir kebablasan karena telat mengerem. Tangannya dengan cepat meraih kusen pintu dan tanpa jeda langsung mengayun diri masuk.

Melihat keadaan Yudith, dia langsung lupa kalau yang dimasukinya adalah toilet perempuan.

"Ya Tuhan, Yudith!" Andreas segera mengangkat tubuh Yudith dan membawanya berlari menuju rumah sakit yayasan yang jaraknya tidak terlalu jauh, tetapi saat ini jalan yang biasa Andreas lalui dalam waktu kira-kira sepuluh menit, serasa terlalu panjang.

Sesampai di rumah sakit dan setelah Yudith ditangani, Andreas langsung menjatuhkan diri---duduk di lantai teras alih-alih di kursi. Napasnya ngos-ngosan dan peluh pun bercucuran, baju seragamnya sampai menempel pada kulit.

Bayangan dahi Yudith yang memar dan benjol serta hidungnya yang berdarah, rasa-rasanya mengaduk-aduk perasaan, membuatnya semakin sukar mengatur napas.

Bagaimana bisa jatuh sampai sepeti itu? Pertanyaan yang sama berungkali terlintas di benaknya.

"Dek, jangan duduk di lantai nanti masuk angin." Seorang suster petugas medis menegur Andreas.

"Ah iya, Suster." Berpegangan pada lengan kursi panjang yang ada di sebelahnya, perlahan Andreas bangkit.

Tidak lama setelah suster perawat itu pergi, suara hentakan kaki yang melangkah tergesa-gesa menarik perhatian Andreas. Dari arah jalan, Suster Vero, Ririsma, dan Fitus berlari-lari kecil ke arahnya.

"Bagaimana Yudith? Dia kenapa, An?" Kesulitan bernapas seperti ikan menggelepar di darat tidak menghentikan Suster Vero untuk melontarkan pertanyaan.

"Dia enggak apa-apa, kan?" Ririsma pun tidak mau kalah.

"Oee, atur napas dulu kalian. Kalau seperti itu bisa-bisa kalian juga masuk rumah sakit, pasang oksigen pula."

"Ish, lo ini." Ririsma memukul bahu Fitus yang barusan berseloroh.

Hanya dengan melihat saja Andreas rasa-rasanya juga ikutan sesak napas, apalagi jantungnya sekarang ini masih berdetak terlalu cepat, napas pun belum sepenuhnya normal.

"Kalian tau dari siapa Yudith aku bawa ke sini? Lagian ini belum jam istirahat ...."

"Tadi Ratna sama Lodi ngasih tau Pak Bimo kalau Yudith jatuh di kamar mandi dan kamu bawa kemari. Tinggal sepuluh menit, kelas sudah dibubarkan."

"Jangan-jangan mereka sendiri yang sudah mencelakai Yudith."

"Tidak boleh asal tuduh kau itu, Ris. Kalau tidak benar malah jadi fitnah." Fitus berujar santai, tetapi karena isinya teguran rasanya jadi sok bijak.

Tidak mereka sadari, ada seorang suster biarawati yang tanpa sengaja mendengar pembicaraan mereka. Suster itu keluar dan langsung bertanya, "Memangnya kenapa Ratna ingin mencelakai temannya?"

Alamak! Mati aku. Suster Vero mengeluh dalam hati. Suster itu adalah Suster Angelin, suster kepala rumah sakit yang juga tantenya Ratna.

"Tidak, Suster. Tadi Ririsma hanya asal bicara saja. Maaf, Suster Angelin."

Mendengar nama Suster Angelin disebut, Ririsma yang sudah membuka mulut hendak mengatakan sesuatu langsung bungkam. Dia tidak ingin salah bicara lagi dan menimbulkan masalah lain yang tidak perlu.

Mata Suster Angelin menyipit. "Mudah-mudah benar begitu, Suster Vero. Silahkan menunggu dengan tenang, teman kalian masih dalam penanganan."

"Iya, Suster. Terima kasih."

Sepeninggal Suster Angelin, mereka menghela napas lega.

"Gue mau balik ke kelas sebentar." Tanpa menunggu respons yang lain, Ririsma buru-buru pergi.

"Mau ngapain dia?" Andreas sampai melongo melihat kecepatan Ririsma mengayun kaki.

"Siapa yang tau?" Suster Vero mengangkat bahu.

"Jangan-jangan dia mau melabrak si Ratna sama si Lodi."

"Waduh!" Mata Suster Vero melebar,  menatap Fitus yang barusan bicara. "Aku susul dia."

Andreas dan Fitus hanya bisa menatap kepergian Suster Vero tanpa berusaha mencegahnya.

Selagi berjalan, Ririsma mendengar teman-temannya berbicara tentang Yudith. Cepat sekali berita menyebar, dan seperti biasa, kabar yang sudah lewat dari mulut ke mulut pada akhirnya akan dibesar-besarkan. Padahal, kan tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi kecuali Yudith sendiri, Ratna, dan Lodi.

"Aku yakin Ratna yang ngedorong Yudith. Dia kan benci banget sama Yudith."

"Ah, kayak kamu enggak saja. Kamu kan juga enggak suka sama Yudith."

"Enggak suka bukan berarti benci."

"Katanya jidat Yudith benjol besar banget."

"Hidungnya berdarah-darah sampai ke baju juga katanya."

"Aku dengar kepalanya masuk ke kolong wastafel."

Ririsma tidak hirau, dia terus melangkah. Seperti dugaan Fitus, dia hendak menemui Ratna. Ingin menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.

Di dalam kelas, Ratna dan Lodi tampak suntuk. Hati keduanya gusar setengah mati karena mendengar kasak-kusuk yang menuduh mereka sebagai orang yang mencelakai Yudith.

"Sialan, tau begitu tadi aku tinggal pergi saja." Ratna bersungut-sungut.

"Kan tadi aku sudah bilang, tinggalin saja."

"Malah ribet jadinya."

Ririsma masuk dan langsung berdiri di depan mereka. Dia sudah sempat mendengar apa yang mereka bicarakan.

"Enggak enak kan digosipkan macam-macam padahal lo enggak ngelakuinnya? Nah, makan tu karma. Ya, kayak gitu itu rasanya jadi Yudith. Lo berdua rasakan sekarang."

"Apa sih, datang-datang ngoceh enggak jelas." Lodi menggebrak meja lalu bangkit sesudahnya maju dan berdiri tepat di depan Ririsma.

"Ngaku lo. Lo lo yang sudah nyelakai Yudith, kan?"

"Jangan ngomong sembarangan!"

"Ah, minggir lo. Gue ngomong sama Ratna bukan lo." Ririsma mendorong Lodi ke samping hingga gadis itu terhuyung. "Jujur lo. Yudith lo apain? Biar kalau Suster Angelin tanya gue bisa jawab."

Nama tantenya disebut, wajah Ratna langsung menegang. Bisa gawat kalau sampai Suster Angelin salah paham.

"Jangan sembarangan ngomong kamu! Waktu aku dan Lodi datang, Yudith sudah dalam keadaan pingsan."

"He, kami tidak bodoh. Kalau memang kami yang mencelakai Yudith, mana mungkin kami juga yang cari bantuan!" Lodi mendorong bahu Ririsma sangat kasar, sampai Ririsma terhuyung dan menabrak meja.

"Kalian cari bantuan ya supaya tidak dicurigai lah. Soalnya kita semua kan tahu kalian ijin ke toilet enggak lama setelah Yudith keluar. Ngaku saja kalian!"

"Enggak!"

Lodi membentak tepat di depan wajah Ririsma dan Ririsma langsung mendorong wajah Lodi.

"Apa-apaan sih lo! Muncrat bau jigong lo ah!"

"Kamu yang cari gara-gara!" Ratna bangkit dari duduk lalu berdiri jadi dinding pemisah di antara Lodi dan Ririsma. "Sudah untung kami mau nolongin, malah dituduh-tuduh seenaknya."

"Ris, sudah. Jangan nambah masalah." Suster Vero yang baru datang langsung menghentikan Ririsma yang sudah mau meladeni Ratna adu mulut. "Nanti saja kita tanya sama Yudith kalau dia sudah sadar."

"Nah, itu! Tanya saja sana!" Lodi berteriak dari belakang Ratna yang masih berusaha menghalanginya berdekatan dengan Ririsma.

"Awas kalian!"

"Sudah, Ris. Ayok!"

Suster Vero menarik Ririsma tanpa ampun sampai yang bersangkutan tidak bisa menolak.

"Dasar ondel-ondel, pengen gue cakar mukanya." Sambil berjalan seperti berkejaran, Ririsma terus menggerutu.

"Kamu juga satu. Asal tuduh saja tanpa mikir akibatnya."

"Habisnya gue kesel banget. Jadi parno kan."

"Kamu ini."

Sesampai di rumah sakit, Andreas dan Fitus sudah tidak terlihat di teras.  Seorang perawat memberi tahu mereka kalau keduanya ada di dalam ruangan Yudith dirawat.

"Belum sadar juga?" tanya Suster Vero begitu sudah masuk ruangan.

"Belum itu. Suster enggak lihat, ko?"

"Kamu ini." Suster Vero memukul lengan Fitus yang menjawabnya dengan gaya selengean.

"Kenapa lo diam aja, An? Enggak kesambet kan lo? Perawat bilang apa?"

Ririsma berdiri menyandar pada dinding di bagian kaki brankar, sedangkan Andreas duduk di satu-satunya kursi yang ada si ruangan itu.

"Perawat bilang Yudith mau diobservasi dulu, juga nunggu Suster Davince datang. Aku lagi mikir-mikir. Rasanya enggak mungkin Yudith kepleset. Perasaan lantainya kering, kok. Lagian, kenapa ada dua benjolan di dahinya. Kalo kepleset jatuh lalu pingsan, harusnya cuma benjol di satu tempat, kan? Ini kok bisa kiri kanan begitu."

"Nah, berarti ada yang sengaja membuat Yudith jatuh, 'kan?"

"Pelankan suaramu, Ris. Bisa diusir kita nanti." Fitus memperingatkan sambil menempelkan jari telunjuk di bibir.

Andreas menghela napas panjang sesudahnya berkata, "Lebih baik jangan mikir yang negatif dulu." Mulut boleh saja bilang begitu, tetapi di dalam hati Andreas merasa curiga kalau memar dan dua benjolan di dahi Yudith itu adalah bekas dibenturkan bukan karena tidak sengaja terbentur. Akan tetapi, siapa yang tega melakukannya?

"Ya sudahlah, kita tunggu saja sampai Yudith bangun," ujar Suster Vero.

"Iya, betul itu. Jangan asal menduga-duga. Lagi pula siapa orangnya yang berani nekat seperti itu? Cari mati apa."

Tidak ada yang menanggapi perkataan Fitus, tetapi di dalam benak mereka terlintas nama dan bayangan wajah orang yang sama, Ratna dan Lodi. Akan tetapi, mereka juga tidak sepenuhnya yakin kalau kedua gadis itu berani senekat itu.

Bahkan Ririsma yang tadi sudah menuduh keduanya secara langsung, sekarang juga jadi ragu. Lodi dan Ratna memang banyak mulut, tetapi rasanya tidak akan punya cukup nyali untuk mencelakai.

Yudith yang sebenarnya sudah sadar, tidak ingin segera membuka mata. Karena tidak mau ditanyai macam-macam, dia tetap berpura-pura pingsan sampai akhirnya bel masuk kelas berbunyi dan keempat sahabatnya itu pergi.

Sementara itu di kantin, kabar tentang siswi yang jatuh di kamar mandi pun sudah mulai jadi bahan pembicaraan di antara para pegawai yang sedang duduk bersantai menunggu anak-anak pulang sekolah.

"Anak kelas satu, ya?"

"Katanya sih iya."

"Eh, bukannya yang jatuh si Yudith Yudith itu?"

"Masak?"

"Katanya. Aku juga kurang jelas sih."

"Wah, kalau bener dia sih syukurin."

Sesaat kemudian mereka tergelak bersama. Bu Ambar dan Bu Cici yang berada tidak jauh dari mereka saling bertukar pandang.

"Kamu gila, Ci. Yudith kamu apain?" Suara Bu Ambar sangat pelan, hanya bisa di dengar oleh Bu Cici yang tiba-tiba terlihat gugup.

"Kalau sampai ada yang tau aku pelakunya, awas saja kamu."

Saat itu juga Bu Ambar mengembuskan napas lelah dan bahunya pun terkulai lemah.

Terpopuler

Comments

Moon

Moon

🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣

2023-08-24

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!