PERSELISIHAN

Setelah urusan di Madiun selesai, dua hari kemudian Andreas dan Bruder Lius harus kembali ke Malang. Hari masih pagi, keduanya pun masih duduk sarapan di ruang depan sambil memperhatikan ayahnya.

Dibantu beberapa tetangga, pria paruh baya itu sedang memasukkan berkarung-karung beras dan beberapa hasil panen lain, bawang merah dan cabai misalnya, ke dalam bagian belakang mobil.

Orang tua Andreas tidak berpangkat atau berkedudukan tinggi. Hanya petani biasa, tetapi sebagai salah satu yang dianggap kaya dan murah hati, mereka cukup dipandang dan dihormati. Para tetangga itu datang membantu tanpa diminta.

Sawah luas ada di mana-mana, secara tidak langsung Pak Paulus telah membantu membuka lapangan pekerjaan bagi warga sekitar yang hidupnya hanya bergantung sebagai buruh tani.

Selain mendapat uang dari hasil bertani, Pak Paulus dan Bu Rusmini juga mendapat penghasilan dari rumah indekos yang mereka dirikan di kota, tidak jauh dari alun-alun. Rumah inilah yang diklaim Andreas sebagai rumahnya waktu dulu memberi tahu Yudith kalau rumahnya di Madiun kota.

Cukup berlimpah rezeki, Pak Paulus pun tidak lupa berbagi. Sebenarnya sudah sejak lama mereka ini menjadi salah satu donatur yang memasok sembako untuk Yayasan Mulia Harapan, bahkan dari sebelum putra sulung mereka sekolah dan menjadi biarawan di sana.

Awalnya dulu mereka hanya memberi bantuan di yayasan cabang Madiun, lalu lambat laun merambah ke pusat.

Dari seringnya ikut sang ayah mengantarkan bantuan dan melihat secara langsung kehidupan di yayasan itulah, Yulius Purnama jadi tertarik untuk sekolah di sana. Setelah dua tahun, tujuan yang awalnya hanya ingin belajar, malah jadi memilih untuk mengabdi dengan menjadi biarawan dan kini lebih dikenal sebagai Bruder Lius. Sedangkan Andreas, salah satu tujuannya sekolah di sana adalah karena ingin berada dekat dengan sang kakak.

"Ini kleponnya."

Bahu Andreas menjengit saat ibunya meletakkan kotak makanan cukup besar berisi klepon di atas meja.

"Wah! Banyak banget, Buk!" Karena ibunya bersedia membuatkan klepon, wajah Andreas jadi berseri-seri. Kan jadi ada alasan untuk bertemu Yudith, apalagi ini nanti mereka bakal mampir ke kompleks yayasan untuk mengantarkan bahan pangan itu.

"Ini kelapa parutnya ibuk pisah biar enggak basi." Sebuah kotak lebih kecil diletakkan di atas kotak yang berisi klepon. "Jadi penasaran yang namanya Yudith itu orangnya seperti apa?" Perempuan itu berlalu menuju dapur, ujarannya barusan tidak berarti apa-apa, lebih tepatnya bicara pada diri sendiri.

Andreas langsung menatap kakaknya penuh curiga. "Mas bilang sama ibuk kalau kleponnya bakal aku kasih Yudith?"

"Memangnya kenapa? Lagian ibuk enggak gimana-gimana. Seneng-seneng aja, tuh. Tadinya cuma mau buat sedikit, cukup buat kamu saja. Setelah mas kasih tau bakal buat calon mantu dan teman-temannya, ibuk malah beli tepung lagi."

"Emmh, sebenarnya aku cuma mau bilang terima kasih saja, sih." Andreas tergelak dan Bruder Lius langsung menyentil dahinya.

Selesai sarapan, Andreas menemui ibunya di dapur. "Buk, ada tas atau kantong apa gitu?"

"Mau buat apa?" Perempuan yang tadinya sedang asyik merapikan meja dapur itu berhenti, lalu menatap putra bungsunya.

"Mau buat ngisi mainan-mainan yang ada di bufet itu. Mau aku kasihkan anak-anak di panti."

Bu Rusmini mengerutkan dahi sampai matanya ikut menyipit. "Yang bener saja kamu ini? Nanti enggak bakal nyesel? Itu kan mainan kesayanganmu semua."

Kesayangan dan harganya lumayan mahal, teman-teman Andreas pun tidak ada yang punya. Dulu waktu minta dibelikan mainan-mainan itu, Andreas kecil sampai nangis sambil guling-guling di lantai.

Ada beberapa mobil-mobilan dan robot Satria Baja Hitam yang bisa bergerak, dulu di kota-kota kecil barang itu masih langka. Mobil-mobilan dan Robot-robot itu dikirim oleh Bruder Lius dari Malang, tetapi belinya di Surabaya, sekitar empat atau lima tahun yang lalu---saat film serial anak-anak dari Negara Jepang itu baru tayang di Indonesia.

Semua dirawat dan disimpan sendiri oleh Andreas. Bahkan setelah kini dia sudah dewasa, mainan-mainan itu masih tetap bagus dan utuh, mobil-mobilan masih disimpan dalam kotak kartonnya.

"Ya, enggaklah, Buk. Lagian aku sudah gede, enggak main begituan lagi. Aku hanya sisain robot sama mobil-mobilan yang dibelikan Mas Lius saja."

Bu Rusmini tidak berkata apa-apa lagi, bergegas masuk ke rumah dan Andreas mengekor. Setelah mendapatkan tas pakaian yang cukup besar, Andreas pun mulai beraksi.

Mendapati adiknya sibuk sendirian, Bruder Lius akhirnya datang membantu.

"Kalau memang niat mau dikasihkan anak-anak, kenapa enggak disiapkan dari kemarin, huh?"

"Kemarin belum kepikiran. Baru tadi pas sarapan aku ingat kalau punya banyak mainan."

"Kalau begitu cepetan biar bisa sampai Malang sebelum sore. Masih mau mampir ke rumah Heru sama Yudith juga, kan? Trus mampir Surabaya juga."

Pertanyaan yang tidak perlu dijawab, Andreas hanya merespons dengan bergerak lebih cepat memasukkan mainan-mainan itu. Setelah hampir seluruh isi bufet berpindah ke dalam tas, sekitar pukul setengah sembilan mereka pun berangkat.

Dan kurang lebih satu jam kemudian, Andreas sudah ada di rumah Yudith, sedangkan Bruder Lius pergi ke rumah Pak Heru. Andreas duduk di teras bersama seorang pria yang masih sangat muda, sekitar usia tiga puluhan tahun. Dialah Paklek Jaya.

Setelah mendengar dari Bu Nuni kalau akan ada teman Yudith yang mampir, Paklek Jaya pun mengepak sedikit makanan ringan buat Yudith.

"Bilang sama Yudith, enggak usah khawatir sama ibunya. Mbak Nuni sudah enggak kerja di sawah lagi, sekarang bantu-bantu di toko. Soal sakitnya juga enggak perlu dipikirkan, Mbak Nuni sekarang minum obat rutin dari dokter."

"Baik, Pak. Nanti saya sampaikan ke Yudith."

Mendengar kabar ini Yudith pasti akan merasa senang sekaligus lega. Membayangkan mata bulat gadis itu akan berbinar menatapnya saat dirinya menyampaikan pesan, Andreas tanpa sadar tersenyum tipis.

"Aku sudah bilang waktu dia telpon." Bu Nuni keluar dari rumah membawa nampan berisi dua gelas berisi teh yang masih mengepul, lalu meletakkannya di atas bangku, di antara Andreas dan Paklek Jaya.

"Nanti biar saya kasih tau lagi kalau Ibu baik-baik saja. Biar dia lebih percaya lagi, Bu."

Bu Nuni dan Palek Jaya tertawa mendengar ujaran Andreas yang bernada jenaka.

Mereka tidak bisa mengobrol lama karena tidak sampai lima belas menit kemudian Bruder Lius sudah datang menjemput. Mereka pun segera berpamitan.

Lewat tengah hari Kota Malang diguyur hujan deras tanpa henti hingga sore menjelang. Angin kencang pun serasa bisa menerbangkan orang. Namun, Yudith dan teman-temannya tetap nekat pergi piket ke asrama anak-anak.

Bagi Yudith, jadwal piket itu tidak hanya sekadar kewajiban, tetapi juga suatu kesenangan tersendiri karena bisa bersama anak-anak yang menurutnya istimewa.

Dua sore ini dia tidak datang piket karena disuruh Suster Kepala Sekolah membantu bagian gudang yayasan untuk menginventaris barang-barang sumbangan yang datang beruntun. Saking banyaknya, Yudith, Suster Vero dan beberapa suster lainnya harus bekerja sampai larut malam. Yudith adalah satu-satunya siswi kelas satu yang dipilih. Dia dipilih karena ketelitian dan ketelatenannya.

Sesampai di asrama panti, baju seragam perawat Yudith tetap saja basah bagian bawahnya. Payung yang dia gunakan tidak banyak membantu.

"Bu Yudith selamat sore!" Anak-anak yang ada di ruang makan yang saat ini digunakan untuk belajar atau kegiatan rutin sore, serempak memberi salam.

Lidah mereka tidak bisa melafal dengan jelas karena keterbatasan yang mereka miliki. Mereka yang ada di asrama ini kebanyakan adalah penderita cerebral palsy ringan (CP ringan).

Yudith tersenyum hingga gigi gingsulnya terlihat. "Selamat sore anak-anak. Selamat sore Mbak Yohana." Yudith memberi salam pada seorang perawat yang baru muncul dari sebuah ruangan. Perawat ini sudah berstatus pegawai.

Pegawai ini bekerja di yayasan dalam rangka pengembalian ikatan dinas---bekerja dengan menerima tiga perempat gaji selama tiga tahun. Biasanya setelah pengembalian ikatan dinas selesai, para pegawai itu diberi kebebasan untuk memilih. Mau keluar dari yayasan atau tetap bekerja di yayasan.

Namun, ada juga yang melanjutkan ke institut yayasan dengan sistem ikatan dinas. Perhitungannya sama saja dengan ikatan dinas tingkat SLTA.

"Sore, Dith. Hujan deras sebenarnya enggak datang juga enggak papa, Dith."

"Enggak papa, Mbak."

Setelah berbasa-basi, Yudith melangkah ke bufet untuk mengambil map administrasi anak yang menjadi tanggung jawabnya. Sambil berdiri, Yudith membuka-buka buku yang ada di dalam map. Alis gadis itu tampak bertaut sejenak, kemudian berjalan ke arah Mbak Yohana yang sedang duduk menemani anak-anak.

"Maaf, Mbak Yohana, yang ngisi buku observasi Nurjanah dua hari ini siapa?" 

"Aku. Ada yang salah, ya?"

Yudith lebih mendekat dan perlahan menyodorkan buku catatan observasi yang barusan dia periksa.

"Kenapa jam minum obat tidak ikut ditulis, Mbak?"

"Engak masalah itu, Dith. Kan sudah tahu jam rutinnya."

Kesan menyepelekan dalam suara Mbak Yohana langsung membuat sesuatu dalam hati kecil Yudith memberontak .

"Tapi, Mbak. Seharusnya tetap dicatat. Setiap akhir bulan kan harus dilaporkan untuk dipertanggungjawabkan. Lagi pula, memberi obatnya pasti enggak mungkin selalu tepat waktu, pasti ada selisih menit."

Yudith yang biasanya irit kata, mendadak nyerocos panjang lebar dengan nada menggurui sontak saja membuat lawan bicaranya merasa tersinggung.

"Masih untung aku mau bantuin isi, Dith!"

"Terima kasih, Mbak," ujar Yudith dengan volume rendah sambil meletakkan buku di atas meja tepat di depan Mbak Yohana. "Tapi aku di sini hanya petugas piket, Mbak. Enggak berani menganggap enteng."

"Ya sudah, tinggal tulis saja. Kurang lebih paling juga enggak sampe lima menit. Enggak usah sok idealis lah!"

"Bu Houhana kemahlin lupah kahih Nujanah hobat," (Bu Yohana kemarin lupa kasih Nurjanah obat) salah satu anak penyandang celebral palsy mengadu dengan suara tidak jelas dan saat itu juga buku catatan observasi melayang ke arahnya, dilempar oleh Mbak Yohana.

"Mbak!" Yudith begegas menghampiri si anak yang sudah mencebik hampir menangis. Lembut, dia mengelus kepalanya sembari mata menatap lekat pada Mbak Yohana. "Enggak harus kasar juga kan, Mbak? Sebelumnya aku minta maaf, Mbak. Tapi kalau boleh, tolong catatan observasinya disesuaikan---"

"Enggak mau. Urus saja sendiri.  Dikarang juga bisa kok."

Yudith meminta Mbak Yohana menyesuaikan catatan observasi karena catatan yang ada sekarang itu seperti hasil kopian, sama semua. Satu kata pun tidak ada yang berbeda. Itu jelas-jelas hasil karangan.

Sudah membuka mulut hendak membalas, tetapi Yudith terpaksa urung bicara karena seorang suster biarawati masuk ke ruangan.

"Selamat sore semua! Ada apa ini, kok, sepertinya tegang?"

Sungguh tidak diduga, hujan deras begini suster itu masih nekat datang untuk melakukan inspeksi dadakan.

Yudith tidak bisa berkata-kata, bahkan sekadar untuk menjawab salam pun rasanya lidahnya kelu. Suster yang datang ini adalah Suster Rosa. Suster yang bertanggung jawab sebagai koordinator asrama. Kedatangannya selalu menjadi momok menakutkan bagi para perawat pegawai atau siswi petugas piket.

Yudith bukan tipe orang yang suka mengadu. Sama sekali tidak ada niat untuk mengadukan Mbak Yohana, tetapi sayangnya Mbak Yohana yang seharusnya menjadi orang yang pantas disalahkan justru bersilat lidah.

"Yudith marah karena Rosma ngisi buku observasi Nurjanah ngawur, Sus." Rosma itu adalah salah satu petugas piket juga, dia sore ini tidak datang jadi Mbak Yohana tanpa beban menimpakan kesalahan padanya.

Mendengar itu mata Yudith melebar, lalu menyeletuk, "Mbak Yohana, jangan fitnah---"

"Kamu yang jangan ngomong sembarangan. Enggak ada sopan-sopannya sama orang yang lebih tua!"

Yudith terdiam, meski risi ditatap oleh Suster Rosa, dia tidak berniat menundukkan kepala. Yudith tidak mau terlihat lemah di depan Mbak Yohana yang juga sedang menatapanya---menatap penuh kebencian.

"Kamu Yudith? Yudith murid yang dibawa Pak Heru, bukan?"

Dada Yudith berdesir hingga rasanya ada laba-laba merayap di perut. Apa maksud pertanyaan itu? Dia sungguh tidak menyangka Suster Rosa tahu tentang dirinya.

Setelah menelan ludah, Yudith baru menjawab, "Iya, Suster."

Suster Rosa menatap Yudith intens, sorot matanya mengandung maksud tertentu. Dia sudah banyak mendengar tentang Yudith dari Suster Kepala Sekolah.

Dan perlu diketahui juga, kepribadian Yudith yang tidak biasa itu sebenarnya sudah banyak didengar oleh para suster atasan, ditambah lagi  Yudith ini adalah murid bawaan Pak Heru yang merupakan salah satu putra terbaik yayasan.

"Permisi!" Suster Vero muncul di depan pintu masih sambil mengibas-ngibas bajunya yang sedikit basah terkena air hujan.

Masih dalam suasana tegang, Yudith tidak berani menyambut kedatangan Suster Vero, bahkan Mbak Yohana juga bergeming. Akhirnya Suster Rosa yang menemui Suster Vero.

Ternyata Suster Vero datang untuk memanggil Yudith, ada sumbangan datang lagi, termasuk yang dibawa Bruder Lius dan Andreas.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!