Malam ini, Yudith diharuskan menginap di rumah sakit untuk menjalani observasi. Pak Heru, Suster Davince, dan Suster Rosa, datang menjenguknya.
"Kamu benar enggak papa, Dith?" Sekali lagi Pak Heru menanyakan pertanyaan yang sama, untuk memastikan kalau Yudith benar-benar tidak akan berubah pikiran---tetap menolak dibawa periksa ke rumah sakit yang peralatannya lebih lengkap dan canggih.
Dan untuk yang kesekian kalinya Yudith menggeleng serta bilang, "Enggak papa, Pak."
Duduk di atas brankar dikelilingi orang-orang penting, Yudith merasa risi juga. Dia berharap mereka segera pergi.
"Tapi kalau nanti ada apa-apa kamu harus bilang. Jangan diam saja." Suster Rosa berpesan. Cara bicaranya kalem, tetapi penuh penekanan. Yudith hanya mengangguk.
"Lain kali hati-hati. Ya, sudah kamu istirahat."
"Iya, Suster Davince. Terima kasih."
Berpikir kalau apa yang dialami Yudith adalah murni kecelakaan, ketiganya pun tidak mengajukan pertanyaan aneh-aneh.
Sekitar pukul enam petang setelah para petinggi itu pergi, Suster Vero dan Ririsma datang mengunjungi Yudith.
"Lo yakin jatuh sendiri? Jangan-jangan lo kena amnesia makanya lupa kalau ada yang ngedorong." Ririsma membumbui ujarannya dengan sedikit candaan dan sesudahnya dia terkekeh ringan.
"Sembarangan saja kamu ini. Sudah ah jangan brisik. Bisa-bisa kita nanti diusir. Kamu kalau pusing mending tidur sajalah, Dith. Jangan baca dulu."
Yudith mungkin bukan teman yang merepotkan, tetapi sepertinya dia bisa dibilang teman yang sangat membosankan. Lihat saja itu, sementara Ririsma dan Suster Vero mau berbaik hati menemani serta mengajaknya mengobrol supaya tidak jenuh, dia malah asyik membaca buku.
Sepertinya, hanya orang-orang yang bisa melihat Yudith dari sisi berbeda dari orang kebanyakan sajalah yang bisa bertahan berteman dengan gadis itu. Sisi yang orang lain anggap sebagai sesuatu yang membosankan dan kaku, tetapi terasa biasa saja bahkan cenderung istimewa bagi mereka yang tulus mau bersahabat dengannya.
Pukul tujuh, seorang perawat masuk mengantarkan makan malam. Sambil meletakkan makanan di atas meja, perawat itu berkata, "Hanya satu orang yang boleh menemani pasien dan waktu berkunjung hanya sampai jam sembilan saja. Silahkan, Dek Yudith. Selamat makan."
"Terima kasih, Sus." Ketiganya berbicara serentak tanpa dikomando.
"Sama-sama." Perawat itu meninggalkan ruangan dengan wajah semringah.
"Kalian belum makan, kan?"
Harusnya sih belum. Makan malam kan pukul tujuh, sedangkan mereka sudah ada di sini sejak pukul enam tadi. Namun ....
"Gue sudah makan mi instan di asrama panti."
"Aku bawa roti. Malas balik ke asrama."
Yudith melirik piring berisi makanan yang ada di atas meja. Nasi lembek dan dua potong daging ayam kecap ada dalam satu piring lalu sup labu ada di mangkuk kecil.
Merasa dirinya baik-baik saja, melihat nasi lembek itu nafsu makan Yudith rasanya langsung sirna. Namun, dia tetap memakannya walaupun tidak habis. Sebelum pukul sembilan tepat, Ririsma sudah meninggalkan rumah sakit. Mereka sudah sepakat Suster vero yang menemani Yudith.
Menjelang dini hari, hujan turun sangat deras. Yudith terbangun karena kepalanya berdenyut-denyut---tidak sakit, tetapi sangat pusing. Dalam posisi berbaring dengan mata tertutup, Yudith merasakan tubuhnya sangat ringan, rasanya seperti melayang.
Tidak mau mengusik Suster Vero yang tidur sangat nyenyak dengan posisi tidak nyaman---tidur sambil duduk kepalanya bertumpu di tepi pembaringan---Yudith mencoba mengatasi rasa pusing itu sendiri.
Perlahan dia mengatur napas---menarik napas dalam-dalam lalu saat mengembuskannya dia mencoba merelakskan seluruh saraf dan persendian yang rasanya mengencang seluruhnya. Dia mengulanginya beberapa kali sampai tubuhnya benar-benar merasa nyaman dan denyutan di kepalanya berkurang.
Dua bulir air mata mengalir dari sudut mata bagian luar---dekat pelipis. Buru-buru Yudith mengusapnya. Itu bukan air mata karena menangis, melainkan efek dari rasa pusing yang membuat matanya sampai terasa pedih.
Ya, Tuhan, aku tidak mau sakit.
Wajah sang ibu seketika melintas di benaknya. Kalau benturan di kepalanya mengakibatkan dampak yang serius, mau tidak mau ibunya harus dikabari. Yudith tidak mau itu, dia tidak ingin membuat ibunya khawatir.
Kembali menarik napas dalam-dalam, Yudith meyakinkan diri kalau dirinya akan baik-baik saja. Menjadikan suara gaduh air hujan yang membentur atap sebagai pengalihan dan pengusir sepi, gadis itu mencoba untuk tidur kembali. Meskipun awalnya sulit mengabaikan kerisauan hatinya, tetapi lama-lama dia pun terlena. Saat seorang perawat masuk untuk melihat keadaanya, gadis itu sudah kembali terlelap.
Keesokan paginya sekitar pukul enam lebih empat puluh lima menit, Yudith terbangun dan tidak mendapati Suster Vero. Di meja kecil dekat kepala brankar ada kotak makan berwarna merah muda berbentuk hati dan di atasnya ada kertas bertuliskan: Kalau terlalu besar atau kebanyakan untuk sarapan lebih baik untuk makan siang saja. An.
Bibir Yudith seketika mengulas senyum tipis. Makasih, An.
"Eh, sudah bangun, Dith." Suster Vero masuk bersama Ririsma.
"Makan kiriman dari si An gih." Ririsma mengambil kotak makanan itu lalu membukanya. Aroma sedap nasi goreng langsung menguar." Titip di gue tadi, soalnya belum jam sembilan, suster enggak ngijinin dia masuk."
"Coba lihat." Suster Vero mengambil kotak makan itu dari tangan Ririsma lalu menghidunya. "Anak putra lama-lama bisa jadi koki semua," ujarnya sambil tertawa kecil.
"Kalian enggak sekolah?"
"Gue sih cuma mampir kalau Vero katanya mau bolos."
"Malas PenJas. Kamu mandi dulu sana, habis itu baru makan."
Yudith termenung menatap kotak bekal yang sudah ditutup kembali oleh Suster Vero. Sepagi ini Andreas sudah sampai di kompleks, itu berarti dia tidak datang naik bus yayasan, soalnya bus yayasan paling cepat datang pukul tujuh.
"Eh, ngomong-ngomong lo enggak papa, kan? Maksudnya enggak ada gejala aneh di kepala lo itu ...."
Saat itu juga Yudith menggeleng. Dia tidak akan menghitung yang terjadi semalam itu sebagai gejala aneh. Sekarang kepalanya sudah tidak apa-apa dan dia yakin seterusnya juga akan baik-baik saja.
Sepulang sekolah, Andreas, Suster Vero, Fitus dan Ririsma kembali mengunjungi Yudith. Namun, karena ruangan sempit itu siang ini terasa cukup panas, akhirnya Fitus memilih duduk di luar.
"Aku masih kepikiran sama dua benjolan itu. Bagaimana bisa ada dua begitu?" Entah sudah untuk yang ke berapa kalinya Andreas mengulangi pertanyaan yang sama selama kurang lebih lima belas menit duduk di situ.
Menghela napas pelan, Yudith menatap bosan pada Andreas yang terus menatapnya. Lama-lama Yudith merasa risi.
"Waktu mau berdiri, aku jatuh lagi dan terbentur lagi karena bibir wastafel yang aku pegang basah dan licin."
Dari awalnya hanya menjawab singkat, tidak apa, tidak sakit, tidak masalah, aku baik-baik saja, jangan khawatir, akhirnya Yudith melontarkan jawaban panjang untuk Andreas, yang sepertinya tidak akan berhenti bertanya bila belum mendapatkan jawaban memuaskan.
"Lo, enggak sedang ingin melindungi Ratna sama Lodi, kan?"
Pertanyaan aneh menurut Yudith. Bagaimana Ririsma bisa berpikir begitu, padahal kemarin mereka bilang kalau Ratna yang mencari pertolongan. Apa penjahat akan melakukan itu alih-alih lari untuk menyelamatkan diri? Sebagai jawaban atas pertanyaan Ririsma, Yudith hanya menggeleng.
"Masih ada yang terasa aneh, tapi aku rasa enggak ada penjelasan yang lebih masuk akal lagi." Suster Vero akhirnya turut menimpali setelah cukup lama terdiam, menatap Yudith dengan alis bertaut dan dahi mengernyit. "Oh, iya, Dhit. Sudah jam makan siang, makanan dari Andreas belum kamu makan juga."
Tadi pagi Yudith makan sarapan jatah dari rumah sakit makanya makanan dari Andreas belum dia makan. Gadis itu menatap Andreas. Sekarang sudah jam satu siang, bus yayasan yang bertugas antar jemput pasti sudah kembali ke daerah S semua. Andreas pasti juga belum makan. Tidak mungkin Yudith makan sendirian sementara yang lain juga belum makan.
"Aku sudah boleh keluar. Kita makan di depan kantin saja. Kalian juga belum makan, kan?"
Sebenarnya Suster Vero dan Ririsma ada jatah makan di asrama, tetapi tidak mungkin mereka membiarkan Andreas, Fitus dan Yudith makan bertiga saja. Biarpun sudah tidak ada larangan berpacaran, tetapi mulut tukang gosip itu sangat berbahaya. Apalagi ini ada dua anak putra, bisa-bisa gosip yang beredar lebih dahsyat lagi.
Setelah berpamitan pada suster penjaga, mereka pun meninggalkan rumah sakit. Berlima melangkah santai menuju ke bagian depan kompleks sambil mengobrol dan sesekali diiringi candaan Suster Vero, Andreas, Fitus dan Ririsma.
"Cih, makin jelas saja kelakuannya. Kesempatan."
Mereka menoleh ke asal suara dan mendapati Ratna serta Lodi sedang duduk di ayunan di halaman TK, tidak jauh dari kantin. Yang berujar barusan adalah Lodi.
"Siapa yang lo maksud?"
Ririsma sudah siap adu mulut kalau sampai Lodi ngomong yang aneh-aneh lagi, tetapi Yudith mencegah dengan cara menarik lengan bajunya.
Dan tiba-tiba, Yudith melangkah menghampiri Ratna dan Lodi membuat keempat temannya bingung sekaligus khawatir, lalu buru-buru mengekor.
"Kamu mau apa?" Ratna menatap sinis pada Yudith yang berdiri tenang di hadapannya.
"Terima kasih sudah memanggil bantuan." Yudith mengucapkan itu tulus dari hati, tetapi cara bicaranya yang datar membuatnya terkesan dingin, apalagi setelah itu dia langsung balik badan dan pergi.
Suster Vero, Ririsma, Fitus dan Andreas yang sudah memahami karakter Yudith, saling bertukar pandang lalu tersenyum sambil mengangkat bahu, seolah mengatakan, seperti itulah Yudith, mau bagaimana lagi?
Ratna dan Lodi yang merasa aneh karena mendapat ucapan terima kasih dari orang yang tidak mereka sukai, hanya diam terbengong.
_______
Setelah diguyur hujan semalaman, hari ini langit sangat cerah, tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Sayangnya, suasana di kantor sekolah tidak secerah cakrawala biru cemerlang itu.
Brak
Suara gebrakan terdengar dari dalam kantor, menarik atensi beberapa orang yang berdiri di pos penjagaan dekat pintu gerbang.
"Kenapa tidak memberi tahu sebelumnya!" Suara bentakan Suster Davince sangat nyaring, lebih nyaring dari suara meja yang digebraknya.
Bahu Bu Ambar menjengit dan kepala semakin dalam menunduk. Perempuan itu nekat mendatangi Suster Davince untuk melaporkan apa yang dia ketahui, karena tidak mau dianggap bersekongkol bila sampai terjadi apa-apa pada Yudith.
Setelah mendengar Yudith pingsan dan tahu pasti apa penyebabnya, Bu Ambar ketakutan sendiri lalu diam-diam menghadap Suster Davince. Itu pun sebelumnya dia harus berpikir berulang-ulang karena takut pada ancaman Bu Cici. Namun, akhirnya dia nekat juga.
"Saya minta maaf, Suster."
"Apa maafmu bisa membuat keadaan lebih baik? Bagaima kalau terjadi hal buruk pada Yudith?! Cici benar-benar sudah kelewat batas!" Sekali lagi Suster Davince menggebrak meja. Dia marah, sangat marah hingga wajahnya terlihat sangat padam.
Kemarahannya bercampur rasa malu juga kecewa, karena orang yang telah melakukan tindakan keji itu adalah keponakan kesayangan yang selama ini selalu dia lindungi dan selalu diberi toleransi.
"Suster, se-sebaiknya untuk sementara jangan memberi Yudith tugas praktek ke luar kompleks ...." Bu Ambar terlihat bingung, matanya tidak berani menatap Suster Davince. Jemarinya saling meremas di atas pangkuan.
"Kenapa? Apa lagi yang direncanakan Cici?"
"Sa-saya enggak tau pasti, tapi Cici bilang Kak Yonas dan Kak Martin marah. Mereka mengincar Yudith."
"Gila! Bodoh!" Telapak tangan Suster Davince kali ini pasti panas luar biasa karena gebrakan di meja sampai membuat beberapa benda terpelanting. Bahkan ada yang jatuh ke lantai.
Tangan yang barusan menggebrak meja bergerak cepat menyambar gagang telepon, menggunakan jari telunjuk dari tangan yang sama beliau memencet tombol angka. Setelah itu menempelkan gagang telepon di telinga.
"Ke sini sekarang, bawa Cici juga." Setelah meletakkan kembali gagang telpon, beliau kembali berteriak, "Petugas piket, panggil Yudith ke sini!"
Seorang gadis berpakaian perawat masuk ke ruangan hanya untuk mengatakan, "Baik, Suster." Setelah itu, bergegas pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments