AYAH

Setelah menelepon ibunya, sekitar pukul sebelas, Yudith bersama Suster Vero dan Ririsma pergi ke area depan kompleks untuk menemui ayah Suster Vero yang sudah menunggu di ruang kunjungan.

Sambil melangkah, Yudith memperhatikan hiruk-pikuk aktivitas di luar kompleks lewat sela jari-jari pagar besi.

Angkot-angkot warna biru berpacu dengan kendaraan lain. Para pejalan kaki memenuhi trotoar, dari penampilan mereka, Yudith yakin kebanyakan adalah para mahasiswa universitas terdekat yang sedang menikmati hari libur dengan sekadar berjalan-jalan atau mungkin hendak berburu kuliner.

Pelataran parkir D Plaza yang berada di seberang jalan terlihat penuh dan banyak pengunjung keluar-masuk. Yudith pernah masuk ke plaza itu sekali, diajak Pak Heru belanja peralatan mandi.

Sesampai di ruang kunjungan Yudith diperkenalkan pada ayah Suster Vero. Beliau adalah sosok yang murah senyum. Selama berada di situ, diam-diam, Yudith kerap mengerling pada pria yang sepertinya sudah berusia lebih dari paruh baya tersebut.

Dari caranya mengobrol dengan Suster Vero, Yudith bisa menilai kalau pria itu tipe ayah yang dekat dengan anak-anaknya.

Sayangnya, penilaian tersebut malah mengantar ingatan Yudith pada masa lalu. Masa di mana sosok pria yang dia panggil ayah melangkah pergi dan tidak pernah kembali hingga kini.

Waktu itu, Yudith baru berusia delapan tahun. Sepulang dari bermain dia berpapasan dengan ayahnya di jalan depan rumah. Ayahnya berpakaian sangat rapi dan menenteng tas besar.

"Ayah mau ke mana?" Mata bulat gadis kecil itu bergerak naik-turun meneliti penampilan ayahnya.

Senyum teduh menghiasi wajah ayah Yudith. Sambil mengelus lembut kepala putrinya, pria itu berkata, "Ayah mau merantau, kerja cari uang. Buat kamu sekolah dan ibumu berobat."

Bocah perempuan yang memang aslinya tidak banyak omong itu hanya terdiam. Yudith tidak tahu apa itu merantau, tetapi melihat tas besar yang dibawa ayahnya, dia pun berasumsi kalau sang ayah akan pergi jauh. Dia sedih, tetapi juga tidak ingin terlihat bersedih. Mata yang sudah terlanjur berkaca-kaca segera diusapnya.

Sang ayah membantu putrinya menghapus air mata. "Jangan sedih. Tolong ayah menjaga ibu. Kamu harus bisa mandiri, jangan menjadi beban untuk ibu. Mengerti?"

"Ayah kapan pulang?" Berbicara sambil menahan isak, suaranya terdengar seperti tercekik. Gadis kecil itu berusaha keras untuk terlihat tegar.

Ayah pergi merantau demi dirinya juga ibu. Dia tidak boleh membebani langkah sang ayah dengan kesedihan, begitulah pikirnya.

"Berangkat saja belum, kok ya, sudah tanya kapan pulang." Pria itu tertawa renyah, sedikit berkelakar untuk menggoda putrinya.

Yudith memaksa bibirnya yang terasa kaku untuk tersenyum. Kelopak matanya berkedip cepat untuk mengusir cairan hangat yang sudah menggenang. Namun, akhirnya air mata itu jatuh juga. Sambil mengusap menggunakan punggung tangan, dia berkata lirih, "Cepat pulang."

"Kalau sudah punya banyak uang, ayah pasti pulang. Kamu jadi anak yang pinter, nurut sama ibu."

Yudith mengangguk dengan segala kepolosannya. Melepas kepergian sosok pria yang sangat dia hormati dan sayangi tanpa ada prasangka buruk sedikit pun. Tidak pernah mengira bahwa sejak saat itu, dia tidak akan pernah bertemu denganya lagi.

Hari berlalu dan musim pun berganti.  Yudith rindu dan berharap ayahnya akan segera kembali. Akan tetapi, selama satu tahun itu sang ayah malah tidak ada kabar sama sekali. Jangankan uang, sepucuk surat pun tidak pernah ayahnya kirim.

Pesan sang ayah dan kondisi kesehatan ibunya yang kurang baik karena menderita sakit mengi, memaksa gadis yang masih sangat belia itu menjadi dewasa sebelum waktunya.

Di saat anak-anak seusianya masih gemar bermain dan hanya tahu menadah tangan pada orang tua, Yudith sudah bisa memikirkan bagaimana cara meringankan beban sang ibu yang hanya bekerja sebagai buruh tani.

Rumah Yudith tidak jauh dari pasar, dia sering dimintai tolong oleh tetangganya yang buka warung makanan matang untuk belanja bila ada bahan yang terlupa dibeli.

Toko Paklek Jaya adalah langganannya. Karena sering belanja di situ, Yudith jadi cukup akrab dengan Paklek Jaya dan istrinya, juga anaknya.

Saat terpikirkan keinginan untuk meringankan beban ibunya, bocah usia sembilan tahun itu memberanikan diri mendatangi pemilik toko sembako itu---orang terkaya di desa---dan dengan polos minta dipekerjakan.

Orang dewasa yang waras sudah tentu tidak akan mempekerjakan anak kecil. Akan tetapi, sepertinya Paklek Jaya punya pemikiran sendiri tentang Yudith, yang memang berasal dari keluarga kurang mampu dengan ibu yang tidak memiliki pekerjaan tetap, sakit-sakitan pula, tetapi tidak pernah mau dikasihani.

Alih-alih menolak, pria pemilik toko itu meminta Yudith, sepulang sekolah menemani anaknya yang baru berusia dua tahun bermain.

Berawal dari pekerjaan ringan memang. Namun, seiring berjalannya waktu Yudith juga dipercaya untuk melayani pembeli.

Awalnya sang ibu juga melarang Yudith bekerja, tetapi akhirnya tidak punya pilihan dan membiarkan saja karena Yudith ngotot.

Berkepribadian kuat, berpendirian teguh, dan keras kepala, kombinasi yang sulit diruntuhkan. Itulah Yudith.

Sejak saat itu, Yudith tidak pernah lagi pergi bermain bersama teman-temannya. Waktu dia habiskan untuk belajar dan bekerja. Namun, rindu untuk ayahnya tidak bisa teralihkan oleh kesibukan.

Yudith jarang menanyakan kabar ayahnya pada ibu karena tidak ingin membuat sang ibu bersedih. Lagi pula, ibunya pasti akan dengan senang hati berbagi kebahagian bila memang ada kabar dari ayah. Tidak mungkin disimpan sendiri.

Empat tahun telah berlalu. Di suatu malam saat sedang makan bersama, Yudith memberanikan diri bertanya pada sang ibu,

"Bu, sebenarnya ayah ke mana, toh? Kok, enggak pulang-pulang."

Bu Nuni terbatuk-batuk, napas ngos-ngosan. Yudith segera memberi minum lalu mengelus punggungnya.

Bu Nuni seperti itu bukan karena kaget oleh pertanyaan Yudith, melainkan memang begitulah dia. Paling gampang menyebutnya terkena sakit asma, padahal sebenarnya Bu Nuni sakit mengi atau bengek. Batuk dan napas ngos-ngosan sudah menjadi temannya setiap hari.

"Akhirnya bertanya juga. Ibu pikir kamu sudah melupakan ayahmu." Batuk sesekali masih menyelingi saat Bu Nuni berbicara.

Perempuan yang usia sebenarnya tidak lebih dari empat puluh tahun itu sudah terihat keriput dan tua karena badannya sangat kurus.

Masih sambil mengelus punggung sang ibu, Yudith tersenyum sangat tipis. Sebenarnya dia prihatin dengan kondisi ibunya, tetapi tidak ingin menunjukkan karena perempuan yang telah melahirkannya itu paling tidak suka dikasihani.

"Kira-kira ... kapan ayah pulang?" Volume suaranya mendadak berkurang. Entah mengapa, Yudith merasa kalau sebaiknya tidak usah bertanya, tetapi karena sudah terlanjur terlontar, ya, apa boleh buat.

"Enggak usah menunggunya!" suara Bu Nuni sedikit tinggi, setelah itu kembali terbatuk-batuk. "Memangnya, kamu pikir laki-laki mana yang tahan hidup sama perempuan bengek kayak ibu ini?"

Tangan Yudith yang hendak mengelus punggung sang ibu terhenti. "Ibu kenapa ngomong begitu? Ayah bilang, dia pergi merantau mencari uang untuk ibu berobat dan Yudith sekolah."

Jari-jari kurus Bu Nuni menyisir lembut rambut putrinya. "Dith, dengarkan ibu, ya. Sudah ... enggak perlu nunggu ayahmu lagi. Dia sekarang sudah bahagia dengan keluarga barunya." Tanpa basa-basi, perempuan itu mengatakan yang sebenarnya.

Sudah terlalu lama dia menyimpan kenyataan pahit itu. Menunggu Yudith bertanya, tetapi putrinya tersebut tidak kunjung bertanya juga. Karena dipikir Yudith sudah melupakan sang ayah, Bu Nuni pun tidak berniat menyampaikan kabar yang dia terima sekitar dua tahun yang lalu itu.

Yudith diam bagai beku. Dalam sekejap gunung rindu dalam hatinya luruh, dadanya sakit juga sesak, tenggorokan bagai tersekat hingga lidah pun kelu. Cairan hangat merembes dari sudut-sudut mata tidak dia pedulikan.

Seandainya saat ini ibunya sedang berbohong pun, Yudith pasti mempercayainya. Gadis usia dua belas tahun itu berpikir apa yang disampaikan sang ibu adalah penjelasan sangat masuk akal, kenapa sang ayah pergi tanpa kabar sama sekali hingga sekarang.

Bu Nuni menatap sedih, merasa menyesal sudah mengatakan blak-blakan tanpa menyiapkan hati putrinya terlebih dahulu. Paling tidak, seharusnya dia memberi pengertian supaya Yudith tidak sampai syok seperti itu.

"Dith---" Bu Nuni terbatuk-batuk, menyadarkan Yudith dari kebekuan.

Gadis itu buru-buru menepuk-nepuk punggung sang ibu tanpa ingat menghapus air mata karena sebenarnya dia tidak sadar kalau sudah menangis.

"Ibu minum obat sesak napas pemberian Paklek Jaya, terus istirahat."

"Ibu enggak apa-pa. Sudah biasa begini. Ibu minta, kamu enggak usah sedih. Sudah, ikhlaskan saja."

Yudith termangu. Ibunya memang ringkih, tetapi dia perempuan yang kuat dan tabah. Tidak ingin membuat sang ibu khawatir, gadis itu mengangguk.

Orang yang sangat dia sayang dan rindukan ternyata telah mengabaikannya, bahkan telah memiliki keluarga baru. Siapa pun pasti sakit hati, merasa dikhianati.

Di depan sang ibu, Yudith berusaha tegar, tetapi ketika sudah sendirian di kamarnya, dia menangis tersedu-sedu di bawah selimut.

Terpopuler

Comments

⍣⃝ꉣꉣAndini Andana

⍣⃝ꉣꉣAndini Andana

mengsedih bacanya 😭😭😭

2023-09-12

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!