"Di Catur Wulan kedua dan seterusnya, jadwal praktek Kunjungan Sosial akan diadakan di lapangan. Maksudnya di luar kompleks yayasan." Pengumuman dari seorang guru laki-laki yang kini sedang berdiri di depan kelas langsung disambut sorak-sorai para siswa putra.
Mereka senang karena dengan begitu bisa sekalian cuci mata, juga bisa lebih mengenal Kota Malang.
"Anggota kelompoknya tetap kan, Pak?" Andreas bertanya sambil mengangkat tangan kanannya.
"Iya, anggota kelompok yang sudah dibagi masih tetap, tapi untuk kunjungan di luar, kalian akan digabungkan. Dua atau tiga kelompok menjadi satu, soalnya tidak banyak pembina yang bisa mendampingi kalian."
"Oke, sip!" Andreas berseru konyol, mengundang gelak tawa teman-temannya.
"Eh, sstt, sstt ...." Fitus mencolek lengan Andreas.
"Apa kau ni colek-colek?" Menggunakan logat timur, cara bicara Andreas terdengar lucu. Akan tetapi, karena sudah terbiasa kelucuan itu pun hanya menjadi kelucuan yang biasa juga. Lucu, tetapi sudah tidak cukup menarik untuk ditertawakan.
"Sepertinya kau semakin dekat saja sama si Yudith." Fitus berbicara tanpa mengecilkan suara, itu pun suaranya tenggelam di tengah keriuhan.
Tidak mengonfirmasi pernyataan sahabatnya, Andreas hanya menaik-turunkan alis sambil menyeringai menyebalkan.
"Kau kenapa enggak naksir si Ratna. Kan jauh lebih cantik dia itu."
"Enggak mau. Selera tidak bisa dipaksa. Kalau kamu mau, buat kamu saja." Setelahnya, Andreas terbahak-bahak, tetapi segera bungkam karena guru mengetuk papan tulis keras-keras untuk menghentikan keriuhan.
Andreas mencondongkan diri ke arah Fitus dan berbisik, "Kalau kamu suka sama Ratna, ambil saja?"
"Ah tidak! Tak akan sanggup aku beli bedak buat dia." Fitus berujar serius dengan raut wajah dibuat memelas. Keduanya lantas terkikik-kikik seperti dua gadis yang sedang bergosip.
Antusiasme juga dirasakan oleh para siswi saat mendengar pengumuman yang sama. Mereka senang karena akhirnya bisa melihat dunia luar kompleks yayasan.
"Semua akan berkumpul di kompleks dulu, baru setelah itu berangkat didampingi pembina masing-masing. Ingat, kalian harus tetap bisa membawa diri. Jangan bertingkah aneh-aneh. Mengerti?"
"Mengerti, Bu!" Semua siswi menjawab serempak.
Di antara yang antusias, ternyata ada yang merasa tidak tertarik dengan kegiatan yang akan diadakan di lapangan atau bisa dibilang terjun langsung ke masyarakat itu.
"Ish, Suster Angelin pernah bilang kalau kunjungan ke luar itu yang akan didatangi pasti tempat-tempat kumuh tempat tinggalnya para pengemis atau pemulung, bahkan kita juga harus ke jalanan untuk melihat langsung bagaimana mereka bekerja. Atau malah pergi ke penampungan orang gila." Ratna berbisik pada Lodi. Hidungnya mengernyit seperti mencium bau busuk, bahkan bahunya juga turut bergidik.
"Memang. Aku pernah dengar dari kakak kelas, tapi kata mereka rumah sakit juga termasuk, sih."
"Rumah sakit masih mending."
"Sudah, ambil positifnya saja. Kita kan jadi bisa cuci mata. Ya, 'nggak?"
Bibir Ratna manyun sejenak, lalu tersenyum lebar dan wajahnya pun kembali cerah. "Iya juga, sih."
Yudith hanya tersenyum kecil saat melihat teman-temannya begitu heboh, lalu kembali menekuni buku pelajarannya.
Ririsma yang duduk di belakang Yudith mencolek punggung gadis itu. Ketika Yudith menoleh dia mencondongkan tubuh ke depan dan berbisik, "Eh, gimana lo berangkat ke sini? Kan enggak mungkin lo berangkat pagi bareng anak-anak. Jadwal kunjungan baru mulai jam sembilan."
"Mungkin naik angkot."
"Emang lo tau mesti naik angkot yang mana?"
"Sssssttt! Dilanjut nanti saja." Suster Vero menghardik mereka.
Ruangan yang tadinya gaduh pun seketika hening setelah Bu Guru mengetuk meja beberapa kali.
Jam sekolah berlangsung seperti biasa dan selalu dilengkapi dengan ocehan dan tatapan sinis dari beberapa teman yang tidak menyukai Yudith. Apalagi sekarang gadis itu mendapat keistimewaan untuk tinggal di asrama luar. Makin menjadi-jadi saja ocehan mereka.
"Pake ilmu apaan sih, tuh, anak? Diistimewakan banget."
"Apa lagi kalau bukan ilmu ngempe."
"Memang dasar ya, tukang cari muka."
"Sok alimnya itu lho, aduh bikin enek."
Dan masih banyak lagi ocehan-ocehan tidak jelas lainnya yang bisa membuat telinga dan hati panas.
Namun karena sudah terbiasa, Yudith pun tidak menganggap hal itu sebagai masalah. Suka-suka mereka mau bicara apa. Toh, apa pun yang Yudith lakukan akan tetap menjadi bahan gunjingan, bahkan kalau Yudith hanya duduk diam sambil membaca buku pun.
Selama di sekolah, Yudith tidak merasakan firasat buruk sama sekali. Dan ketika pulang pun suasana hatinya baik-baik saja, malah merasa senang karena bisa melihat keadaan kota dari balik kaca jendela bus yayasan yang ditumpanginya.
Ketika sampai di depan pintu pagar asrama dan salah satu senior yang membuka pintu untuknya berwajah masam, bahkan mencibir alih-alih membalas salamnya, Yudith masih baik-baik saja.
Namun, perasaan gadis itu tidak lagi baik-baik saja saat mendapati semua pegawai melempar tatapan sinis yang terkesan mengancam. Tidak ada satu pun yang mau berbasa-basi membalas salamnya.
Perut yang tadinya terasa sangat lapar pun mendadak kenyang dengan sendirinya saat hendak makan, tetapi tidak mendapati apa pun yang bisa dimakan.
"Kalau lapar masak saja mi," ujar Bu Ambar yang masuk ke dapur dan melihat Yudith tampak termangu di dekat meja kecil yang biasanya digunakan untuk menaruh makanan yang tidak habis dimakan.
Kali ini tidak ada apa-apa. Apa mereka sengaja menghabiskannya? Ah, sudahlah. Yudith tidak mau berburuk sangka.
Begitu Bu Ambar yang masuk ke dapur hanya untuk meletakan gelas kotor di wastafel itu sudah pergi, Yudith pun ikut keluar dari dapur. Tidak jadi makan karena sudah tidak lapar lagi.
Mereka mendiamkan Yudith hingga keesokan harinya. Suster Rosa yang kemarin pulang dari kantor yayasan di atas pukul sepuluh, tidak tahu menahu tentang sikap para pegawainya terhadap Yudith.
Gadis yang tidak banyak bicara itu berusaha bersikap biasa saja. Saat hendak berangkat sekolah pun tetap berpamitan baik-baik meskipun tidak direspons baik.
Sesampai di sekolah, perasaan Yudith jauh lebih terasa riang karena bertemu kedua sahabat baiknya. Akan tetapi, ketika menginjak jam pelajaran ketiga tiba-tiba situasinya berubah drastis.
Petugas piket kantor sekolahan memanggil Yudith, dan sekarang di sinilah gadis itu berada. Disidang di kantor sekolah.
"Sebenarnya ini apa yang jadi permasalahan? Andreas dan Yudith ini sama-sama dari Madiun. Tugas praktik pun mereka satu tim. Hanya bertemu di jalan dan saling menyapa, masak dianggap telah melanggar? Jangan mengada-ada!" Pak Dimas, Kepala Asrama siswa putra, memberi penekanan hampir di setiap kata yang diucap.
Pria berkumis lebat, berambut lurus tipis ini bersitegang dengan Bu Cici yang terlalu tendensius dalam menyikapi permasalahan---terang-terangan menganggap Yudith bersalah.
Di Kantor Kepala Sekolah ini, Yudith dan Andreas duduk bersisian dengan kepala sedikit menunduk. Di hadapan mereka ada Kepala Sekolah, Kepala Asrama siswa putra, Suster Rosa, Pak Heru, dan Bu Cici, duduk dalam formasi setengah lingkaran.
Yudith dan Andreas disidang karena ada yang melaporkan interaksi mereka kemarin pagi. Tepatnya ada yang mengadu ke Bu Cici, dengan sedikit bumbu tentunya, lalu Bu Cici melapor pada Kepala Sekolah.
Sekarang sudah jelas bagi Yudith, kenapa kemaren mereka bersikap lebih dingin dan tatapan selalu mengancam.
"Interaksi mereka terlalu berlebihan, Pak Dimas. Seperti orang pacaran!" Wajah Bu Cici merah padam. Terlihat garang dan tampak jauh lebih 'seperti laki-laki' dibandingkan dengan Pak Dimas yang laki-laki tulen. "Kayaknya lebih baik kalau Yudith dikembalikan ke kompleks yayasan!"
"Tidak bisa!" Suster Rosa menegaskan. "Yudith adalah tanggung jawabku. Tidak ada yang berhak memindahkan dia selain aku! Lagi pula sebentar lagi akhir bulan, aku membutuhkan tenaganya."
Yudith mengangkat wajah. Bermaksud menatap Suster Rosa, tetapi justru wajah Pak Heru yang pertama kali dia pandang. Senyum tipis yang merekah di bibir pria itu bagi Yudith adalah sebuah dukungan yang tulus. Hati Yudith seketika lega, karena tadi sempat merasa takut kalau-kalau Pak Heru meras kecewa padanya.
"Aku tidak akan menganggap ini sebagai masalah besar atau pelanggaran," perkataan tegas Kepala Sekolah membuat mulut Bu Cici yang sudah hendak bicara seketika terkatup. "Jangan dibesar-besarkan. Peraturan memang melarang siswa-siswi pacaran, tetapi bukan berarti tidak boleh saling menyapa kalau kebetulan berpapasan. Kita ini manusia yang hidup butuh bersosialisasi."
Sang pemangku jabatan tertinggi sudah bersabda. Mau apa lagi mereka? Meskipun hati mendongkol karena kesempatan untuk mendepak Yudith dari asrama gagal, Bu Cici hanya bisa diam. Akan tetapi mengancam dalam hati, kalau berpikir ini sudah selesai, kalian salah besar.
Pertemuan itu pun akhirnya dibubarkan dengan keberuntungan berpihak pada Yudith dan Andreas.
Sebelum kembali ke daerah S, Andreas meminta waktu berbicara dengan Yudith. Di bawah pengawasan mata Bu Cici yang seperti menyimpan bara siap berkobar kapan saja, keduanya berbicara sambil berdiri di pelataran kantor sekolah.
"Ini, aku kembalikan." Yudith menyodorkan jaket Andreas dalam kondisi dilipat rapi.
Andreas tidak menerimanya. "Buat kamu saja. Kalau kamu kangen aku, anggap saja jaket itu aku."
Yudith mendelik dan sudah hendak menghardik, tetapi urung saat mendapati Andreas tersenyum jahil sembari menaik-turunkan kedua alis.
"Tsk, kamu ini. Sudah, pergi sana."
Andreas terkekeh ringan. "Ya, sudah, aku balik. Salam buat Suster Vero dan Ririsma."
Yudith hanya mengangguk kecil. Melirik ke arah Bu Cici sekilas, setelah itu beranjak, kembali ke kelas lewat jalan memutar.
Meski telah dianggap selesai, tetapi rumor yang beredar tentang Yudith dan Andreas tidak berhenti mengalir begitu saja. Di sekolah, Yudith kerap menjadi bahan gunjingan.
"Ish, munafik. Di depan saja alim, padahal di belakang ... gatel." Ratna mencela tanpa ada niat memelankan suara, padahal orang yang dia maksud juga ada di dalam kelas.
"Yeee, kelakuan orang siapa yang tau, Non." Lodi, justru dengan sengaja mengeraskan suara sambil mengerling Yudith
"Iya, juga, ya." Ratna mendengkus sarkas lalu tertawa mengejek.
"Tukang ngempe, sih. Ih, amit-amit." Lodi pun turut mencibir.
Mereka ini waktunya istirahat tidak keluar kelas, sengaja tinggal hanya untuk merundung Yudith yang kebetulan sendirian. Dan semakin ke sini, kabar yang beredar samakin aneh-aneh saja.
Ada yang mengatakan kalau Andreas setiap pagi diam-diam menunggu Yudith di depan asrama, lalu mengantarnya ke tempat bus yayasan di parkir. Bahkan yang lebih gila, katanya Andreas dan Yudith sering keluar bareng untuk malam mingguan.
Semakin dibumbui memang semakin lezat, tetapi juga semakin tidak masuk akal. Bagaimana mungkin Yudith bisa sebebas itu, padahal tinggal di asrama super ketat yang jam keluar-masuk dicatat, juga dibatasi plus Ibu Asrama yang seperti anjing galak. Terlambat pulang sekolah sedikit saja diinterogasi. Mana mungkin sampai keluyuran.
"Lo, lo, pada, ya! Enggak ada capek-capeknya ngocehin hal enggak guna kayak gitu!" Ririsma masuk kelas dan membanting diri di sebelah Yudith yang sedang asyik membaca novel misteri.
"Suka-suka kita dong, Ris. Enggak ada urusan sama kamu." Ratna membalas sambil tertawa sarkas.
Ririsma berdecih lalu membuang muka. "Dasar. Bedak tebal udah kayak ondel-ondel, mulut juga bawel." Hanya Yudith yang bisa mendengar. Karena dia berbicara sangat lirih. Melihat Yudith yang sama sekali tidak bereaksi, Ririsma segera mengambil buku yang sedang dibacanya. "Lo ini juga satu makhluk paling aneh yang pernah gue temui."
Yudith menatap teduh pada salah satu sahabat yang selalu setia dan siap pasang badan untuknya itu.
"Kalau capek juga pasti diam," ujarnya acuh tak acuh.
"Jangan anggap sepele, dong. Kalau semakin heboh, lo juga yang susah."
Senang rasanya ada orang yang mengaku sahabat dan benar-benar mau peduli. Hanya mempunyai dua sahabat yang seperti itu bagi Yudith sudah lebih dari cukup.
Yudith memang malas menanggapi ocehan mereka, tetapi bukan berarti menganggap sepele. Sekarang pastinya Yudith akan lebih berhati-hati. Karena Bu Cici telah memperingatkan bila dia ketahuan lagi berinteraksi dengan Andreas atau siswa putra mana pun di luar jam tugas sekolah, maka tidak akan ada kesempatan ketiga darinya. Tidak akan ada toleransi. Meski Suster Rosa menentang, Yudith akan tetap dikembalikan ke kompleks.
Bagi Yudith, dikembalikan ke kompleks tidak masalah, tetapi tidak dengan cara diusir seperti orang yang sudah berbuat kesalahan besar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments