JAHAT

Asrama khusus pegawai ini dinding kamarnya masih darurat, hanya terbuat dari triplek. Pembangunan untuk mengubah gedung sekolah menjadi asrama yang memiliki bilik-bilik masih terus berlangsung.

Almari pakaian pun belum ada, untuk sementara hanya disediakan lemari susun berbahan plastik. Itu pun masih jauh dari cukup untuk menampung pakaian dan barang-barang mereka, sehingga banyak yang diletakkan di lantai atau di atas meja, bahkan di atas tempat tidur juga.

Sudah kelelahan selepas piket dari asrama anak-anak, mereka pun sudah tidak peduli lagi dengan keadaan tempat tidur yang amburadul. Setelah berganti pakaian langsung saja terjun ke kasur.

Sebenarnya pekerjaan mereka sama saja seperti hari-hari sebelumnya, tetapi kini rasanya jauh lebih melelahkan karena mereka harus pergi-pulang. Perjalanan yang tidak terlalu jauh itu pun rasanya turut menguras tenaga.

"Argh! Sialan Yudith! Membosankan sekali enggak bisa ke mana-mana!" Bu Cici berseru lantang sambil menjatuhkan diri di kasur. Dia di kamar ini hanya dengan Bu Ambar, dua tempat tidur tingkat yang ada di situ bagian atasnya masih belum berpenghuni.

Sejak pindah tinggal di asrama khusus pegawai, Bu Cici belum diizinkan untuk menginjakkan kaki di kompleks yayasan. Dia ditugaskan untuk menjaga Wisma Anggrek, sementara pegawai yang lain mengantar anak-anak ke sekolah.

"Sampai kapan jagain asrama?" Bu Ambar hanya mengerling sekilas sambil melipat beberapa baju lalu menumpuknya di bagian kepala tempat tidur, dekat bantal.

"Tahun depan. Awas saja itu anak." Gemas, Bu Cici memukul kasur. "Eh, Mbar ...." Dia bangun dari baring lalu menatap Bu Ambar yang kini pura-pura sibuk merapikan bantal.

"Hem." Bu Ambar merespons asal-asalan.

"Balas Yudith, yok. Kita kerjain dia. Martin sama Jonas katanya juga pengen kasih pelajaran buat anak itu."

Tangan Bu Ambar yang tadinya sibuk merapikan sudut seprai seketika berhenti lalu tertegun. Dia tahu betul tabiat Bu Cici, tidak pernah main-main dengan omongannya dan kalau sudah benci dengan seseorang, dia bisa sangat tega.

"Kalau dia lapor sama Suster Davince, kita bisa habis, Ci." Akhirnya Bu Ambar bersuara.

Bu Cici tersenyum remeh. "Yudith itu hanya akan lapor kalau ada hubungannya dengan asrama atau anak-anak. Kalau untuk diri sendiri aku yakin dia enggak bakal lapor."

"Kok kamu bisa seyakin itu?" Bu Ambar kini sibuk merapikan meja, menanggapi Bu Cici seperlunya. Sepertinya dia tidak tertarik dengan rencana Bu Cici.

"Coba kamu ingat. Berapa kali kita enggak menyimpan makan siang dan sarapan buat dia. Jatah peralatan mandi juga enggak aku kasih. Tapi mana? Enggak ada Suster Rosa komplen. Kalau dia lapor, enggak mungkin suster sialan itu enggak koar-koar."

"Pikir-pikir dululah, Ci." Bu Ambar kini membaringkan diri. "Tidur dulu, ngantuk aku. Capek banget."

Mata di bawah naungan alis tebal mirip ulat bulu itu menatap sinis Bu Ambar yang sudah membungkus diri dengan selimut. Mendengkus sinis, setelah itu dia pun membaringkan diri.

Badan lelah, mata pun terpejam, tetapi sayang benaknya terlalu bersemangat dengan rencana untuk mengerjai Yudith. Isi kepalanya terus berputar memikirkan berbagai macam cara yang akhirnya malah membuatnya tidak bisa tidur.

Sementara itu, Bu Ambar yang kini sudah tidak lagi sepemikiran dengan Bu Cici, tidak mau terlalu memikirkan ajakannya. Dia tidak mau lagi terlibat dengan apa pun yang akan Bu Cici lakukan.

________

Ujaran-ujaran kebencian masih terus mengudara, menyapa pendengaran Yudith di mana pun gadis itu berada di lingkup jam sekolah. Namun---meskipun sempat terpengaruh---kini gadis itu sudah kembali seperti semula. Cuek dan pura-pura tuli.

Kehadiran dan dukungan keempat sahabatnya, tidak bisa dipungkiri, berdampak sangat besar terhadap suasana hati Yudith. Walaupun saat bersama dia jarang turut nimbrung dalam obrolan atau gurauan, tetapi di lubuk hatinya yang paling dalam Yudith selalu mengakui mereka adalah teman-teman berharganya.

Pagi ini, lagi-lagi Andreas membawa klepon. Lama-lama Yudith bisa dikerubuti semut karena kadar manisnya bertambah setiap hari. Kadang Yudith bertanya-tanya dalam hati, kenapa harus selalu klepon? Seingatnya, dia tidak pernah mengatakan kalau sangat suka klepon.

Sempat juga Yudith curiga pada Suster Vero dan Ririsma, jangan-jangan mereka mengatakan pada Andreas kalau dirinya suka klepon. Kalau iya, itu seratus persen akal-akalan mereka saja.

"Dith, tugas studi kasus sudah selesai apa belum?" Suster Vero bertanya sambil terus memasukkan klepon ke dalam mulut.

Sambil menunggu bel masuk jam pelajaran pertama berbunyi, mereka kembali duduk di bangku dekat kantin tepat di bawah pohon rindang. Tempat itu seolah sudah menjadi tempat langganan mereka untuk bersantai.

"Kurang sedikit di bagian penyelesaian." Seperti biasa kepala Yudith menunduk karena sedang membaca buku, kali ini buku pelajaran.

"Mau dibantu, Dith?" tanya Andreas dan saat itu juga Yudith menggeleng.

"Nanti istirahat jam kedua kita ke perpus, yuk. Gue mau cari referensi."

Tidak ada yang bersuara atas ajakan Ririsma, tetapi ketika waktunya tiba, mereka pun berkumpul di perpustakaan. Hanya saja Andreas dan Fitus datang lebih lambat karena letak ruang kelas mereka ada di lantai satu, sedangkan perpustakaan ada di lantai dua dekat kelas Yudith, Suster Vero, dan Ririsma.

Di bangku panjang mereka duduk berhadapan dipisahkan oleh meja panjang pula. Kali ini mereka benar-benar serius, masing-masing sibuk membuka-buka buku lalu mencatat.

Hanya Andreas yang terlihat lebih santai, sepertinya tidak banyak yang harus dia cari, tidak sampai lima menit dia sudah menutup bukunya lalu bertopang dagu sambil memandangi Yudith yang sedang serius mencatat.

Tidak lama kemudian gadis itu pun berhenti mencatat, tetapi masih sok sibuk membaca buku tebal sumber referensinya.

Tiba-tiba Andreas tersenyum jahil, terlintas ide untuk menjahili Yudith. Sesaat kemudian dengan lincah dia menggoreskan pena di permukaan buku, lalu menyodorkannya pada Yudith.

Sejenak gadis itu menatap Andreas tanpa mengangkat wajah, lalu menarik buku yang disodorkan Andreas ke posisi yang mudah dibaca.

Dith, mau jadi pacarku?

Yudith menghela napas pelan, lalu menulis balasan di bawah pertanyaan Andreas. Setelah itu menyodorkannya kembali pada si pemilik.

Fokus sekolah dulu.

Andreas sudah menduga jawabannya pasti semacam itu. Dia pun kembali menulis.

Berarti nanti kalau sudah lulus mau?

Setelah membacanya, Yudith langsung mengembalikan buku Andreas tanpa menulis balasan. Kepalanya terus menunduk.

Andreas yang memang hanya punya niat bercanda, wajahnya tampak semringah, senyum-senyum sambil matanya terus terpaku menatap Yudith tanpa menyadari kalau Suster Vero sedang memperhatikannya.

"Kalian ini apa-apan, sih?" Suster Vero yang sudah melihat aksi sodor-menyodor buku, tanganya bergerak cepat mencomot buku Andreas.

"Eh, Sus itu ...."

Suster Vero terkikik sesudah membaca tulisan mereka, lalu ikut menulis dengan huruf kapital dan ukuran besar.

MEMANG ENAK DITOLAK?!

Andreas pura-pura malu sambil menutup muka. Ririsma dan Fitus yang sudah membaca tulisan-tulisan itu pun ikut terkikik-kikik.

Tiba-tiba Yudith bangkit dari duduk.  "Jangan buat ribut di sini," ujarnya sambil mengemasi buku.

Kompak, mereka pun mengemasi buk dan menumpuk buku-buku milik perpustakaan di tepi meja lalu berbondong-bondong keluar masih sambil cekikikan, hanya Yudith yang tidak. Hampir saja mereka bertabrakan dengan Ratna dan Lodi di tikungan dekat tangga.

"Makin tidak tau malu saja, lengket terus." Setelah cukup jauh Lodi menggerutu, tetapi Ratna tidak menanggapinya.

Untuk beberapa hari ke depan, ujaran-ujaran kebencian masih kerap terdengar, tetapi setelah melewati masa liburan Natal dan liburan tahun baru mulut-mulut sumber ujaran kebencian itu seperti sudah tidak berminat lagi untuk mengoceh tentang hal yang sama terus-menerus.

Banyak hal baru yang bisa dijadikan bahan gosip, cukup sayang bila dilewatkan begitu saja. Mereka paling-paling hanya akan menatap sinis bila kebetulan berpapasan dengan Yudith.

Bu Cici yang sudah diizinkan untuk mengantar anak-anak ke sekolah, tampak gusar karena tidak bisa mendapat kesempatan untuk mendekati Yudith. Gadis itu ke mana-mana selalu dikawal teman-temannya.

"Sialan, kapan sih itu anak akan sendirian?" Duduk di salah satu bangku kantin hanya berdua dengan Bu Ambar, Bu Cici terus-terusan menggerutu. Berkali-kali mengembuskan napas kasar dan tangannya pun tidak bisa diam, ada saja yang diremas, plastik bekas bungkus makanan, tisu, bahkan kertas buku memo berserak di atas meja dalam bentuk gumpalan.

"Mereka memang begitu. Ke mana-mana selalu berlima." Wajah Bu Ambar terlihat suntuk karena sebenarnya dia enggan berdekatan dengan Bu Cici, tetapi terpaksa selalu ada di dekat Bu Cici. Karena dulu mereka sangat akrab, sekarang di saat hati sudah tidak sreg lagi jadi sulit mencari alasan untuk menjauh.

Sebenarnya tidak hanya Bu Ambar yang enggan, tetapi hampir semua pegawai juga enggan berdekatan dengan Bu Cici. Lihat saja itu, begitu banyak orang duduk bergerombol sambil bersenda gurau, tetapi tidak ada yang mau duduk dengan Bu Cici selain Bu Ambar.

Pada dasarnya Bu Cici itu kurang disukai karena sikap arogannya, mentang-mentang keponakan suster Kepala Yayasan. Di kesehariannya, Bu Cici hanya mau bergaul dengan orang-orang yang dia sukai saja.

Sekarang, setelah kecurangannya terungkap, bahkan, mereka-mereka yang juga sama-sama berbuat curang menganggap Bu Cici yang paling patut disalahkan atas apa yang sudah terjadi.

"Ish, lihat saja nanti. Tunggu pembalasanku." Baru saja mulut Bu Cici melontarkan ancaman, bagai pucuk dicinta ulam pun tiba, Yudith terlihat menuruni anak tangga lalu berbelok ke arah kamar mandi.

"Mbar, Mbar, itu dia Mbar. Ayo ikut Mbar."

Bu Cici bergegas menyusul Yudith tanpa menyadari kalau Bu Ambar tidak mengikutinya.

"Cici enggak ada kapok-kapoknya." Bu Ambar menatap sendu, lalu kepalanya menggeleng kecil.

Tanpa merasakan firasat buruk sedikit pun, Yudith melangkah di koridor menuju toilet yang sangat sepi, di lantai satu. Memasuki toilet yang memiliki empat bilik dan tiga wastafel, lalu  Yudith masuk ke dalam salah satu bilik.

Bu Cici tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Perempuan berperawakan seperti laki-laki itu melangkah bergegas menyusul Yudith. Kemudian berdiri bersandar pada dinding dekat wastafel dengan tangan bersedekap, menunggu Yudith keluar dari bilik.

Tidak lama kemudian, alangkah terkejutnya Yudith begitu membuka pintu bilik langsung berhadapan dengan mantan Ibu Asramanya.

"Bu Cici!"

Tanpa basa-basi, Bu Cici langsung menjambak rambut Yudith. "Dasar penjilat!" Membentak tepat di depan wajah Yudith lalu membenturkan kepala gadis itu ke dinding.

Seketika itu juga Yudith merasakan sakit luar biasa hingga rasa-rasanya isi kepala seperti diaduk-aduk. Belum sempat dia mengeluh, kepala sudah kembali menghantam kerasnya dinding, dan semua tiba-tiba menjadi gelap, matanya hanya bisa melihat keremangan yang diisi oleh titik-titik sangat kecil bagai sekumpulan semut.

"Bu Cici, sakit." Yudith merintih lirih sembari berusaha melepaskan tangan Bu Cici dari rambutnya.

Bu Cici melepas kasar rambut Yudith disertai dorongan, tubuh Yudith langsung limbung lalu luruh ke lantai.

Awalnya Bu Cici hanya ingin memberi pelajaran kecil, tetapi tidak disangka begitu bertatap muka dengan Yudith amarahnya tidak terbendung. Dia seperti sedang kerasukan, bertindak tanpa memikirkan akibatnya.

"Mengadu saja kalau mau mengadu! Aku enggak takut! Jangan macam-macam sama aku. Dikeluarkan enggak masalah asal dendam su terbalas. Tunggu sampai kamu kunjungan praktek, Yonas sama Martin su menunggu!" Dengan logat Timur, setiap kata yang dilontarkan Bu Cici terasa lebih penuh penekanan.

Sepertinya dalam kondisi marah, cara bicara Bu Cici otomatis beralih menggunakan logat daerah asalnya.

Ya, Tuhan. Yudith merasakan pusing luar biasa. Matanya terpejam, tetapi tidak pingsan. Gadis itu duduk bersimpuh lemas menyandarkan kepala pada bagian bawah wastafel.

"Kau jangan kira aku cuma main-main. Lihat saja nanti." Sebelum pergi, Bu Cici kembali menjambak rambut Yudith dan membenturkannya lagi. "Mati saja bagus! Tukang ngempe sialan."

Kepala yang tadi terasa seperti diaduk-aduk, kini mendadak seperti kosong. Yudith membuka sedikit mata, tetapi pandangan sangat kabur segera dia menutupnya kembali. Tubuhnya lemas tidak mampu bangun. Dalam hati berharap akan segera ada orang yang datang.

Yudith merasakan tubuhnya semakin lemas saat ada cairan mengalir dari hidung membawa serta bau anyir. Setelah itu, kesadarannya hilang total.

Terpopuler

Comments

Ai Emy Ningrum

Ai Emy Ningrum

besok2 Andreas belajar bikin kue putu ayu,ituuuu lg yg dibawa tiap hr sama dia 🤣🤣🤣🤣

2023-08-09

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!