BU NUNI

Bulan November, enggak di Malang, enggak di Madiun, hujan terus setiap hari. Andreas menggerutu dalam hati, gara-gara hujan rencananya berkunjung ke rumah teman gagal total.

Tubuh remaja putra itu bersandar setengah merosot di sofa, kaki menyilang bertengger di atas meja, mata menerawang menatap air hujan yang jatuh tiada henti sejak tadi pagi.

Untung saja terasnya cukup lebar sehingga air tempias tidak mencapai pintu rumah yang dibiarkan terbuka oleh Andreas.

Hujan-hujan begini, memang paling enak bermalas-malasan sambil bernostalgia atau melamunkan si pujaan hati. Dan itulah yang sedang Andreas lakukan. Namun, yang ada di dalam angannya saat ini tidak hanya Yudith, tetapi juga ibunya Yudith.

Bayang-bayang wajah pucat dan tubuh kurus Bu Nuni seakan menempel permanen di benaknya. Napas sesak yang selalu diiringi suara suitan dan sesekali diselingi batuk, sampai sekarang masih jelas di pendengaran.

Mata perempuan itu berbinar-binar dan wajah pucatnya seketika ceria saat Andreas mengatakan dia adalah teman Yudith, membuat Andreas merasa telah menjadi berkat untuk Bu Nuni.

Sambutan Bu Nuni pun sangat hangat, tanpa sungkan dia merangkul tangan Andreas untuk mengajaknya masuk. Sampai-sampai Andreas merasa curiga kalau perempuan itu sedang beranggapan sedang merangkul Yudith sendiri.

"Kok, ya, titip surat segala, padahal tadi pagi sudah telpon. Malah merepotkan temennya saja kalau begini." Begitulah Bu Nuni berbasa-basi saat menerima surat Yudith. Wajahnya semakin semringah dan langsung membuka amplop yang dia pikir berisi surat itu di depan Andreas.

Akan tetapi, Alih-alih senang, wajah Bu Nuni malah seketika berubah muram saat melihat lembaran-lembaran uang dalam amplop itu.

Andreas pun terkejut dan heran, sampai-sampai kerutan di antara alis terlihat jelas. Dia tidak pernah menyangka kalau amplop itu berisi uang dan bertanya-tanya dalam hati, dari mana Yudith mendapatkan uang sebanyak itu?

"Anak itu pasti enggak bisa diam. Memangnya dia punya pekerjaan sambilan apa, Nak Andreas?"

Pekerjaan sambilan? Alis Andreas seketika bertaut semakin rapat, tidak mengerti maksud pertanyaan Bu Nuni.

Ketika Andreas hanya terpaku karena tidak tahu harus bilang apa, Bu Nuni kembali berkata, "Yudith pasti sudah melarang Nak Andreas mengatakannya pada ibu. Ya, sudah, enggak apa-apa. Anak itu memang seperti itu, dilarang juga percuma. Suka ngeyel. Bilang saja padanya untuk fokus belajar, enggak usah terlalu khawatir pada ibu."

Tidak banyak tahu tentang Yudith, Andreas hanya menanggapi Bu Nuni seperlunya dan Bu Nuni yang berpikir bahwa Andreas adalah teman baik putrinya, tidak sungkan menceritakan banyak hal. Hampir semua Bu Nuni ceritakan, bahkan tentang ayah Yudith juga.

Bu Nuni bahkan meminta maaf pada Andreas kalau-kalau, mungkin, Yudith pernah membuatnya bosan atau kesal, mengingat putrinya itu bukanlah orang yang cukup menyenangkan untuk dijadikan teman.

Sebagai anak yang tumbuh dalam keluarga harmonis dan semua kebutuhan tercukupi, baik kebutuhan kasih sayang maupun materi, Andreas tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi Yudith.

Waktu Bu Nuni yang rupanya tidak tahu kalau asrama putra dan asrama putri terpisah jauh berkata, 'ibu titip Yudith, ya, Nak Andreas. Maklumi saja kalau dia agak susah diajak ngobrol, memang sudah begitu sifatnya', hati Andreas rasanya seperti diremat-remat.

Rasa-rasanya ingin saat itu juga kembali ke Malang, menemui Yudith dan mengatakan, 'kamu bisa bercerita banyak hal padaku, aku akan menjadi pendengar yang baik, kamu bisa mengandalkan aku.'.

Tiga puluh menit bersama Bu Nuni terasa sangat singkat bagi Andreas. Dia masih ingin lebih lama berbincang, mendengar banyak hal tentang Yudith dan menjadi lebih dekat dan akrab dengan Bu Nuni. Akan tetapi apa boleh buat, dia tidak mungkin tinggal lebih lama karena Bruder Lius sudah menjemput.

Kemarin, demi menghemat waktu, Bruder Lius meninggalkan Andreas setelah sempat bertemu Bu Nuni dan berbasa-basi sebentar, untuk pergi ke rumah keluarga Pak Heru.

"Hish!"

Tiba-tiba ada air memercik di wajahnya, keasyikan Andreas terganggu. Sempat berpikir itu air hujan, dia bergegas menurunkan kaki hendak menutup pintu. Akan tetapi, punggung yang baru saja tegak langsung kembali menyandar malas saat mengetahui sumber air itu adalah Bruder Lius yang sedang mengibas-ngibaskan rambut basahnya.

Bruder Lius terkekeh geli, sengaja mengibaskan rambut basah untuk menjahili adiknya yang sedang melamun.

"Bengong, muka suntuk, kayak orang yang lamarannya ditolak oleh calon mertua saja, An."

Memutar mata bosan, Andreas kembali mengangkat kaki dan hendak meletakkannya di atas meja seperti semula, tetapi Bruder Lius menampar betisnya.

"Ora elok!" (Tidak pantas/tidak sopan).

Andreas tidak membantah, tetapi ketika Bruder Lius duduk di sampingnya dengan segera dia merebahkan diri lalu menumpangkan kaki di atas pangkuan sang kakak. Alih-alih protes, Bruder Lius malah menepuk-nepuk lutut sang adik.

Kebersamaan seperti ini sudah hampir tidak pernah terjadi dalam waktu empat tahun belakangan. Bahkan saat di Malang pun mereka jarang bertemu. Selain karena tidak tinggal di satu asrama, juga karena Bruder Lius selalu sibuk, sering diutus ke luar kota atau ke luar pulau.

Tidak ada teman Andreas yang tahu kalau dia dan Bruder Lius bersaudara. Tidak ada niat untuk menutupi, hanya merasa tidak perlu mengatakan atau menjelaskannya. Tidak penting juga, kan? Biarkan mereka tahu dengan sendirinya.

"Ibu bilang kamu belum makan dari pagi."

Dahi Andreas seketika mengernyit, mata pun menyipit, dan raut wajahnya sangat serius. Masa iya aku belum makan? Dan pertanyaan itu langsung dijawab oleh perutnya yang berkeriuk.

Dia mengelus perut sambil cengengesan. Matanya mengerling jam dinding, pukul dua belas lewat. Dia melewatkan sarapan hanya karena malas bergerak, padahal ibunya sudah berkali-kali memanggil dan hanya dia jawab sebentar lagi sebentar lagi terus. Eh, malah berakhir dengan melamun sampai jam makan siang pun ikut terlewatkan.

"Mas Lius kok sudah pulang?"

"Enggak banyak yang harus dibicarakan. Besok kamu ikut mas ke Desa Panjuran, ya?"

"Ngapain?"

"Ngecek lapangan. Tadi Romo Anton ngasih dua proposal."

Proposal yang dimaksud adalah surat resmi dari Kepala Desa setempat, memohon bantuan bagi keluarga yang memiliki anak atau anggota keluarga yang berkebutuhan khusus.

"Di Madiun ada cabang, kenapa harus yang dari Malang turun langsung?"

"Sudah berkoordinasi juga sama pihak cabang. Mas cuma diharuskan survei atas perintah pusat."

"Kamu ini, disuruh ngajak adiknya makan kok malah asyik diajak ngobrol." Seorang perempuan, sudah paruh baya, datang dan meletakkan sepiring pisang goreng yang masih panas. Ocehannya barusan sudah tentu ditujukan buat Bruder Lius dan yang bersangkutan hanya mengulas senyum tipis.

Andreas bergegas bangun dan sudah hendak mencomot salah satu pisang goreng yang beraroma sangat menggiurkan, tetapi tangannya ditepis oleh sang ibu.

"Kamu makan nasi dulu. Ini buat masmu sama bapak."

"Satu saja, Buk."

"Enggak boleh!" Suara seorang pria terdengar tegas, sosoknya muncul dari arah belakang sembari membawa sepiring nasi, lengkap dengan lauk-pauk, lalu meletakkannya di atas meja tepat di depan si bungsu. "Makan dulu itu."

Melihat sambal goreng kentang dan hati ayam yang terhidang, mau menolak pun tidak jadi. Mata berbinar dan bibir menyeringai lebar, Andreas mengulurkan tangan untuk meraih piring, melipat kaki di atas sofa lalu makan dengan lahap.

Sang ayah duduk di sebelah Andreas dan ibunya duduk di sofa tunggal, berhadapan dengan suami dan kedua putranya.

"Ibuk sama Bapak, enggak makan?"

"Dari tadi di dapur, perut ibuk rasanya sudah kenyang. Bapakmu tadi makan di gudang sama orang-orang yang nimbang gabah."

"Mas Lius?"

"Mas makan sama Romo Anton di pastoran tadi."

Sambil terus makan, Andreas pun terus bercengkerama dengan orang tua dan kakaknya. Gambaran keluarga kecil yang harmonis.

Paras keduanya ternyata sangat mirip sang ibu, sedangkan sikap ceria dan humorisnya diturunkan dari sang ayah.

"Wah! Bapak masih punya harapan untuk nimang cucu kalau begitu!" Pak Paulus, bapaknya Andreas, berseloroh lalu tergelak-gelak, membalas gurauan Bruder Lius yang mengatakan kalau Andreas sedang naksir teman sekolahnya.

Lain ayah lain ibu dalam menanggapi gurauan. Bu Rusmini dengan tegas mengatakan, "Disuruh sekolah di dekat-dekat sini enggak mau, malah milih sekolah jauh, tinggal di asrama, ada larangan pacaran. Awas saja kalau aneh-aneh. Tak sunat habis manuk-mu."

Andreas yang tahu kalau ibunya tidak serius, malah tergelak-gelak, begitu juga ayah dan kakaknya. Setelah selesai makan dan kedua orang tuanya sudah beranjak pergi, Andreas mulai mengungkit soal Yudith.

"Mas, anak yang dari kecil sudah mengalami banyak kesulitan, bahkan ditinggal ayahnya nikah lagi, ada kemungkinan mengalami trauma enggak sih?"

"Mungkin saja, sih. Tapi, ya enggak semua pengalaman buruk akan menimbulkan trauma. Tergantung bagaimana anaknya juga, sih. Kenapa tiba-tiba bertanya tentang itu?"

"Yudith. Sejak kecil sudah ditinggal ayahnya. Bu Nuni bilang, ayah Yudith sudah menikah lagi ...."

Bruder Lius mengerling adiknya yang kembali menyandar malas, setengah merosot dari sofa.

"Kamu takut enggak ada harapan untuk mendapatkan hati Yudith kalau ternyata dia mengalami trauma atas kepergian ayahnya. Begitu?"

Sesaat setelah bertanya pria itu terkekeh geli karena Andreas refleks mengangguk. Dia yakin itu reaksi spontanitas.

"Hufh?" Sesaat kemudian bahu Andreas menjengit lalu buru-buru memperbaiki sikap, duduk tegak dengan kaki bersila. "Hish, Mas ini apa-apaan? Bukan itu maksudku."

Mata Andreas menatap lurus ke depan, pipinya memerah, tangan kiri bergerak cepat meninju bahu kanan kakaknya yang sedang senyaum-senyum menggoda.

"Sudah, jangan mikir macam-macam. Jalani saja dulu. Kalau memang ternyata Yudith mengalami trauma, ya, kamu harus bisa membuktikan padanya ...."

Hening. Hanya suara desir air hujan yang terdengar. Andreas yang berpikir kalau kakaknya hanya berhenti untuk menjeda, tetapi ternyata tidak melanjutkan juga, segera menoleh.

"Membuktikan apa?"

"Membuktikan kalau kamu sangat layak untuknya, enggak akan meninggalkan dia dalam keadaan bagaimanapun. Ya, itu juga kalau kamu serius sama dia." Bruder Lius mengacak rambut Andreas. "Tapi, itu masih jauh, An. Jangan dipikirkan sekarang. Sekolah saja yang bener. Mana tau setelah lulus kamu malah pengen jadi biarawan."

Candaan Bruder Lius mengundang Andreas untuk tergelak bersamanya. Beda usia sepuluh tahun dan jarang bertemu, tidak lantas membuat Andreas merasa sungkan atau asing pada kakaknya. Dia malah lebih sering bersikap manja pada Bruder Lius alih-alih pada ibu atau ayahnya.

Dulu dia sering menghabiskan banyak waktu berbicara di telepon dengan kakaknya, mengobrol apa saja sampai sang kakak terpaksa mencari-cari alasan untuk mengakhiri obrolan.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!