Setengah jam sebelum pelajaran pertama dimulai sudah berada di dalam kelas adalah salah satu kebiasaan Yudith.
Duduk sendirian di bangku urutan kedua dari belakang barisan tepi dekat jendela dengan kepala menunduk. Rambut pendeknya membingkai wajah serius yang sedang menyimak buku di atas meja.
Kedatangan dua teman sekelas tidak mengusiknya sama sekali. Mereka adalah kedua siswi yang waktu itu menggunjing Yudith, namanya Ratna dan Lody. Wajah Ratna tampak masam, mata mengerling Yudith sinis. Gadis berambut panjang sepunggung itu membanting tasnya di atas meja.
Niatnya ingin menarik perhatian Yudith, hendak memprovokasi, mau cari-cari perkara supaya punya alasan untuk melampiaskan kekesalan hati pada Yudith.
"Sudah senang satu kelompok sama Andreas. Eh, malah ada si tukang ngempe juga. Sial benar."
Itulah persoalannya. Ratna kesal karena harus satu kelompok tugas dengan Yudith. Yang lebih menyebalkan, Andreas yang juga satu kelompok dengan mereka cenderung memperhatikan Yudith alih-alih dirinya.
"Jangan-jangan, dia yang minta supaya bisa satu kelompok sama Andreas." Lodi menimpali, kemudian bibir tipis gadis itu tersenyum sinis.
Orang kalau sudah dibutakan oleh rasa benci, otak pun tidak lagi bisa berpikir rasional. Semua buruk, semua negatif di matanya. Namun, tidak semudah itu memprovokasi si ratu cuek ini. Yudith tetap tenang, tetap pada posisinya, bergeming bagai patung. Kalau bahunya tidak sesekali tampak bergerak saat menarik napas, gadis itu bisa dikira manekin.
"Kalian ini menyedihkan sekali."
Suster Vero datang. Melempar tatapan sinis sambil melangkah ke bangkunya di samping Yudith. Bahkan kehadiran sahabatnya pun tidak membuat Yudith mengalihkan fokus dari buku yang sedang dibaca.
"Daripada ngoceh enggak penting kayak gitu, mending baca buku pelajaran biar kalo ada ulangan mendadak enggak kelimpungan. Nilai jelek, nanti yang disalahkan Yudith juga. Kalian itu, jalan kesandung pun bakal Yudith yang disalahin."
Seandainya yang menegur bukan seorang calon suster kepercayaan suster kepala sekolah, Ratna dan Lodi pasti siap adu mulut sampai berbusa. Menyadari akan sangat berisiko bila bermasalah dengan orang macam Suster Vero, keduanya hanya membuang muka sembari berkomat-kamit tidak jelas.
Suster Vero mengembuskan napas kasar, menatap Yudith putus asa. "Kamu ini---"
"Selamat pagi," ucap Yudith sebelum Suster Vero memuntahkan unek-uneknya, pun tanpa mengalihkan pandangan dari novel misteri yang sedang dia tekuni.
Sekali lagi, Suster Vero mengembuskan napas kasar sembari membanting bokong di bangku. Mau bagaimana lagi? Seperti itulah Yudith. Entah kehidupan seperti apa yang sudah dia jalani dulu hingga terbangun sifat cuek luar biasa seperti ini. Kepribadian pun sangat kuat dan berkomitmen. Sepertinya, waktu satu bulan belum cukup untuk mengenal Yudith lebih dalam.
Saat jam istirahat, Yudith dan Suster Vero pergi ke kantin. Bukan untuk jajan, melainkan untuk membantu para suster petugas kantin melayani pembeli.
"Kamu mau beli apa, Dek?" tanya Yudith pada salah satu pembeli yang berdiri bertumpu pada dua kruk.
Di saat berhadapan dengan pelanggan yang kebanyakan adalah anak-anak PLB, SD, dan SMP, Yudith bisa menjelma menjadi sosok yang lebih luwes. Senyum senantiasa menghiasi wajahnya, sesekali gigi gingsul pun terlihat saat dia tersenyum lebih lebar.
Ratna menyeruak di antara kerumunan anak-anak yang sedang mengantre. Meskipun tidak suka, anak-anak itu tidak berani protes.
"Woe, Yudith! Buatin aku mi ayam dua!" Ratna berteriak, dagu terangkat dan cara bicaranya seperti majikan.
Memprovokasi Yudith di tempat umum sama saja dengan mempermalukan diri sendiri. Jangankan menanggapi, menoleh saja tidak. Dia tetap fokus melayani anak-anak yang sudah mengantre lebih dulu.
Ucapan terima kasih dari anak-anak yang sudah mendapatkan apa yang dibeli, membuat Ratna gusar luar biasa. "Woe! Kamu lihat aku ada di sini enggak, sih?"
Seorang suster petugas keluar dari ruang dalam sembari membawa nampan berisi dua mangkuk mi ayam yang harusnya untuk pembeli lain, tetapi demi kenyamanan dia berikan untuk Ratna terlebih dahulu.
"Dua mi ayam, kan? Ini ambil. Lain kali tolong lebih sopan. Dilihat anak-anak enggak pantas."
Wajah Ratna memerah. Menerima nampan sedikit kasar dan bergegas pergi tanpa sepatah kata pun.
"Dasar anak itu. Mentang-mentang keponakan Suster Angelin, kelakuannya barbar." Sembari menggumam, suster petugas kantin itu menggeleng miris.
Yudith menghampiri dan berkata, "Sepertinya Suster lupa meminta uang pembayaran dari Ratna."
"Astaga! Iya, bener ... aku lupa, Dith!"
"Biar aku saja yang minta." Suster Vero bergegas keluar.
Itulah Yudith. Untuk hal-hal yang menurutnya tidak penting, dia akan cuek saja meskipun melihat dan mendengar. Akan tetapi, jangan harap ketidakadilan atau kelalaian akan lolos dari perhatiannya walaupun dia terlihat tidak memantau.
Gara-gara hal itu juga banyak teman yang tidak menyukainya. Terlalu kaku dan taat aturan sama dengan membosankan dan menyebalkan. Kejadian tidak mengenakan terus membayangi langkah Yudith, seperti jerat setan yang hendak melilit lalu membinasakannya.
Masih menyimpan dendam atas kejadian di kantin, malamnya saat jam belajar, Ratna dan Lodi kembali berulah.
Yudith baru saja meletakkan lonceng, tadi dia pergunakan untuk mengundang seluruh siswi kelas satu yang tinggal di Wisma Flamboyan ini untuk memenuhi jadwal belajar, dimulai dari pukul delapan hingga pukul sembilan. Tiba-tiba Ratna menjerit histeris, mengatakan bahwa dia kehilangan uang.
"Yang benar aja lo? Jangan ngada-ngada, dech." Ririsma menatap dengan mata menyipit. Dia tahu betul temannya yang satu ini sangat suka mendramatisir keadaan.
"Ya, benerlah! Masa aku bohong? Lihat, nih, dompetku kosong!" Ratna bersungut-sungut sambil membuka lebar-lebar dompet warna merah mudanya.
Suasana ruang belajar jadi gaduh. Selama ini belum pernah ada yang mengeluh kehilangan uang atau apa pun, semua aman terkendali, rasanya aneh bila tiba-tiba ada yang berkoar kehilangan uang. Dan seperti biasanya, Yudith tidak turut dalam keributan. Dia tidak terusik dan terus menekuni buku pelajarannya.
"Ada apa ini ribut-ribut?"
Salah satu suster pengawas masuk dan mereka pun langsung berceloteh, semua ingin didengar, ingin menjadi yang terdepan memberi informasi, padahal kejadiannya juga masih abu-abu.
"Satu saja yang bicara!" Suasana seketika hening. "Siapa yang kehilangan uang?"
Sementara semua mata menatap Ratna dan mulut serempak menyebut namanya, Ririsma menghela napas bosan lalu menghampiri Yudith dan duduk di sebelahnya.
"Drama sekali." Gadis asal Jakarta itu bergumam, sembari mengambil buku dari tas lalu meletakkan kasar di atas meja. Sementara Yudith tetap bergeming seolah semua baik-baik saja.
"Tasku tadi ada di sini, yang masuk ke sini sebelum yang lain hanya Yudith!" Semua mata beralih menatap Yudith gara-gara ucapan Ratna.
"Kamu menuduh Yudith?" Dari nada suara, sepertinya suster ini sangsi kalau Yudith telah mencuri.
Yudith tetap santai dan cuek, tetapi Ririsma tidak. Gadis berkacamata itu tidak terima sahabatnya dituduh. "Jangan sembarangan nuduh lo! Gue selalu ada sama Yudith! Suster Olin jangan percaya omongannya!"
"Aku enggak sembarangan nuduh! Enggak mau tau, pokoknya aku mau semua tas dan laci meja diperiksa! Aku sudah mencatat nomor seri uangnya, satu lembar lima puluh ribuan!" Ratna berbicara seolah sudah sangat yakin kalau uangnya akan ditemukan di situ.
"Kembali ke tempat masing-masing dan letakkan tas di atas meja." Suster Olin memberi perintah. Matanya menatap tajam para gadis yang hiruk-pikuk mengeluarkan tas dari laci meja.
Sebenarnya, Suster Olin sudah merasa curiga kalau ini hanya akal-akalan Ratna. Dia menyetujui melakukan pemeriksaan hanya untuk menghindari keributan yang lebih besar.
Mau tidak mau, Yudith pun meninggalkan sejenak bukunya untuk mengeluarkan tas dari laci. Gadis itu tidak menyadari ada sesuatu yang jatuh saat dia menarik tasnya, tetapi Ririsma melihat. Sesuatu itu adalah selembar uang lima puluh ribu.
Tanpa pikir panjang Ririsma segera mengambil uang tersebut lalu meremasnya. Setelah sejenak mengedar pandangan dengan lirikan, di bawah meja, dia menyentil gumpalan kertas berharga itu. Entah mendarat di mana dia tidak mau tahu.
Selama sebulan berteman dengan Yudith, Ririsma hafal betul kalau gadis minim kata itu tidak pernah membawa uang ke mana-mana. Almari terkunci bagi Yudith adalah tempat yang paling aman.
Lagi pula, buat apa membawa uang kalau tidak pernah jajan pun. Jadi, dalam waktu yang super singkat dan hanya menilik dari kebiasaan Yudith, serta keyakinan bahwa Yudith tidak mungkin mencuri, otak encer Ririsma bisa menarik kesimpulan. Dia menduga, Ratna sedang mencoba memfitnah sahabatnya itu. Dasar jahat.
"Kenapa belum mulai belajar?" Suster Vero masuk sambil mengedar pandangan heran.
"Ratna kehilangan uang lima puluh ribu. Mau diadakan pemeriksaan." Suster Olin menjawab sembari meneliti selembar kertas yang diberikan oleh Ratna.
Langkah Suster Vero terhenti saat merasakan sesuatu yang mengganjal terinjak oleh kakinya. Dia mengangkat kaki untuk memeriksa, lalu memungut gumpalan kertas yang sudah gepeng karena tertekan. Perlahan dia mengurainya.
"Ini lembar uang lima puluh ribuan!"
"Hah?!" Ratna tercengang dan buru-buru menyongsong Suster Vero yang berjalan mendekat. "Coba lihat."
Sebelum Ratna berhasil mencomot lembaran kusut kertas berharga itu, Suster Olin sudah mendahului lalu mencocokkan nomor serinya.
"Cocok. Nih, uangmu." Suster Olin menyerahkan uang itu pada Ratna yang wajahnya terlihat masam alih-alih senang. "Minta maaf sama Yudith sana."
"Apa?!" Mata Ratna melebar, mulutnya pun menganga.
"Kenapa Ratna harus minta maaf sama Yudith?" Suster Vero menatap heran pada Yudith yang tengah asyik berkencan dengan bukunya.
"Tadi dia nuduh Yudith yang nyuri hanya gara-gara Yudith paling dulu masuk ruangan." Ririsma berseru kesal, matanya melirik tajam ke arah Ratna. "Padahal kan sama gue!"
Suster Vero menatap sinis pada Ratna. "Aku laporkan pada Suster Angelin baru tau rasa kamu. Sekarang minta maaf sama Yudith."
Sungguh salah langkah. Jebakan tidak kena sasaran, justru dia dipermalukan. Rasa-rasanya Ratna ingin berteriak memaki Suster Vero yang terus menatapnya.
Namun, menyadari situasi tidak akan menguntungkannya dan kalau dia terus berkeras hati, bisa-bisa Suster Vero benar-benar akan mengadu pada Suster Angelin, akhirnya Ratna melangkah menghampiri Yudith.
Yudith menatap datar pada Ratna yang berdiri di sampingnya. "Lupakan. Syukurlah uangnya enggak jadi hilang." Setelah itu dia kembali menunduk, menekuni bukunya.
Alih-alih lega karena sudah dimaafkan bahkan sebelum dia sempat meminta maaf, Ratna malah tampak gusar. Meninggalkan Yudith dengan langkah mengentak-entak.
[Bersambung]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Ai Emy Ningrum
Ratna malu nih yee...retak tu lantai kalok cara jln nya begitu terus 🤭🤭🤭
2023-08-02
2