"Cici!"
Langkah Bu Cici serta-merta terhenti tepat di depan pintu saat hendak melintasi ruang belajar. Yudith terkesiap, wajahnya menegang. Tidak menyangka Suster Rosa akan secepat ini mengonfirmasi. Seiring detak jantung yang semakin berpacu, telapak tangan gadis itu pun basah.
Bagaimana ini? Apa yang akan terjadi setelah ini?
Yudith tidak menyesal telah mengatakan semuanya, tetapi sebagai manusia biasa dia masih punya rasa takut. Hatinya mendadak gentar saat mata tajam Bu Cici terarah padanya. Bahkan bahu sempat menjengit saat kursi yang ditarik Bu Cici berderak kasar.
"Ada apa, Sus?" Caranya bertanya sungguh tidak sopan, arogan seolah Suster Rosa bawahan. Ditambah cara duduknya miring, satu tangan di atas meja, dan kaki menyilang. Mata tak lepas dari Yudith yang meskipun gentar tak berniat menundukkan kepala.
Apa pun yang akan terjadi, Yudith sudah siap menanggung konsekuensinya. Yudith sudah terbiasa jujur dan bekerja keras sejak kecil. Kejujurannya telah teruji di toko sembako tempat dia dulu bekerja sepulang sekolah.
Hidup dengan ekonomi paspasan tanpa adanya sosok ayah, Yudith seperti dituntut harus menjadi dewasa sebelum waktunya. Di saat anak seusianya pergi bermain dan hanya tahu menadah tangan pada orang tua, Yudith sudah berlari jauh ke depan, mencari uang untuk meringankan beban ibunya yang hanya buruh tani.
Tabiat baik Yudith sudah terbangun sejak dini. Jadi jangan salahkan bila dia begitu kaku dan seolah menuntut segalanya berjalan sesuai prosedur.
"Ambil buku inventaris anak-anakmu. Ayo, ke gudang."
Dua pasang mata yang sedari tadi saling menatap, seolah sedang saling menyerang menggunakan ilmu kebatinan, serta-merta berpaling dan beralih memandang Suster Rosa.
Sementara mata Bu Cici melebar seperti hendak lompat ke luar, Yudith hanya datar-datar saja. Meski dalam hati bergolak seperti ombak, tetapi tampilan Yudith tetap setenang gunung.
"Memangnya ada apa? Kenapa tiba-tiba ...." Suara Bu Cici bergetar dan seperti tersekat di kerongkongan, dia tidak melanjutkan kalimatnya.
Wajah angkuhnya seketika sirna. Aduh, kenapa tiba-tiba? Pasti gara-gara bocah sialan ini. Matanya melirik sinis penuh kebencian pada Yudith.
Kalau inventaris diperiksa bisa kacau semuanya. Ketidakberesan yang selama ini ditutupi akan terungkap, pasti juga akan menyeret koordinator yang bertugas memeriksa kelengkapan administrasi asram-asrama luar kompleks. Apalagi koordinator asrama luar adalah orang awam, bukan biarawan atau biarawati. Praktik tahu sama tahu yang selama ini mereka lakukan pasti juga akan ketahuan.
Di bawah meja, Yudith meremas jemarinya yang terasa licin oleh keringat. Ya, Tuhan. Aku tidak melakukan kesalahan, kan?
"Kok malah diam. Ambil buku inventaris anak-anakmu."
"Suster Rosa kan bukan koordinator asrama luar." Ingin terlihat tetap tenang, Bu Cici berbicara dengan nada sarkas bahkan juga tersenyum meremehkan.
Suster Rosa sudah bisa mencium gelagat tidak baik, dia pun tersenyum sok ramah yang terlihat menyebalkan bagi Bu Cici.
"Aku memeriksa hanya sebagai suster yang selama ini ditugaskan untuk mendampingi kalian. Enggak usah lelet, cepat ambil buku inventaris. Aku tunggu di gudang." Tidak mau berlama-lama mengulur waktu, Suster Rosa langsung berdiri. "Ayo, Dith."
Menghindari tatapan tajam Bu Cici yang seolah ingin mencabik-cabiknya, Yudith melangkah cepat menyusul Suster Rosa yang sudah keluar dari ruang belajar.
Sepeninggal mereka, Bu Cici memukul meja gemas. Namun, semarah-marahnya Bu Cici pada situasi sekarang ini, dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti permintaan Suster Rosa.
Saat melangkah keluar dari ruang belajar menuju ruang bersantai untuk mengambil buku inventaris, tubuhnya terasa ringan, kepala pun seperti kosong, dan kaki serasa tidak menapak lantai. Saat itu pun dia sudah menyadari kalau masa kejayaannya akan segera berakhir.
Sementara itu di gudang, Suster Rosa sedang melihat-lihat tumpukan kardus mi instan dan sabun cuci pakaian yang merupakan inventaris asrama.
Ini baru memasuki pertengahan bulan, tetapi secara kasatmata terlihat jelas kalau persediaan kedua jenis barang itu berkurang terlalu cepat.
"Waktu datang dulu kamu dikasih berapa bungkus sabun cuci baju, Dith?"
Wajah Yudith menegang, dadanya mendadak seperti tersengat listrik bertegangan rendah hingga ke perut. Dia tidak pernah menerima apa pun saat datang, yang ada padanya saat ini dulu dia beli sendiri di koperasi yayasan.
Yudith tidak ingin menambah rumit situasi Bu Cici, tetapi dia juga tidak ingin berbohong. Saat termenung, tanpa sadar dia menatap Suster Rosa tanpa berkedip.
"Kok diam, Dith?"
"Eh, itu---" Yudith langsung berhenti bicara karena Bu Cici datang.
Langkah Bu Cici tidak setrengginas biasanya, dagu pun tidak terangkat, tatapan matanya terlihat suram, dan wajahnya melukiskan kecemasan.
Hanya dengan melihat tampilan Bu Cici sekarang ini saja, Suster Rosa sudah bisa mengetahui ada yang tidak beres, tetapi beliau masih ingin memastikan dengan memeriksa catatan.
"Terserah mau mulai dari siapa, keluarkan barang-barangnya. Kamu bantu mencocokan, Dith." Suster Rosa mengambil dua buku dari tangan Bu Cici lalu menyerahkan pada Yudith.
Yudith menerimanya dengan hati lega sekaligus gamang. Lega karena Suster Rosa sudah tidak mengungkit soal sabun cuci pakaian lagi. Gamang karena meskipun yang dia lakukan benar, tetapi melihat keadaan Bu Cici yang sekarang ini dia mendadak merasa seperti sedang menari di atas penderitaan orang lain.
Tanpa bersuara sedikit pun, Bu Cici bergerak sangat pelan. Berjalan ke almari yang jaraknya tidak sampai dua meter dengan langkah kecil. Saat membuka pintu almari pun sangat pelan.
Di mata Yudith, Bu Cici terlihat seperti sedang melakukan slow motion, tidak sekasar biasanya yang sampai menimbulkan suara berisik.
"Mulai dari yang paling atas di catatan." Suster Rosa memberi instruksi.
"Handuk," ujar Yudith.
Entah hanya perasaan Yudith saja atau memang benar seperti itu, tangan Bu Cici tampak bergetar. Saat menarik handuk dari almari, benda lain seperti tumpukan sabun mandi, sampo yang ada di sampingnya ikut tersenggol dan jatuh berantakan.
"Jumlah yang tertulis berapa, Dhit?"
"Delapan, Sus. Enam stok lama dan yang dua baru masuk awal bulan ini."
"Itu ada berapa, Ci?"
E-empat, Sus. Lima sama yang sekarang dipakai." Suara Bu Cici sangat lirih, pun tidak berani menatap suster Rosa.
"Yang tiga ke mana?" Suara Suster Rosa sudah terdengar berat dan bergetar. Beliau sudah melihat jumlah peralatan mandi yang tanpa perlu dihitung pun jumlah yang ada saat ini sudah terlihat jelas kurang dari yang seharusnya. Kendatipun sudah dipakai, rasanya terlalu cepat habisnya.
Bu Cici tidak menjawab, kepalanya terus menunduk, dan jemari *******-***** handuk yang dipeganginya.
"Tidak bisa jawab atau memang tidak mau jawab, huh? Dith, bangunkan yang lain."
"Baik, Suster."
Yudith bergegas keluar dari gudang yang rasanya seperti menyempit karena atmosfer berat yang menguar dari kemarahan Suster Rosa.
Malam itu juga, pemeriksaan dilakukan di Asrama Anggrek. Karena dadakan, tidak ada yang sempat memanipulasi catatan sehingga kebobrokan mereka pun tidak bisa disembunyikan lagi.
Jumlah barang tidak sesuai dengan catatan. Baik inventaris anak maupun inventaris asrama banyak yang cacat. Kenyataan itu ibarat bom yang tiba-tiba meledak, menghancurkan semua kecurangan yang selama ini tersimpan rapi.
Dan setelah didesak, akhirnya mereka mengatakan yang sebenarnya ke mana perginya barang-barang inventaris itu.
Marah luar biasa, sudah lewat tengah malam pun, Suster Rosa masih belum puas memarahi mereka. Keempat pegawai senior itu kini berdiri berjejer di ruang belajar dengan kepala tertunduk dalam.
Kemarahan Suster Rosa terlalu mengerikan. Buku-buku inventaris yang tadinya dia pegang, kini berserak di lantai setelah sempat menyasar ke wajah mereka---dilempar dengan amarah yang meluap-luap.
Keangkuhan Bu Cici dan kawan-kawan sirna. Sekadar mengangkat kepala untuk menatap garang pada Yudith seperti biasanya saja mereka tidak berani.
"Kalian benar-benar memalukan! Bisa-bisanya melakukan perbuatan seperti itu! Kalian punya jatah bulanan, kenapa tidak itu saja yang kalian berikan pada mereka? Kenapa harus mengambil hak anak-anak?!"
Frustrasi luar biasa hingga seperti mau meledak, itulah yang Yudith lihat. Suster Rosa mengetatkan rahang sehingga setiap kata yang terlontar penuh penekanan. Wajah ayunya merah padam, mata pun berkaca-kaca sebagai luapan rasa kecewa.
Untuk waktu yang cukup lama, para pegawai itu tidak ada yang berani bersuara. Bahkan mungkin kalau menahan napas terlalu lama itu tidak berakibat fatal, Yudith yakin mereka pun tidak akan berani bernapas.
"Kamu Cici! Kamu ini keponakan Suster Davince, pimpinan yayasan, seharusnya memberi contoh baik bukannya malah jadi pimpinan maling! Memalukan!"
Bu Cici mengangkat wajah. Matanya basah dan isaknya semakin menjadi-jadi. "Suster, aku mohon jangan memberi tahu Suster Davince. Aku janji tidak akan melakukannya lagi." Di antara isak tangis, suaranya timbul tenggelam. Keangkuhan Bu Cici sirna tanpa sisa.
Berdiri di dekat pintu tepat di belakang Suster Rosa, Yudith menatap prihatin pada Bu Cici yang biasanya bersikap superior itu kini terlihat sangat menyedihkan.
Suster Rosa menatap tanpa berkedip, matanya semakin memerah, dan cairan bening yang menggenang pun akhirnya tumpah. Dengan suara serak dia berkata, "Aku kecewa Ci. Masalah administrasi anak masih bisa aku toleransi, tapi mengambil hak mereka yang didapat dari sumbangan para donatur, rasanya sulit untuk dimaafkan." Suster Rosa mengusap pipinya kasar. Setiap gerakan kasar yang dia lakukan seolah ungkapan dari rasa kecewa dan frustrasi yang dia rasakan. "Kalian tidak boleh ke mana-mana untuk sementara waktu dan telepon asrama akan dikunci."
Menyadari arti dari instruksi tersebut, keempat perawat itu serempak menatap nanar Suster Rosa.
Tidak boleh ke mana-mana dan telepon asrama dikunci, sudah pasti sebagai upaya untuk mencegah keempat perawat itu memberi informasi ke asrama lain tentang masalah yang berpotensi akan dilakukanya audit dadakan secara menyeluruh.
Dengan kejadian malam itu, bertambah suburlah kebencian mereka terhadap Yudith. Mereka kompak untuk mengerjai Yudith. Petugas piket masak pagi itu tidak menyisakan jatah sarapan untuk Yudith. Di meja makan hanya ada makanan buat Suster Rosa yang memang selalu bangun di atas jam tujuh.
"Kami bukan kau punya pembantu. Jadi kalau mau makan kau masak sendiri saja."
Untuk pertama kalinya Yudith mendengar Bu Cici berbicara menggunakan logat Timur yang sangat kental. Membuat ucapan yang terlontar lebih terkesan penuh penekanan dan tulus dari hati yang penuh kebencian.
Sebenarnya bisa saja Yudith memasak mi instan, tetapi waktu sudah tidak memungkinkan lagi. Akhirnya gadis itu berangkat ke sekolah tanpa sarapan. Nanti bisa beli sarapan di kantin, begitulah pikirnya.
Tidak sampai sepuluh menit kemudian gadis itu sudah sampai di tempat parkir bus, lalu masuk ke dalam bus yayasan yang di dalamnya sudah hampir penuh oleh karyawan yang biasa menumpang. Tidak di sangka ada Pak Dimas yang ternyata hendak ke kompleks yayasan, ada urusan.
"Dith, duduk sini."
"Selamat pagi, Pak."
Yudith tidak ragu duduk di sebelah Pak Dimas karena kursi di sebelah pria itu menjadi salah satu kursi yang masih kosong, dan kebetulan juga Pak Dimas adalah satu-satunya orang yang sudah dia kenal cukup akrab.
"Oh iya, ada titipan, Dith."
Dahi Yudith mengernyit, memperhatikan Pak Dimas yang sedang mengambil sesuatu dari tasnya. Tidak lama kemudian di tangannya sudah ada sebuah kotak makan yang tidak asing bagi Yudith.
Kotak makan itu milik Andreas yang dulu isinya klepon dan sekarang isinya adalah ... klepon juga.
"Hanya klepon. Ini kemarin si Andreas bereksperimen buat sendiri." Pak Dimas terkekeh ringan. Dari cara tertawanya, Yudith jadi berpikir pasti ada peristiwa lucu dalam proses pembuatan kleponnya.
Hanya klepon kata Pak Dimas, tetapi sesuatu yang dia bilang hanya itu sangat berharga buat Yudith yang belum sarapan. Dan lagi jumlahnya cukup banyak, Andreas pasti memikirkan Suster Vero dan Ririsma juga.
"Terima kasih, Pak. Sampaikan terima kasih juga buat si An."
Pak Dimas hanya merespons dengan senyuman, setelah itu mereka tidak bicara apa-apa lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments