KEBENARAN TERUNGKAP

"Mohon perhatiannya, Yudith, tolong datang ke kantor sekolah sekarang juga. Sekali lagi, Yudith siswi kelas satu dari Wisma Flamboyan, segera ke kantor sekolah menghadap Suster Davince."

Setelah sempat dicari-cari dan tidak ditemukan juga, akhirnya petugas piket kantor memanggil Yudith menggunakan alat pengeras suara yang ada di aula.

Mereka berlima yang sedang asyik menikmati makan siang saling bertukar pandang.

"Ada apa lagi, Dith?" tanya Andreas mewakili yang lain---yang mulutnya masih pada sibuk mengunyah.

Yudith hanya menggeleng. Dia memang tidak tahu kenapa tiba-tiba dipanggil, tetapi nalurinya sudah bisa menerka kalau pasti ada hubungannya dengan peristiwa kemarin.

"Ya sudah, sana cepetan ke kantor lo."

"Cepetan habisin makannya. Kita pindah ke ruang kunjungan." Suster Vero memasukkan suapan terakhir hingga mulutnya penuh.

"Mau buat apa kita ke sana?" Mata Fitus memicing menatap Suster Vero yang kesulitan menelan makanannya.

"Mau menguping, lah. Buat apa lagi memangnya." Ririsma yang menjawab.

"Aku pergi dulu." Yudith bangkit dari duduk. Matanya entah kenapa tiba-tiba fokus menatap Andreas.

"Hati-hati." Ditatap intens seperti itu, Andreas mendadak gugup dan tidak tahu harus ngomong apa.

Dia sendiri merasa konyol meminta Yudith hati-hati padahal hanya pergi ke kantor yang dari tempatnya duduk sekarang pun bangunannya kelihatan.

Yudith melangkah dengan hati sedikit risau, detak jantungnya pun mulai berpacu. Dalam benaknya bertanya-tanya, ada apa lagi ini?

Sesampai di kantor dan melihat Bu Ambar, rasa-rasanya jantung Yudith melorot ke perut. Apalagi wajah Suster Davince tampak merah padam dan basah oleh keringat.

"Selamat siang, Suster." Gadis itu mengucap salam sangat lirih. Mata Suster Davince menatap tajam, membuat hatinya semakin tidak karuan.

"Duduk!" suara Suster Davince sangat tegas, tidak seperti biasanya. Baru sekali ini Yudith mendengarnya berbicara dengan nada seperti itu.

Duduk di samping Bu Ambar, Yudith menunduk, menatap tangannya yang mengepal di atas pangkuan.

"Sekarang bilang, kemarin kamu jatuh sendiri atau ada yang mendorong?"

Saat itu juga Yudith mengangkat kepala, wajahnya menegang, rasanya ingin sekali menghindari tatapan Suster Davince, tetapi tidak bisa. Tatapan Kepala Sekolah itu seperti mengunci matanya sebagai target. Yudith menelan ludah untuk membasahi tenggorokan yang tiba-tiba terasa kering.

"Ngomong, Dith! Biar aku tau laporan Bu Ambar ini benar atau hanya omong kosong!"

Bahu Yudith menjengit karena Suster Davince menggebrak meja. "Ma-maaf, Suster. Saya sudah berbohong." Yudith sudah mengira kehadiran Bu Ambar pasti ada hubungannya dengan kejadian kemarin.

Mengingat Bu Ambar sangat dekat dengan Bu Cici, Yudith yakin Bu Ambar pasti mengetahui sesuatu. Namun, Yudith tidak habis pikir kenapa dia malah melapor pada Suster Davince alih-alih melindungi Bu Cici.

"Jadi benar Cici yang mendorongmu?" Suster Davince tahu kalau Yudith tidak akan menjawab terang-terangan, hal itu justru membuatnya lebih marah lagi. "Kamu tau tindakanmu itu malah berbahaya? Cedera di kepala enggak bisa diremehkan! Kalau sampai terjadi apa-apa sama kamu, bagaimana kami harus mempertanggungjawabkannya pada ibumu?"

Yudith tertegun. Sekali lagi, karena terbiasa menanggung beban seorang diri, Yudith lupa kalau dirinya kini adalah bagian dari tanggung jawab yayasan, termasuk tanggung jawab Pak Heru juga.

"Maaf, Suster." Dengan begitu Yudith sudah mengakui bahwa dirinya bersalah. Dia tidak ingin egois lagi, membela diri dengan beralasan semua demi kebaikan bersama atau tidak ingin membuat keributan dan membesar-besarkan masalah.

Seharusnya dia jujur dari awal supaya Bu Cici bisa segera ditindak. Bukankah menutupi perbuatan Bu Cici itu sama saja dengan memberi peluang kejadian yang sama akan terulang lagi, mungkin pada dirinya, bisa juga pada orang lain.

"Jadi benar Cici yang mendorongmu?"

Tidak mau menyangkal, tetapi juga tidak ingin menjelaskan kejadian sebenarnya, Yudith hanya mengangguk.

Setelah terus-menerus berbicara dengan nada tinggi sampai urat leher menegang, akhirnya Suster Davince menghela napas panjang dan mengembuskan perlahan. Sesudahnya bersuara dengan lebih lembut, "Aku sudah memberitahu Pak Heru. Dia akan mengantarmu ke rumah sakit."

Tok tok tok

Perhatian mereka teralihkan ke pintu, di mana Pak Heru bergegas masuk tanpa menunggu dipersilakan lebih dahulu. Wajahnya tampak tegang, sembari melangkah ke arah Yudith dia mengangguk sekadarnya pada Suster Davince.

"Gimana to, Dith? Ada kejadian kayak gitu kok ya enggak bilang kamu ini." Pak Heru duduk di kursi sebelah Yudith. Tanpa sengaja matanya bersitatap dengan Bu Ambar, lalu buru-buru dia berkata, "Makasih, Bu Ambar, sudah memberi tahu. Kalau enggak, anak ini pasti enggak bakal ngomong."

Pernah ikut merundung Yudith waktu masih di Asrama Anggrek, Bu Ambar merasa tidak pantas menerima ucapan terima kasih itu. Dia hanya tersenyum canggung dengan wajah memerah.

"Maafkan Yudith, Pak. Yudith mohon jangan bilang sama ibu." Saat menyebut kata ibu, suara Yudith seperti tersekat di tenggorokan.

"Itu urusan nanti. Sekarang periksa dulu ke rumah sakit."

"Pergi sekarang sebelum Cici dan Suster Rosa datang." Suster Davince tidak mau Yudith bertemu Bu Cici karena khawatir jiwa anak itu tidak siap bertemu dengan orang yang akhir-akhir ini selalu menyulitkannya.

"Kita pergi sekarang, Dith."

Gadis itu bangkit dari duduk lalu menatap Bu Ambar. "Terima kasih, Bu Ambar." Sesudahnya menghadap Suster Davince. "Terima kasih, Suster Davince."

"Ya sudah, hati-hati kamu itu."

Setelah berpamitan, Pak Heru dan Yudith keluar dari kantor dan langsung disambut oleh mereka yang tadi menguping dari ruang kunjungan.

"Kamu ini ya, bisa-bisanya enggak cerita yang sebenarnya." Suster Vero langsung mengomel.

Andreas yang merasa dugaannya benar dan sedari tadi sudah berulang kali mengatakan apa aku bilang pada yang lain, kini menatap sendu pada Yudith.

"Kamu benar-benar membuat kami semua khawatir, Dith."

"Iya lo. Lain kali jangan begitu lagi."

"Ini berarti kalian harus minta maaf sama Ratna dan Lodi, karena kalian sudah menuduh mereka." Fitus sok bijak dan berakhir dengan menjadi samsak sasaran tinju Suster Vero dan Ririsma.

"Lo saja sonoh minta maaf. Gue sih enggak!"

"Minta maaf itu harus. Tapi itu bisa menunggu." Suster Vero menatap Pak Heru. "Kami boleh ikut mengantar Yudith ke rumah sakit ya, Pak?"

"Ikut saja enggak papa, Sus. Andreas sama Fitus sekalian aku antar pulang. Kalian ini enggak seharusnya masih ada di kompleks jam segini."

Andreas dan Fitus tertawa cengengesan. "Kita kan setia kawan, Pak," ujar Fitus berkelakar.

Tidak mau berlama-lama menunda, Pak Heru segera mengajak mereka berangkat dengan mengendarai mobil yayasan. Tidak lama setelah mobil mereka keluar dari pintu gerbang, mobil yang dikendarai Suster Rosa masuk.

Bu Cici sudah merasakan firasat buruk dari sebelum dipanggil karena dia tidak mendapati Bu Ambar di asrama. Dalam hatinya sudah menyumpah serapah, mengutuk Bu Ambar yang dia anggap telah berkhianat.

Begitu masuk ke kantor dan mendapati Bu Ambar duduk di sana, amarahnya tidak bisa dibendung lagi. Dia menyerbu Bu Ambar dan langsung menampar dan menjambak rambutnya tanpa bisa dicegah.

"Pengkhianat sialan kau!"

"Cici sakit! Dasar gila! Psikopat!" Bu Ambar mendorong Bu Cici sekuat tenaga hingga terhuyung mundur.

Tamparan keras Bu Cici tadi menimbulkan bekas kemerahan pada pipi Bu Ambar yang putih glowing---bukti dia benar-benar merawat kulitnya.

"Kurang ajar kau! Brengsek!" Bu Cici maju lagi dan menjambak rambut Bu Ambar lagi.

Bu Ambar pun tidak tinggal diam. Dia juga menjambak rambut Bu Cici dan mengguncang-guncangnya. "Kamu sudah keterlaluan. Dasar psikopat gila!"

Saking marahnya, Suster Rosa sampai tidak mampu berbuat atau berkata apa-apa. Beliau hanya berdiri menatap dengan mata dan wajah merah padam.

Brak brak brak

"Hentikan!" Suster Davince menggebrak meja sambil membentak. Kedua perempuan itu pun spontan memisahkan diri.

"Barbar seperti manusia hutan! Memalukan sekali!" Suster Rosa berucap pelan, tetapi penuh penekanan dari sela gigi yang dikatup rapat.

Dihadapkan pada tatapan nanar Suster Davince dan Suster Rosa, nyali kedua pegawai itu menciut seketika. Kepala mereka langsung tertunduk dalam-dalam.

Wajah mereka semua memerah. Suster Davince dan Suster Rosa merah padam karena marah, sedangkan Bu Cici dan Bu Ambar akibat malu dan bekas tamparan.

"Perbuatanmu sudah kelewatan, Cici! Kalau sampai anak itu mengalami cedera di kepalanya bagaimana? Sebelum bertindak itu mikir! Pakai otakmu itu!" Saking marahnya, selagi bicara tangan Suster Davince terus-menerus mengetuk meja.

"Setelah ini kamu enggak perlu kembali ke wisma pegawai. Nanti Ambar akan membantumu mengemas barang, hari Minggu aku sendiri yang akan mengantarmu ke Juanda." Suaranya tidak berapi-api seperti Suster Davince, tetapi isi dari perkataan Suster Rosa ini jauh lebih membuat Bu Cici syok.

"Aku tidak mau pindah ke luar pulau!" Dalam keadaan tersudut dan tahu jelas-jelas dirinya bersalah, Bu Cici masih sempat menatap tajam Suster Rosa, bahkan nada suaranya pun tinggi.

Suster Rosa tersenyum sinis. "Pindah katamu?"

Suster Davince menimpali, "Siapa yang bilang kamu akan dipindahkan ke luar pulau?! Kamu pikir perbuatanmu masih bisa ditoleransi, hah?!" Semua menjengit akibat suara gebrakan meja yang luar biasa. Suster Rosa sampai menghela napas sambil mengelus dada, Bu Cici seketika bungkam, dan Bu Ambar semakin dalam menunduk. "Kamu dikeluarkan!"

Meskipun sudah menduga, Bu Cici tetap saja syok ketika Suster Davince memperjelas maksudnya.

Kendatipun telah mengatakan tidak masalah dikeluarkan asal dendam sudah terbalas, kenyataannya kini dia merasa tidak rela bila harus meninggalkan tempat yang telah memberinya banyak kemudahan ini.

"Tanta, jangan usir Cici. Cici janji---"

"Enggak bisa!"

"Tanta, Cici mohon." Bu Cici tiba-tiba menjatuhkan diri ke lantai lalu bersimpuh di kaki Suster Davince. "Bapa bisa bunuh Cici, Tanta. Jangan pulangkan Cici."

"Bukan urusanku. Makanya kalau mau bertindak itu mikir dulu!" Suster Davince menepis tangan Bu Cici yang memegang tangannya.

Bu Ambar dan Suster Rosa hanya bergeming menatap. Sedih, juga tidak tega sebenarnya, tetapi mau bagaimana lagi. Sekali melanggar masih bisa dimaafkan dan diberi kesempatan. Namun, perbuatan Bu Cici terhadap Yudith beserta ancamannya, sudah menjurus ranah kriminal. Sudah saatnya perempuan arogan itu ditindak lebih tegas.

Bu Cici menangis meraung, tetapi tetap tidak dihiraukan. Bahkan ketika disuruh berdiri tidak mau berdiri, Suster Davince dan Suster Rosa meninggalkannya begitu saja.

Sementara itu di rumah sakit, setelah hampir setengah jam berada di dalam ruang pemeriksaan, Yudith keluar dengan wajah yang terlihat pucat dan lelah. Dia merasa pusing dan sedikit mengantuk.

"Dith."

Andreas menghampiri dan sudah hendak memegang lengannya, tetapi Yudith mengabaikan dan lebih memilih menghampiri Pak Heru. Sejenak raut kecewa terlukis di wajah Andreas dan seketika tergantikan oleh senyum yang terlihat palsu saat Suster Vero dan Fitus menepuk bahunya.

"Pak Heru, tolong jangan beri tau ibu apa pun hasilnya. Aku enggak mau ibu khawatir."

Setiap telepon, Yudith selalu menceritakan yang baik-baik, tidak pernah ada satu pun keluhan. Yudith tidak ingin sang ibu kepikiran, yang bisa berakibat buruk pada sakit sesak napasnya.

Seulas senyum tipis menghiasi bibir Pak Heru. Sembari menepuk bahu Yudith, dia berkata, "Jangan khawatir, Dith. Aku enggak akan bilang. Mudah-mudahan enggak ada yang serius. Yuk, kembali ke asrama. Besok atau lusa hasilnya baru keluar." Pak Heru menatap Andreas. "Titip Yudith, ya, An?"

Seharusnya pesan itu lebih pantas untuk Suster Vero dan Ririsma yang setiap hari bersama Yudith. Namun, rupanya Pak Heru cukup peka dan memahami apa yang berlaku pada remaja putra itu.

Wajah Andreas memerah, sambil cengengesan dan mengelus tengkuk dia membalas, "Pak Heru tenang saja, Yudith pasti aman bersamaku."

"Ish, kepedean lo. Padahal Yudith sudah menolak." Ririsma memukul lengan Andreas main-main. Ujarannya pun tidak serius.

"Aku bilang bersama, bukan jadi pacar. Ya, paling enggak sampai kita lulus sekolah. Ya kan, Dith?" Andreas menaik-turunkan kedua alis saat Yudith memandang ke arahnya.

Yudith segera berpaling, senyum sangat tipis tersungging di sudut bibirnya. Kebohongan besar kalau dia mengatakan tidak menyukai Andreas. Akan tetapi, untuk sekarang semua akan berjalan seperti yang sudah mereka sepakati. Fokus belajar saja dulu.

Terpopuler

Comments

Moon

Moon

KAPOOOOOOK

2023-08-24

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!