JUJUR DAN TEGUH

Hujan rintik-rintik yang dari semalam turun masih belum berhenti. Angin berembus kencang memaksa gadis bertubuh mungil yang sedang menuruni anak tangga menarik kerah jaketnya hingga menyentuh dagu.

Berhenti di koridor lantai dua, mata bulat bola ping-pongnya memandangi langit yang akhir-akhir ini lebih sering berwarna kelabu. Sembari memejamkan mata dan kepala sedikit tengadah, gadis itu menghela napas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan. Seulas senyum tipis menghiasi bibirnya.

Tidak terasa, empat bulan lebih sudah terlewati. Ujian Catur Wulan Pertama pun telah usai. Sekarang, kompleks ini sangat sepi karena sekolah sedang dalam masa liburan.

"Aduh, Dith! Jangan berdiri di situ, basah kena air hujan!"

Bahu Yudith menjengit, segera menoleh dan mendapati Suster Vero sedang menuruni anak tangga. Sudah berpakaian lengkap seragam biarawati, padahal waktu Yudith turun tadi sahabatnya itu masih tidur. Bolos ibadat pagi yang biasa diadakan pukul enam.

"Mau ke kapel." Suster Vero menjawab pertanyaan Yudith yang hanya berupa dahi mengernyit, lalu menguap. "Suster Tilde telpon tadi," tambahnya kemudian. Wajahnya terlihat jelas masih mengantuk.

Suster Vero tidak pernah absen ibadat pagi sebelum ini. Mungkin kelelahan karena kemarin dia membantu menginventaris barang di gudang yayasan sampai larut malam.

"Enggak bawa payung?"

"Ada di ruang sapu lantai satu. Aku duluan. Jangan lupa nanti, ya."

Yudith menatap miris saat Suster Vero mengayun kaki cepat di lantai koridor yang basah karena percikan air hujan.

'Jangan lupa nanti, ya' itu adalah pesan untuk mengingatkan Yudith bahwa hari ini dia akan dikenalkan dengan ayah Suster Vero yang akan datang berkunjung dari Blitar.

Yudith segera beranjak ketika angin kencang kembali berembus. Percikan air hujan yang singgah di wajahnya terasa sedingin air es.

Sepi. Koridor asrama belantai empat ini terasa sangat lengang dan panjang tanpa adanya orang berlalu-lalang. Masih dalam suasana liburan setelah ujian.

Para siswi banyak menghabiskan waktu hanya dengan menonton TV di ruang khusus yang disediakan, atau sekadar tidur-tiduran. Suasana pun sangat mendukung mereka untuk bermalas-malasan.

Mereka baru ada jadwal untuk piket pada pukul empat sore, jadi sembari menunggu waktu, mereka bebas melakukan apa pun, asal tidak neko-neko.

Namun, bersantai seperti teman-temannya tidak ada dalam kamus hidup Yudith. Bersama Suster Vero, selalu ada saja yang dia kerjakan.

Seperti pagi ini misalnya. Selagi banyak dari penghuni wisma pelajar masih betah meringkuk di bawah selimut meskipun waktu sudah menunjukkan pukul delapan, gadis bertubuh mungil itu sudah menapaki anak tangga dari lantai empat menuju lantai satu dengan mantap.

Suster Kepala Sekolah meminta Yudith untuk membersihkan dan menata ruangan beliau yang ada di kantor sekolah. Padahal sudah ada petugas piket yang selalu membersihkan keseluruhan ruangan, tetapi Suster Kepala Sekolah masih saja meminta bantuan Yudith. Jadi, ya, tidak mengherankan kalau banyak yang menuduh gadis itu tukang ngempe.

"Mau cari siapa, Dith?" Pertanyaan itu langsung menyambutnya begitu Yudith sampai di kantor. Dia Lina, kakak kelas yang bertugas membersihkan kantor sekolah.

"Suster Davince nyuruh aku merapikan ruangannya, Mbak."

Tatapan yang tadinya biasa saja, seketika berubah sinis setelah mendengar jawaban Yudith. Si kakak kelas yang sudah berusaha menekan rasa tidak suka dan mencoba bersikap ramah, akhirnya hanya bisa tersenyum masam.

Hatinya kesal. Sejak ada Yudith, tugas tambahan yang bisa mendatangkan bonus kini diberikan pada gadis itu. Tanpa berkata-kata lagi, dia segera menyingkir dari hadapan Yudith untuk melanjutkan tugas yang belum selesai.

Mereka bekerja dalam diam. Sementara Yudith fokus pada apa yang sedang dikerjakan, Lina kerap mengerling sinis padanya.

Beberapa saat kemudian, wajah yang tadinya terlihat sangat jutek itu tiba-tiba semringah. Entah apa yang terlintas dalam benaknya sehingga mata pun turut berbinar. Sembari melangkah menghampiri Yudith yang sedang membersihkan dan menata barang-barang di atas meja, bibirnya tersenyum miring.

"Yudith, di rumahmu ada telpon?"

"Enggak ada, Mbak." Yudith hanya melihat sekilas ke arah Lina yang menyandarkan lengan pada kusen pintu.

"Tapi aku pernah lihat kamu di wartel. Telepon siapa?"

Wartel adalah salah satu fasilitas berbayar yang disediakan oleh yayasan untuk mempermudah para siswi menghubungi keluarga.

"Telpon ibuku, Mbak."

Yudith sama sekali tidak menghentikan aktivitas. Obrolan itu baginya sama sekali tidak penting. Dia ingin segera menyelesaikan pekerjaan karena hari ini Suster Vero akan memperkenalkannya pada sang ayah yang akan datang berkunjung.

"Gimana, sih? Tadi katanya enggak punya telpon." Sikap tak acuh Yudith rupanya membuat Lina kesal. Nada suara gadis itu sangat ketus. Kok, ya, ada orang macam Yudith ini. Astaga!

Akhirnya Yudith menghentikan aktivitas dan menoleh. "Pake telpon Paklek Jaya, Mbak. Tetanggaku."

Mendapat respons baik, mata Lina justru berkilat licik. "Kalau mau telpon, pake aja itu."

Pandangan Yudith otomatis mengikuti arah pandang Lina yang tertuju pada telepon di atas meja Kepala Sekolah.

Hanya orang bodoh saja yang akan mengikuti saran si Lina. Menggunakan fasilitas kantor yang bersifat khusus, sama saja dengan berbuat curang. Mencuri. Lagi pula, bagaimana bisa digunakan kalau tempat tombol angkanya saja dikunci?

"Kuncinya ada di laci, kok. Ambil aja. Satu dua menit enggak akan mahal."

Ini orang seperti bisa membaca pikiran saja. Cara bicaranya yang terdengar sangat enteng justru membuat Yudith miris.

"Enggak usah, Mbak."

Yudith sama sekali tidak berprasangka buruk. Menolak murni karena tidak mau berbuat curang.

Satu dua menit memang tidak akan mahal, tetapi akibatnya bisa fatal. Yudith tahu setiap kali membayar tagihan ke pihak perusahaan telepon, akan ada daftar panggilan yang di-print, dia pernah diminta untuk memasukkan kertas-kertas itu ke dalam sebuah kardus.

Berani menggunakan telepon kantor diam-diam, sama saja dengan cari masalah.

"Ditolong enggak mau, ya, sudah." Rencananya gagal, Lina pergi dengan hati masygul.

Menolong dia bilang? Yudith merasa miris membayangkan akibat dari sesuatu yang dibilang pertolongan itu.

Dia kembali melanjutkan pekerjaannya dengan sangat cekatan. Satu jam kemudian ruangan yang tadinya cukup berantakan, sudah bersih dan semua barang tertata rapi pada tempatnya.

Suster Davince muncul saat Yudith sudah hendak meninggalkan kantor. Mereka berpapasan di pintu.

Suster Kepala Sekolah itu memberikan amplop putih pada Yudith. Karena memang sudah menjadi haknya, Yudith pun menerima tanpa ragu.

"Tadi Pak Heru telpon, katanya Bruder Lius akan ke sini ngantar titipan."

Pak Heru adalah orang yang membawa Yudith ke yayasan ini, sedangkan Bruder Lius adalah teman Pak Haru. Mereka sempat bertemu sekali waktu Bruder Lius bertugas sebagai pembina rekoleksi MOS dulu.

Alih-alih bertanya untuk memastikan kenapa Pak Heru tidak datang sendiri, Yudith malah hanya mengucapkan terima kasih. Dia pikir, toh, nanti juga akan tahu sendiri. Gadis itu pun berpamitan tanpa menyadari tatapan tajam Lina yang mengincar dari sela almari buku.

"Kamu sudah telpon ibumu, Dith?" Pertanyaan Suster Davince menjeda langkah Yudith.

"Ini saya mau ke wartel, Suster."

"Telpon dari kantor saja. Sini."

Yudith tertegun. Dia tidak pernah meminta orang lain peduli padanya, juga tidak pernah menunjukkan sikap bahwa dia ingin dipedulikan, ataupun bercerita tentang kehidupannya yang miskin untuk menarik simpati.

Akan tetapi, perhatian dan kebaikan Suster Davince dan beberapa suster petinggi yayasan lainnya datang begitu saja tanpa diharapkan, membuat gadis itu bersyukur sekaligus merasa tidak enak hati.

Ejekan teman-teman yang tidak menyukainya pun kembali terngiang. Tukang ngempe.

Tidak. Yudith tidak peduli pada omongan orang yang tidak mengenal siapa dia sesungguhnya. Akan tetapi, diperlakukan istimewa seperti ini hati Yudith pun tidak bisa leluasa menerima. Menolak rasanya juga sangat tidak etis.

Yudith menghela napas pelan lalu menghampiri Suster Davince dan mengulurkan amplop yang dipegangnya. Malu-malu dia berkata, "Saya kembalikan sebagai ganti biaya telpon, Suster."

Biarawati bertubuh tambun itu tertawa renyah. "Kamu ini. Ya, sudah sana ke wartel saja," ujarnya kemudian.

Bibir Yudith berkedut sangat tipis. Setelah berpamitan segera melangkah tergesa-gesa menuju wisma pelajar. Sekilas dia memandang ke langit. Syukurlah, hujan sudah berhenti dan langit terlihat sedikit cerah. Berpuluh-puluh anak tangga yang harus dia lewati untuk sampai ke lantai empat, terasa hanya sekejap saja.

Terpopuler

Comments

⍣⃝ꉣꉣAndini Andana

⍣⃝ꉣꉣAndini Andana

biyar miskin harta yg penting punya harga diri ya Dith 👍👍 janganlah digunakan harga duduk, harga jongkok apalagi harga rebahan 😋

2023-09-12

2

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!