Setelah hampir dua minggu berlalu, kabar baik yang diharap-harapkan oleh para pegawai Wisma Anggrek pun datang pada hari Jumat malam.
"Yudith akan dikembalikan ke kompleks, tetapi baru akan pindah minggu depan. Selama seminggu terakhir di sini, dia akan menjadi penanggung jawab yang bertugas memeriksa administrasi anak-anak."
Seperti palu pengadilan yang telah diketuk, mereka yang merasa kehadiran Yudith adalah pengganggu, tanpa sungkan tersenyum lebar seketika itu juga begitu Suster Rosa selesai berbicara, bahkan Bu Cici sempat menepuk dada dan menghela napas lega.
Tidak mengapa diperiksa, cuma satu minggu ini. Begitulah kira-kira pikir mereka.
Sedangkan Yudith, senang atau tidak senang, dia hanya membisu seperti biasanya. Seperti yang pernah gadis itu bilang juga, kalau dia tidak akan pernah menolak ditugaskan di mana pun.
Setelah pertemuan singkat Jumat itu, Suster Rosa langsung berpamitan, hendak pergi ke kompleks yayasan untuk mengikuti rekoleksi khusus biarawati.
Malam ini, selagi yang lain asyik nonton TV, Yudith ada di ruang belajar sedang memeriksa kelengkapan administrasi anak.
Bu Cici masuk menghampirinya. "Hari ini ada barang masuk untuk Aini dan Neli. Ada di lemari gudang. Kamu cek aja." Tidak seperti biasa. Kali ini nada suara Bu Cici terdengar bersahabat.
"Baik, Bu." Yudith bangkit, membawa serta dua buku lalu mengikuti Bu Cici ke tempat gudang berada.
Sesampai di tempat tujuan, Bu Cici pergi begitu saja meninggalkan Yudith berdiri di tengah ruangan, mengedar pandangan ke sekitar untuk mencari almari yang ada tulisan Aini dan Neli. Setelah menemukannya, Yudith pun mulai sibuk mendata dan membuat catatan.
Sekitar dua jam kemudian, Yudith keluar dari gudang dan berpapasan dengan Bu Cici di depan kamar mandi.
"Dith, besok kamu ke gereja pagi jam delapan bareng Bu Regina."
Belum sempat direspons, Bu Cici sudah balik badan, lalu melenggang pergi.
Itu lebih bagus karena sebenarnya, Yudith justru lebih terbiasa dengan sikap Bu Cici yang dingin dan sinis. Bu Cici yang terlihat baik malah membuatnya sedikit tidak nyaman karena terasa sangat palsu.
Malam itu Yudith kembali begadang untuk menyelesaikan catatan administrasi Aini dan Neli, bahkan sampai ketiduran dengan kepala di atas meja berbantalkan buku.
Setelah beberapa jam berlalu, gadis itu terbangun. Leher dan punggungnya terasa pegal, sambil meregangkan badan dia melirik jam dinding.
Sudah pukul empat pagi. Perlahan dia bangkit, hendak ke kamar mandi. Tidak ingin mengusik tidur Aini dan Neli, Yudith membuka pintu sangat pelan.
Ruang tengah sangat sunyi dan udara pun terasa jauh lebih dingin di luar kamar. Dia melangkah ke arah kamar mandi tanpa ada prasangka apa pun hingga telinganya menangkap suara ....
"Jangan ambil punya Aini sama Neli. Sudah diinventaris Yudith. Bahaya nanti."
"Ish, dasar anak itu. Syukurlah sudah mau ditarik ke kompleks lagi. Di sini hanya bikin kita gak bebas aja."
Suara bisik-bisik, tetapi terdengar sangat jelas itu menghentikan kaki Yudith yang tinggal satu langkah lagi sampai di depan pintu kamar mandi.
Itu suara Bu Cici dan Bu Ambar.
Rasa ingin tahu membawa kaki Yudith melangkah menghampiri gudang dengan sangat perlahan dan sedikit berjinjit. Yudith berdiri merapat pada dinding dan menguping.
"Tambah sabun cuci dan sabun mandinya. Trus, itu sampo juga. Camilannya dipisah, Mbar. Kalo dicampur nanti bau sabun."
"Sudah cukup ini, Ci. Jangan terlalu banyak, nanti si Yudith curiga."
"Enggak akan. Aku sudah suruh dia ke gereja jam kedua. Dia enggak akan lihat pas Yonas sama Martin datang."
"Ish, bikin susah saja tuh anak. Kita jadi sembunyi-sembunyi kayak maling."
Memang kalian sedang maling. Dasar gila. Pantas saja tidak suka ada anggota baru di sini. Apalagi anggota barunya waras tidak mungkin bisa diajak kongkalikong mencuri hak anak-anak.
Jadi, ini kenyataan yang ingin mereka tutupi, fakta memalukan sekaligus menjijikkan. Ternyata bukan saja tidak suka karena Yudith terlalu rajin, melainkan juga karena kehadirannya adalah ancaman.
Yudith tidak jadi ke kamar mandi. Karena kalau dia membuka pintu kamar mandi pasti akan di dengar oleh mereka. Gudang dan kamar mandi berseberangan, tetapi pintunya tidak langsung berhadapan.
Yudith duduk di tepi tempat tidur sambil memandangi Aini dan Neli, penyandang celebral palsy ringan. Hanya kaki, tangan dan kemampuan mental mereka yang sedikit bermasalah, selebihnya tampak baik-baik saja, bisa diajak berkomunikasi pun.
Miris rasanya, kedua pegawai itu tega mengambil hak anak-anak untuk diberikan kepada entah siapa. Dari omongan mereka tadi pun Yudith bisa memperkirakan kalau hal semacam itu sudah kerap terjadi.
"Bu Yudith, pipis." Panggilan pelan Aini menyentak Yudith dari lamunan. Segara gadis itu mengambil pispot lalu membantu Aini buang air kecil.
Setelah itu, seharusnya Yudith langsung membuang air pipis Aini ke kamar mandi, tetapi karena merasa yakin Bu Cici dan Bu Ambar masih di gudang, akhirnya dia hanya menaruh pispot berisi itu di pojokan dekat pintu.
Ketika hari sudah terang dan semua penghuni asrama sudah bangun, Yudith bersikap biasa saja. Pukul setengah delapan Yudith bersama pegawai asal Surabaya bernama Regina, berpamitan untuk ke gereja.
Di sudut teras rumah, Yudith melihat dua bungkusan besar plastik hitam dan dua kardus mi instan.
Astaga. Mereka berani sekali mengambil sebanyak itu. Yudith menatap sedih barang-barang itu dan tanpa sadar menggeleng kecil.
"Selamat pagi, Nona cantike!" suara berat sedikit sengau berlogat wilayah timur Indonesia, mengalihkan atensi Yudith.
"Pagi, Kak Yonas dan Kak Martin." Bu Regina membalas ceria dan akrab sembari melangkah menghampiri lalu membuka pintu gerbang.
Yudith mengikuti Bu Regina, tetapi hanya diam. Melihat tampang-tampang beringas dua lelaki berkumis dengan badan tinggi kekar, tapi hanya bisa mengemis, hati Yudith miris.
"Nona manise, anggota baru di sini, ko? Oe, inae, cantik-cantik jangan pasang muka galak, ko!" Salah satu dari mereka, entah Yonas entah Martin, mencoba menggoda Yudith, tetapi tidak ditanggapi.
"Bu Regina, aku tunggu di depan sana." Yudith menunjuk ke arah tikungan.
"Tunggu, Dith." Bu Regina memencet bel berulang kali. "Kalian tunggu saja, ya. Dada, aku gereja dulu."
Tidak lama setelah Yudith dan Bu Regina berlalu, Bu Cici keluar dengan wajah murka. "Kalian ini bodoh sekali, ko! Sudah aku bilang jam sembilan, malah datang sekarang!"
"Sekalian kita pulang gereja, lah. Malas kali bolak-balik." Orang yang tadi menggoda Yudith membalas sambil tertawa-tawa.
Sambil melangkah, Yudith merenung. Akhirnya dia mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan kenapa kehadirannya tidak diterima.
Setelah kejadian pagi itu, sepanjang hari hati Yudith sangat gelisah. Bahkan malamnya pun dia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Dan kegelisahan itu terbawa ke sekolah keesokan harinya. Selama pelajaran berlangsung dia berusaha fokus, tetapi malah berakhir melamun dan berkali-kali menghela napas resah.
Saat istirahat, duduk di ayunan di halaman TK, diapit Suster Vero dan Ririsma, Yudith berusaha mengalihkan pikirannya dengan membaca novel misteri, tetapi ternyata kegelisahan hatinya tidak bisa dibujuk sama sekali.
"Kamu kenapa, Dith?" tanya Suster Vero yang sebenarnya sudah menyadari tindak-tanduk Yudith sedikit aneh sejak masih di dalam kelas.
"Eh, kenapa?" Ririsma sedikit membungkuk untuk melihat wajah Yudith yang menunduk merenungi buku. "Lo ada masalah apa lagi di asrama?"
Menutup bukunya, Yudith lalu menyandarkan punggung, tidak langsung menjawab pertanyaan malah menatap menerawang.
Haruskah dia menceritakan kejadian memalukan itu pada mereka?
"Dith, kamu punya kami. Walaupun enggak akan bisa banyak membantu, paling enggak kamu bisa cerita biar hati terasa lebih ringan."
"Bener itu. Lo enggak harus menanggung semuanya sendirian tauk."
Mata Yudith tiba-tiba melebar. Lo enggak harus menanggung semuanya sendiri, ujaran Ririsma seperti menyadarkannya dari mimpi panjang penuh liku. Terbiasa menyimpan dan menanggung beban sendirian, Yudith sampai lupa kalau dia bisa berbagi apa pun dengan sahabat-sahabatnya.
Tanpa sadar senyum tipis tersungging di sudut bibirnya saat beban di hatinya sedikit terkikis. Ya, hanya dengan menyadari bahwa dia tidak sendirian saja hatinya menjadi terasa lebih lega.
"Terima kasih," ucapnya, kalian memang yang terbaik, tambahnya dalam hati.
"Nah, yo ngono. Ayo cerita." Suster Vero mengambil novel dari tangan Yudith.
"Mereka menyulitkan lo lagi?"
Yudith menggeleng. "Ada kejadian sangat memalukan ...."
"Huh?" Suster Vero mengernyitkan dahi. "Kejadian memalukan?"
"Lo yang memalukan?" Saat bertanya, dalam hati Ririsma menerka-nerka, orang tidak banyak tingkah seperti Yudith ini kira-kira perbuatan memalukan apa yang sudah dilakukannya?
"Bukan aku, tapi Bu Cici dan Bu Ambar."
"Mereka ngapain?"
"Nindas lo lagi?"
Tidak mau membuat kedua sahabatnya menerka-nerka, akhirnya Yudith menceritakan kejadian waktu itu.
"Gila!" Saking tidak percayanya kalau ada orang yang tega berbuat seperti itu, Ririsma seperti hanya punya satu kosa kata yang pantas untuk dilontarkan.
"Itu enggak bisa didiamkan! Mereka sudah sangat keterlaluan!" Reaksi Suster Vero lebih dramatis, sampai-sampai dia memukulkan novel yang dipegang ke pahanya sendiri. "Kamu harus lapor, Dith!"
"Gue setuju sama Vero! Mereka harus diberi pelajaran! Ini kesempatan lo buat membalas mereka." Ririsma menimpali dengan lebih berapi-api.
Melihat reaksi kedua sahabatnya, hati Yudith kini jauh lebih lega lagi. Dukungan mereka sungguh sangat berarti. Sepertinya, dia harus lebih sering terbuka dan banyak berbagi kisah dengan mereka.
Atas anjuran Suster Vero dan Ririsma, Yudith memantapkan hati untuk menceritakan apa yang sudah terjadi kepada Suster Rosa. Namun, ketika waktunya tiba, hatinya malah kembali gamang.
Memainkan pena di antara jemarinya, mata Yudith menatap kosong ke depan. Buku-buku administrasi anak yang harus dia periksa, terabaikan, berserak di atas meja. Dia bingung bagaimana harus menyampaikan pada Suster Rosa.
Embusan napas panjang terlontar ketika menyadari bahwa dirinya telah menahan napas dalam beberapa detik terakhir. Pada saat itulah kelebatan bayangan Suster Rosa yang melintas di luar ruang belajar tertangkap oleh ujung matanya.
"Suster Rosa!" Yudith bergegas bangkit. Saking tergesa-gesanya, kursi yang didorong berderit cukup kencang.
"Ada apa, Dith?" Suster Rosa muncul di pintu, wajahnya mengernyit karena melihat Yudith mengelus paha---tadi sempat membentur kaki meja.
"Bisa bicara sebentar, Sus?" Sembari bertanya, mata Yudith melirik ke jam dinding. Pukul sepuluh, pantas saja sudah tidak ada suara TV dari ruang bersantai.
"Tunggu sebentar. Aku ke kamar mandi dulu." Suster Rosa segera berlalu tanpa menunggu respons.
"Mau apa kamu?"
Yudith menjengit ketika Bu Cici muncul dari arah samping---lolos dari atensinya yang masih tertuju ke arah Suster Rosa pergi.
"Mau mengadu soal tamu kemarin, huh?"
Baru kemarin cara bicara Bu Cici lunak dan bersahabat, sekarang sudah kembali seperti semula. Sinis dan terasa jelas mengandung benci.
"Enggak, Bu."
Memang tidak. Yudith tidak akan mengadu tentang hal yang tidak perlu dipersoalkan. Ibu-ibu itu sudah lulus sekolah, larangan berpacaran sudah tidak berlaku untuk mereka.
"Belum tidur, Ci?" basa-basi terlontar dari Suster Rosa yang sudah kembali dari kamar mandi.
"Mau ke kamar mandi." Bu Cici berlalu tak acuh.
Berbanding terbalik dengan Suster Rosa yang selalu terlihat tenang dan sedikit sarkas dalam setiap ucapan, nada suara Bu Cici selalu terdengar sengak dan raut wajahnya seperti orang yang selalu waspada, tegang dan mata menatap penuh selidik.
"Cici enggak cari gara-gara, kan?"
Yudith menggeleng, lalu mempersilakan Suster Rosa masuk, duduk berhadapan.
Yudith tidak berniat mengadu lalu berpura-pura bodoh dan bersembunyi di belakang Suster Rosa. Tidak. Bila perlu, Yudith ingin semua orang dikumpulkan lalu berbicara dari hati ke hati.
Akan tetapi, Yudith yakin bila itu dilakukan yang terjadi adalah keributan. Lebih baik berbicara saja dulu dengan Suster Rosa, setelah itu, biarkan Suster Rosa yang berbicara pada mereka.
"Ngomong, Dith."
"Baik, Sus. Emh, begini ...." Yudith menceritakan apa yang dia dengar dan lihat kemarin, tidak bisa dihindari tentang dua pria bernama Yonas dan Martin pun. Karena mereka juga pihak yang terlibat. "Maaf, Sus. Saya tidak ada maksud mengadu," ujarnya di akhir cerita.
"Kamu yakin?"
Yudith tidak perlu menjawab pertanyaan Suster Rosa ini. Hanya mata saja yang menatap tanpa berkedip sampai Suster Rosa sendiri yang berpaling. Tidak bisa dibantah, kejujuran itu tersirat jelas di iris cokelat gelap Yudith.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments