LIONTIN HATI

Ruang belajar asrama putra ini begitu hening. Andreas yang diserahi tanggung jawab untuk menertibkan teman-temannya, tidak perlu melakukan apa-apa karena semua aman dan teratur, berjalan lancar dengan sendirinya.

Kalau dipikir-pikir tidak aneh mereka mampu menertibkan diri sendiri, alih-alih urakan seperti remaja pada umumnya. Tergolong remaja-remaja anti-mainstream pastinya pola pikir mereka pun tidak umum.

Banyak sekolah yang lebih bagus, tidak mengikat mereka untuk tinggal di asrama, tidak mengharuskan mereka melayani anak-anak berkebutuhan khusus, dan peraturan pun tidak ketat, tetapi saat para petugas promosi dari yayasan datang ke SMP mereka dan menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan SMK Mulia Harapan, remaja-remaja putra yang sekarang ada di ruangan ini tanpa ada paksaan bersedia mendaftar. Perlu diketahui juga bahwa 90% dari mereka tidak mengambil ikatan dinas, termasuk Andreas.

Remaja berparas manis itu duduk di bangku paling belakang bersama seorang teman berkulit cokelat gelap, rambut keriting halusnya dipotong cepak, namanya Fitus.

"Kau lagi buat apa? Tidak belajar malah lihat-lihat benda apa itu?"

Fitus melongok untuk melihat apa yang sedang dipandangi Andreas. Di tangan Andreas terdapat kalung berwarna hitam dengan liontin hati yang bisa dibuka. Andreas memperlihatkan benda tersebut pada Fitus.

"Coba lihat foto ini. Apa menurutmu mirip seseorang?"

Karena foto yang tersemat di dalam liontin hati sangat kecil, Fitus sampai mengangkatnya untuk mendapatkan penerangan lebih. Foto anak perempuan, rambutnya tidak sampai menyentuh bahu, kulit cokelat eksotis, dan senyum tipisnya terlihat sangat manis.

Masih sambil memandangi foto tersebut, dahi Fitus mengernyit, berpikir wajah anak perempuan itu sepertinya tidak asing.

"Ah!" Tiba-tiba dia berseru sambil memukul meja. Sontak saja suasana langsung gaduh karena yang lain---yang tadinya serius belajar dibuat kaget olehnya.

"Apa kau tu buat ribut-ribut?" Salah seorang teman menegurnya menggunakan aksen Nusa Tenggara Timur, daerah asal Fitus, padahal dia aslinya orang Jawa.

Hal itu sudah lumrah terjadi. Mereka berasal dari beberapa daerah, bahkan pulau yang berbeda. Jadi, sering saling menirukan logat, biasanya untuk lucu-lucuan dan mereka akan tergelak-gelak bila pelafalannya aneh.

Yayasan Mulia Harapan memiliki banyak cabang yang hampir merata di seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Jadi tidak heran bila siswa-siswinya ada yang berasal dari luar provinsi, bahkan luar pulau.

"Maaf, konco," ujar Fitus konyol, sembari melambaikan tangan.

Suara gelak tawa sejenak meramaikan ruang belajar, kemudian hening saat semua kembali menekuni bukunya masing-masing.

Andreas mengambil kembali kalungnya dari tangan Fitus. "Apa yang kamu pikirkan, tiba-tiba teriak begitu?"

"Yudith." Kali ini Fitus berbisik. "Jadi, kau sama dia sudah berteman? Dia dari Madiun juga?"

"Menurutku juga begitu." Andreas menyelipkan kalung itu di dalam sebuah buku, Alkitab.

"Kok, menurutmu?"

"Aku menemukan kalung ini di jalanan pasar. Lebih tepatnya aku melihat kalung ini jatuh dari tubuh anak perempuan, yang setelah aku pikir-pikir memang mirip Yudith. Waktu itu aku hanya melihat bagian belakangnya saja. Aku sempat mengejar mau mengembalikan kalung ini, tapi dia sudah naik mobil sama seorang pria. Mungkin ayahnya."

"Wah! Dan kau menyimpannya sampai sekarang. Membawanya ke sini pula."

Fitus bersiul pelan sembari menaik-turunkan kedua alisnya. Gara-gara itu Andreas memukul kepalanya menggunakan buku.

"Enggak sengaja kebawa karena selalu aku taruh di dalam Alkitab ini. Jarang baca Alkitab, jadi lupa kalau ada kalung di situ. Aku bawa ke sini juga karena ibuku yang maksa. Waktu pertama kali melihat Yudith, aku kaget. Enggak sadar langsung maju ngajak kenalan. Bersyukur sekali dulu kalung itu enggak aku buang."

"Patut bersyukur pula karena ibu kau memaksa membawa itu Alkitab. Siapa tau saja kalian berjodoh, kawan."

Andreas hanya tersenyum tipis. Rasanya sangat sulit dipercaya bila tidak mengalaminya sendiri. Peristiwa itu terjadi sudah sekitar satu tahun lebih. Walaupun ingatan sudah samar-samar karena memang tidak pernah menganggap kejadian itu spesial, tetapi dia masih ingat betul hari itu adalah hari Minggu. Kejadiannya sepulang dari gereja.

Dari arah belakang Andreas melihat anak gadis itu berjalan beriringan dengan seorang pria dewasa, membawa cukup banyak barang belanjaan. Tadinya dia tidak menaruh perhatian khusus, tetapi karena melihat ada sesuatu terjatuh dari anak gadis itu dan yang bersangkutan tidak menyadari, Andreas buru-buru mengambil benda yang ternyata sebuah kalung tali hitam berliontin hati, sebelum dipungut orang lain atau terinjak oleh pengguna jalan yang berlalu-lalang.

Dia bergegas mengejar si pemilik, tetapi sayangnya terlambat. Ketika dia baru muncul di ujung jalan, mobil yang dinaiki anak gadis itu sudah melaju.

Saat menyimpan kalung tersebut di dalam Alkitab yang selalu dia bawa bila ke gereja, pun tidak punya pikiran apa-apa. Ya, hanya mengikuti naluri saja. Bahkan setelah hari itu dia lupa, ingat lagi satu minggu kemudian ketika membawa Alkitab ke gereja lalu membuka liontin hatinya.

Pada waktu melihat foto yang ada di dalamnya, Andreas juga biasa saja. Dia menyimpannya kembali di dalam Alkitab, berhubung Alkitab tersebut dibungkus wadah yang ada ritsletingnya, kalung itu jadi aman di situ sampai sekarang.

"Fit." Andreas mencolek lengan Fitus yang sedang asyik mengerjakan tugas.

"Huh?" Fitus hanya melenguh tanpa menghentikan aktivitasnya.

"Jangan bilang siapa-siapa soal kalung ini."

"Kenapa?" Fitus yang tidak menganggap penting perkara kalung, hanya merespon dengan suara tanpa memberi muka.

"Pokoknya jangan bilang-bilang, titik!"

Fitus menghentikan aktivitasnya lalu menatap jahil. "Traktir makan bakso warung pojok langganan, ko. Tak bisa tanpa kompensasi, tugas berat jaga rahasia orang---"

Dia langsung membekap mulut saat Andreas kembali memukul kepalanya menggunakan gulungan buku tulis. Namun begitu, suara desisan memperingatkan seketika terdengar dari beberapa teman yang merasa terganggu.

Hari-hari dilalui para siswa-siswi SMK Harapan Mulia dengan belajar dan melayani---melayani anak-anak berkebutuhan khusus. Pagi sampai siang sekitar pukul dua, mereka sekolah. Setelah itu, istirahat sebentar lalu pukul empat sore harus pergi ke wisma anak-anak untuk menjalankan piket, hingga pukul enam.

Hari Sabtu, minggu pertama di bulan kedua setelah rutinitas sekolah dimulai, Yudith, Suster Vero, Andreas, Fitus, Ratna, yang tergabung dalam satu kelompok, mendapat tugas untuk membantu para perawat Wisma Hidrosefalus. Mereka melayani anak-anak berkebutuhan khusus berkepala besar yang hanya bisa berbaring saja.

Sementara Ratna yang selalu kepengin berdekatan dengan Andreas terlihat masygul karena bertugas di ruangan berbeda, Yudith yang tidak pernah menunjukkan ketertarikan pada pemuda tampan itu malah sedang duduk di atas matras berhadapan dengannya.

Gadis manis itu menjadikan diri sebagai sandaran untuk salah satu anak berkepala besar. Kali ini dia tidak mengenakan seragam sekolah, tetapi seragam praktik berupa blus dan celana putih dilengkapi dengan kain kerudung putih mirip milik suster biarawati. Andreas pun mengenakan seragam yang sama. Remaja putra ini duduk di hadapan Yudith sambil memegangi tabel alphabet dan angka.

"Cahaya, ayo, coba tunjuk yang mana huruf M?" Andreas meraih tangan lemas anak itu, mencoba merasakan pergerakan yang sangat halus pada jari yang hendak menunjuk ke arah huruf M berada lalu membimbing untuk menyentuhnya.

Meski kondisi fisik tidak lebih baik dari yang lain, tetapi Cahaya menjadi satu-satunya anak dalam ruangan khusus penderita hidrosefalus yang masih bisa diajak berinteraksi.

"Cahaya memang pinter," puji Yudith, sukses membuat bibir bocah yang hampir tidak bisa menggerakkan kepala itu tersenyum lebar. Kelopak mata berbulu lentik berkedip cepat, mendorong cairan bening keluar dari sudut-sudut mata. Yudith segera mengelap menggunakan sapu tangan yang sedari tadi ada di sampingnya.

"Iya, donk, Bu Yudith. Siapa dulu gurunya?" Andreas mengerling Yudith sambil menaik-turunkan alis.

Sementara Cahaya tergelak-gelak dan Andreas terus melakukan banyak hal konyol pada wajah---tadinya dimaksudkan untuk menjahili Yudith pada akhirnya beralih untuk membuat Cahaya senang---Yudith hanya menatap datar.

"Cahaya, ayo, makan bubur dulu." Suster Vero masuk membawa mangkuk, Andreas seketika menghentikan aksinya. "Kamu ini, suka sekali godain Yudith." Suster Vero yang sudah sempat melihat kekonyolan Andreas, menegurnya.

"Cuma ingin ngajak ngobrol, Suster. Biar enggak sepi. Bosen, ngantok. Lagian aku godain Cahaya, lho, Sus. Bukan Yudith."

"Ish, kamu ini. Minggir!" Suster Vero menyepak Andreas, yang bersangkutan kembali bertingkah konyol dengan berpura-pura jatuh terguling.

Keakraban seperti ini sudah lazim terjadi. Tidak ada kecanggungan ataupun jarak meski status mereka adalah orang awam dan calon biarawati.

Yudith hanya diam, tidak mengacuhkan Andreas. Akhirnya, remaja putra itu beranjak dan pindah duduk di sofa panjang dekat pintu masuk. Lalu meraih buku milik Yudith yang sedari tadi ada di atas sofa. Misteri Cahaya di Puncak Menara, begitulah tertulis di sampul buku.

"Wah! Novel detektif. Punyamu ya, Dith? Aku pinjam, ya?"

"Enggak boleh," jawab Yudith singkat dan lugas.

Mengajak Yudith mengobrol itu sama saja seperti orang berjalan menyusuri gang buntu. Menabrak pembatas dan ... sudah. Diam di tempat atau balik arah.

Dengan orang yang tidak akrab, Yudith hanya akan memberi jawaban yang dibutuhkan, tanpa ada ekstra penjelasan ataupun sekadar basa-basi. Sejauh ini teman akrab Yudith hanya Suster Vero dan Ririsma.

"Andreas!" Seorang siswi berambut panjang dikucir ekor kuda muncul di pintu.

"Ada apa, Nur?"

"Tolong gantikan aku sebentar ... mau solat dulu."

"Oke, siap." Andreas bergegas bangkit dari sofa lalu ngeloyor pergi setelah berpamitan pada Yudith dan Suster Vero.

Meskipun yayasan ini merupakan yayasan Katolik, tetapi yang bersekolah maupun yang bekerja di situ beragam dan tidak ada larangan beribadah sesuai kepercayaan masing-masing.

Setelah beraktivitas, kisaran pukul satu siang, Yudith, Suster Vero, Andreas, dan Ratna, menikmati waktu istirahat dengan makan siang di kantin. Sebenarnya mereka mendapat jatah makan dari asrama, tetapi khusus hari ini ingin jajan.

Mereka duduk di bangku yang melingkari meja batu pualam bulat, di bawah pohon rindang bagian depan kompleks. Tepat di depan bangunan kantin yang saat ini lagi ramai pembeli.

Selagi yang lain lahap menikmati nasi pecel, Yudith malah asyik menulis. Makanannya diabaikan begitu saja.

"Makan dulu, Dith," Suster Vero menegur.

"Aku catat dulu hasil observasi Cahaya. Takut lupa. Oh, iya, Ver ... tadi Cahaya minum obat jam setengah dua belas, kan?"

"Iya. Kan aku yang kasih." Andreas yang menjawab. "Oh iya , kamu asal dari mana, Dith?" Andreas menatap Yudith intens meski yang ditatap tidak memberi respons.

"Saradan." Yudith tetap menunduk, fokus menulis.

"Lah, itu wilayah Madiun, kan? Aku dari Madiun kota, dekat alun-alun."

"Enggak pernah ke sana."

Benar-benar seperti menabrak pembatas tak kasatmata. Andreas pun langsung bungkam. Suster Vero terkekeh saat melihat Andreas menjatuhkan bahu dan memasang wajah bosan.

"Kamu sok banget, sih! Diajak ngomong baik-baik jawabnya gitu!" Rasa iri membuat Ratna jadi kesal.

Dia sudah berusaha setengah mati menarik perhatian Andreas, tetapi hasilnya nihil. Eh! Si wajah standard ini diperhatikan malah sok jual mahal. Siapa yang tidak kesal, coba?

"Kenapa kamu yang sewot?" Suster Vero berujar ketus.

"Suster, makan, Sus. Tuh dilarerin."

Andreas membanyol untuk menghentikan Ratna yang sudah hendak membalas. Mata gadis itu mendelik tajam. Dan satu-satunya yang tidak terpengaruh oleh situasi itu hanya Yudith.

[Bersambung]

Terpopuler

Comments

⍣⃝ꉣꉣAndini Andana

⍣⃝ꉣꉣAndini Andana

loh..Ratna, kamu bakalan lebih kesal lagi kalau Yudith membalas perhatian Andreas xixixi.. 😂😂😂

2023-09-12

1

YuBe

YuBe

Manisnya 🤣🤣🤣🥰🥰🥰🥰🥰🥰

2023-08-03

1

Ai Emy Ningrum

Ai Emy Ningrum

🌹🌹🌹🌹🌹

2023-08-03

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!