Valentina - The Red Empress.
Valentina Cecilia Maximus, seorang permaisuri yang sudah memimpin kekaisaran Balkia selama 1200 tahun lamanya, saat ini duduk di atas tahtanya dengan beberapa subjeknya melaporkan pekerjaan mereka. Sementara yang berdiri di sampingnya adalah Emmanuel, perdana menteri yang telah menjabat selama 40 tahun.
"Baginda, kota benteng Zephirus saat ini membutuhkan pasukan dan Maestro tambahan. Mereka saat ini sangat kesulitan dalam menahan pasukan kematian." Julius, seorang Maestro taraf 10 dan juga seorang Jenderal tertinggi legiun. Ia sudah sangat tua, namun berkat dirinya yang seorang Maestro, dirinya yang berumur 340 tahun, ia jadi terlihat seperti pria paruh baya pada umumnya.
"Haa, memangnya sudah berapa banyak Maestro yang kita kirim ke sana? Sementara kita butuh berdekade-dekade untuk memproduksi seorang Maestro setidaknya sampai taraf 4," balas sang Red Empress dengan tatapan malasnya.
Julius terlihat menunduk tak mampu mengatakan apa-apa. Ia sadar bahwa sang permaisuri berkata benar. Ia sadar bahwa kekaisaran tidak bisa melakukannya sendirian.
"Baiklah, aku akan mengirim seorang Maestro saja kali ini. Aku akan mengirim Metikulus dan pasukannya kesana, dan buat mereka menetap di Zephirus. Kalian bisa hubungi dan kirim dia dengan teleportasi secepatnya," ucap Valentina dengan nada penuh otoritasnya.
"Ba-baginda … kita bisa mengirim 2 atau 3 maestro di taraf bawah jika perlu, asalkan …." Julius menginterupsi. "Metikulus adalah seorang …, anda tahu sendiri, Baginda."
"Tidak terlalu penting. Yang terpenting dia adalah seorang maestro taraf 9. Dia pasti akan dengan mudah menahan pasukan kematian."
"Dia seorang yang memiliki mental …."
"Julius! Apakah kamu tidak menurut dengan saya?!"
"Saya mematuhi anda, Baginda." Julius menunduk dalam-dalam.
"Berikutnya!" Ucap Valentina.
Seorang pria gendut dengan kepala botak berjalan mendekati tahta, dan berdiri di depannya. Dia adalah Denorus, sang master koin (menteri keuangan). "Baginda, saya ingin melaporkan …."
"Denorus, aku sudah terlalu tua untuk mencerna angka-angka. Kamu bisa diskusikan itu ke Emmanuel nanti."
"Baik, Baginda."
Valentina bangkit dari tahtanya. "Emmanuel, jangan lupa untuk simpulkan hasil keuangan tahunan setelah kalian mendiskusikannya."
"Baik, Baginda," ucap Emmanuel, menunduk patuh.
"Kalau sudah tidak—"
Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari ujung aula tahta.
"Baginda! Tunggu!" Seorang pria berjubah biru gelap dari pihak menara penyihir berlari sambil membawa buku besar.
"Baginda dengarkan kami!" Seorang Pria lain berjubah putih dari pihak kuil naga putih ikut berlari di sebelahnya.
"Tsk, kau … sedang apa kau disini!?"
"Jangan menghalangiku!"
Valentina mengulurkan tangan kanannya, sesaat melihat keduanya berlari dengan begitu lambat di dalam aula yang begitu panjang dan luas. Ia menggunakan kekuatannya sihir nya yang berupa rantai ungu untuk menarik keduanya mendekat.
"Huwaaaa!" Keduanya berteriak hampir bersamaan.
"Ada apa kalian buru-buru? Dan tumben sekali kalian datang secara bersamaan."
Sang penyihir menara pun langsung mengeluarkan kristal komunikasinya. "Huff huff huff, lebih baik jika anda melihat sendiri, Baginda."
"Hei!" Sang pendeta berusaha merebut kristal komunikasi yang ada di tangan sang penyihir, namun gagal.
"Pendeta! Bisakah anda diam dulu?" Ucap Julius yang berdiri di sisi aula. "Nyalakan, Ferdinand." Lanjut Julius, menatap sang penyihir, Ferdinand.
Valentina pun kembali duduk di tahtanya, dan kristal pun mulai menyala dan menampilkan layar dua dimensi di atas kristal tersebut. Dari sana, sebuah video siaran langsung pun muncul.
Terlihat dari dalam layar, terdapat belasan penyihir yang berada di tengah padang rumput sedang berlutut. Sementara tepat di belakang mereka adalah sebuah lubang kawah yang sangat luas dan dalam.
"Berdirilah!" Perintah Valentina.
Para penyihir pun berdiri dan mulai berbicara menjelaskan.
*******.
Setelah mendengar penjelasan, Valentina pun langsung berdiri dan langsung memerintahkan para penyihir yang ada di istana dan di tempat kejadian untuk segera membuka lingkaran sihir teleportasi.
Sesampainya di lubang kawah, Valentina hanya berdiri dengan takjub melihat betapa besarnya kawah itu. Sedangkan di lain sisi, ia juga bisa merasakan residu divinity yang terpusat di tengah-tengah kawah agar bisa berlatih untuk menembus ranah.
Ferdinand yang berdiri di sebelahnya pun mulai menggaruk kepalanya. "Aku tidak pernah menyangka, bahwa seorang dewa akan meninggalkan residu divinity-nya disini. Jika bukan karena artefak yang kita miliki dan diri anda yang seorang transendental, mungkin tidak ada yang bisa mengkonfirmasi ini."
"Untuk seorang Dewa turun ke dunia … apa yang sebenarnya dia lakukan di sini?" Ucap Valentina bertanya-tanya, kemudian menoleh ke arah Ferdinand. "Apakah artefak kita bisa membaca milik siapa divinity ini?"
"Sayangnya tidak, Baginda. Karena residu yang ditinggalkan sangatlah tipis."
Sang pendeta kuil Naga putih, Teoryn, yang belum sempat memberitahukan apa yang ingin disampaikan juga ikut pergi ke kawah bersama dengan Valentina dan juga Ferdinand. Ia kini hanya bisa berdiri di belakang keduanya sambil gemetar dengan tatapan ketakutan.
"Ia telah mati," ucap Teoryn.
Valentina dan Ferdinand yang mendengar itu pun langsung menoleh hampir bersamaan.
"Pendeta, apa yang kau katakan? Siapa yang mati?" Tanya Ferdinand menatap serius.
"Dewa … dewa kami," jawab Ferdinand dengan tatapannya yang kosong. "Dan dia … tidak hidup kembali. Dia telah lenyap." Kuil Naga putih dikenal sebagai kuil yang menjunjung tinggi kebenaran, bahkan jika kebenaran itu pahit sekalipun mereka dituntut harus tetap mengatakannya.
"Ba-bagaimana bisa?" Valentina sama terkejutnya. "Bagaimana bisa seorang Dewa mati dan tidak hidup lagi?"
Toeryn menatap kosong sambil mulai berbicara dengan mulut yang bergerak sedikit. "Semua pendeta tingkat tinggi sepertiku, bisa merasakan keberadaan dewa-dewa besar kami. Kami bahkan bisa tahu jumlah mereka secara pasti. Namun sekarang, kami kehilangan satu dari dewa kami. Dan kini, aku tidak bisa merasakannya."
"Apakah alasan kamu ke istana tadi karena ingin memberitahu atas kejadian ini?" Tanya Valentina.
"Benar, Baginda," jawab Teoryn mengangguk. "Tetapi saat itu, aku masih ragu karena aku masih bisa merasakannya samar-samar, seakan Dia sedang sekarat. Namun semakin kesini, rasa samar-samar itu menjadi rasa yang hilang."
"Gawat, apakah perang antar Pantheon akan terjadi lagi di era ini?" Gumam Valentina menunduk sambil menggigit jempolnya. Kemudian, ia menatap ke arah Teoryn yang masih terlihat seperti kehilangan motivasi. "Apakah kamu tahu siapa yang membunuh-Nya?"
"Itulah masalahnya, kami tidak bisa merasakan residu divinity lain," potong Ferdinand. "Setiap divinity dari setiap Dewa memiliki ciri dan khasnya sendiri-sendiri, oleh karena itu, para pendeta dan artefak bisa membedakannya. Namun masalahnya, kini …." Ia enggan melanjutkan.
"Sang pembunuh tidak meninggalkan apapun," lanjut Valentina. "Dewa Aelteroth, dari pantheon kegelapan adalah seorang Dewa assassin. Ia mungkin memiliki kemampuan untuk menyamarkan diri."
"Haa, ini sungguh menyeramkan jika dipikir-pikir," ucap Ferdinand menepuk jidatnya. "Padahal kami ingin memberikan residu divinity ini kepada anda, Baginda. Tapi kita malah menemukan fakta yang sangat menakutkan."
"Naik menjadi Dewi kecil masih bisa diundur dan dilakukan kapan saja, karena umurku masih sangatlah panjang. Sementara hal terpenting sekarang adalah kita harus mempersiapkan diri kita sebagai makhluk fana jika perang besar benar-benar terjadi."
"Kalau begitu, apakah tempat ini boleh kami jadikan tempat bertapa, Baginda?" Tanya Ferdinand dengan senyum penasarannya.
"Haa, lakukan sesuka kalian," ucap Valentina, berbalik badan sambil mengibaskan jubah merahnya. "Oi! Siapkan lingkaran teleportasinya! Cepat!"
"Siap, Baginda!"
Sementara itu, Teoryn berjalan mendekat dan berdiri tepat di samping Ferdinand yang masih menatap takjub kawah. "Ferdinand, kalian harus cepat-cepat mengklaim wilayah ini, jika tidak mau kongregasi kami datang dan merebutnya."
"Heh," Ferdinand hanya membalasnya dengan tersenyum miring.
********.
Bersambung ….
Lore sisipan.
Untuk membuka lingkaran teleportasi, setidaknya membutuhkan 5 penyihir yang belum mencapai ranah maestro di dua titik teleportasi untuk merapalkan mantra sambil memegang kristal sihir.
Kebenaran di atas segalanya, dan Valentina menyukai itu. Oleh karena itu, sejak 1200 tahun yang lalu, dia menetapkan Pantheon Naga putih sebagai ajaran utama (bukan satu-satunya) di kekaisarannya, dan mewajibkan bagi para paus nya untuk menjadi hakim di setiap kota besar.
Pantheon Naga Putih memiliki 5 Dewa dan Dewi. Egni adalah sang pemimpi nya, dan juga adalah Alföðr dan juga Almóðir mereka (secara harfiah). Dia melahirkan dua pasang dewa dewi dengan dengan kemampuan polymorph dan partenogenesis nya. Kemudian dari dua pasang itu, lahirlah ratusan dewa-dewi kecil yang juga tinggal di dalam dimensinya.
Kuil Naga putih memiliki dua keyakinan cabang. Yakni, mereka yang meyakini Egni adalah seorang Dewa, dan mereka yang meyakini Egni adalah seorang Dewi.
Ada dua Pantheon jahat di dunia ini. Yakni pantheon kegelapan yang menduduki kutub utara, dan pantheon kematian yang menduduki kutub selatan. Zephirus ada di selatan semenanjung yang menghubungkan benua Yuria dan kutub selatan.
Seorang Transendental taraf 10 bisa hidup sampai 10 ribu tahun lamanya. Namun sepanjang sejarah tidak ada yang mencapai umur segitu. Mereka semua mati saat berusaha menembus ranah Dewa/Dewi kecil.
Dunia ini memakai penanggalan Dewa lama (old gods). Yakni menggunakan Age (Era) yang mewakili 1000 tahun. Pantheon Dewa lama setiap 1000 tahun sekali akan mengumumkan melalui utusan mereka tentang nama untuk Era selanjutnya. Dan di masa ini bernama Era Kuda, tahun 986.
********.
kunjungi Twitter (X) Author di @alfrf_ untuk melihat ilustrasi dan bonus ilustrasi lebih banyak lagi!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Haru
mantap ey
2024-02-16
0
lance lor
lanjut thur
2023-10-20
2