"Tidak mungkin! Kamu pasti bohong dengan cerita yang baru saja kamu sampaikan, Amira!" Rere berucap dengan nada tinggi sambil menoel bahu Amira.
Kesempatan itu tidak akan Amira buang sia-sia. Karena tangan Rere yang menyentuh tubuhnya, dia pun langsung menjatuhkan diri ke lantai dengan keras. Tidak hanya itu, Amira tidak segan untuk membentur kepalanya sendiri ke daun pintu yang saat ini berada tak jauh darinya.
Tentu saja apa yang menimpa Amira membuat heboh Rohan dan papanya. Haris selaku orang tua, tapi tidak bisa membedakan mana yang salah dan mana yang benar, langsung memanggil Rere dengan nada tinggi.
"Rere! Apa yang kamu lakukan! Jangan bertingkah kelewatan, Rere!"
Belum sempat Rere menjawab apa yang papanya katakan, Rohan yang saat ini sedang berada di sisi Amira langsung angkat bicara. Dengan tatapan tajam seolah ingin menerkam mansa yang ada di depannya tentunya.
"Kamu keterlaluan, Rere. Kenapa kamu selalu saja menumpahkan rasa kesal yang kamu rasakan pada orang lain. Benar-benar manusia yang tidak memiliki hati kamu ini."
"Apa! Aku kamu katakan tidak punya hati, Mas Rohan? Jadi kalau gitu, kamu yang tidak berada di pihak ku meski statusmu adalah suamiku itu harus di sebut apa, hah!"
Kali ini, Rere tidak merasa sedih sedikitpun dengan pembelaan yang Rohan berikan untuk Amira. Malahan, dia merasa punya energi yang besar untuk terus memukul balik setiap kata yang akan Rohan ucapkan.
Entah karena terlalu sakit hati, atau juga karena perasaan cintanya untuk Rohan sudah mati. Yang jelas, dia tidak lagi merasakan sakit seperti sebelumnya sekarang.
Amira langsung mengukir senyum dalam hati. Untuk kali ini, dia tidak akan takut lagi buat bersandiwara layaknya orang yang sangat terluka. Karena sekarang, orang yang ia segani sudah tidak ada lagi. Bahkan saat ini, dia juga punya dua pendukung yang sedang menyokong dirinya dari belakang. Kedua penyokong ini tentu akan selalu berada di pihaknya. Tidak akan membiarkan dia tersiksa sendirian.
"Apa yang Rere katakan itu sangat benar, Mas Rohan. Kamu tidak boleh membela aku. Kamu harus membela Rere. Karena dia adalah istrimu, mas."
"Oh, makna dari ucapan mu barusan itu aku mengerti, Amira. Sangat-sangat mengerti. Kamu ingin membuat mas Rohan semakin tidak suka padaku karena aku ini perempuan yang egois. Yang selalu membenarkan apapun yang aku lakukan. Begitu, bukan?"
"Aku tidak bicara seperti itu, Rere. Kamu salah sangka, Re." Amira lagi-lagi bersandiwara dengan berucap menggunakan nada sedih. Ia ingin terlihat seolah-olah sangat amat terluka akan apa yang Rere katakan.
"Aku salah sangka? Tidak mungkin, Amira. Karena aku sudah tahu siapa kamu. Perempuan ular bermuka dua."
"Rere!" Rohan dan papa Rere berucap serentak. Kompak mereka memberikan bentakan pada Rere karena kata-kata yang baru saja ia ucapkan pada Amira.
"Kenapa kalian berisik di sini? Ini kamar pasien. Kalian tidak boleh berisik di sini karena itu sangat mengganggu pasien yang ada di kamar ini. Maupun pasien yang ada di kamar lain yang berada di sekitar kamar ini."
Teguran itu datang dari seorang suster. Entah sejak kapan suster itu datang, mereka semua tidak menyadarinya. Tau-tau, si suster sudah ada saja di depan pintu, lalu langsung menegur mereka karena keributan yang mereka perbuat.
"Ah! Suster. Maafkan kami." Rere berucap dengan wajah bersalah.
"Sebaiknya kalian meninggalkan kamar rawat ini sebagian. Karena pasien yang ada di kamar ini butuh ketenangan. Jadi, hanya dua orang saja yang bisa tinggal di sini. Sedangkan yang lainnya, sebaiknya keluar sekarang."
Mendengar apa yang si suster katakan. Rohan langsung mengajak Amira pergi dari kamar tersebut.
"Ayo, Mira! Kita pergi sekarang juga. Aku akan bawa kamu pergi untuk ke dokter agar kepalamu yang terbentur barusan bisa diperiksa. Takutnya ada luka dalam yang mungkin bisa membuat kamu merasa sakit."
Ucapan dengan nada lembut itu sedikit menggoyahkan hati Rere. Tapi sebisa mungkin, Rere berusaha keras untuk tidak merasa sedih dan terluka akan apa yang Rohan perlihatkan di depan matanya.
"Yah. Pergi periksakan dia sekarang juga! Takutnya, kepala yang ia benturkan membuat dia gegar otak. Terus, bisa jadi gila. Kan kasihan." Rere bicara dengan nada penuh dengan ejekan.
Hal itu membuat Rohan sangat kesal. Tapi sayangnya, ia tidak bisa membalas kekesalan yang ia rasakan dengan ucapan. Hanya tatapan tajam saja yang bisa Rohan perlihatkan sebagai ganti dari ungkapan yang tidak bisa ia keluarkan.
"Jangan dengarkan apa yang dia katakan, Amira. Abaikan saja omongan yang tidak penting seperti yang kamu dengar barusan. Anggap saja itu angin lalu yang hanya berhembus sesaat, lalu menghilang. Ayo pergi sekarang juga!"
Melihat Rere yang seperti acuh tak acuh dengan apa yang Rohan lakukan padanya, Amira pun memberikan tatapan bingung ke arah Rohan yang saat ini sedang memegang tubuhnya. Ajakan Rohan untuk pergi masih belum bisa Amira lakukan. Karena rasa bingung itu sangat kuat sampai memenuhi seluruh hatinya.
"Mas Rohan. Apa yang sedang terjadi sekarang? Kenapa kamu malah membela aku."
"Nanti akan aku jelaskan. Tapi yang paling penting sekarang adalah, kita pergi dari ruangan ini dulu. Ayo!"
Amira pun langsung mendengarkan apa yang Rohan katakan. Tapi sebelum ia benar-benar beranjak pergi, dia sempat melihat ke arah Rere yang saat ini masih melihat ke arah dirinya dan juga Rohan.
Amira langsung menyunggingkan bibir untuk mengukir senyum tipis. Senyum yang penuh dengan penghinaan, juga senyum yang berisikan cemoohan karena saat ini, dirinya sudah berhasil mendapatkan apa yang ia inginkan.
Rere yang melihat itu hanya diam saja. Dia tidak ingin memasukkan ke dalam hati apa yang baru saja ia lihat. Karena baginya, kemenangan yang Amira dapatkan bukanlah hal yang perlu ia sesali lagi sekarang.
Satu setengah tahun sudah cukup baginya untuk berjuang agar mendapatkan cinta dari sang suami. Semua pun sudah ia lakukan. Cara sabar, cara manja, lemah lembut, dan ... semuanya. Semua yang bisa ia lakukan, sudah dia lakukan. Tapi sayangnya, tidak satupun cara yang ia lakukan berhasil ternyata.
Saat ia pikir bahwa dirinya sudah berhasil mendapatkan cinta, tapi kenyataan yang dia dapatkan malah sebaliknya. Saat itu, rasa cinta itu langsung musnah meskipun secara perlahan dan masih belum sepenuhnya Rere sadari.
"Non Rere, bibi keluar sekarang ya. Karena tadi, suster bilang hanya dua orang saja yang boleh menunggu di kamar rawat nyonya Lastri. Jadi, bibi harus keluar sekarang."
Ucapan bi Sari menyadarkan Rere dari apa yang baru saja ia pikirkan. Dia pun bergegas menghalangi niat bi Sari yang ingin meninggalkan dirinya bersama si papa di kamar buat menjaga sang mama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
novi 99
ceraikan dong si Rohan ....
lelet si Rere , makan tu sakit hati terus .
2023-10-14
2
Jumaeda
gemes deh sama Amira gatel
2023-10-01
0
YuWie
sekalian papamu..dibuka matanya Re
2023-09-11
2