"Baiklah kalau gitu, mama pergi sekarang. Kamu bisa istirahat sekarang juga."
"Iy-- iya, Ma. Maaf yah. Gak bisa ajak mama ngobrol lama-lama."
"Gak papa."
Setelah kepergian mama Rere, Amira pun langsung bisa bernapas lega. Tak lupa, dia mengelus dadanya dengan satu tangan menandakan, kalau ia benar-benar merasa lega.
'Hufh! Untung dia gak mendengarkan apa yang aku dan mas Rohan bicarakan tadi. Yah, meskipun ucapannya sedikit mengecewakan buat aku. Tapi gak papa deh. Yang penting dia gak tahu tentang apa yang aku bicarakan sebelumnya.'
'Eh ... tapi tunggu! Sepertinya, mama juga belum tahu masalah Rere yang kembali bekerja di kantor. Kalau seperti ini, masih sedikit aman.'
Amira langsung bangun dari duduknya.
"Bagaimana caranya agar aku bisa membuat mama sedikit berada di pihak aku ya? Aku tidak bisa terus berada di dalam ketakutan seperti ini. Kunci utama itu mama sebenarnya, bukan Rere."
Amira pun terus munda-mandir tak karuan di dalam kamar tersebut. Sebisa mungkin, dia berusaha memikirkan cara agar bisa mengambil hati mama tirinya. Hal yang selama ini selalu ia lakukan, tapi tetap saja, usahanya tidak berjalan dengan hasil yang memuaskan.
Karena kasih sayang mama untuk anak kandung lebih besar dari pada untuk akan asuh. Apalagi anak asuh itu adalah anak tirinya. Anak sang suami dengan selingkuhan yang sudah pasti sangat ia benci walau anak itu tidak punya salah sedikitpun.
Di sisi lain, sang mama sedang melihat foto anaknya yang ada di dalam kamar tidur sang anak. Kamar tidur Rere masih sama seperti dulu, meskipun Rere tidak ada di rumah ini lagi.
"Re, mama merasakan perasaan yang sangat tidak nyaman sekarang. Ada apa dengan kamu, nak? Apa saat ini, kamu sedang merasa susah hati, Rere?"
Mama Rere bicara sambil membelai lembut foto anaknya. Saat itu pula, papa Rere datang ke kamar tersebut karena mendengar seseorang bergumam di dalam kamar yang tidak ada penghuninya.
"Kamu di sini ternyata, Ma. Sedang apa sih?"
"Papa." Mama Rere menoleh sesaat. Setelah ia, ia kembali fokus pada bingkai foto Rere yang masih ada di tangannya. "Mama kangen Rere aja, pa. Makanya mana ke sini."
"Ya ampun, Mah. Ini jaman, bukan jaman purba lho, mama. Kan ada ponsel. Ambil ponsel, terus hubungi anak. Kan gampang. Bisa tuh, lihat wajah anak sepuasnya. Ngobrol sama anak sampai mulut berbusa. Dan lain-lain lah. Yang jelas, rasa kangen mama sama Rere akan hilang dengan cara itu, Ma."
"Papa ngomong apa sih? Nggak akan hilang hanya karena ngobrol lewat udara. Karena ngobrol gak bisa pelukan, bukan? Lagian, mama juga gak bisa lihat secara langsung. Mana bisa hilang rindu mama."
"Ya setidaknya, itu masih bisa mengobati rasa rindu mama. Lagian, anak juga nggak jauh-jauh amat, ma. Tinggal pergi dengan mobil kurang dari satu jam aja udah bisa ketemu. Nggak perlu menghabiskan waktu berhari-hari buat bisa ketemu, bukan?"
"Dan lagi, Rere juga kemarin baru datang ke sini, kan mah? Kenapa mama bisa bersikap seperti ini sekarang?"
"Mama punya firasat gak enak saat ini. Ditambah, tadi mama ke kamar Amira. Mama gak sengaja dengar omongan Amira entah dengan siapa. Tapi mama mendengar dengan sangat jelas kalau Amira menyebut nama Rohan."
Wajah papa Rere pun langsung memancarkan keseriusan. "Kenapa dengan Rohan, Ma?"
"Mama tidak tahu pasti, pa. Tapi hati mama sangat tidak nyaman ketika mendengar Amira menyebut nama Rohan."
"Mama yang terlalu berpikir buruk tentang Amira. Jangan ingat masa lalu Amira, Mah. Karena dia tidak tahu apa-apa. Jadi tolong, jangan berprasangka buruk yang berlebihan pada Amira ya, Mah."
Suara papa Rere terdengar agak berat. Entah karena kesal, atau mungkin karena merasa bersalah pada anaknya. Yang pasti, dia sepertinya tidak terima jika Amira di tuduh sama seperti sang ibunda yang sudah melahirkannya ke dunia.
Sontak saja, ucapan yang lebih tepat disebut dengan pembelaan itu langsung membuat mama Rere kesal. Dengan tatapan tajam, mama Rere melihat ke arah suaminya.
"Ada pepatah yang mengatakan kalau buah itu jatuh tak akan jauh dari pohonnya, pa. Jadi, jika memang hal itu terjadi, maka papa dan anak papa itu, siap-siap saja menerima akibatnya."
Ngeri juga papa Rere mendengarkan apa yang baru saja istrinya katakan. Tapi, dalam hati ia masih berpikir jika sang anak tidak akan pernah melakukan hal yang sama dengan apa yang sudah bundanya lakukan. Karena itu, sebisa mungkin, pembelaan masih saja ia lakukan.
"Kalaupun hal buruk terjadi, Ma. Maka jangan salahkan Amira seorang diri saja. Karena Amira tidak akan bergerak jika hanya dia sendiri yang melangkah."
"Maksud papa!? Salahkan prianya juga yang kegatelan, begitu? Sama seperti dirimu yang tidak pernah merasa cukup dengan aku waktu itu, Pa Hah!"
Wajah papa Rere benar-benar memerah karena pukulan kata-kata yang sangat tepat mengenai hidungnya barusan. Niat hanya untuk membela sang putri, tapi malah kena ungkit masa lalu oleh sang istri.
"Itu ... kan mama sudah memaafkan papa, ma. Mama juga sudah berjanji untuk tidak akan pernah mengungkit masa lalu selamanya. Sampai kita berdua menutup mata. Itu janji mama sama papa sebelumnya, bukan?"
"Ya. Itu memang janjiku padamu, Pah. Tapi jika anak kamu bikin ulah, maka aku tidak bisa menahan diri untuk tetap memegang janji. Lagipula, Rere juga anak kandung kamu. Dia juga berhak menerima pembelaan dari kamu, Pa. Ingat itu!"
Mama Rere berucap dengan nada yang sedikit melengking, tanda ia sangat kesal. Tatapan tajam tak lupa ia perlihatkan pada sang suami. Agar suaminya tahu, kalau apa yang ia katakan itu tidak main-main.
"Papa bisa pergi dari kamar Rere sekarang juga, Pa. Untuk malam ini, aku akan tidur di sini." Mama Rere berucap sambil memalingkan wajahnya dari sang suami.
"Lho, kok gitu sih, Ma. Kamar Rere udah lama gak di huni. Jadi .... "
"Tapi kamarnya di bersihkan setiap hari, bukan? Jadi, pergi sekarang! Jangan buat alasan yang pada akhirnya semakin membuat hatiku merasa kesal."
Tak ingin semakin menciptakan suasana buruk bagi hubungan suami istri mereka berdua. Papa Rere mengalah dengan apa yang istrinya katakan. Dia pun mengikuti apa yang sang istri inginkan. Meninggalkan kamar itu dengan langkah berat.
'Maafkan aku. Semua ini memang salahku, Ma. Tapi Amira tidak bersalah. Dia juga berhak hidup bahagia layaknya orang lain. Sementara untuk Rere, dia selalu bahagia dengan kasih sayang yang melimpah dari kamu. Karena itu, dia mungkin tidak membutuhkan perhatian khusus dari aku sebagai papanya.'
...
Malam dingin akhirnya berlalu. Pagi yang hangat kembali menyapa. Tapi sayangnya, kehangatan pagi tidak bisa Rere rasakan. Karena hubungan antara dirinya dengan sang suami hancur berantakan akibat cinta yang hanya datang dari sebelah pihak saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Ririn Nursisminingsih
ayo re jg lemah tunjukan kamu kuat,tidak mudah ditindas
2024-07-19
0
Sulati Cus
cb ae lah km yg ngasuh anak selingkuhan misuamu baru komen😂otor sumpeh novelmu bikin ak emosi
2024-03-22
2
Tiana
kenapa gk ngomong langsung aja sih rere? gemesss bet dehh
2023-10-08
1