Bulan mencuci tangan di westafel. Sudah pukul 6 dan pekerjaannya telah selesai. Bulan memandangi dirinya di dalam cermin, lalu menghela napas. Malam ini dia akan makan dengan Biru, dan Bulan sangat gugup.
Jika dipikir-pikir, hubungan ia dan Biru itu hubungan apa? Apa yang mau dibangun Biru? Persaudaraan, kah? Tapi Biru sudah menciumnya dan mengungkapkan perasaan. Lalu, pacaran?
Lagi, gadis itu menghela napas perlahan. Entahlah. Dia tidak tahu. Belakangan ini dia juga tidak merasa risih dengan pria itu. Malah ada terselip rasa senang saat Biru kedapatan diam-diam menatapnya.
Bulan meraih tasnya dan berjalan keluar. Pikirannya mulai sibuk memikirkan baju apa yang ia akan pakai untuk dinner bareng Biru. Apa ia harus berdandan, atau bagaimana? Kemana Biru akan mengajaknya, ya?
Di tengah itu, Bulan menghentikan langkahnya. Biru duduk di salah satu meja pelanggan. Sedang apa dia, apa menungguku? Batin Bulan.
Dalam kebingungan harus disamperin atau tidak, Biru malah menoleh ke arahnya. Dia lantas tersenyum sambil mengangkat tangannya pada Bulan, menyuruh gadis itu mendekat.
'Jangan bilang makan disini ya, kak. Aku udah mikir nih, mau pake dress yang mana buat makan malam ini.'
"Udah selesai kerjanya?"
Mata Bulan menyipit, "Kok, kak Biru tau aku kerja disini?"
Kebingungan Bulan membuat Biru buru-buru mencari jawaban. "Eee... jadi gini, kemarin itu, saya ga sengaja liat kamu masuk sini. Jadi saya pikir, kamu pasti kerja disini. Begitu."
"Oh.." Bulan mengangguk-angguk. Dan Biru lega karena Bulan tidak curiga.
"Saya tadi ngubungin kamu, tapi ga bisa. Kamu ga blokir saya, kan?"
"Hp saya rusak, kak. Tadinya mau dibenerin, tapi kayanya ga sempet. Besok aja, deh."
Kini biru yang manggut-manggut, "Kalau gitu, kita pergi sekarang?"
"Oke."
Biru bangkit dan berjalan dibelakang Bulan. Dia menoleh ke belakang, memberi tatapan dingin yang membuat Nakula mengangkat jempolnya, mencoba memaknai itu sebagai rasa terima kasih. Yah, anggap saja begitu.
~
Agak aneh, sebenarnya. Bulan tidak paham apa Biru hanya sekedar mengajaknya makan malam biasa, atau ada makna lain didalamnya. Tapi jika dilihat dari kondisinya, nampaknya Biru hanya sekedar mengajak makan bersama. Pasalnya lelaki itu juga hanya pakai kaos hitam seperti biasa.
"I-ini mau kemana, kak?" Tanya Bulan. Kenapa ga pulang dulu, ya. Dia mau ganti baju dan berdandan. Apa jangan-jangan ini bukan makan malam yang dibayangkan Bulan?
Mobil Biru berhenti di pinggir jalan. Lalu ia membuka seatbelt. "Yuk."
Bulan melongok keluar jendela mobil. Tidak ada tempat makan disana. Mau dinner dimana?
"Saya mau bawa kamu ke hidden gem. Di dalam gang itu, ada warung yang enak banget."
He? Warung, toh.
Bulan tidak protes saat Biru mengatakan itu. Biru membukakan pintu mobil untuk Bulan yang masih diambang kebingungan. Makan malam yang ia khayalkan ternyata tidak terwujud.
Mereka berjalan masuk ke dalam sebuah gang sempit yang hanya bisa dilewati motor. Beberapa anak-anak berlari keluar gang. Di dalam itu seperti sebuah desa yang cukup ramai.
Biru membawanya masuk ke sebuah warung yang cukup besar. Di dalam sudah ramai dengan pembeli. Nampaknya memang enak karena aroma masakannya menggungah penciuman Bulan.
Bulan duduk bersebelahan dengan Biru. Lelaki itu memanggil pelayan dan mulai memesan makanan.
"Kamu ga apapa kan, kalau saya bawa ke tempat kaya gini?"
"Ngga apapa, kak."
Bulan agak merasa bersalah dengan dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia mengharapkan makan malam romantis, bahkan sudah mengkhayalkan dress apa yang akan dia pakai.
Bagaimana tidak, cara Biru mengajaknya makan malam terbilang meyakinkan kalau dia akan diajak ke restoran mewah yang telah disewa khusus mereka berdua. Menikmati taburan bintang dan sinar rembulan, juga kembang api yang sengaja dipesan Biru. Tahunya cuma ke warung dalam gang. Bulan terkekeh sendiri. Tinggi sekali khayalannya.
"Kenapa?" Tanya Biru saat melihat Bulan tertawa kecil.
"Eng? Ngga apapa."
Makanan mereka datang, Bulan dan Biru menyantap makanan sambil bercerita ringan.
"Kamu kerja sebagai apa disitu?" Tanya Biru pura-pura tidak tahu.
"Cook helper."
"Bantu-bantu chef, ya."
"Iya."
"Tapi bisa masak, kan?"
"Syarat cook helper juga harus bisa masak, kak."
Biru mengangguk dan mulai memikirkan satu hal. "Saya jadi kepengen coba masakan kamu. Boleh dong, sesekali saya dimasakin."
Masakin kak Biru? Bulan mengangguk malu. "Boleh aja. Tapi masakan saya ga seenak main chef."
"Ngga apapa, yang penting kamu yang masak."
Pipi Bulan bersemu merah. Dia mengalihkan wajah sambil meneguk es kosong. Biru tahu kan, kalau dia bukan anak remaja. Kenapa gombal-gombal receh gini sih, Bulan jadi salting.
"Permisi Mbak, Mas, Om, Tante. Izinkan saya menyanyi sebentar, ya.."
Suara sengau terdengar dari dekat mereka. Bulan menoleh dan mendapati seorang Waria membawa keringcing di tangan meminta izin untuk bernyanyi. Dia berdehem lalu menghentakkan kerincing itu di tangannya dan mulai bernyanyi.
"Kemana pun ada bayanganmu
Di mana pun ada bayanganmu
Di semua waktuku ada bayangmu
Kekasihku..."
Bulan melanjutkan makannya sementara Biru menahan tawa. Mendengar lirik itu, membuatnya terkekeh dalam hati. Mirip seperti dirinya, belakangan terus terbayang-bayang wajah Bulan.
"Ku menangis
Menangisku karena rindu
Ku bersedih
Sedihku karena rindu..."
Ini sih, lagu sedih sebenarnya. Tapi kenapa kalau Waria itu yang bernyanyi, jadi terdengar lucu bagi Bulan yang sejak tadi menatap si pengamen.
Pengamen itu mulai berjalan sambil menyodorkan plastik kecil meminta sumbangan. Tiba di giliran meja Bulan, dia bersuara.
"Wah, gaya-gayanya akika dapat duta banyak nih.. hihihi." Dia tertawa melihat Biru yang mulai merogoh kantong dan mengeluarkan dompet.
Biru mengambil selembar uang dua puluh ribu dan memasukkannya ke dalam plastik yang pengamen itu sodorkan.
"Makasih ya, mas." Bukannya pergi, dia malah tersenyum-senyum menatap Biru. "Masnya ganteng deh, ntar kalo mbaknya ga mau lagi sama akika aja ya mas ganteng..."
Biru hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Duhh, ototnya bikin ... aaahhhh!" Dia mendes*ah heboh melihati terus ke arah dada bidang dan bahu Biru yang terlapis polo hitam membentuk tubuh.
Orang-orang yang ada di dekat situ tertawa mendengarnya.
"Jangan cemberut gitu dong, mbuak.. akika cuma bercendong..." Katanya sambil terkikik melihat Bulan yang hanya diam.
"Udah ah, ngeri bininye. Bye mas ganteng.. telepon akika kalo udah free, yaa." Waria itu membentuk jarinya seperti ponsel dan meletakkannya di telinga, lalu bermain mata.
Sepeninggal pengamen itu, Biru memperhatikan Bulan yang hanya diam menyantap makanannya dengan lambat.
Masa sih, Bulan cemburu sama Waria begitu?
"Kamu kenapa?" Tanya Biru, tak mau berspekulasi sendiri.
"Ngga apapa..." Bukan Bulan cemburu. Tapi melihat Waria itu menggoda Biru membuatnya teringat akan Andra. Bulan sekarang sadar kalau persaingan di dunia percintaan ini bukan lagi perempuan dengan perempuan. Namun laki-laki juga ikut. Malah tak jarang mereka kalah.
Setelah makan, mereka berjalan bersisian menuju parkir mobil yang hanya beberapa meter. Bulan masih diam saja sejak tadi.
"Bulan, saya tahu kamu mikirin saya yang mungkin aja tidak lurus. Iya, kan?"
Bulan melirik kaget. "Enggak." Elaknya cepat.
Biru tersenyum. Dilihat bagaimana pun dia tahu, Bulan menyembunyikan itu. "Kamu lupa ya, kalau saya dosen psikologi. Saya tahu kamu lagi bohong."
"Dosen psikologi emang bisa nyambi jadi dukun juga, ya?" Ledek Bulan cemberut saat pikirannya berhasil dibaca.
"Enggak, dong. Saya cuma kebetulan tahu aja." Jawab lelaki itu. Lalu ia berhenti dan menghadap Bulan. "Saya harus apa supaya kamu percaya kalau saya ini normal? Sudah saya bilang, saya suka sama kamu."
Bulan malah membulatkan mata saat Biru mengungkapkan perasaannya lagi. Dia jadi salah tingkah dan mengusap tengkuk lehernya yang meremang.
"Saya tau kalau kamu masih berat dengan semua ini. Saya paham dan akan buat kamu perlahan-lahan percaya sama saya."
Bulan mencebik dalam hati. Pernyataan Biru barusan terdengar sangat percaya diri. Padahal dirinya belum tentu menerima tapi sudah mengatakan hal seperti itu.
Sementara Biru, lagi-lagi tersenyum melihat tingkah Bulan. Dia tahu gadis itu juga menyukainya. Kalau tidak, mana mungkin Bulan diam saat mereka berciuman?
"Ayo, pulang." Biru meraih tangan Bulan dan menggandengnya sambil melangkah perlahan.
Bulan menegang sejenak saat dengan ringannya Biru menggenggam tangannya. Tapi dia tidak menarik tangannya dan membiarkan saja apa yang Biru lakukan. Lagi pula ini lucu. Mirip kelakuan anak ABG yang lagi jatuh cinta. Bulan yang dibelakang Biru terpaksa harus mengubah wajah senyumnya saat Biru tiba-tiba menoleh ke belakang dan menatapnya sebentar.
Fyuh! Hampir saja ketahuan kalau dia tengah senyum-senyum tadi.
To Be Continued....
Pen udah Vote belum....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Fifid Dwi Ariyani
trussabar
2024-01-08
0
Edah J
hahayyy....bunga bunga ada yg bermekaran nihh😁
2023-11-03
2
Dyah Rahmawati
lanjuuut ....🥰
2023-10-03
2