Bulan yang bersandar lemas di kursi malah menghela napas. "Itu sepupu guee..."
"Hah? Serius?"
"Iyaaa. Duuh. Mana pake acara jemput segala, Aelah!" Bulan mengomel kesal sendiri melihat inisiatif gila dari Biru.
Ya, dia mungkin merasa bertanggung jawab setelah menyetujui apa yang diucapkan Dina. Tapi kan, dia sudah bilang akan pulang sendiri tadi! Ukh...
"Mbul, jadi pak ganteng itu sepupumu?" Tanya Nadin.
"Iya. Sepupu yang aku bilang penyuka sesama jenis itu!" Sungutnya sebal, dan mulai memberesi barangnya, ia masukkan ke dalam tas. "Ya udah, aku pulang, deh." Padahal masih ada waktu buat mengobrol banyak hal. Tapi karena sudah dijemput...
"Hahaha. Jadi kayak anak SD lo! Pake dijemput segala." Tawa Wina.
"Kenalin nggak, sih, Mbul. Cakep banget kayanya..." Tukas Yeshika.
"Ngga usah. Dia ga minat cewe!" Bulan berdiri dan berjalan keluar kafe. Dia menoleh ke belakang saat dilihatnya ketiga temannya mengendap-endap ingin mengintip. Gadis itu menghela napas, namun tetap membiarkan apa yang mereka lakukan.
Dan malam itu, Bulan pulang duluan menemui Biru yang katanya sudah di depan coffee shop. Bulan gak pernah berpikir kalau cowok itu akan menjemputnya, sampai Biru benar-benar hadir jam 8 malam di waktu yang Bulan hanya asal sebut saja.
Bulan berdiri di depan Biru yang sudah menunggu. Tengkuknya merinding, karena tahu sahabat-sahabatnya mengumpat atas tampanan Biru dari balik tembok sana.
"Maaf ngerepotin, kak. Tapi sebenarnya ga perlu jemput, karena aku bisa pulang sendiri."
Biru berjalan begitu saja setelah Bulan selesai berbicara. Dia melangkah santai sambil memutar-mutarkan kunci mobil di jari telunjuknya. Sial, dikacangin! Arrghh.. Bulan mengepalkan tangan dengan rahang yang ikut mengeras.
Dia menoleh ke belakang, dimana teman-temannya mengintip, lalu mengumpat tanpa suara ke arah sana dengan kaki yang seperti tengah menginjak-injak sesuatu dengan kuat dan wajah penuh kekesalan. Tak lupa mengacungkan jari tengah pada teman-temannya yang terkikik geli disana.
"Cepat!"
"Eh-iya." Bulan berbalik dan langsung berlari kecil menyusul Biru. Tak ada daya dan upaya Bulan jika berhadapan dengan Biru. Bulan dia anak satu-satunya. Tapi setelah ini, Bulan harus sadar kalau dia memiliki kakak protektif seperti Biru.
...🍀...
Bulan baru mendaratkan bokongnya disalah satu bangku, dan Patriot datang dengan wajah sumringah, duduk disebelah Bulan.
"Morning, Bul-Bul."
Mendapat panggilan itu, Bulan menoleh dengan dahi berkerut. Sementara Patriot mengangkat-angkat alisnya sambil tersenyum.
"Pagi." Jawab Bulan seadanya. Napasnya masih sesak. Pagi-pagi dia pergi tanpa ikut sarapan karena ingin menghindari Biru. Dia tidak ingin pergi bersama pria itu. Rasanya seperti diserap habis energinya setiap kali berhadapan dengan Biru.
Terlebih tadi malam, Biru hanya diam sepanjang jalan. Entah apa tujuannya sampai menjemput kalau dia hanya diam seribu bahasa, tidak mengeluarkan suara apapun, membuat Bulan terintimidasi.
Tapi... uh. Perut Bulan bunyi. Terbiasa sarapan membuatnya lapar pagi-pagi begini.
"Nih..."
Patriot menggeser sebuah roti isi di atas meja Bulan. "Laper, kan?" Katanya, sejak tadi memperhatikan Bulan memegangi perutnya yang memberontak minta diisi.
"Eh, ngga apapa. Aku bisa beli di kantin."
"Ya gapapa, makan aja. Ini buatan gue, lho."
Bulan melirik roti isi berlapis plastik tipis yang memang kelihatannya dibuat sendiri. Terlebih selainya berantakan di plastiknya.
"Itu roti isi peanut butter. Menu resto terbaru hasil kreasi gue sendiri."
Mendengarnya, Bulan tertarik. "Kamu kerja di resto?"
"Yaps! Gini-gini gue chef, tau."
Mata Bulan berbinar. Apa dia bisa tanya pekerjaan ke Patriot? Dia kan, lagi cari kerjaan sampingan.
"Nggak percaya?"
"Percaya kok, percaya. Ee.. ada lowongan nggak, ya?" Tanya Bulan cepat tanpa mau melewatkan itu.
"Eh. Kenapa? Mau kerja juga?"
"Iya. Aku dulu asisten chef selama dua tahun. Aku pengen cari kerja sampingan. Siapa tahu di resto tempat kamu kerja masih nerima-"
"Masih-masih." Jawab Patriot cepat sambil menganggukan kepala pasti. "Gue ga nyangka kalau lo juga chef."
"Asisten, Patriot."
"Sama aja. Apalagi udah 2 tahun. Sore ini bisa datang ke hotel Gudwings?"
"Hotel?"
"Ah, restonya ada di dalam hotel Gudwings. Lantai paling atas. Namanya Lounge Bar Gudwings. Tenang aja, cuma nama doang aslinya mah, resto. Kita disana buka 24 jam, tapi ntar lo bisa ambil shift anak sekolah." Jelas Patriot dengan semangat.
"Ini.. serius kan, pat?" Rasanya Bulan tak percaya karena kebetulan ini sangat meyenangkannya.
"Serius, dong." Patriot mengangguk lagi. Melihat Bulan tersenyum senang begitu membuatnya semangat dan langsung mengeluarkan ponsel untuk menghubungi seseorang yang akan ditemui Bulan sore nanti.
...🍀...
Biru menyeruput minumannya. Sejak tadi tangannya tak lepas dari benda pipih yang belakangan membuatnya terus menatap ruang obrolan yang sepi. Bulan, sejak tadi belum online padahal seharusnya kelasnya sudah selesai sejak siang tadi. Apa yang dilakukannya? Pagi-pagi pergi tanpa sarapan, dan tadi Biru singgah ke fakultas bahasa pun tidak bertemu.
Terus terang, perempuan itu membuatnya kehilangan jati diri. Pasalnya Biru tidak pernah merasa bahwa dia akan terus memikirkan sepupunya yang sudah dewasa itu. Padahal dulu waktu Bulan berusia 9 tahun, Birulah yang sering menggendongnya di belakang karena anak manja itu suka sekali menjadikan Biru kuda-kudaannya.
Dan kehadiran gadis molek itu membuat Biru yang jarang di rumah, lebih suka menghabiskan waktu disana hanya untuk merasakan ketenangan jika Bulan juga ada di rumah itu.
Aneh, bukan? Biru jug merasakan keanean yang sama. Ada rasa haus, dan hanya melihat Bulan bisa menyembuhkan dahaganya.
"Kenapa sih, ngeliatin hapeee mulu." Celetuk Nakula pada Biru yang hanya diam sejak tadi. Padahal niatnya ingin mengobrol santai karena lama tak bisa bertemu. Tapi temannya itu malah menunjukkan wajah tak enak sejak tadi. "Lo lagi deket sama cewe, ya? Kalo gue liat gelagat elo, nih, lo punya gebetan."
"Nggakk. Bukan apa-apa." Jawab Biru. Dia meletakkan ponselnya di atas meja, lalu menoleh ke seisi ruang. "Katanya lo mau nginterview orang baru?"
Nakula melirik jam di tangannya. "Paling bentar lagi dateng. Lagian ini kerjaan adek gue, sialan itu. Bisa-bisanya masukin orang seenak jidat." Gerutunya, mengingat tadi pagi adiknya menelepon karena ingin memasukkan anak baru ke resto mereka. "Eh, Ru. Malika Nanyain lu, tuh. Katanya kapan bisa ketemu lo lagi? Kayaknya dia ga bisa move on, padahal udah 3 tahun aja."
"Ngga peduli gue."
"Makin cantik loh, Malika."
Biru menyeringai. Makin cantiknya itu gimana sih, paling kalau disandingkan dengan Bulan, masih menang Bulan jauh dari cewek-cewek di muka bumi ini.
"Gue cabut, deh. Kayanya ujan dah berenti."
"Ehh. Jangan, dong. Baru juga setengah jam disini mau langsung cabut aja." Protes Nakula. Lalu matanya menangkap seorang gadis yang baru masuk ke dalam resto miliknya. "Eh, kayanya itu deh, orangnya."
Pandangan Nakula terfokus, mengikuti langkah gadis yang mendekati bartender yang ada di counter.
"Wah, Ru. Cakep amat, Ru. Selera lu, nih!!" Nakula memukul-mukul meja untuk membuat Biru menoleh ke belakangnya.
Namun Biru tak peduli. Tangannya mengibas, menyuruhnya pergi sementara dia sibuk memainkan ponsel.
"Gue kesana bentar, ya." Nakula semangat 45 setelah melihat siapa yang akan menjadi anggota baru di tempat yang ia kelola.
"Rembulan, ya? Temennya Patriot? Silakan kesini..."
Mata Biru membulat. Siapa tadi? Dia langsung memutar tubuh untuk melihat wajah yang bernama Rembulan itu. Dan, ketegangannya bertambah saat ternyata memang Bulan sepupunyalah yang ada disana.
Bulan masuk ke dalam ruangan yang dibukakan oleh Nakula. Sedang lelaki itu tersenyum sopan pada Bulan yang menunduk padanya.
Melihat Bulan yang ada disana membuat Biru yang awalnya ingin pulang, jadi tertahan dan menunggu Bulan selesai interview.
Tak butuh waktu lama, Bulan keluar dengan wajah cerah. Dia berjalan sambil tersenyum saat dirinya ternyata diterima bekerja di resto itu.
Bulan terhenti saat melihat Biru sudah berdiri menunggunya di depan gedung. Membuat senyum gadis itu pudar seketika.
"K-kak.. Biru.."
Pria bernama Biru namun selalu memakai hitam itu menatapnya. Perasaan Bulan mendadak ga enak, apalagi Biru diam saja dengan mata yang menyorot dingin begitu. Lalu, tahu darimana pria itu kalau dirinya ada di tempat ini??
Bulan melangkah mendekat. Kesenangan yang ia rasakan mendadak hilang saat Biru mulai bersuara..
"Ngapain disini?" Tanya pria itu. Suara bass-nya membuat Bulan merinding.
"K-kerja, kak."
Sebenarnya Biru tahu, karena Nakula yang bilang akan ada anggota baru di restonya. Tapi yang Biru tidak paham, kenapa Bulan sampai bekerja padahal dia mendapat uang jajan dari Dina. Apa kurang?
Biru tahu dia tak berhak, apalagi hubungan mereka tidak dekat. Tapi rasa ingin memberi nafkah tiba-tiba menjalar di tubuhnya.
"Kalau uang dari mama kurang, kamu bisa minta sama saya."
"Hah?"
"Saya yang akan tambahi uang jajan kamu. Kalau lagi perlu banyak, minta saja ke saya."
Bulan segera merapatkan bibir saat ia menyadari bibirnya yang terbuka karena tercengang mendengar ucapan itu. Aneh, sebab dia tak dekat dengan Biru sampai menjadikannya pasif income yang menjanjikan.
"Ee.. tapi-"
Kalimat Bulan terpaksa tertahan saat tiba-tiba Biru melangkah maju dan memeluk tubuhnya. Detik itu pula, sebuah mobil lewat dengan cepat sampai membuat air genangan yang ada di bawah menyiprat ke punggung Biru dan basah. Sedang Bulan dalam pelukan terdiam membeku.
Apa ini.. jantung Biru, degupannya sangat hebat. Dan aroma yang belakangan membuat Bulan lupa ingatan. Ini mirip dengan...
Ah. Malam waktu di bar itu, ya...
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Vanya Lynd
namax bagus samudra biru,bagus crtanya
2024-01-09
0
Fifid Dwi Ariyani
trus sehat
2024-01-07
0
Susanty
tuhkan.....
awas kamu biru, ngak mau nglirik,pas denger nama rembulan di sebut langsung gercep ajah nengoknyah🤭🤣🤣
2024-01-03
0