Pintu Kamar Penghubung

Samudra Biru, lelaki berusia 27 tahun yang baru selesai olahraga itu menengok ke bawah.

Rembulan, ya...

Sepupunya yang ternyata semakin cantik dan dewasa.

"Gagal nikah karena boti." Gumam Biru dengan seringai tipis. Matanya tak lepas dari Bulan yang tersenyum samar mendengar ocehan Dina.

"Oh, itu dia! Samudra Biru, Bulan udah datang. Cepat turun!" Teriak Dina, sang mama padanya.

Mata mereka bertemu hanya dua detik, lalu gadis itu mengalihkan wajah dari tatapan Biru. Sejenak Biru merasa ada yang salah. Seharusnya respon Bulan bukan seperti itu.

Tidak seru. Bulan tidak kelihatan tertarik padanya, dan membuat Biru kembali ke kamar.

"Duh, gimana sih. Tamu datang bukannya turun malah pergi!"

Sebenarnya tidak perlu, karena Bulan ngga mau terlalu kenal dengan anak-anak Dina. Baginya, dia hanya butuh suasana baru. Sesuai janji Dina, Bulan telah didaftarkan kuliah dan Bulan akan mencari kerja sampingan. Dia tidak mau bergantung pada tantenya, belum lagi dari yang Bulan pernah dengar, suami Dina, Cakra, bukanlah pria yang ramah.

"Maafin Biru ya, Bulan. Dia emang gitu kalo sama orang baru. Aduh, padahal kan, Bulan bukan orang baru, ya."

'Samudra Biru, terakhir bertemu kurasa waktu aku kelas 1 SMP. Dia... Baru menyelesaikan SMA-nya kurasa.'

"Ngga apapa, tante."

"Kalo Selatan, dia lagi diluar. Ah, anak itu emang jarang banget di rumah. Yuk, naik."

"Kalau Selatan kelas berapa sekarang, tante." Tanya Bulan basa-basi, sambil menaiki anak tangga ke lantai dua.

"Selatan sih, mau naik kelas 3. Tapi kelakuannya, haduh..." Dina menepuk-nepuk dahinya.

"Anak SMA sih, biasa, Tan.."

"Beda banget dia dengan Biru yang selalu dapat juara.." Dina membuka pintu kamar, membuat mata Bulan melebar. Wah...

"Bulan, maaf ya. Ini kamarnya kecil."

'Kecil apanya. Ini sih, kaya ruang tamu dan kamarku digabungin jadi satu.'

Mata Bulan terus menatap keliling ruang yang akan menjadi kamarnya.

"Semoga Bulan suka. Tante udah ganti gorden dan sprei dengan warna merah muda. Baru tante beli, khusus buat anak perempuan di rumah ini."

"Makasih banyak, Tan. Bulan suka banget..."

"Sama-sama, sayang." Dina meraih kedua tangan Bulan untuk duduk di tepi ranjang dan ia genggam dengan lembut. "Syukurlah, tante senang Bulan suka." Ucapnya dengan senyuman. "Tante ikut sedih sama apa yang Bulan alami. Tante harap, disini Bulan bisa melupakan semua yang buat Bulan sedih..."

Ucapan Dina justru membuat senyum Bulan pudar. "Tante baik banget. Beda sama mama yang cuma mikirin dirinya sendiri."

Dina menghela napas mendengar keluhan Bulan. "Bulan tau nggak, dulu kamu punya kembaran."

Bulan mengangguk cepat. Ya, dia sudah sering mendengar itu dari tetangga dan kerabat lain. Hanya saja, Nita ngga pernah membahasnya.

"Namanya Bintang. Abang kamu. Tapi di usia dua bulan, dia sakit dan meninggal dunia. Bulan tau nggak, satu minggu setelah Bintang meninggal, mbak Nita harus menelan kenyataan pahit lain saat melihat papa Bulan... memilih perempuan lain karena menganggap mbak Nita tidak becus mengurus rumah tangga. Mbak Nita belum sembuh hatinya ditinggal Bintang, tapi harus sakit lagi karena ditinggal suaminya. Padahal, dia rela kabur jauh demi bisa menikah dengan Rudiantoro, papa Bulan."

Oh, benarkah? Yang ini, Bulan tidak pernah tahu. Karena setiap bertanya keberadaan papa, mamanya selalu mengamuk dan bilang kalau orang itu sudah lama mati.

"Mas Rudi, dia hilang setelah itu. Ngga pernah tahu keberadaannya. Padahal kalian ga pernah pindah rumah, tapi dia juga tidak pernah kembali. Setelahnya, mbak Nita pernah juga menjalin hubungan dengan pria, tapi gagal karena ternyata pria itu sudah punya istri dan anak. Hingga sampai sekarang dia tidak pernah lagi memikirkan laki-laki dalam hidupnya."

Bulan menunduk. Soal ini dia ga pernah tahu. Hubungannya dengan Nita sangat buruk, terlebih Bulan sering sakit hati dengan ucapan yang keluar dari mulut Nita.

"Mbak Nita banyak terluka, Bulan. Bahkan dari lahir. Bulan tau kan, kalau tante dan mama kamu lahir dari ibu yang berbeda? Ibu mbak Nita, itu memperlakukannya buruk. Dan ketika dia menemukan kasih sayang dari Rudi, dia merasa itu jalan untuknya pergi dari ibunya. Tapi ternyata, nasibnya malah begitu."

Ah, hati Bulan ikut sedih mendengarnya. Pantas saja Nita selalu mengatakan bahwa dia dulunya adalah gadis bodoh.

"Tante bicara ini bukan mau membela. Tante tau mbak Nita juga salah, ga mikirin perasaan kamu, Bulan. Tapi, sebenarnya kehidupan sulit membuat pola pikirnya jadi berantakan."

"Bulan... akan coba pahami, tante." Jawabnya dengan senyum sendu. "Makasih banyak, tante. Bulan bersyukur tante mau bantu pendidikan Bulan."

"Anytime, sayang. Bulan kan tau, dari dulu tante mau bawa Bulan kesini. Tapi Bulan yang ga mau..." Ucapnya, mengelus rambut Bulan penuh kasih sayang. "Ya udah, kamu istirahat, ya. Tante turun mau siapin makan malam."

"Bulan bantu, tan.."

"Eh, ngga usah. Istirahat aja. Oke?" Dina keluar dari kamar Bulan, menutup pintu meninggalkan Bulan yang langsung merebahkan dirinya di kasur super empuk.

"Haah. Gitu, ya. Jadi papaku sebenarnya itu masih idup. Gimana ya, orangnya. Ck, kenapa hidupku begini banget." Gumamnya sendiri.

Bulan bangkit, niatnya mau nyusunin barang yang udah sejak tadi diantar ke kamar. Tapi dia lebih memilih menyibakkan gorden jendela kaca lebar-lebar, hingga tampak balkon cukup luas di depannya.

Bulan membuka pintu, menukar udara dalam dengan udara baru. Lalu menghirup oksigen sedalam-dalamnya, berharap jantungnya bersih dari udara buruk yang ia rasakan tadi malam.

Mendadak pikirannya teringat pada Andra. Lelaki sialan itu... tadi malam datang dan masuk ke kamarnya...

Malam saat Bulan mencari antingnya, pintu kamarnya diketuk, lalu terbuka begitu saja tanpa diminta, maka muncullah Andra.

"Bulan..."

Melihat kehadirannya, emosi Bulan kembali memuncak. Padahal air matanya belum kering sepenuhnya.

"Ngapain kesini! Pergi sana!" Teriak gadis itu sambil mendorong Andra keluar dari kamarnya.

"Bulan please, dengerin ..."

"Enggak!" Bulan berusaha menutup pintu, tidak ingin melihat atau mendengarkan Andra. Perasaannya terlalu sakit. Tetapi ia kalah tenaga dengan Andra, yang berhasil masuk dan menutup pintu.

"Bulan, dengerin aku.. " Suara dan wajah sendunya hampir membuat Bulan luluh.

"Aku ga mau liat kamu! Keluar!" Teriak Bulan kencang.

"Please.." Andra menggenggam kedua bahu Bulan dan menghimpitkannya ke tembok. "Bulan, please... aku mohon, dengerin aku."

Bulan memberontak, menangis terisak. "Kamu tau nggak sih, kayak mana sakitnya aku? Kamu gak akan ngerti gimana sakitnya hatiku dengan perlakuanmu ini. Pergiiii..."

"Iya, aku tau. Aku minta maaf..." Andra menarik Bulan dalam pelukannya, dan gadis itu berupaya melawan namun percuma. Andra begitu kuat, sampai Bulan akhirnya pasrah saat Andra mendekapnya, hingga kakinya luruh, dan bulan terduduk dengan tangis pilu.

Apa yang dilakukan Andra? Tindakannya membuat Bulan tersiksa. Memeluk seperti ini, dia tidak pernah melakukannya...

Berulang kali laki-laki itu membisikkan kata maaf pada Bulan. Mencoba menenangkan Bulan yang terisak-isak karena dia telah menghancur leburkan cinta dan rasa sayang Bulan padanya. Namun sungguh, hatinya ikut tergilas melihat semua yang terjadi hari ini. Dia tidak tenang ketika Bulan mengetahui semuanya.

Andra mengecup lama puncak kepala Rembulan yang telah menjadi kekasihnya selama dua tahun, dan belum pernah gadis ini membantah apapun yang ia katakan.

Jika diziinkan memutar waktu kembali, maka Andra akan berusaha lebih keras untuk berubah dan sungguh, ia akan menjadikan Bulan cinta satu-satunya dalam hidupnya, mengingat bagaimana perempuan ini selama bersamanya. Namun keadaan yang sulit dijelaskan membawanya menuju seperti sekarang.

Bulan mendorong tubuh Andra sampai lelaki itu terduduk. Bulan menekuk lutut dan menoleh ke samping, enggan menatap Andra.

Andra mengambil posisi, duduk bersandar pula disebelah Bulan.

"Maaf, Bulan..."

Muak, Bulan capek mendengarnya.

Bulan menghapus air matanya, belum mau menatap lelaki itu.

"Maaf aku nyakitin hatimu, Bulan. Awalnya aku ngira kalau kamu tau aku begini, aku akan tenang. Ternyata enggak, aku malah tersiksa melihatmu menangis seperti itu." Ungkap Andra. Pandangannya lurus, ke foto dirinya dan Bulan yang masih menggantung di dinding kamar gadis itu.

"Bulan, aku serius waktu bilang kalau aku sayang padamu. Aku ga bohong. Masih terngiang ucapan sayangmu ke aku siang tadi. Juga kecupan singkat di pipi yang sempat membuatku bergetar. Dan tiba-tiba ada rasa bersalah saat kamu menghapus pipiku karena takut aku marah. Sejujurnya enggak. Kamu tau, Aku pikir kalau kita nanti menikah, aku bisa kembali seperti diriku yang dulu, Bulan. Aku bisa mencintaimu sebagai laki-laki normal. Tapi dia..." Suara Andra tercekat. Dia menarik napas sebelum melanjutkan.

"Dia mengancam akan bunuh diri. Jadi aku..."

Bulan memejamkan mata, benci mendengar ini terlebih laki-laki bernama Bobi brengsek itu.

"Aku ga tau harus gimana waktu pertama kali kamu liat aku disana. Aku merasa kesal, karena aku mau berhenti dari semua ini. Tapi setelah kupikirkan lagi, kamu berhak mendapatkan yang lebih baik dari aku, Bulan."

Tangis Bulan belum berhenti. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tersedu-sedu sampai dadanya sesak sekali. Sementara Andra ingin menariknya kembali dalam pelukan, tapi Bulan mendorong tubuhnya.

"Pergilah. Aku ga punya tenaga untuk menghajarmu, Andra." Ucapnya dengan suara hampir habis. Seharian dia menangis, lelah rasanya.

"Makasih untuk ngga bilang ke ibu soal siapa aku sebenarnya, Bulan."

"Aku lakuin itu demi ibumu. Bukan demi kamu."

"Aku tau.. " Ada jeda yang tercipta diantara mereka, dan Andra hanya menatap Bulan sebelum ia pergi.

"Jaga diri, Bulan. Jaga kesehatan." Andra menepuk-nepuk pelan kepala Bulan sebelum ia pergi, membuat gadis itu histeris kembali setelah mendengar pintu rumahnya tertutup.

Bulan menarik dan mengoyak habis foto-foto artis idola dengan otot perut yang terpampang di dindingnya. Entah kenapa dia menjadi jijik melihat semua foto yang dulu ia sangat sukai itu.

.

Huwfff.. Memikirkan kejadian malam tadi saja membuat dada Bulan kembali sesak. Dia menghapus air matanya yang turun setitik akibat mata yang memanas setiap mengingat Andra.

Walau begitu, entah kenapa rasa benci yang sempat muncul, perlahan luruh setelah Andra menceritakan semuanya. Begitu pun, Bulan pernah menjadikannya lelaki terbaik dalam hidupnya.

Sial. Bulan mengadahkan wajah, menarik napas dalam-dalam agar hatinya kembali tenang.

Bulan tak ingin mengingat itu lagi. Dia menutup gorden, dan memilih menyusun barang saja.

Tapi langkahnya terhenti, pandangan Bulan teralihkan pada satu pintu di tengah. Pintu apa, ya. Kamar mandi, bukan yang itu. Lemari? Bukan.

Bulan mendekat. Kalau dilihat sih, ini pintu ruangan. Ingin tahu ruangan apa, Bulan menggerakkan handelnya.

Ia mendorong pintu lebar untuk melihat dengan jelas ada apa di dalam ruangan itu. Namun sungguh sial, matanya menangkap pemandangan yang merusak mata.

Satu detik. Ya, hanya sedetik saja, Bulan langsung refleks menutup pintu dengan keras lalu mengumpat dalam hatinya.

Sial-Sial-Sial!!

'Jadi ini pintu penghubung antara kamarku dan kamar kak Samudra Biru?'

Bulan mencari kunci, ingin menutup permanen pintu itu. Tetapi tidak ketemu. Lalu terdengar suara kunci diputar dengan kasar dari seberang, membuat Bulan terpaku sesaat.

Belum ada satu jam dia di rumah itu, malah melihat Biru tengah berganti baju. Pemandangan sial.

Bulan yang baru membuka koper langsung diam saat pikirannya menangkap sesuatu.

"Jangan-jangan kak Biru itu....Hiyy." Bulan mengedik geli membayangkannya.

TBC

Terpopuler

Comments

Fifid Dwi Ariyani

Fifid Dwi Ariyani

trusceria

2024-01-07

0

Mamah Kekey

Mamah Kekey

wah ci Tante tau gak yah..ada pintu rahasia...😂

2023-12-22

2

Mamah Kekey

Mamah Kekey

wah ci Tante tau gak yah..ada pintu rahasia...😂

2023-12-22

0

lihat semua
Episodes
1 Curiga Gay
2 Balas Dendam
3 Samudra Biru
4 Pintu Kamar Penghubung
5 Kiss and Splash
6 Jiwa yang Terganggu
7 Dijemput Dosen
8 Rasa Ingin Menafkahi
9 Lelaki yang waktu itu...
10 Ciuman Pertama
11 Perlahan Menjauh
12 Tantangan Biru
13 Anting di Kamar Biru
14 Penjelasan Biru
15 Cari Perhatian
16 Mengikuti Naluri
17 Tersentil Ucapan Bulan
18 Digoda Waria
19 Bisikan Biru
20 Ciuman Gila
21 Mantan Kekasih Biru
22 Di Atas Ranjang
23 Membohongi Biru
24 Panggilan Sayang
25 Menggoda Biru
26 Berkenalan Dengan Malika
27 Pemilik Saham Cakra
28 Pelanggan Pertama Wina
29 Dalam Pantauan Biru
30 Pertikaian Yang Seharusnya Tak Didengar
31 Selesai
32 Keputusan Anita
33 Di Kantor Polisi
34 Rasa Rindu Bulan
35 Menggantikan Pengantin Pria
36 Bibir Yang Menjadi Candu
37 Kepergian Bulan Dari Rumah
38 Biru Mengejar Bulan
39 Jangan Berhenti, Biru.
40 Menelan Ludah Sendiri
41 Membuat Rencana Baru
42 Perkenalan Bulan Dengan Rudi
43 Perang Batin
44 Sepupu Baru
45 Kehadiran Biru Membuat Rindu
46 Pemindahan Kekuasaan
47 "Dia itu Gay."
48 Berita Besar Untuk Wina
49 Kecurigaan Biru pada Papanya
50 Berita Baik dan Buruk buat Biru
51 Berlutut Didepan Anita
52 Kunjungan Rumah Sakit
53 Kamera CCTV Dashboard Mobil Cakra
54 Tersebarnya Perselingkuhan Cakra
55 Mengajak Bulan Menikah
56 Panggilan Untuk Mas Pacar
57 Wanita Selingkuhan Cakra
58 Tidak Semua Bisa Diceritakan
59 Ancaman Wina untuk Biru
60 Gombalan Bertubi-tubi
61 Pantai
62 Dibuat Kesal
63 Perjanjian Pranikah
64 Dapat Restu!
65 Di Kamar Mandi
66 Bertemu Rudiantoro
67 Fitting Baju
68 Menuju Hasrat Tertinggi
69 Virgin until Married
70 Foto Kenangan
71 Kehadiran Malika
72 Kehadiran Cakra di Depan Rumah Anita
73 Permintaan Maaf Cakra
74 Keinginan Malika
75 Semua Telah Berakhir
76 Hampir Takluk
Episodes

Updated 76 Episodes

1
Curiga Gay
2
Balas Dendam
3
Samudra Biru
4
Pintu Kamar Penghubung
5
Kiss and Splash
6
Jiwa yang Terganggu
7
Dijemput Dosen
8
Rasa Ingin Menafkahi
9
Lelaki yang waktu itu...
10
Ciuman Pertama
11
Perlahan Menjauh
12
Tantangan Biru
13
Anting di Kamar Biru
14
Penjelasan Biru
15
Cari Perhatian
16
Mengikuti Naluri
17
Tersentil Ucapan Bulan
18
Digoda Waria
19
Bisikan Biru
20
Ciuman Gila
21
Mantan Kekasih Biru
22
Di Atas Ranjang
23
Membohongi Biru
24
Panggilan Sayang
25
Menggoda Biru
26
Berkenalan Dengan Malika
27
Pemilik Saham Cakra
28
Pelanggan Pertama Wina
29
Dalam Pantauan Biru
30
Pertikaian Yang Seharusnya Tak Didengar
31
Selesai
32
Keputusan Anita
33
Di Kantor Polisi
34
Rasa Rindu Bulan
35
Menggantikan Pengantin Pria
36
Bibir Yang Menjadi Candu
37
Kepergian Bulan Dari Rumah
38
Biru Mengejar Bulan
39
Jangan Berhenti, Biru.
40
Menelan Ludah Sendiri
41
Membuat Rencana Baru
42
Perkenalan Bulan Dengan Rudi
43
Perang Batin
44
Sepupu Baru
45
Kehadiran Biru Membuat Rindu
46
Pemindahan Kekuasaan
47
"Dia itu Gay."
48
Berita Besar Untuk Wina
49
Kecurigaan Biru pada Papanya
50
Berita Baik dan Buruk buat Biru
51
Berlutut Didepan Anita
52
Kunjungan Rumah Sakit
53
Kamera CCTV Dashboard Mobil Cakra
54
Tersebarnya Perselingkuhan Cakra
55
Mengajak Bulan Menikah
56
Panggilan Untuk Mas Pacar
57
Wanita Selingkuhan Cakra
58
Tidak Semua Bisa Diceritakan
59
Ancaman Wina untuk Biru
60
Gombalan Bertubi-tubi
61
Pantai
62
Dibuat Kesal
63
Perjanjian Pranikah
64
Dapat Restu!
65
Di Kamar Mandi
66
Bertemu Rudiantoro
67
Fitting Baju
68
Menuju Hasrat Tertinggi
69
Virgin until Married
70
Foto Kenangan
71
Kehadiran Malika
72
Kehadiran Cakra di Depan Rumah Anita
73
Permintaan Maaf Cakra
74
Keinginan Malika
75
Semua Telah Berakhir
76
Hampir Takluk

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!