Kelas berakhir, Biru keluar dari ruang kelas yang mulai berisik. Bulan menutup buku catatan dan cepat-cepat memasukkannya ke dalam tas. Dia tidak tahu harus menemui Biru dimana, jadi dia tak boleh kehilangan jejak pria itu.
"Eh, Bulan. Mau pulang?"
Patriot membuat langkah Bulan tertahan. Dia menoleh. "Oh, aku harus temui pak Biru. Sampai ketemu besok!" Bulan melambaikan tangan dan berlari kecil keluar dari kelas.
Dia menengok kiri dan kanan, kemana kak Biru?
"Uuhh. Ganteng banget pak Samudra Biru..."
"Cara dia menarik lengan baju ke atas, ukhh hott banget!"
Suara dua perempuan yang menengok ke kiri membuat Bulan tahu arah kemana sepupunya pergi.
Dia berlari lagi, dan memperhatikan sekitar saat ada persimpangan.
"Pak Samudra Biru... udah lama banget ga liat dia ada di fakultas kita.."
Samudra Biru, nama yang harus disebut seluruhnya karena pada nama itu, ada sesuatu yang menarik hati semua siswinya.
Oke, Bulan berjalan cepat ke arah mata para gadis menoleh.
Hah. Ternyata dia menjadi pusat perhatian, ya. Bulan menggelengkan kepala saat teringat cerita Dina bahwa Biru tidak memiliki pacar. Kalau sepopuler ini tetapi tidak ada yang menariknya, fix, dia emang....
"Kyaaaaa! Liat nggak pak Samudra Biru senyum ke aku sebelum tutup pintu???"
Bulan melirik ke arah dimana gadis itu menatap. Pintu hitam itu, ya.
Bulan menarik napas sebelum mengetuk pintu. Sebenarnya ada apa Biru memanggilnya? Padahal bisa di rumah juga, kan, kalau ada yang perlu dibicarakan. Pasalnya sekarang dia lagi ditatap banyak pasang mata karena berani mengetuk pintu ruangan Biru.
Pintu terbuka sedikit, membuat Bulan mengintip ke dalam yang memperlihatkan meja kosong.
Bulan melebarkan pintu, lalu masuk ke dalam ruangan yang pintunya langsung tertutup dengan cepat sampai membuat Bulan tersentak kaget terlebih ada Biru dibalik pintu.
Bulan diam, menunggu Biru berbicara di tengah posisi mereka yang dianggap kurang... pas.
Sebelah tangan Biru memegang handle pintu, tepat di sebelah Bulan. Dan mereka sangat dekat, sampai gadis itu menahan napas dapat perlakuan begini. Mana Biru tidak ada niat buat mundur...
Sedang Biru, dia menelan ludah berkali-kali. Ada hasrat berbeda yang mendorongnya untuk mendekati Bulan. Dia menghela napas berat, menahan diri agar tidak melakukan hal diluar kendali lagi.
"Pak, a-ada apa..." Bulan tak ingin berlama-lama, orang bisa salah sangka.
Tangan Biru menyerahkan satu buku pada Bulan. Buku yang persis sama dengan yang waktu itu rusak karena dirinya.
"B-buku... siapa, pak?" Tanya Bulan dengan takut-takut. Sejak tadi otaknya memikirkan banyak hal, bingung kenapa Biru sampai seperti ini padanya. Apa Biru marah karena waktu itu dia membuatnya jatuh ke kolam? Bulan belakangan mengira bahwa sebenarnya Biru tidak kuat menahan beban dirinya sampai ikut tercebur ke dalam kolam.
"Bukumu."
Dengan ragu, Bulan meraih buku yang diserahkan Biru.
'Dia mengganti bukuku?'
"B-baik. Te-terima kasih sudah menggantinya.."
Bulan hendak pergi, namun sebelah tangan Biru tiba-tiba menyela, membuat batas dengan bertumpu di tembok sampai Bulan terkungkung diantara dua tangannya.
Gadis itu terbelalak dalam rasa terkejut saat sepupunya ini mengurungnya dengan jarak tubuh yang sangat dekat, sampai Bulan bisa mencium aroma parfum Biru yang menguar dari tubuhnya.
Sejenak Bulan tertegun. Aroma apa yang menguasai hidungnya ini? Ingatannya mulai mencari-cari, dia seperti pernah mencium aroma ini tapi dimana...
Berbeda dengan Biru yang mulai tak bisa mengendalikan diri, terlebih melihat Bulan dari jarak yang sangat dekat. Jantungnya terus berdetak dan hasratnya memerintah agar dia mencium gadis itu sekali lagi. Tapi kali ini otak Biru lebih dominan. Dia membuka pintu.
"Keluar."
Eh?
Bulan tergagap. Perilaku macam apa ini? Mengurungnya seperti ingin menerkam, tahu-tahu membuka pintu dan menyuruh pergi. Tapi memang lebih baik Bulan kabur saja.
"Ah, iya. Ma-makasih, pak."
Bulan langsung mengacir dengan cepat kilat. Dia berhenti di lorong kampus dan memegang jantungnya.
Sial, Biru membuatnya takut. Tapi syukurlah, bukunya diganti oleh Biru walau tak pernah ada dipikirannya soal itu.
...🍀...
"Gimana kuliahnya, Bulan?" Tanya Dina membuka pembicaraan pagi itu. Sarapan bersama dengan semua anggota lengkap, termasuk Biru.
"Lumayan, tante."
"Udah punya banyak temen, dong?"
"Baru hari pertama, jadi baru beberapa." Jawab Bulan perlahan. Diliriknya Cakra. Pria itu makan dengan tenang tanpa suara. Ternyata mirip sama Biru yang juga makan tanpa suara di tempatnya. Ada atau tidak kehadirannya, terasa sama saja.
Tiba-tiba Bulan kepikiran soal semalam. Tindakan Biru membuatnya hampir salah paham, padahal hanya ingin mengganti buku. Kalau dipikir-pikir, Andra juga dulu sering begitu kan, melakukan hal aneh tiba-tiba.
"Biru, kamu dan Bulan kan, satu tujuan. Dari pada Bulan naik ojek, mending pergi bareng kamu."
Eh, Bulan sampai ingin menolak, tapi Dina melanjutkan.
"Itung-itung pengiritan juga buat Bulannya. Antar dan jemput kalau waktunya tepat. Mau, kan?"
"Eh, engga usah tan-"
"Oke."
HAH?? Bulan menganga.
"Good. Gitu, dong. Akrab-akrab sama Bulan."
"Hm." Jawab Biru tanpa beralih pada makanan di piringnya.
Astaga. Aneh kalau Bulan menolak sekarang sementara Biru setuju saja. Kalau disuruh pilih, Bulan lebih mau jalan kaki walau menempuh waktu dua jam ketimbang harus satu mobil dengan pria kaku dan gay itu.
Tapi semuanya tidak seperti yang Bulan inginkan. Dina mengantar mereka sampai depan, yang mau tak mau, Bulan harus ikut dengan Biru.
Selatan sudah pergi dengan motornya. Cakra baru keluar dari gerbang dengan supirnya, dan sekarang, Biru masih setia dengan ponsel di tangannya. Mengetik-ngetik entah apa sampai Bulan bingung, apakah ia harus menunggu atau jalan kaki saja.
"Em, tan, B-bulan.. duluan, ya."
Biru memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. "Biru pamit, ma."
"Iya, sayang. Hati-hati di jalan, ya."
Bulan mendadak lemas saat ucapannya diabaikan. Biru masuk ke dalam mobil, menyalakan mesinnya.
"Hati-hati ya, Bulan. Kalau Biru kencang-kencang, pukul aja kepalanya."
Bulan nyengir. Pukul kepala, katanya. Bisa bernapas dengan tenang di dalam mobil aja suatu anugrah, pikir Bulan.
Gadis itu menghela napas berat dengan senyum terpaksa dan masuk ke dalam mobil.
Terasa kikuk sekali. Terlebih Biru diam mengatur suhu AC mobil. Kehadiran Bulan pun tak membuatnya beralih.
Bulan tentu ingin kabur saja. Dia tidak berniat satu mobil. Tidak apa duitnya habis untuk ongkos, asal tidak berhadapan dengan Biru yang selalu ada kejadian buruk jika bertemu.
"Eng, kak... aku ga apapa kok, kalau harus turun di depan. Biar aku naik angkot aja." Bulan mengira, Biru terpaksa mengantarnya karena tak bisa menolak mamanya.
Mendengar ucapan Bulan, Biru menoleh. Dia mendekat dengan tatapan dingin seolah ingin mengusir secara halus.
Bulan tegang luar biasa. 'Haruskah aku keluar sekarang?' Namun ketegangan Bulan semakin menjadi tatkala Biru yang sangat misterius itu merapatkan wajahnya, membuat Bulan takut dan memejamkan mata.
Jantungnya berdegup kencang sekali, menunggu apa yang dilakukan Biru padanya.
Suara seat belt terpasang membuat Bulan membuka mata. Seketika Bulan merasa malu saat ternyata Biru hanya memasangkan sabuk pengaman untuknya. Sementara jantungnya sudah tidak beraturan seperti akan dibunuh saja.
Mobil berjalan meninggalkan rumah dan diisi keheningan sepanjang jalan. Baik Bulan maupun Biru saling diam dengan pikiran masing-masing.
Bulan menatap ke luar jendela karena perasaan serba salahnya. Dan Biru berperang dengan pikiran yang mulai menjalar kemana-mana jika itu menyangkut Bulan.
Sesekali ia melirik gadis itu. Penampilan Bulan menariknya. Seperti biasa, jika ke kampus, Bulan memang memakai kacamata. Rambut panjangnya diikat cepol ke atas dengan menyisakan anak rambut di dekat telinga, hingga menampakkan leher jenjang yang seksi di matanya.
Pikiran Biru kemudian menampilkan tubuh seksi Bulan yang ia lihat secara nyata saat di kolam renang. Dan itu membuat jantungnya semakin berpacu kuat.
Biru melepaskan napas dengan kasar, mengusap tengkuk yang tiba-tiba menjalarkan perasaan asing ke seluruh tubuhnya.
Bulan melirik, mendengar helaan napas itu membuatnya merasa bersalah. Seharusnya dia tidak menerima permintaan Dina, agar Biru tidak terbebani seperti itu.
Setelah sampai di depan Fakultas Bahasa, Bulan membuka seatbelt.
"Terima kasih atas tumpangannya, kak. Besok saya bisa pergi sendiri, supaya nggak ngerepotin ka-"
Bulan tak melanjutkan ucapannya saat Biru menyerahkan ponsel kepadanya.
"Ya?" Tanya gadis itu tak paham.
"Nomormu."
Mata Bulan berkedip beberapa kali. N-nomor?
"Cepat."
"Ah, iya." Bulan mengambil ponsel Biru dan mengetik nomornya disana. "I-ini, kak."
Biru mengambil lagi ponselnya dan memperhatikan deretan nomor Bulan.
"Sa-saya permisi, kak."
"Hm." Jawabnya tanpa menoleh karena tengah sibuk membubuhkan gambar emoji bulan sabit di nomor itu.
Bulan yang baru keluar langsung berjalan cepat serasa ingin kabur karena perilaku aneh Biru. Ya, memang hanya meminta nomor, paling juga buat jaga-jaga kalau mama Biru menanyakan dirinya, pikir Bulan. Tapi kelakuan Biru itu membuatnya merinding. Bulan sampai takut.
Sementara Biru, masih diam menatap nomor yang baru tersimpan di ponselnya. Seringai tipis muncul di bibirnya.
"Harumnya masih sama.." gumamnya pelan, lalu menjalankan mobil menuju fakultasnya.
~
Malam itu, Bulan memang tengah berkumpul dengan sahabat-sahabatnya. Tapi dia hanya asal bicara soal pulang jam 8 malam saat Biru menghubunginya siang tadi. Tapi ternyata...
"Mati aku.. "
"Kenapa?" Yeshika dan Wina yang duduk di dekat Bulan langsung melihat layar ponsel Bulan.
"Siapa, Mbul? Gebetan baru?" Tanya Wina. Merampas ponsel Bulan dan melihat foto profil orang yang menghubungi Bulan.
"Gila, ganteng banget, Mbul!" Seru Wina.
"Waah. Ini sih, lebih Oke dari Andra." Sambung Yeshika pula.
"Mana.. mana.." tak mau ketinggalan, Nadin menggeser tempat dan ikut melongok ke ponsel yang dipegang Yeshika. "Loh? Ini bukannya pak Samudra Biru?"
"Eh?" Wina dan Yeshika serempak menoleh pada Nadin.
"Iya. Ini dosen psikologi, yakan, Mbul?"
Bulan yang bersandar lemas di kursi malah menghela napas. Mendadak ia merasa hidupnya begitu berat.
"Mbul, lo.. ada main sama dosen?" Tanya Wina kaget.
"Aaaa, kalo pak Samudra Biru, mah, incaran satu fakultas, Mbul! Asik banget dijemput dosenn, Kyaaa.." Teriak Nadin heboh.
"Aduuhh. Itu sepupu guee..." Sahut Bulan frustrasi.
"Hah? Serius?"
Dan malam itu, Bulan pulang duluan menemui Biru yang katanya sudah di depan coffee shop. Bulan gak pernah berpikir kalau cowok itu akan menjemputnya, sampai Biru benar-benar hadir jam 8 malam di waktu yang Bulan hanya asal sebut saja.
Bulan berdiri di depan Biru yang sudah menunggu. Tengkuknya merinding dengan tatapan dingin Biru, juga karena tahu sahabat-sahabatnya mengumpat atas tampanan Biru dari balik tembok sana.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Fifid Dwi Ariyani
trusbetksrya
2024-01-07
0
Mamah Kekey
tar sama,,bucin...😀
2023-12-22
1
Ihza
suka ceritanya....bikin ikutan senyum terhibur bgt...dah lah cuz lanjut baca
2023-11-04
3